Lelaki Hangat Di Bawah Hujan Deras
- doc 1 -
by MarioBastian
Apa kalian ingin membuat rahasia hari ini?
Kalau boleh, aku ingin.
Rahasiaku bukan super-mega-high-priority secret seperti
semua X-files di serial Amerika. Rahasiaku bukan kisah kelam pemerintahan
negara, yang bisa diretas mahasiswa jurusan teknika. Rahasiaku sepele.
Rahasiaku setara rahasia Ibu soal Pak Haji Nasir dari RW 007.
Iya, betul. Katanya, Ibu pernah naksir Pak Haji Nasir. Aku
sempat tahu, tapi sekarang Ibu membuatnya rahasia. Ibu tidak membandingkan lagi
Pak Haji Nasir dengan Ayah. Ibu juga tidak kelihatan lagi ikut pengajian Pak
Haji Nasir demi ngeceng ketampanannya.
Yang menurutku sih nggak tampan, ya.
Bapak-bapak berkumis, gitu lho. Bukan tipeku.
Dan, aku akhirnya belajar untuk membuat rahasia. Persis
seperti Ibu. Persis seperti Ayah yang membuat pertemuannya bersama Neng Surti
di BTC sebagai rahasia berdua. (Tapi aku tahu. Karena saat itu aku juga sedang
di BTC.)
Rahasiaku hari ini...
...
... tentang libidoku yang campur aduk. Lalu aku, berkhianat.
Aku memulai pagi dalam kegelisahan. Gelisah antara aku masih
bermimpi indah, atau aku memang seberuntung itu. Bayangkan saja ini: aku bangun
dalam pelukan lelaki berefek toko roti. Dalam Bahasa Sunda, dibaca: mustahil.
Dalam Bahasa Arab: muzz-takhiel. Mungkin kalian masih ingat siapa lelaki
berefek toko roti ini. Dia adalah ordo lelaki yang mampu membuat banyak orang
menoleh karena terpesona. Persis Breadtalk, jujur saja. Nama lelaki itu Cazzo.
Kuar wangi tubuhnya khas. Secara spesifik, wangi lelaki.
Secara spesifik lagi, wangi yang membuatku rela menghidunya seharian, mengisap
setiap jengkal kuar yang menyebar dari permukaan kulitnya. Yang—sebagai
informasi tambahan—berkulit mulus seperti bayi. Yang membuatku tak percaya ada
lelaki berkulit semulus itu.
Iya. Aku bangun dalam pelukannya.
Lengannya sudah ada di bawah tengkukku ketika aku membuka
mata. Lengan itu menjuntai di bahuku, jemari tangannya menggelitik tulang
rusukku. Lalu, aku menemukan tangan yang lain melintang di atas perutku. Seolah
menyatakan, “Jangan pergi. Aku ingin kamu ada di sini...”
Ketika otakku selesai loading-nya, aku menemukan hidungku
sudah tenggelam di ketiaknya. Dan rasanya... seperti surga. Bukan karena
ketiaknya. Bukan karena mataku tepat menatap putingnya yang merah. Bukan karena
tak sengaja tanganku ada di atas selangkangannya. Namun karena fakta bahwa aku
juga sedang memeluknya. Karena fakta bahwa kami terlihat seperti pasangan
romantis.
Jantungku memompa lebih kencang ketika fakta itu menghantam
otakku. Napasku memburu, mungkin menggelitiki ketiaknya. Namun Cazzo sedang
terlelap. Dia mendengkur. Pelaaan sekali dengkurannya. Sehingga dia tak
menyadari sama sekali, aku dalam fase setengah pingsan bisa dipeluk olehnya.
Semua itu kunikmati selama satu jam lamanya. Aku tak berani
melihat jam. Lebih tepatnya, aku tak mau merusak posisi itu. Namun,aku tahu
langit masih gelap. Kuperkirakan saja. Mungkin ini pukul empat atau lima dini
hari. Sehingga... satu jam kemudian, aku tertidur lagi... setelah menikmati
enam puluh menit penuh debaran bahagia. Setelah aku merekam setiap inchi
tubuhnya, demi bahan masturbasi di rumah nanti.
Lalu aku bermimpi indah.
Dan, terbangun tepat pukul tujuh pagi...
....
... tanpa Cazzo di sampingku.
Tak apalah. Cazzo pasti sudah bangun dari tadi.
Ketika aku membuka mata, aku sendirian di kamar itu. Ruangan
kamar terang karena sinar mentari, bukan lampu lagi. Posisiku nggak keruan.
Persis kalau aku tidur berantakan di kasurku sendiri. Bekas Cazzo tidur masih
terhampar di sana. Bahkan, masih hangat. Selimutnya pun tampak baru saja dikuak
lima atau sepuluh menit yang lalu.
Aku mendengar banyak bunyi denting di dapur, ditambah
Spongebob di TV ruang tengah. Ada suara kompor gas dinyalakan. Lalu bunyi
denting. Lalu Patrick tertawa. Dan Squidward marah-marah. Lalu denting lagi.
Suara membuka kulkas. Kemudian, Spongebob berteriak, “Patrick! Lihaaattt!” Aku
tidak tahu itu episode yang mana. Lalu, entah mengapa mendadak suara presenter
TvOne terdengar. “Selamat pagi. Anda masih di Apa Kabar In—“ Lalu suara Raffi
Ahmad muncul, sedang bersahut-sahutan. Mungkin Dahsyat. Mungkin Cazzo sedang
mengganti channel. Terakhir, suara kompor gas dimatikan. Dan, Cazzo memanggil.
“Adeeek?”
Tanpa pikir panjang aku melompat dari ranjang. Kukenakan
celana jins dan kausku yang bau ayam dijemur. Aku berusaha merapikan riasanku.
Yang tampaknya sia-sia. Karena rambutku sedang dalam mode chihuahua kesetrum.
Bagaimana kalau Cazzo sudah mandi di luar sana? Sudah berbusana rapi dan tampak
seperti anak orang kaya? Sementara aku? Anak kampungan dari desa. Jins-nya
murahan dan baunya nggak keruan. Apa aku perlu mandi dulu?
“Adeeek?”
“Oooiii!” balasku.
Mungkin, biar saja aku tampak seperti ini. Toh aku baru
bangun tidur. Bukan salahku gaya rambut seberantakan ini. Dan, Cazzo pasti
sudah melihatku bersama celana dalam kuning murahanku tadi. Ya ampun... aku
nggak berani membayangkan itu.
Membayangkan Cazzo terbangun, menemukanku tidur telanjang
berhelai celana dalam semata. Mungkin dia geleng-geleng kepala. Mungkin dia
bergidik jijik, makanya dia pergi tanpa membangunkanku. Atau mungkin dia
menertawakanku.
Ya Tuhan. Aku jadi malu.
Tahu begitu aku pakai celana jins-ku saja.
...
Tahu begitu aku tak perlu menginap saja. Mungkin memang aku
bukan jodohnya Cazzo sampai kapan pun. Ayysell-lah yang cocok. Mungkin celana
dalam Ayysell mereknya Victoria Secret, jadi dia tak pernah tampak memalukan
sepertiku barusan.
Aku akhirnya memutuskan untuk melempar diriku apa adanya.
Kalau tampak kampungan, ya sudahlah. Terima saja bahwa Cazzo memang tak pernah
tercipta untukku. Terima saja bahwa aku harus mencari yang lebih masuk akal.
Derry misalnya.
Oh, Tuhan. Aku lagi nggak mau lihat hape.
Ketika aku berjalan ke dapur...
...
... aku justru menemukan Cazzo masih telanjang.
Maksudku, dia hanya mengenakan celana dalam segiempat
hitamnya. Aku ingat, bahasa inggrisnya trunk. Celana dalam yang seperti
hotpants. Serendah tepian jembutnya. Sependek garis selangkangannya. Dan
kelaminnya tercetak jelas. Dia biarkan menggembung seperti sedang
menyembunyikan gumpalan kaus kaki di dalamnya.
Dan bahkan, Cazzo tampak lebih berantakan dibandingkan aku.
Hanya saja dia versi “kelihatan bagus dan so sweet”. Rambutnya acak-acakan,
tapi persis artis Hollywood ganteng baru bangun tidur. Ada bekas cetakan tidur
di tubuhnya, mungkin bekas bantal yang tertindih, atau selimut yang terjepit.
Untuk membuatnya tampak imut-imut menggemaskan... dia ternyata sedang membuat
omlet.
“Gue bikin omlet!” serunya senang. Kedua tangannya terangkat
ke atas, persis petinju yang baru menang. “Nggak tahu enak, nggak tahu beracun,
hahaha... makan aja lah!” Diakhiri dengan cengiran lucu yang bikin gemas. “Lo
suka omlet nggak, Dek?”
“Suka.” Meski tentunya, aku nggak pernah makan omlet untuk
sarapan.
“Sini duduk! Makan dulu. Kalo keasinan, bilang ya!” katanya.
Nggak usah, batinku. Kalau makannya sambil lihat kamu sih,
omlet asin juga aku nggak akan peduli.
Kami makan di meja makan mewah sambil menonton TV. Tentunya
Cazzo bercerita soal sejarah masak-memasaknya. Yang diakuinya nightmare. Dia
nggak bisa masak, katanya. Mungkin iya. Tapi omletnya oke, kok. Bukan yang
terbaik, tapi bukan yang terburuk. Kalau saja dia mau membangunkanku, mungkin
aku bisa membantunya mengocok telur.
Masalahnya, aku tak bisa menikmati omlet itu karena visualku
terganggu.
Aku yakin kalian juga akan merasakan hal yang sama.
Bayangkan ini: satu meter di depanmu, ada lelaki menarik yang 90% telanjang.
Lalu kalian makan omlet berduaan saja. Dan putingnya itu menarik perhatian. Dan
perut ratanya. Dan bagaimana kurusnya lelaki itu tampak memukau—bukan kurus
menjijikkan yang membuatmu bersimpati. Lalu hamparan kulit mulus itu... Oh, ya
Tuhan... aku bahkan tak bisa berhenti mendeskripsikan kulit mulus itu. Karena
itulah poin utamanya!
Kelaminku tegang sepanjang sarapan.
Pagiku terasa lebih berkobar-kobar dibandingkan biasanya.
Aku tak akan menampik rasa ingin berkhianat dari Derry.
Tentu saja, aku tidak mencintainya hingga detik ini. Namun dia kekasihku secara
teknis. Sehingga kalau aku begini begitu dengan orang lain, secara teknis pula
aku berkhianat. Dalam benakku mulai tersusun beragam rencana memanfaatkan Cazzo
agar mau bergumul denganku. Hanya fantasi saja, tentu. Toh aku homoseksual
normal. Homoseksual yang otomatis membayangkan ranjang melihat Cazzo kondisinya
seperti itu.
Mungkin aku bisa mengajaknya nonton TV di sofa setelah
makan? Lalu kami akan mengobrol berdekatan. Lalu entah bagaimana caranya, kami
berdua telanjang dan menggesek-gesekkan kelamin? Hahaha. Mimpi,ya.
Atau mungkin bisa kucoba? Siapa tahu.
Maksudku, kalau Cazzo saja bisa tertarik pada dugong Ayysell
itu, aku percaya dia juga bakal tertarik pada lelaki sepertiku. Bahkan, aku
sudah merelakan diri kalau aku harus mengenakan kalung-kalung etnis, andai
memang Cazzo menyukai hal-hal kinky seperti itu. Mungkin di salah satu laci di
rumah ini ada kalungnya Ayysell? Aku kan bisa pinjam.
Dan, gara-gara aku kebanyakan berfantasi soal itu, kini
perut bawahku sakit menahan orgasme.
Sayangnya, fantasiku buyar lima menit kemudian ketika bel
vila berdenting. Cazzo menatapku sambil mengangkat kedua alisnya. “Siapa itu?”
tanyanya.
Aku mengangkat bahu.
Masih sambil telanjang seperti itu, Cazzo bergegas ke pintu
depan. Aku masih berpikir mungkin itu penjaga vila yang mau mengantarkan
pesanan atau menyiram kebun. Namun, ketika tamu itu masuk... jantungku copot.
Tamu itu Ayysell, ternyata.
-XxX-
Si Dugong sedang mabuk. Matanya berputar-putar. Kalau aku
mengamati dengan seksama, aku jadi ikutan pusing. Dia mengenakan kostum
kebesarannya: hotpants motif Burberry, sepatu bots berumbai, kaus polo ketat
yang kancingnya tak bertaut, kalung rantai emas, dan gelang-gelang gemerincing.
Padahal, sehari-hari jalannya sudah seperti bangau. Pagi ini, jalannya seperti
bangau menari salsa. Cazzo sampai membopongnya masuk. Dan aku membantunya
berbaring di sofa.
Satu-satunya hal yang membuatku bisa menahan panik adalah
keputusanku mengenakan semua bajuku. Bayangkan kalau aku sarapan berlapiskan
celana dalam kuning kampunganku saja. Mungkin Ayysell bisa otomatis sadar dari
mabuknya kemudian membunuhku.
Untung sekali dia mabuk.
“Ayank kenapa sih mabuk-mabukan aja?” kata Cazzo ngambek.
Dia duduk di samping Ayysell sambil mengusap kening kekasihnya, menghalau poni
yang mengganggu.
“Taaam... tararam tam-tam... Akuuu boneka yaaang paling
lucuuu...” Ayysell malah menyanyi.
“Ini, nih... kenapa aku nggak suka kalo ayank pergi dugem—“
“Masssaaa siiihhh?” telunjuk Ayysell bermain-main di hidung
dan bibir Cazzo. “Akuuu boneka yaaang paling imuuut...”
“Ngapain aja semalem?” Alis Cazzo bertaut.
Kalau sedang ngambek begitu, aku jadi gemas ingin mencubit
pipinya.
“Ngapain yaaa... kasih tau nggak yaaa...” Lalu Ayysell
bersendawa. Keras, sekali. Sebisa mungkin aku menutup hidung, tanpa kelihatan
kentara.
Kecuali Cazzo. Yang tampak tak terganggu dengan sendawa
menjijikkan itu.
“Siapa yang nganterin barusan?”
“Pam pam, parampam...”
“Yank? Jawab, dong. Siapa yang nganterin barusan?”
“Gapai seeemuah... jemmmaaarikuh... rangkul eeeyke
dalam—hik!“ Selama dua menit berikutnya, Ayysell menyanyikan lagu Rossa.
Diselingi cegukan beberapa kali. “Aku... hik! Tegaaarrr...”
Kami jelas meninggalkannya di sofa untuk beberapa saat.
Cazzo mengambil air minum. Dia tampak frustrasi. Sesekali, kupergoki dia salah
tingkah menatap ke arahku. Mukanya memerah. Ya ampun, apa dia malu melihat
kelakuan Ayysell di depanku? Nggak apa-apa, lagi. Toh memang dugong ini nggak
bisa diharapkan. Kalau si dugong mabuk-mabukan, bukan salah Cazzo juga.
“Maaf, ya...” bisik Cazzo tanpa berani menatap mataku. “Esel
emang...” Cazzo mengangkat bahunya. “Mudah-mudahan lo nggak risih atau apa—“
“Ah, nggak apa-apa.” Aku nggak risih karena Ayysell mabuk.
Aku risih karena Ayysell jadi pacarmu, Kak. “Aku bawain selimut,ya.”
Ayysell masih menyanyi. Kali ini lagu Titi DJ.
“Sedalam dalam cintamuuuhhh... kuselami... warna-warna
terrr—hik! Indah yang adaaa...” Bersendawa. “Diii... bumiii...”
“Ayank, udah!” Cazzo menepuk-nepuk pipi Ayysell supaya
sadar.
Sampai detik ini, aku masih dilanda kecemasan. Aku masih
takut Ayysell mendadak sadar dan menemukanku ada di sini. Titahnya kan sudah
jelas: aku nggak boleh mendekati Cazzo dalam skenario apa pun. Apa jadinya
kalau dia menemukanku menginap bersama kekasihnya? Jadi, dalam hati yang paling
dalam, aku justru berharap Ayysell tetap mabuk.
Kalau perlu berminggu-minggu mabuknya. Lalu dia berjalan
terhuyung-huyung ke kolam renang. Tercebur. Dan, tenggelam. Andai saja bisa
terjadi.
Aku kembali membawa selimut dari kamar. Kubantu Cazzo menata
selimut itu menutupi setengah tubuh Ayysell. Wajah Cazzo tampak cemas. Dan, aku
iri. Ingin sekali aku punya lelaki yang sekhawatir itu ketika aku sakit.
“Hihihi... hihihi...” Lagu yang disenandungkan Ayysell mulai
tak dapat dikenali. “Lompat satu, lompat duuuaaa... ada malaikat, itunya
melooorrrooottt... hihihi...”
“Lagu apa itu?” tanyaku.
Cazzo menggeleng. “Lagu favoritnya. Tapi, gue nggak pernah
tahu judulnya apa. Ayank... udah, ayank... ini minum.”
Ayysell sama sekali tidak mengindahkan segelas air putih
yang sudah dibawakan Cazzo tadi.
“Hihihi...” Kemudian, lagu itu berhenti. Pandangan Ayysell
jatuh ke arahku. Matanya menyipit. Dia berusaha mengenaliku. Dia berusaha
mencari tahu kenapa aku ada di sana. “Kamu...”
Oh, tidak. Jangan sampai dia menyadari kalau ini aku.
Ya Tuhan. Apa aku sebaiknya pergi sekarang? Pura-pura ke
kamar mandi? Atau bereskan meja makan dan pergi? Ayysell! Berhenti! Mabuk lagi
saja! Jangan mengenaliku!
“Kamu... Mang Toto?” Ayysell bahagia sekali bisa menebak
wajahku. “Mang Totooo... bikinin I lollliiipop! Dooong!”
“Ini bukan Mang Toto,” kata Cazzo. “Ini kan yang waktu itu—“
Buru-buru aku memotong Cazzo. “Lolipop, ya? Oke!” Aku tak
peduli dianggap penjaga vila. Yang penting dia tidak tahu aku di sini bersama
kekasihnya. “Bentar.”
Aku berlari ke dapur seolah akan membuatkannya lolipop. Di
sana aku duduk bersembunyi. Memikirkan cara kabur terbaik. Apa alasan yang
harus kukatakan pada Cazzo kalau aku mau pulang duluan? Kucingku masuk sumur
lagi? Lagian, kalau aku pulang sekarang, memangnya aku tahu ini ada di mana?
Jelas sekali di depan vila ini tidak ada angkot maupun ojek.
Di tengah kegelisahanku, aku malah bangkit dan naik ke
lantai dua. Tubuhku seolah bergerak otomatis, memposisikan diri sejauh mungkin
dari Ayysell. Aku sempat masuk ke kamar mandi lantai dua, tak punya bayangan
mau ngapain di sana. Karena aku yakin Cazzo dan Ayysell benar-benar berpikir
aku sedang membuat lolipop, aku menghabiskan waktu cukup lama di sana. Aku
mondar-mandir di salah satu kamar besar di situ. Menggigit kukuku. Sesekali
menengok ke tangga, berniat untuk turun dan menemui mereka lagi.
Namun setelah setengah jam berada di sana, aku malah
dikagetkan oleh sosok anak kecil bermata cemerlang. “Argh!” Aku terkesiap
sampai nyaris jatuh dari atas tangga. Anak kecil itu duduk di meja kayu dekat
balkon. Dia menatapku sambil memiringkan kepalanya. Kakinya juga berayun-ayun.
Apa dia hantu? Kenapa dia terus mengikutiku?
Selama sepuluh detik lamanya aku membeku ketakutan.
Kehadiran sosok itu rupanya lebih menyeramkan dibandingkan kehadiran Ayysell di
sini. Dan sosok itu hanya duduk saja di sana. Tidak terbang ke arahku lalu
mencekik atau apa. Dia bahkan tidak bersenandung atau cekikikan seperti
kuntilanak.
Hanya duduk.
Dan, buatku itu lebih menyeramkan.
Setelah mengumpulkan lagi kekuatan, aku turun perlahan-lahan
ke lantai bawah. Napasku lebih memburu dibandingkan saat kedatangan Ayysell
tadi. Kepalaku bahkan celingak celinguk atas bawah, memastikan bocah itu tidak
mengejarku. Ketika aku sampai di anak tangga terakhir, badanku penuh keringat
dingin. Namun aku masih saja membayangkan si hantu bocah akan melayang lalu
mencekikku dari belakang. (Maka dari itu aku selalu menoleh ke belakang setiap
dua detik sekali.)
Aku harus memberitahu Cazzo, batinku. Harus.
Ketika aku sudah siap meneriaki Cazzo dengan, “Di atas ada
penampakan! Ada hantu!” Aku dipaksa mengurungkan pengumuman tersebut. Karena
ketika aku tiba di ruang tengah...
...
... Cazzo sudah telanjang bulat.
Pun, Ayysell.
Baju-baju mereka berceceran di sekitar sofa, dan Ayysell
sedang duduk di atas perut Cazzo. Mereka berdua berciuman.
Dengan mesra.
-XxX-
Aku tak punya alasan lagi berada di sana. Tanpa pamit, aku
pergi.
Aku meraih ponselku dan bergegas keluar. Mereka bahkan masih
bercumbu meski aku sempat mengacung-acungkan tangan menarik perhatian dari arah
TV—jujur, awalnya aku ingin pamit. Apa daya, kondisi pun tak mengizinkan. Aku
menyusuri jalanan komplek vila mewah hingga menemukan pos satpam. Dari sana aku
diberitahu untuk berjalan jauuuh sekali sampai mendapatkan angkot. Begitu
menemukan angkot oranye Caringin-Dago, rasanya hidup ini indah. Mulai saat
itulah aku kembali ke kenyataan bahwa aku ini hanya Niko anak tukang lotek.
Derry, tentu, sudah ada di depan gang rumahku ketika aku
turun dari angkot. Tapi dia sudah kujinakkan lewat sms.
“Pokoknya aku mau pulang dulu. Entar sore aja aku ketemu
kamu.”
Derry meludah. Kembali ke wataknya. “Pokokna, aing nunggu di
sini!”
“Ya udah.”
Namun pada akhirnya, pukul setengah dua siang, aku sudah ada
di kosan Derry. Diam di rumah rupanya ide yang buruk. Ibu menyuruhku ini itu.
Sementara mood-ku sedang tidak dalam koridor yang sama. Aku hanya ingin
bermalas-malasan. Dan, di seantero kecamatan ini, kelihatan jelas Derry-lah
rajanya malas-malasan.
Derry, ajaibnya, tidak banyak bicara. Dia mendapat gitar
butut hasil malak di RW 008. Katanya punya si Boreng, anak SMA Pasundan. Derry
bilang, si Boreng porenges anaknya. Maksudnya: belagu. Jadi Derry ambil gitar
butut itu, dia betulkan senarnya, dan dia mulai menghiasi ruangan kecil ini
dengan suara serak tak beraturan nada.
Jreng-jreng-jreng... “I miss you but I hateyooouuu... my
giiirrlll...” jreng-jreng-jreng...
Lagu pertama, Slank. Lagu kedua, Jikustik. Aku lupa lagi
judulnya.
Bukan itu yang membuatku akhirnya cekikikan dan
memperhatikan Derry lebih seksama. Beginilah Derry ketika salah tingkah. Aku
menemukan wajahnya memerah setiap aku perhatikan dia lebih lama. Kalau
tatapanku sudah keterlaluan, dia akan menyentak, “Apa, Njing! Lihat-lihat aja!”
Lalu dia memalingkan muka, dan tersenyum sedikit-sedikit.
Tidak ada yang kulakukan sepanjang sore di kosan Derry. Aku
hanya telungkup di atas bantal, memperhatikan Derry menyanyi dan membuat lagu.
“Ini lagu buat si Boreng,” katanya, lalu bersenandung, “Boreeeng... Oh, Boreng!
Mukamu kayak koreeeng...” jreng-jreng-jreng, “Kalau lewat kagak ngemeeeng...
oh-oh-oh... kontolmu juga sedeeeng...”
Aku tertawa.
Derry juga tampak mempesona.
Setelah sms manis yang dia kirimkan semalaman, dia
berpenampilan manis pula hari ini. Bajunya bersih. Bisa jadi dia sudah mandi.
Sleeveless butut favoritnya itu sablonannya pudar. Namun tampak macho di badan
Derry. Dia juga mengenakan celana pendek jins yang longgar. Yang memang sengaja
begitu supaya bagian pinggangnya selevel sama selangkangan. Entah dorongan libido dari mana, Derry
kelihatan menarik lima kali lipat secara seksual hari ini.
Atau mungkin... gara-gara adegan pagi hari tadi?
Sesuatu yang seharian kucoba lupakan.
Ya, aku tak akan menangkis fakta bahwa aku masih menyimpan
hasrat bercinta dengan Cazzo. Hasrat itu terus berputar di bawah perutku,
kadang membuat perutku sakit, kadang membuat selangkanganku pegal. Aku bisa
saja masturbasi untuk melepaskan semua beban itu. Namun tak bisa...
Karena pemandangan yang kulihat juga tak kalah
mengganggunya.
Pertama, hantu anak kecil itu. Hantu yang membuntutiku ke
mana-mana. Yang membuat tengkukku bergidik setiap mengingatnya. Yang membuat
benakku sekarat karena penasaran mengapa dia terus ada di sana. Aku nyaris
menghubungi Faisal untuk menceritakan pengalaman spiritualku itu. Bagaimanapun
juga, hantu itu membuntutiku sejak aku menghadiri festival itu.
Kedua, aku masih belum sanggup melupakan figur Ayysell,
telanjang, sedang bercumbu bersama Cazzo di atas sofa. Rasanya... kamu tahu...
menjijikkan. Aku berusaha menangkis sosok Ayysell telanjang itu, langsung
menyibukkan diri atau bernyanyi tiba-tiba... tapi lengan kurus Ayysell tetap
memenuhi otakku, aaargh... dan juga paha berselulit itu... eeewww... Setiap
kali aku berniat untuk onani sambil berfantasi tentang Cazzo, sosok Ayysell
menghancurkan semuanya.
Jadi pada akhirnya, aku hanya membiarkan diriku tersiksa.
Nyanyian dari Derry justru—sedikit banyak—menghiburku.
“Nico!” Derry berhenti bernyanyi. “Sia diem aja! Kenapa?”
Aku menggeleng. “Nggak apa-apa. Aku lagi nikmatin kamu
nyanyi aja...”
“Wah?” Tautan alisnya menunjukkan dia tak percaya. “Suara
aing kan busuk. Sia nyindir, hah?”
“Buat apa aku nyindir?” Kali ini, alisku yang bertaut.
Karena tersinggung. “Terserah aku dong, mau nikmati nyanyian siapa aja!”
“Oh.” Derry manggut-manggut. Mukanya memerah. Dia menepuk
beberapa kali gitar bututnya, seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu, setelah
keberaniannya terkumpul, dia utarakan juga. “Nico... ewean, yuk?”
Aku cekikikan dalam hati. Gemas melihat tingkah Derry yang
tidak biasa itu. Maksudku, sampai hari kemarin, dia akan melucuti bajuku dengan
paksa, lalu nungging, lalu aku diminta memasukkan kelaminku ke duburnya. Semua
tanpa pemanasan... apalagi perasaan. Tidak pernah dalam sejarah hubungan
seksual kami, Derry mengajakku seformal itu.
Sayangnya, aku menggeleng dengan tegas. “Aku lagi nggak
mau.”
“Ayolah...” Derry meletakkan gitar itu di atas meja, lalu
telungkup di sampingku. Persis sepertiku. “Si Memey belum ada yang nengok.”
Memey adalah sebutan untuk lubang pantatnya. Karena tidak
mungkin itu disebut memek, jadinya dia sebut memey.
Aku tetap menggeleng. “Akunya lagi capek.”
“Njing! Nginep doang bisa capek. Cepet, lah... diewe,
yeuh...” Derry otomatis menelanjangi dirinya.
Ya, dia sudah mandi. Aku bisa mencium wangi sabun dari kulit
tubuhnya. Ketika Derry mengangkat tangan untuk melepas kausnya, dia
mengingatkanku pada Cazzo. Ketika dia melorotkan celananya, pun dia
membangkitkan fantasiku akan Cazzo. Dan dia duduk sambil telanjang di
sampingku. Pemandangan yang sebenarnya sering kutemui empat tahun terakhir.
Namun hari ini... rasanya berbeda.
“Hayuk!” ajaknya.
Aku tetap menggeleng.
“Sok, lah... sekarang mah gimana sia, Nico... mau eweannya
versi sia juga is okay...” bujuknya lagi. “Mau nyepong, kan?” Diam enyodorkan
alat kelaminnya.
Wow. Ini pertama kalinya benda itu disodorkan di depan
mukaku. Dalam rangka oral sex, pula. Kemajuan yang sangat pesat dalam hubungan
seksual kami.
“Atau aing diiket? Kayak film bokep di hape sia ituh!”
“BDSM?”
“Yah itulah. Sok, aing mau lah... nu penting sia ngewe
aing.”
Tawaran yang seksi, kalau boleh dibilang. Kelamin kebanggaan
Derry menggantung megah di hadapan wajahku. Aku akhirnya bisa mengamati bekas
luka sunatnya Derry, atau lebatnya jembut yang keriting itu. Wanginya juga
khas... seperti...
Yah, seperti kelamin laki-laki lainnya.
Tidak pernah sebelumnya aku merasakan gelenyar gairah
seperti ini terhadap Derry. Biasanya gairahku akan bercampur rasa takut, rasa
jemu, hingga rasa jijik karena aku harus menyodomi Derry lagi dan lagi. Kalau
kamu tidak keberatan aku menyampaikan satu fakta ini: ya, kadang kotorannya
ikut keluar ketika “proses itu”, yang otomatis membuatku mual. Tapi aku tidak
akan membahas soal itu. Sudah cukup menjijikkan prosesnya kualami, tak perlu
diceritakan ulang.
“Kemon, broooh!” serunya. “Sia sok jaim pisan, Njing! Inih!
Suka, kan?” Alat kelaminnya ditampar-tamparkan ke mukaku.
Ya, aku suka, batinku. Tapi nggak dalam momen ini.
Aku tak akan menyangkal bahwa apa yang dilakukan Derry
sekarang benar-benar seksi. Tapi aku juga akan jujur pada kalian... bahwa aku
benar-benar tidak mood berhubungan seks.
Apa aku perlu menyegarkan diri dulu? Maksudku, dengan
sumpeknya kosan ini, Bandung yang panas, bayangan Ayysell telanjang sambil
memutar-mutar kelaminnya seperti Derry terputar di otakku, belum lagi aku agak
lapar... Mungkin aku perlu cuci muka.
“Aku mau ke kamar mandi dulu,” kataku, seraya bangkit.
“Ngapain, Njing?”
“Cuci muka.”
“Biarin, lah! Muka sia tuh dicuci gimana pun juga, bakalan
tetep gitu. Inih... aaa... buka mulutnya...”
Aku menangkis suapan kelamin Derry. Dengan percaya diri aku
berdiri dan meninggalkan kosan itu, turun menuju kamar mandi. Derry tentu saja
membuntutiku. Dia melilitkan handuk bututnya, yang sebenarnya bolong di tengah
sehingga belahan pantat Derry kelihatan, lalu merayu-rayuku sampai kamar mandi.
“Ayo, Nico! Ah, sia mah!”
Bahuku sampai ditariknya supaya kembali ke kamar.
“Bentar, dulu... aku mau cuci muka dulu.”
“Udahlah... Nggak usah dicuci segala mukanya. Kan bukan
piring. Hayuk!”
Aku mengabaikannya. Aku tetap pergi ke kamar mandi, diekori
Derry yang kerepotan memasang handuk bututnya.
“Atau sia mau ewean di sumur?”
“Cuci muka doaaang... kenapa, sih?”
“Tapi udah itu ewean, kan?”
Tak kujawab pertanyaan itu. Yang kulakukan berikutnya
hanyalah fokus menyegarkan diri. Mungkin sebenarnya aku perlu mandi. Atau
spa—kalau aku punya uang. Mungkin aku juga akan sekalian gosok gigi. Jadi, aku
membeberkan semua peralatan mandiku yang sudah kuletakkan di kamar mandi sejak
dua hari lalu, dan mengambil pencuci muka.
Semua berjalan lancar, kecuali bagian Derry
terusmeraung-raung minta segera. Dari bayangan cermin kecil kamar mandi, aku
bisamelihat Derry berdiri di pintu, menggesek-gesek punggungnya di daun
pintu,mengira aku akan tergoda dengan tarian striptease-nya. Aku hanya memutar
bolamata sambil kembali mengusap pipiku dengan pencuci muka.
Ketika aku membasuh mukaku lagi, lalu menengadah untuk
melihat sisa sabun di wajahku—
“ARGH!”
—sosok Derry sudah berganti...
... menjadi bocah kecil bermata cemerlang itu.
-XxX-
“Maaf aku jadi ngerepotin.”
“Nggak apa-apa. Sini, masuk!”
“Aku nggak tahu mesti ngehubungin siapa lagi. Temenku nggak
ngangkat teleponnya. Satu-satunya nomor yang kuingat cuma nomor kamu.”
“Ya udah, nggak apa-apa. Maaf ya kamarnya berantakan.”
“Maaf karena kamu jadi mesti jemput aku.”
“Eeeh... udah dibilangin nggak apa-apa. Ayo, sini masuk.
Saya ambilin minum dulu.”
“Nggak usah repot-repot. Mungkin aku cuma bentar aja.”
“Lama juga nggak apa-apa.”
“Kamu nggak ada acara hari ini?”
Faisal berhenti sejenak lalu memutar otak. “Sebenarnya ada.
Saya mau ke Pameran Tumaninah itu lagi. Tapi katanya hari ini ditutup. Ada
garis polisi di mana-mana. Barusan saya juga baca tweet-nya infobandung, dia
ngeretweet banyak orang Bandung yang ngetweet soal ditutupnya Pameran
Tumaninah.”
Ya, benar. Aku sedang bersama Faisal saat ini. Berada cukup
jauh dari rumahku sendiri. Kabur dari Derry. Dan dalam kondisi tertekan.
Bayangkan saja, satu-satunya kengerian yang tak pernah mau
kualami, nyatanya terjadi beberapa jam lalu. Aku selalu punya paranoid ketika
berada di kamar mandi, ketika pandanganku teralihkan sebentar dari cermin, lalu
mendadak bayangan di cermin berbeda dengan kenyataan. Dan, itu terjadi padaku
tadi. Jantungku rasanya copot. Sebadan-badan aku seperti kesemutan.
Hantu bocah bermata cemerlang itu mengikutiku sampai kosan
Derry. Dia hanya diam di sana, menatapku tanpa ekspresi. Menerorku. Ketika aku
berbalik menghadapnya, Derry-lah yang ada di sana, bukan si bocah hantu.
Tanganku sempat gemetar karena kejadian itu. Memang, durasinya hanya tiga
detik. Namun aku bisa ingat dengan jelas bahwa bayangan di cermin itu
benar-benar si bocah hantu!
Semuanya tambah mengerikan ketika aku menghambur keluar dari
kamar mandi sempit itu. Derry membuntutiku, masih sibuk memegangi handuknya.
Satu-satunya yang ada di benakku adalah kamar tidur, kamar tidur, kamar tidur.
Ada perasaan aman ketika aku membayangkan kamar tidur Derry. Mungkin sebaiknya
bercinta saja dengan Derry. Pokoknya jauh dari kamar mandi terkutuk itu.
Sayangnya, ketika aku sampai di kamar Derry, keberanian yang
sedikit demi sedikit kucoba kumpulkan, harus luntur dan meleleh lagi. Tepat
ketika aku mendobrak pintu dan menghambur masuk...
... ternyata Derry sedang ada di atas ranjang. Berpakaian
lengkap. Bau. Dan memainkan gitarnya. “Sia udah pulang?” katanya.
Otomatis, aku menoleh ke belakang...
... Derry berhanduk butut itu tidak ada.
Bahkan mungkin, tidak pernah ada.
Detik itu juga aku menelepon Sissy, yang berujung pada tujuh
belas missed call. Derry, yang sudah kupastikan asli, marah-marah karena aku
mengabaikannya. Entah mengapa muncul nama Faisal di tengah kepanikanku itu.
Sehingga tanpa pikir panjang aku meneleponnya, mengajaknya ketemuan, beralasan
macam-macam pada Derry, dan untuk pertama kalinya aku menangkis cengkraman
tangan Derry. Aku kabur. Seadanya. Dengan uang di saku yang seadanya pula.
Di Tamansari aku turun dari angkot, karena uangku nyaris
habis. Di situ pulalah Faisal menjemputku. Aku bahkan belum tahu apa yang
sedang kulakukan saat itu. Aku juga nggak tahu, memangnya mau apa aku minta
ketemuan dengan Faisal.
“Kamu panik,” kata Faisal kemudian, sambil menyuguhkan
segelas air putih. “Minum dulu. Tarik napasnya.”
“Terima kasih.” Kuteguk air hingga habis. Lalu aku merapikan
lagi napasku.
“Jadi gimana ciri-ciri hantu itu?”
Dalam perjalanan menuju kosan Faisal, aku menumpahkan semua
kejadian yang kualami berkaitan hantu bocah itu. Aku menceritakannya
berulang-ulang. Bagaimana rasa takutku. Bagaimana aku kebingungan. Pun
spekulasiku bahwa itu semua dimulai dari Pameran Tumaninah itu.
Faisal mendengarkan dengan seksama. Dia jelas nggak memahami
ceritaku. Aku maklum. Aku saja belum mengerti mengapa bisa terjadi. Namun dia
tampak ingin mencoba memahamiku. Setiap kata-kataku diolahnya dengan serius.
Hujan deras mendadak mengguyur di luar. Tepat ketika aku
selesai menceritakan Derry yang berubah menjadi hantu anak kecil di cermin.
Suara berisik hujan seperti gemerisik seng yang sedang dilipat-lipat. Atau
kresek. Faisal terpaksa menutup jendela kosannya. Cipratan air mulai masuk.
“Saya udah coba tulis ulang isi jurnal itu. Belum selesai,
sih. Sejauh ini saya belum ngerti maksudnya apa. Nyeritain tentang seorang
cowok. Namanya Dicky. Kayaknya nih orang suka ama yang namanya Agas. Lalu,
entah ada problem apa gitu, dia harus pergi ke suatu tempat. Barusan saya nulis
ulang pas di bagian Esel.”
Alisku terangkat satu mendengar kata itu. Kok, mirip nama
pacarnya Cazzo?
Nggak di sini nggak di jurnal, kata Esel ada di mana-mana.
Kenapa bukan Nico?
Astaga.
Bayangan kaki kurus dan dada papan cucian itu muncul lagi
dalam benakku.
Badan Ayysell, ya. Bukan badan Cazzo.
Kalau cowok lain yang papan cuciannya adalah perut. Ayysell
justru dadanya.
Hentikan, Nico.
Hentikan.
Bisa dianggap kafir dari homoseksualitas kalau terus-menerus
membayangkan Ayysell.
“Mau baca?” tawar Faisal.
Aku mengangguk menerima jurnal itu.
“Padahal hujan. Kok panas, ya?” Faisal mengibas-ngibaskan
tangannya di depan wajah.
Dia nggak bicara padaku. Dia justru berpaling. Dan, dia
kepanasan.
Kok, bisa kepanasan?
Aku, sih kedinginan.
Aku membuka catatan tulis ulang yang dibuat Faisal.
Tulisannya bagus.
Maksudku, tulisan Faisal.
Sebentar. Aku baca dulu jurnalnya.
to be continue
1 comments:
Waaahhhh akhirnya ada lanjutannya aku oenggemar berat bang mario bang dicky serta cazzo, nyesek sih cazzo bisa sama engsel itu tp yah sudahlah q yakin bang mario punya kejutan yg lebih menarik, aku mengikuti cerita ini sejak awal mungkin sejak 2011 dan tiap minggu/bulan selalu cek updatan terbaru. aku mo nanya ini sama bang mario, bang mario punya buku /novel atau cerita lain gak selain cerita KKTT ini
Post a Comment