DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



It's Always About You - Chapter 6

Chapter 6, Amazed
by Oswald

Mungkin gw sudah pernah cerita mengenai kelebihan-kelebihan yang Ardo punyai.
But believe me, itu cuma segelintir saja.
Dan di chapter ini, gw akan menceritakan moment-moment di mana gw terperangah sama kehebatan dan nilai-nilai plus yang dipunyai Manusia Sempurna itu.

Sumpah! Kalau gw berdiri disebelah Ardo gw enggak pede abiiss... Secara orang pasti bakal mikir: Wah itu monyet sama orang berdiri bersebelahan...
Hehehe... Maksudnya gw monyetnya dan Ardo orangnya...



Suatu hari gw ke gereja, dan ini adalah kali pertama gw ke gereja di Bali. Dan kejadian ini setelah gw melewati orientasi sekolah.

Pertama-tama waktu memasuki lobby gereja, gw bingung banget. Soalnya gerejanya sangat besar dan gw sedikit kesulitan menemukan aula ibadah yang dikhususkan untuk anak remaja.
Gw celinga-celinguk, dan berjalan mencari-cari aula ibadah remaja.
Akhirnya, gw ketemu seorang cowok yang baik, dia menunjukkan ke gw letak aula ibadah khusus untuk remaja. Dia lebih muda dari gw.
Gw berkenalan dengan dia. Namanya Didi.

“Baru ya kak?” tanyanya sambil tersenyum.

“Iya nih.” jawab gw tersenyum sambil mengusap-ngusap belakang kepala gw.

“Sendirian saja?” tanyanya lagi.

“Iya. Ortu ku lagi ikut ibadah dewasa.”

“Oh, ok. Saya temani yah, kak. Pasti enggak enak ibadah di gereja baru sendirian.” kata Didi sambil tersenyum lebar.

“Iya, terima kasih.” Gw manggut-manggut aja.
Wah baik banget, pikir gw.


Ketika gw memasuki aula tersebut, gw menemukan suasana remang-remang di dalam. Gelas-gelas lilin di letakkan di beberapa area. Para jemaat yang sedang beribadah semuanya duduk di lantai yang dialasi karpet tebal. Gw mengambil area agak di tengah-belakang. Didi duduk di sebelah gw.

Ternyata sedang ada perayaan dengan tema White Love.
Di area depan terdapat panggung rendah yang dihias dengan dekorasi yang super duper mega power romantis. Semuanya serba putih dan lilin-lilin berpendar indah di tengah keremangan.

Dan di situlah, di tengah-tengah pemain akustik, gw melihat DIA...

Ardo sedang menyandang gitar akustik bermotif floral, dengan mic berdiri di depannya. Ia duduk di atas panggung rendah itu, menggunakan kemeja putih yang lengannya digulung dan celana cargo warna khaky. Rambutnya berpotongan semi spikey seperti gw, ada sejumput rambut turun melintang di dahinya. Pipinya semburat kemerahan.

Sumpaaaahhhh!!!! Gw langsung lemes dan langsung terduduk. Ganteeeeennnnggg bangeeeetttt!!!!!

Itu belum, belum seberapa...

Ternyata Ardo sedang mengisi acara, dan tau enggak dia ngapain? Dia terus melorotin celananya dan kasih liat pantatnya!

Hehehe... enggak deeehhh.... ngarep!!

Ternyata Ardo sedang mengisi acara di atas panggung. Satu lampu spot light remang menyorot ke arahnya, membuat suasana di sekitarnya semakin dramatis, rahangnya tampak lebih tegas. Dengan wajah yang tenang, dan senyum tipis yang menghias, dia memetik senar gitar, mengawali intronya, dan akhirnya dia kemudian menyanyikan lirik pertama dari lagunya, suaranya mendawai indah...

“Deepest in my heart, I know....”

Gw langsuuunggg............. pingsan di tempat.......

Lebay!
Enggak, gw enggak pingsan... Ya iyalaaahh!!!!

Gw langsung enggak bisa bergerak, beneran, gw terbius sama suaranya. Jantung gw berdegup kencang. Wajah gw memerah. Gw tau wajah gw memerah, karena wajah gw mulai memanas.
Sumpah bagus banget suaranya. Serak-serak keren gitu. Suaranya lembut tapi serak cowok gituhhh!! Duuhh... susah dijelasiiinn... pokoknya mantep daaahh!!!
Dia menyanyikan lagu slow yang judulnya It's Me to Loving You.
Lagu itu adalah lagu ciptaannya sendiri, ekspresi dari kasih sayangnya untuk Tuhan Yang Maha Esa.

Gw bener-bener enggak rela kehilangan fokus darinya. Gw bener-bener suka banget sama suaranya.
Bukan karena dia Ardo, tapi suaranya memang asli bagus banget. Enggak norak cengeng gituh.
Casual tapi keren banget.

Ardo bernyanyi sambil memejamkan matanya. Ekspresi wajahnya tulus banget. Serius tapi tenang, senyum tipisnya mengiringi setiap kata indah yang keluar dari bibirnya.

“....and You will always waiting me there....”

Gw tau lagu itu ditujukan kepada Tuhan. Tapi entah mengapa gw merasanya lagu itu seakan ditujukan untuk gw. Sangking konsentrasinya, gw sampai merasa di dalam ruangan aula itu cuma ada gw yang duduk di sini, dan Ardo yang bernyanyi di bawah sorotan lampu, di atas panggung sana.

Petikan gitarnya membuat gw merinding. Jemarinya begitu pintar memainkan senar yang berdenting indah. Asli jago banget dia main gitarnya. Nada-nada yang keluar terdengar manis sekali di telinga gw. Suara seraknya bergetar dan beresonansi pada bagian-bagian yang tepat. Terkadang dia mengeluarkan suara ringan dan santai, pada bagian lain dia memberi tekanan mendalam. Khas aksennya terdengar menghiasi nada-nada indah yang keluar.

Gw sampai merenggut baju gw di bagian dada.

Kemudian setelah beberapa bait yang menyayat hati gw, dan beberapa kali mengulang Reffnya, Ardo mencapai titik klimaks dalam lagu itu. Nada lagu itu naik, dan suaranya juga naik satu oktaf. Dia memejamkan mata, menengadah dan mengeluarkan suara serak yang tinggi dan panjang.

“....and I need You, forever....!!”

Gw terperangah. Jantung gw berdegup lebih kencang.

Kemudian Ardo meneriakkan bagian akhir Reff dari lagu itu. Lebih tinggi suaranya, lebih bertenaga, dan sambil berdiri, tangan kanannya terangkat ke atas. Matanya masih terpejam rapat.

Nafas gw tertahan. Lebih tepatnya, gw sampai lupa bernafas.

Ekspresinya yang serius membuatnya beratus-ratus kali lebih keren. Suara seraknya bergetar.

Gw masih menatapnya dengan tatapan terkagum.

Kemudian Ardo mendesah. Desahannya begitu berat.... dan sexy...
Mendengar desahannya, gw jadi teringat untuk kembali bernafas.

Kemudian dia menyanyikan pelan kalimat terakhir lagu tersebut. Suaranya serak dan lirih bergetar.

“....and I wish, I could lost in Your never ending Love.”

Air mata gw menetes.

Sempat hening sesaat, namun detik berikutnya, kontan tepuk tangan membahana.
Di sekeliling gw semua orang sampai standing applause.

Gw sendiri yang masih terduduk. Napas gw sedikit ngos-ngosan. Wajah gw panas banget. Mata gw masih tertuju kepada Ardo, menatapnya dari sela-sela orang yang berdiri di depan-depan gw.

Ardo menunduk dan mengucapkan terima kasih kepada penonton.

“Bagus yah..” Didi berkata kepada gw sambil tersenyum lebar dan masih bertepuk tangan. Dia tetap duduk di sebelah gw.

Gw menoleh ke arahnya. Kebingungan melihatnya. Gw lupa ada Didi yang duduk di sebelah gw.

“Lho, kenapa kak? Kok nangis?” tanya Didi ketika melihat pipi gw basah oleh air mata, sambil masih tersenyum.

“Eh?” gw cepet-cepet mengusap air mata dari pipi dan dari ujung-ujung mata gw.

“Terharu yah kak? Yang nyanyi tadi itu nama Ardo, kak.” Didi melanjutkan.

“Oh. Wow.” gw cuma bergumam. Wajah gw masih merah. Jantung gw masih deg-degan.


Selesai ibadah gw berjalan menuju toilet. Gw langsung membasuh muka gw yang panas dengan air dingin.
Koc gw bisa cengeng gituh sih? Pikir gw.
Masa cuma melihat orang nyanyi ajah gw jadi nangis gituh. Payah!
Gw melihat pantulan dari cermin, kemeja gw yang di area dada lecek banget.
Bekas tangan gw yang tadi merenggut.
Kebayang lagi ketika Ardo meneriakkan lirik dari lagu tadi.

“....and I need You, forever....!!”

Muka gw langsung merah padam lagi. Wew!
Gw basuh lagi muka gw dengan air dingin.

Sekeluarnya dari toilet, gw langsung nyamperin bonyok gw. Suasana lobby gereja ramai sekali, karena ibadah sudah selesai. Dan para jemaat masih mengobrol dan saling memberikan salam.

“Mau makan siang di mana? Di kantin gereja saja ya?” tanya nyokap kepada gw.

“Terserah aja, mam.” jawab gw sambil menaikkan bahu.

Ketika gw negok, gw melihat Ardo sedang bersandar di pojok lobby, dekat pintu masuk aula utama.
Gw mau menyapanya tapi gw malu.
Duuhh... Enggak biasanya deh begini. Gw yang dulu selalu ceria dan berani menyapa orang lain, tanpa malu-malu. Sejak kapan sih gw jadi sok mellow najong gini!!

Gw melihat ke arah Ardo lagi, wajahnya tertunduk menatap lantai. Pandangannya terkesan bengong. Dia seperti sedang bosan menunggu dan menjauh dari keramaian.

Akhirnya gw beranikan diri mendekatinya.

“Do...” panggil gw, dengan suara yang serak.

“Eh, Os. “ Ardo menoleh ke gw dan tersenyum.

“Tadi.. bagus.. nyanyinya..” gw berusaha memuji. Sebisa mungkin gw bertingkah biasa. Tapi muka gw udah memanas lagi.

“Oh, thank you. Biasa ajahlah.” Ardo tersenyum sambil menyipitkan matanya. Berusaha serendah hati mungkin. “Semuanya buat Tuhan.” sambil mengedikkan kepalanya ke atas. “Kamu sama siapa Os?”

“Eh, aku sama bonyok. Tuh, di sana.” gw menunjukan jempol gw ke arah bonyok yang sedang asik mengobrol sama orang lain.

“Oh, ok. Kamu baru pertama datang ke sini ya? Aku belum pernah liat kamu di sini sebelumnya” tanya Ardo.

“Iyah, aku baru pertama kali ke sini.” jawabku sambil memasukkan kedua tanganku ke kantong celana.

“Welcome yah.” Ardo tersenyum lebar. Lesung pipitnya seolah ikut tersenyum ke gw.

“Thank you. Err.. aku baru pertama kali liat kamu main gitar. Bagus banget.” puji gw.
Nih congor bisa ajah kalo muji-muji gebetan.

“Ah, enggak Os. Tadi banyak salah-salahnya.” katanya merendah.

“Bagus koc. Beneran. Enggak kentara sama sekali koc salahnya. Malahan aku enggak sadar kalau ternyata ada kesalahan.” gw terus memuji Ardo.

“Hehe.. thank you.” Ardo terlihat mulai salting.

“Dan.. aku enggak tau, ternyata kamu pintar nyanyi. Suara kamu bagus banget.” lanjut gw.
Congor oh congooorr...

“Ah, enggak koc. Beneran. Aku baru belajar nyanyi. Itu ajah aku enggak pede sebenernya. Aku nyanyi di acara tadi karena dipaksa sama teman-temanku.” Pipi Ardo mulai memerah.

“Bagus banget, Do. Yah temen-temen mu pasti udah tau suara mu bagus, makanya mereka maksa kamu untuk nyanyi.” Gw kesenengan Ardo mukanya merah gitu.

“Ah, enggak koc, Os.” Ardo tersenyum ke gw, menunduk menatap lantai, kemudian tersenyum lagi ke gw.
Iiihh lucu banget sih nih orang kalau lagi salting... Cute bangettt!! Pikir gw.

“Dan lagu ciptaan kamu itu, asli bagus banget.” gw membombardir Ardo dengan pujian terus.
Nih congor bener-bener deh, bisa-aaann ajah!

“Lha, koc kamu tau itu lagu ciptaanku?” tanya Ardo sambil mengangkat alisnya.

“Lha, kan tadi MC nya yang bilang, itu lagu ciptaan kamu.” jawab gw, ikutan mengangkat alis.

“Ooh.. Masa?” Ardo cengengesan, malu-malu.

“Hehe.. iya, Dooo... Asli, bagus!” gw menepuk pundaknya.

“Ah, Os. Itu aku juga enggak sengaja nulis lagu itu. Tiba-tiba dapat inspirasi ajah buat nulis lagu.”
Ardo mulai megusap-ngusap telinganya yang merah.

“Asli, bagus banget.” ulang gw, menatap Ardo sambil menyipitkan mata dan mengangguk-angguk.

“Masa sih? Bener bagus, Os?” tanyanya sambil tersipu. Ia menatap mata gw sambil tersenyum malu.

“Bener, Do.” Gw meyakinkannya, dengan senyum serius, tulus, setulus-tulusnya.

Entah karena saltingnya Ardo memuncak atau entah karena apa, dia mengusap kepala gw dan iseng megacak-ngacak rambut gw.
Cute banget nih orang kalau lagi salting. Pikir gw.

Bonyok gw memanggil gw, mengajak gw untuk makan siang di kantin gereja yang letaknya di lantai bawah. Gw mengajak Ardo, dia pun ikut serta.
Ardo menyapa bonyok gw.
Bonyok gw dengan cerianya balas menyapa Ardo. Terutama nyokap gw yang kesenengan melihat Ardo.

“Eh, Ardo, si ganteng!” seru nyokap gw ceria, sambil merangkul bahu Ardo. Ardo cuma senyam senyum manis ajah.

Plis deh, mam. Pikir gw.

“Ini dia anak tante yang paling ganteng. Duuhh... makin ganteng ajah kamu, Do. Makin tinggi juga yah?” nyokap gw berceloteh, khasnya emak-emak deh.

“Eh, iya, tante.” Ardo manggut-manggut sungkan dan senyam senyum manis. Pipinya bersemburat merah.

“Mulai sekarang kamu manggil tante mami ajah yah...” nyokap gw melanjutkan.

Duh maaaammmm!!! Gw jadi enggak enak sama si Ardo. SKSD banget sih nyokap guueeeee!!!

Tapi yah mau gimana lagi, Ardo cuma menjawab, “ Iya, Mam...” Sambil senyam senyum manis, dan melirik gw.
Lirikannya seperti berbicara: Nyokap lo enggak ada matinyeee!!!

“Mana mama?” tanya nyokap gw lagi ke Ardo.

“Mama udah ke bawah duluan tadi sama papa, tante.” jawab Ardo.

“Eit! Inget, ini mami yaahhh...” nyokap gw menepuk-nepuk dadanya sendiri.

“Eh, iya, mami.” Ardo tersenyum melihat nyokap gw. Pipinya tambah merah.

Well, welcome to our family, browthur... *Sigh

Setelah bertemu dengan bonyoknya Ardo, kami pun makan siang bersama.

Para bonyok asik mengobrol, gw dan Ardo pun juga ngobrol tentang banyak hal.
Ardo menceritakan hobi musiknya. Dia belajar gitar dan piano dari kecil. Kemudian dia belajar bass dan organ setelah menginjak masa remaja. Dan dia sedang menekuni drum dan saxophone.

Wooowww... berat banget nih orang.

Dia juga bercerita tentang hobi fotografinya. Dia selalu membawa-bawa digicam ke mana-mana.

“Suatu hari nanti, aku mau beli kamera SLR besar. Dengan kombinasi lensa yang bisa diganti-ganti. Tapi nanti kalau uangku udah terkumpul semua.” katanya menggebu-gebu.

Wah! Ardo ternyata orangnya kalau sudah mau pasti bertekad untuk mewujudkan kemauannya itu. Orangnya cukup keras setelah diperhatikan. Dan dia menabung dari uangnya sendiri untuk membeli kamera idamannya itu. Benar-benar berusaha mandiri dia.
Heran banget gw, padahal bonyoknya itu orang kaya.
Makin kagum gw sama Ardo.

“Nanti kalau aku udah beli kameranya, aku ajak kamu foto-foto yah, Os.” ajaknya sambil menepuk pundak gw.

“Iyah! Pasti seru!” gw bersemangat.


Saat itu gw enggak tau, bahwa setelah Ardo bisa membeli kamera idamannya, saat itu gw udah enggak ada di sisinya lagi.

* Sigh!



Di hari lain, hari di mana perebutan Sanjose Cup. Masa-masa pertandingan olahraga pun telah berlangsung.
Sekolah gw menjadi tuan rumah musim pertandingan kali ini dan mengundang sekolah-sekolah lain untuk mengikuti Sanjose Cup.
Beberapa hari lalu, tim Sanjose (tim sekolah kami) telah memenangkan beberapa pertandingan, baik itu pertandingan Futsal, Basket, Badminton, Volley, hingga Modern Dance.

Gw tergabung dalam tim Basket. Nama tim basket kita adalah Bernacles.
Sejak pindah ke Bali, gw jadi rajin latihan basket. Ini berkat Donny, temen baik gw di sekolah. Dia yang selalu ngepush gw untuk latihan basket.
Tadinya gw enggak gitu tertarik main basket, maksudnya biasa ajah, secara gw di Jakarta biasanya main Soccer.
Tapi lama kelamaan basket seru juga. Jadinya setiap pulang sekolah, gw selalu main basket bareng si Donny dkk. Hingga tengah malam pun, gw suka main basket sendiri di lapangan dekat rumah.
Basket jadi salah satu hobi gw yang baru setelah snorkling.

Break Time Sanjose Cup hampir usai. Sebentar lagi tim basket kami akan bertanding melawan tim dari sekolah SMA Sanur Beach.
Gw lagi konsentrasi memakai sepatu ketika Donny datang dan menepuk pundak gw.

“Os, ada berita baik.” katanya dengan ekspresi datar seperti biasa.
Donny adalah salah satu teman baik gw yang unik. Ekspresinya selalu datar. Mau sedih, seneng, kaget, marah, boker, orgasme, semua ekspresinya sama, datar.

“Oh, kabar baik apa, Don?” tanya gw, sambil masih mengikat tali sepatu gw.

“Coach bilang, untuk pertandingan yang sekarang ini, tim kita digabungin sama tim kakak kelas.” Donny menjawab. Masih dengan ekspresi yang sama.

“He? Digabung sama timnya siapa? Males gw kalo digabungin sama timnya si Otong.” keluh gw.
Btw gw kalau ngomong sama si Donny menggunakan Gw-Elo, soalnya Donny pernah tinggal di Jakarta, jadinya dia udah terbiasa dengan bahasa Jakarta.
Dan Otong adalah kakak kelas yang namanya Ida Bagus Warsarya. Gw bete banget sama tuh kakak kelas. Udah mainnya buodooohhh di lapangan, tapi lagaknya tengil kayak upil. Beneran kayak upil, soalnya orangnya item, bau, idup lagi. Hehehehe...
Sebenernya gw enggak masalahin fisiknya yang memang menyerupai iblis di panggang, tapi karena sifatnya yang sumpah, selalu bikin gw naik darah. Egois dan sombong banget. Tukang teler dan pemabok. Asli sifatnya jahat banget. Gw rasa kalau udah gede dia jadi preman pasar. Namanya ajah Ida Bagus, gak cocok banget. Ada juga harusnya Ida Monyong!
Hoahahaha!! Jahat yah gw...
Tapi enggak mungkin kan gw panggil dia Ida Monyong, nah, makanya gw kasih nama dia si Otong.
Biar kalau gw lagi ngegosipin tentang dia sama teman-teman gw, orang lain enggak tau.

“Enggak, Os. Kita gabung sama tim yang lain” Donny baru akan melanjutkan pembicaraannya, ketika serombongan kakak kelas berjalan mendekati kami.

Dan gw melihat DIA...

“Oy!” sapa Ardo. Dia membawa botol minum warna hitam dan handuk kecil. Ia memakai seragam basket timnya, Victrous, yang berwarna hitam, atasan lengan buntung dan celana basket sedengkul.
Oh mai gad.... Otot lengannyaaa....

“Halo, Do.” sapa gw sambil senyum kesenengan.

“Hai, Do.” sapa Donny.

“Kita gabung nih ya?” Rando, temannya Ardo bertanya.

“Iya, tadi coach bilangnya sih gituh.” jawab Donny polos. Dengan eskpresi yang sama.

“Siapa ajah?” tanya Ardo, melirik ke gw.

“Belum tau. Tadi baru dapat kabar dari Hadi.” jawab Donny.
Hadi salah satu tim Bernacles, teman sekelasnya Donny.

“Mendadak banget sih ngomongnya. Hampir aku mau cabut.” gerutu Agung, teman satu tim Ardo.

“Iya, aku juga baru tahu, Gung.” Donny angkat bahu. Dengan ekspresi yang sama.

Teman-teman tim Bernacles yang duduk-duduk di dekat gw juga jadi ikutan mendekat.

Tidak lama kemudian, coach datang dan menjelaskan tentang penggabungan pemain antara tim Bernacles dan tim Victrous.

“Nama-nama yang saya sebutkan berarti ikut bertanding sebentar lagi.” Kemudian coach menyebutkan beberapa nama dari kami.
Ardo, Agung dan Rando sengaja di panggil oleh coach untuk bergabung dengan tim Bernacles.
Nama gw dan Donny dipanggil, dan menjadi tim inti bersama kakak kelas. Sedangkan nama teman-teman Bernacles lainnya di panggil untuk menjadi cadangan.
Coach membawakan seragam resmi tim basket Sanjose. Kami dimanta berganti seragam basket.
Kemudian coach menjelaskan taktik pertandingan yang dia rencanakan. Kami mendengarkan dengan seksama.

Dalam hati gw agak grogi. Gw bakal main satu tim sama Ardo. Damn!
Gw sih pernah main-main basket bareng Ardo dan Donny setelah pulang sekolah di lapangan sekolah. Tapi belum pernah berada dalam satu tim denganya seperti sekarang ini.

Gw inget banget pertama kali gw melihat permainan basket Ardo.
Suatu hari gw pulang dari sekolah, dan ketika sedang melintasi pinggir lapangan basket, Donny memanggil gw.

“Os!” Donny berteriak dari tengah lapangan basket.

“Oy?” gw balas berteriak.

“Sini ikut main!” serunya lagi.
“Gw mau pulang!” jawab gw, berseru juga.

“Ayolah, main basket, 'bentar ajah!” Donny mengayuh tangannya, mengajak gw ke tengah lapangan.

Gw jadi penasaran juga. Akhirnya gw menghampiri Donny ketengah lapangan.

“Gw enggak jago main basket.” kata gw setelah berada di sebelah Donny.

“Ah, udah, cuek ajah. Main-main doank.” Donny berkata santai.

Gw melirik dan ternyata, tim yang bermain dengan Donny adalah teman-teman kakak kelas. Dan di antara mereka ada DIA...
JENG! JENG! JENG!

Ardo sedang mengobrol sambil mendribble-dribble bola dengan teman-temannya.


“Eh, Don, gw enggak dulu deh.” kata gw dengan nada depresi ke Donny.

“Lho?” Donny kebingungan.

Ya, iyalaahhh!!! Gak mungkin gw main basket di depan Ardo. Bisa guobolk banget gw mainnya. Secara gw emang enggak bisa main basket banget-banget. Yah, bisa sedikit tapi enggak jago lah.
Apalagi ada Ardo di sini, bisa-bisa, bukannya gw shooting bola ke ring basket tapi malah nelen tuh bola basket, sangking groginya.

Tapi kemudian... “Oy, Os!” sapa Ardo dari tempatnya berdiri. Bola basket di jepit di antara tangan dan pinggulnya. Ardo tersenyum manis. Maniiisss sekali. Dia pakai baju basket tim Victrous yang berwarna abu-sylver, atasan tanpa lengan, dan celana sedengkul warna senada. Pipinya bersemburat kemerahan karena seharian terkena terik matahari. Rambutnya di wet look gaya mohawk. Bibirnya merah alami.
“Mau ikut main enggak?” tanyanya dengan senyum super duper mega power manisnya itu. Lesung pipitnya berkata “Hallo!” ke gw.

“Err..” gw ragu.

“Come on.” Ardo mengedikkan kepalanya ke samping, tanda mengajak gw bermain basket bersama.

Gw enggak bisa menolaknya. Gw terbius sama lesung pipitnya. Dan dengan langkah gontai, gw menaruh tas ransel gw di pinggir lapangan. Kemudian gw kembali berjalan dengan lemas ke tengah lapangan.

“Yuk.” kata gw sambil menaikan bahu.

“Yess!” Donny berseru.

Kami memulai bermain basket. Kami hanya menggunakan setengah lapangan. Gw satu tim dengan Donny dan, waktu itu gw baru berkenalan, cowok bernama Rando.
Sedangkan Ardo satu tim dengan Agung dan Dirga.
Kami bermain 3 on 3, mengincar satu ring basket yang sama, hanya bermain skor pendek.

Baru pertengahan permainan gw udah ngos-ngosan. Paru-paru gw seakan mau meledak. Padahal kami hanya menggunakan setengah lapangan. Tapi gw kayak udah mau mati gini. Payah deh!
Dan, Ardo main basketnya suppperrr jaaagggooo!!!
Gila tuh anak! Ternyata atlit sekolah juga nih... Asli! Jago banget main basketnya.
Tangannya kokoh mendribble bola. Kakinya cepat sekali. Lompatannya tinggi. Tubuhnya lentur. Dan gerak koordinasi antara tangan, kaki dan tubuhnya sempurna banget. Koc bisa yah ada orang muter-muter, dan berzig-zag menggocek lawan sambil mendribble bola.
Dan sekalinya shooting, masuk terus lagi.
Woooww!! Parah!

Gw mah mainnya enggak ada seujung kelingkingnya. Gw di buli terus. Dikerjain dan di gocek-gocek terus sama dribblenya. Terus pas gw dapat giliran shooting, gw melompat. Ceritanya mau jump shoot gituh. Eh malah sepatu gw copot dan mental entah ke mana. Ditambah hasil shoot gw melenceng jauh banget dari ring basket. Sontak gw diketawain sama yang lainnya. Tawanya mereka jahat banget lagih, kenceng banget, sampai terbungkuk-bungkuk segala.
Biasa ajah donk! Pikir gw.
Ardo malah ketawa sambil megangin pinggangnya.
Donny lagih, lebay banget, sampe berlutut ke lantai lapangan basket, dengan kedua sikunya bertumpu di lantai.
Gw yah cuma bisa cengar cengir dengan muka merah banget yang super duper mega power bodoh enggak ketolongan.

Sejak itu, gw enggak mau kalah. Tiap hari gw malah ngajakin Donny untuk latihan basket. Donny yang melatih gw. Dia jadi pelatih enggak resminya gw. Dia mengajarkan gw bermacam-macam teknik basket yang keren. Di Jakarta, gw juga suka bermain basket bersama teman-teman sekolah. Tapi enggak sesering bermain soccer. Jadi yah kemampuan basket gw enggak bertambah jago. Biasa-biasa ajah.
Sejak sore itu, di mana gw bermain basket dengan penampilan bagai topeng monyet di depan Ardo, gw jadi keranjingan main basket. Gw sampai beli bola basket baru dari uang jajan sendiri, setelah bola basket Spalding yang dihadiahkan teman-teman sekolah di Jakarta sewaktu perpisahan dulu telah rusak, karena setiap hari dipakai untuk berlatih.
Kalau kata Donny, “ Wah, ketagihan nih anak.”
Kalau kata Ricky, “Wah, kesurupan nih anak.”
Kalau kata Warteg Boyz, " Okelah kalo begitu."

Kembali ke raga gw yang sedang akan menghadapi pertandingan memperebutkan Sanjose Cup, berbulan-bulan setelah insiden topeng monyet di lapangan basket sore itu, gw sekarang yang udah lebih bisa bermain basket, enggak terlalu pede juga setelah mengetahui Ardo akan bergabung di pertandingan yang sebentar lagi akan dimulai.
Gw takut permainan gw ternyata jelek, dan jadinya ngeblock performance Ardo dkk.
Takut deh kalau gw ternyata tetep gembel mainnya.
Tapi sekarang yah mau enggak mau, pertandingan akan di mulai satu menit lagi.
There is no way to go back.
The game must go on, right?

Dan akhirnya pertandingan pun di mulai.

Ardo menjadi forward di tengah depan, sedangkan gw menjadi defender di belakang. Donny berjaga di sayap kanan, di depan gw.

Ardo memulai pertandingan dengan bermain cepat, dia mendribble bola ke area lawan dan mengopernya ke Agung yang telah mengambil posisi. Agung menangkap operan Ardo dengan cekatan kemudian dia memainkan bolanya di antara kaki nya untuk mengelabui musuhnya, dan dengan kecepatan penuh di berbalik dan mengoper bola ke Rando. Dengan cepat Rando menangkap bola tersebut, dan dia melompat ke depan ring basket, tangannya terulur seolah akan memasukkan bola ke dalam keranjang lawan, tapi ternyata gerakan itu hanya untuk mengelabui lawan saja. Ketika tim lawan ikut melompat dan berusaha menghadang bola agar tidak masuk ke keranjang mereka, tangan Rando yang sebelah mengulurkan bola basket dengan lembut kepada Ardo. Dan dengan lincah pun Ardo memasukkan bola itu ke keranjang lawan. Satu angka tercetak untuk tim Sanjose.
Penonton bersorak riuh rendah.

Tim supporter Sanjose meneriakkan nama sekolah kami dan memukul-mukulkan botol air mineral.
Teman-teman VIP berteriak paling kencang dan paling rusuh.

Kami terus berjuang menjebol keranjang lawan.

Ada satu waktu di mana lawan sedang menggiring bola, gw gemes ngeliatnya, langsung gw maju dan merebut bola basket yang sedang didribblenya. Kemudian gw lari ke area lawan, yang kebetulan masih kosong, langsung ajah gw airwalk, dan satu poin lagi tercetak untuk Sanjose.

Sorak supporter Sanjose membahana.

“Nice!” seru Ardo, selagi berlari, sambil mengacungkan jempolnya ke gw, dan mengedipkan mata kanannya.

Gw yang melihat itu, langsung TEEEENNNNGGG...... Ge-er abbiiissss...!!!
Muka gw merah dan memanas.

Mood main gw lagi bagus nih. Belakangan ini lagi semangat-semangatnya main basket. Sangking semangatnya, kemarin gw beli sepatu Reebok baru, pakai uang jajan sendiri yang gw tabung, ngikutin kebiasaan Ardo.
Stamina gw juga lagi wokeh banget neiy... dan sekarang ada Ardo di dalam tim gw.
Tambah semangaattt!!! Wuuuyyeeaaahh!!!

Pertandingan berlangsung dengan cepat. Sebentar-sebentar pihak tim gw atau pihak lawan saling membalas memasukkan bola ke keranjang masing-masing lawan.

Gw sempet kesel banget tuh disikut sama pemain lawan yang badannya buset, gede pisan euy!
Dada gw sampe nyesek kena sikut die.
Hampir gw gebok tuh! Tapi si Donny menarik gw, memaksa gw untuk sabar.

Di satu moment, gw kesempatan mendapatkan bola. Langsung ajah gw tangkap dan karena di depan gw ada si babon berbadan gede yang tadi menyikut gw (mulai sekarang kita panggil dia si babon yah), langsung bolanya gw oper lewat kolong selangkangannya ke arah Ardo. Si babon gede itu sempat terperangah bengong.
Gw langsung ajah lari ke belakang dia, menuju area lawan.
Ardo kemudian mengoper bola ke Rando, tapi ditepis oleh pemain lawan, alhasil bolanya jatuh ke pemain lawan yang lain.
Dengan gagahnya Agung merebut bola tersebut dari belakang lawan, langsung di dribblenya dan Agung berusaha memasukkan bola ke keranjang lawan.
Namun bola itu tidak masuk ke dalam keranjang lawan, tapi malah memantul dan mental ke sembarang arah.
Si babon kembali melompat dan berusaha menangkap bola.
Sumpah gw enggak terima. Refleks gw tonjok tuh bola dari bawah, sebelum si babon menangkapnya dan sebelum kaki si babon menginjak ke tanah kembali. Bola mental dan langsung gw tangkap lagi. Segera gw mendribble bola ke tengah, ke depan ring basket lawan. Kemudian gw berlagak airwalk seolah hendak memasukkan bola ke keranjang lawan. Kontan semua lawan gw pada ikut melompat, serusaha menangkis shoot gw. Tapi tiba-tiba gw dengan secepat kilat, gw mengoper bola tersebut dari arah samping bawah ke arah Donny.
Donny pun dengan sigap menangkap bola operan gw, dan BLOSH!
Bola masuk ke keranjang lawan.

Supporter Sanjose menggila!! Berteriak-teriak menyemangati kami.

Gw dan Donny berhigh five.
Sumpeh deh... berasa atlit keren banget gw...
Para pemain lawan kami cuma bisa bengong.
Haha! Muka si babon jelek bangeettt.... Kesel sekaligus mupeng gituh.

Berikutnya Rando yang sedang mendribble bola, dan mengoper ke Ardo.
Ardo dengan gesit dan lincah menggecok lawan, mendribble bola dengan pola zig-zag. Kemudian dia melempar bola ke belakang pemain lawan yang sedang menjaganya, tubuhnya berputar ke belakang lawan dan dengan cepat menangkap bola yang tadi dilemparnya.
Asli keren banget!!

Lalu gw dengan mupengnya berlari mensejajari Ardo dari seberang lapangan. Ardo melihat usaha gw yang mupeng untuk mendapatkan operan dari dia.
“Not save!” serunya ke gw. Bener saja. Gw kira gw kosong, ternyata si babon dari neraka sedang menghadang di belakang gw. Sialan tuh orang! Demen amat ngintilin gw. Masih dendam tuh kayaknya sama gw.

Lalu Ardo menahan bolanya, dia terus mendribble dan menggocek lawan di depannya. Gw berusaha keluar dari jerat hadangan si babon. Ardo tidak dapat menahan lebih lama, dia langsung mengoper ke Agung.

“Os! Back! Back!” Donny teriak-teriak di belakang, mengingatkan gw untuk kembali ke belakang. Karena memang harusnya gw menjaga di area tim gw, harusnya gw menjadi defender. Tapi gw malah maju-maju melulu. Abis gimana, jiwa gw center sih...

Gw mengacuhkan Donny, karena gw lihat Donny masih di back up oleh Rando di belakang. Yah jadinya gw, Ardo dan Agung yang maju. Hehehe... Emang nih, kalau lagi tanding gini gw suka keras kepala.

Agung mengoper kembali ke Ardo, dan Ardo langsung melompati lawan yang sedang menunduk, yang sedang berusaha merebut bolanya. Damn! Melompati pemain lawan! Buset tuh orang! Koc bisa sih? Emang boleh yah? Gw baru liat tuh ada permainan basket kayak gitu. Tapi wasit tidak membunyikan peluit. Mungkin itu tidak ada dalam aturan basket, tapi juga tidak melanggar peraturan.
Mungkin kalau bisa disamakan, melompati pemain lawan sama seperti membunyikan klakson mobil dengan panjang, atau menyalakan lampu jarak jauh mobil sampai lama sekali. Sesuatu yang tidak wajar, tapi juga tidak melanggar peraturan.

Kemudian Rando mendekati gw. Gw tahu maksud Rando, gw langsung lari ke dekat Ardo dengan cepat. Babon yang melihat gw kabur dari pengawasannya sontak langsung berusaha mengejar gw. Tapi Rando sudah menjaga si babon. Rando membebaskan gw dari si babon, dan menggantikan gw menjadi tawanan si babon. Baik banget dia.

Ardo segera mengoper bola ke gw, setelah melihat gw bebas dan kosong. Gw langsung berlari, berusaha menangkap bola operan dari Ardo. Setelah jemari gw menyentuh tuh bola, tiba-tiba seorang pemain lawan meneplak bola itu, dan akhirnya bola itu terpental kembali ke Ardo.
Melihat penjagaan yang ketat, Ardo segera mendribble bola dan melakukan jump shoot. Tapi kembali digagalkan oleh pemain lawan. Bola itu sekarang berada di tangan lawan, yang segera berlari ke arah ring basket tim kami. Agung langsung menahannya. Pemain lawan itu sempat terhenti dan mendribble bola di tempat. Pemain lawan itu mendrible bola dari antara selangkangannya.

Gw enggak menyia-nyiakan kesempatan itu. Langsung gw rebut bola itu dari bawah selangkangannya. Berhasil! Bola berhasil gw rebut. Untungnya enggak kena tangan dia.
Kenapa yah koc dari tadi gw mainnya di area-area selangkangan melulu. Sumpah deh! Enggak maksud loh! Mungkin karena badan gw enggak setinggi pemain-pemain lawan, jadinya gw mengincar area bawah terus.

Setelah bola gw rebut, gw langsung mendribble bola menuju ring basket lawan.

Supporter Sanjose kembali berteriak menyemangati kami. Suasana ramai mengiringi gw yang sedang berlari mendribble bola.

Gw langsung berlagak airwalk, seolah mencoba memasukkan bola ke keranjang lawan. Pemain lawan melompat, berusaha menggagalkan usaha gw. Tapi lagi-lagi gw menipu mereka. Ardo sudah mengira maksud hati gw. Dia sudah berlari di dekat gw dan melompat dekat sekali dengan gw. Dengan ringannya, bola langsung gw oper ke Ardo, sebelum kaki gw sendiri menapak kembali ke tanah. Kejadian itu hanya dalam hitungan detik saja. Dan BLOSH! Bola masuk ke keranjang lawan dengan Ardo bergaya nombok!
Ardo dan gw sama-sama kehilangan keseimbangan, dan kami pun terjatuh bersama. Gw menapak tanah lebih dulu, tapi gw langsung terjatuh terlentang ke tanah, dengan punggung menyentuh lantai lapangan basket. Ardo yang tadi sempat bertumpu ke gw juga ikutan jatuh, dan dia jatuh menimpa gw, secara tengkurap.
Tubuh Ardo yang tengkurap menimpa badan gw yang terlentang. Wajah kami berdekatan sekali.

“Agh!” desahnya.
Gw dapat merasakan nafas Ardo yang hangat.

Selama beberapa detik itu, gw terkaget, dan waktu seolah berhenti.
Dada Ardo menyentuh erat pada dada gw. Perut Ardo menyentuh erat pada perut gw. Pinggang Ardo, menyentuh erat pada pinggang gw. Paha dan lutut kami saling berpaut. Paha kanan gw menekuk, dan berada di tengah selangkangannya.
Gw merasakan basah keringat dari baju dan celananya, basah keringat dari otot lengannya.
Harum parfumnya tercium, bercampur wangi khas tubuh pria dan wangi vanilla, manis dan sexy sekali.

Bel akhir pertandingan pas sekali berbunyi. Pertandingan telah usai. Penonton bersorak riuh rendah.
Kemudian Ardo menahan sikunya di lantai, menciptakan jarak antara dada gw dan dadanya.
Dan Ardo pun tersenyum.

“Kita menang.” katanya sambil masih terengah-engah dan tersenyum kesenangan. Senyumnya manis banget. Bahagia banget. Dan lesung pipitnya, si teman baik gw beberapa bulan belakangan ini, kembali menyapa gw.

Gw lalu spontan memeluk Ardo, merangkul lehernya dengan kedua tangan gw. Ardo pun kembali mendekatkan seluruh badannya ke badan gw.
Gw tertawa kencang banget! Gw bahagia banget. Ardo juga tertawa puas, di telinga gw.

Kemudian coach mendekati kami yang masih dalam posisi yang sama, dan berteriak kesenangan. Gw masih belum melepas rangkulan gw pada leher Ardo. Juru foto sekolah langsung menghampiri kami. Dan mengambil foto kami yang masih berpelukan di lantai lapangan sekolah. Wajah kami berdua berseri, senyum lebar kami menghiasi moment itu. Kemudian Donny, Agung, dan Rando segera menghampiri kami. Agung ikutan menimpa Ardo dan gw. Disusul Rando ikutan menimpa di atas kami bertiga, dan terakhir Donny menimpa dengan semena-mena.
Gw yang berada di paling bawah sampai mau mejret!. Tapi tawa gw beneran enggak bisa berhenti.
Teman-teman satu tim kami yang lain, dan beberapa supporter terdekat, seperti teman-teman VIP ikutan menghampiri kami. Beberapa ikut menimpa-nimpa kami. Susana rusuh sekali, rusuh dan membahagiakan.
Juru foto sekolah mengabadikan moment bahagia itu.
Sampai sekarang, gw masih ingat rasanya kebahagian sore hari itu, di bawah timpaan berat badan teman-teman satu tim. Di bawah timpaan tubuh Ardo.


Setelah kerusuhan di lapangan basket yang membahagiakan, gw pun berpamitan pada teman-teman tim Victrous dan coach.
Gw dan teman-teman tim Bernacles berjalan pulang, menuju rumah Joe, bersama beberapa teman VIP.
Lagi asik-asiknya bercanda bareng teman-teman gw, tiba-tiba ada yang memanggil-manggil gw.
Pas gw nengok ke belakang, ternyata Ardo dan Agung sedang berlari menyusul gw.

“Oy! Os!” serunya. Ia berlari sambil dengan tas ransel di punggungnya, botol minum hitam dan handuk putih pendek di lengan kanannya. Otot lengannya berkilauan di bawah matahari sore.

“Oy, Do?” gw menghentikan langkah. Teman-teman yang lain tetap berjalan di depan.

Ardo akhirnya berhasil menyusul gw, berjalan di sebelah gw. Kita jadinya berjalan bertiga di belakang yang lain.
“Udah mau pulang?” tanyanya sambil tersenyum manis, seperti biasa.
Agung ikut berjalan di sebelahnya.

“Iya, Do. Kamu?” gw membalas senyumannya.

“Iya nih. Nyokap lagi nunggu di kantin Tengah.” jawabnya sambil menunjuk ke arah depan.
Kantin Tengah adalah kantin area makan seperti food court untuk umum yang berada di belakang sekolah kami.

“Oh, ok. Salam buat tante yah.” kata gw lagi.

“Iya. Umm.. Os..” kata Ardo menatap mata gw dengan lekat.

“Hm?” gw menolah, membalas tatapannya.

“Tadi kamu mainnya bagus banget. Keren.. keren..” Ardo menyenggol lengan gw dengan sikutnya.

“Eh? Enggak koc..” gw berusaha sebiasa mungkin, mengusap-usap belakang kepala gw, cengar-cengir enggak jelas. Kelihatan banget gw salting di puji Ardo.

“Beneran.. Keren, Os.” Ardo senyum lagih. Lesung pipitnya ikut tersenyum kepada gw.
“ Beda banget sama waktu dulu itu.” lanjut Ardo.

Gw langsung mengerti maksudnya. Permainan gw meningkat jauh dari waktu insiden topeng monyet di lapangan basket berbulan-bulan lalu itu.

“Ciee..” Agung menggoda gw dengan suara ngebas dalamnya.

Kontan muka gw langsung panas, sepanas-panasnya.

Kemudian Ardo merangkul pundak gw. “Bangga aku punya browthur hebat kayak kamu. Enggak mudah menyerah.” lanjut Ardo.

Gw cuma bisa mesem-mesem najong, wajah gw menunduk ke bawah menatap tanah. Sambil berjalan, Ardo merangkul gw, sampai kita bertiga, gw-Ardo-Agung, berhasil menyusul teman-teman yang berjalan di depan.
Beberapa teman VIP gw yang melihat gw dirangkul Ardo, berdeham-deham penuh makna.
Ardo enggak sadar. Tapi gw berasa pengen nimpukin teman-teman VIP gw dengan duren.
Asli gw salting bangeeettt...

Benar-benar sore yang membahagiakan.

Sesampainya diujung jalan, Ardo dan Agung berpisah dengan rombongan teman-teman gw. Mereka berpamitan, dan berbelok ke kiri mengarah ke kantin Tengah. Sedangkan gw dan teman-teman berbelok ke kanan.

Henny melirik ke arah gw, sambil senyum-senyum penuh arti.
Melihat reaksi Henny, gw cuma bisa tersenyum kecil. Menghela nafas bahagia.

Gw nengok ke belakang, Ardo sedang tetap berjalan ke arah sebalik gw, sedang mengobrol dengan Agung. Yang gw lihat hanya punggungnya. Gw berbalik badan lagi, menatap jalan di depan gw.
Tanpa gw sadari, saat itu Ardo membalikkan badannya, menatap punggung gw...

-----------------------------------------------------------------------------

Chapter 1 - It's Hard to Say GOODBYE

0 comments:

Post a Comment