DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Dokumen Rahasia [Do Not Open] - Lelaki Hangat Di Bawah Hujan Deras 2

Lelaki Hangat Di Bawah Hujan Deras
- doc 2 -  
by MarioBastian





Friday Night

“Apa yang kamu bilang, Sayang? Kamu lihat Dennis?”

Dicky tahu Ibu tidak akan percaya. Apalagi kalau Dicky bilang Dennis menjadi halimun pekat. Memutih. Ibu akan kembali bilang Dicky gila. Ibu akan mengacungkan balok kayu itu, menjeritkan kata-kata menyakitkan.

Tapi Ibu tidak jahat. Dicky percaya itu.
Ibu hanya butuh seseorang yang mau mengerti Ibu.

“Di mana?”
“Di rumah Nenek.”
“Kalau sekarang?”

Dicky menelan ludah. Bagian yang Dicky benci. Menerangkan fantasi mustahil meski itu kenyataannya. Tak perlu kapasitas 10 gigabyte memori untuk merekam semua itu. Otak Dicky masih mengingatnya dengan jelas. Dennis membaur begitu saja dengan udara.

“Hilang,” jawab Dicky.
“Dia kan selalu hilang.” Ibu geleng-geleng kepala melihat Dicky.

Dicky masih ingat penggalan detik terakhir Dennis. Dennis berontak minta dilepas. Agas ingin membawa Dennis ke Dicky. Tapi Dennis lenyap. Wuzzz. Seperti yang Dicky bilang tadi, seperti halimun pekat. Sewaktu Dicky menginterogasi Agas, Agas bilang itu memang Dennis. Menjadi cupid.
Dicky jelas nggak percaya.
Cupid itu nggak ada.
Cupid itu hanya fantasi mitos belaka.
Hanya memenuhi kepala Dicky, membuat Dicky selalu menggoreskan lekuk-lekuk tubuhnya dalam pahatan bingkai.

Kalau saja Dicky cerita soal cupid pada Ibu, Ibu dijamin tertawa. Sampai pagi buta esok harinya, Ibu masih tertawa. Ibu tidak gila. Ibu hanya tidak peduli pada rambutnya, tapi masih punya otak.

Karena Ibu hanya membutuhkan orang yang mau mengerti Ibu.
(Dan Dicky sudah berusaha.)

Dicky menutup pembicaraan itu, membereskan meja makan dan membiarkan Ibu menikmati yoghurt terakhirnya. Tapi Ibu menghentikan gerik Dicky. Ibu membuat Dicky menahan piring di udara. “Seperti apa rupanya? Dennis. Dia kelihatan seperti… manusiakah?”
Dicky menelan ludah. Bimbang antara membiarkan diri sendiri ditertawakan atau menganggap Ibu mulai lenyap kewarasannya. Mulai membahas seseorang yang berbelas tahun terakhir tak pernah ada.

“Seperti manusia,” jawab Dicky. “Tapi mungkin itu imajinasi Dicky.”
“Semua kenyataan berasal dari imajinasi,” potong Ibu. “Cerita ke Ibu. Dennis seperti apa? Ganteng seperti kamu? Sehat?”

Ibu bertanya seolah baru kemarin ketemu Dennis. Senyumnya tidak mengabarkan kalau dia tidak bertemu putra bungsunya berbelas tahun. Ibu tetap tampak seperti psikolog yang dibayar mahal. Duduk dengan wibawa. Mengedikkan kepala dengan anggun.

“Dennis sehat. Dennis ganteng. Lebih ganteng dari Dicky.” Dicky tertawa, mencairkan suasana. Dicky tahu Ibu paling suka menganggap anak-anaknya ganteng. Dicky bisa melihat dari senyum dikulum Ibu yang membuat wajah Ibu terlihat manis. “Tapi... Dennis keburu hilang.”

“Kenapa dia hilang?”

Dicky mengangkat bahu. Dicky bergegas ke dapur, mencari alasan untuk menghentikan pembicaraan ini. Entah apa yang membuat Dicky bicara. Topik itu mendadak keluar begitu saja. Seolah Dennis adalah pembicaraan sehari-hari. Seolah Dennis ada di sekitar kami.

“Kapan kamu ketemu Dennis?”
Ibu bertanya lagi. Masih duduk di ruang makan. Dicky bingung. Dicky nggak tahu harus jawab apa sekarang. Nanti dipikirnya, Dicky nggak waras. Nanti Ibu bakal pukul Dicky lagi.

Sebab, Dicky ketemu Dennis berhari-hari lalu. Jauh sebelum kematian Nenek. Tepat beberapa hari setelah Cazzo, laki-laki yang naksir Agas itu, diculik Iblis.

Aku berhenti sejenak.
Cazzo.
Ada nama Cazzo di sini.
Aku jadi teringat Cazzo yang bangun tidur dalam pelukanku pagi ini.

Dia...

“Kamu nggak kepanasan?” tanya Faisal.
Aku mendongak dari catatan. Jantungku berdegup sekali. Mendadak.
Faisal sedang telanjang dada.
Entah muncul dari mana, aku merasakan darahku berdesir menatap tubuh Faisal yang tak berbalut kain. Padahal, badannya bukan badan paling oke. Malah, buruk. Persis Derry. Perutnya agak buncit. Nggak berotot sama sekali.

Kelaminku menegang. Normal, sih. Di depanku ada laki-laki telanjang.
Namun aku harus fokus. Aku, kan sedang membaca catatan.

“Seriusan, kamu nggak kepanasan?” kata Faisal lagi. Dia berkeringat.
Aku mulai merasa aneh. Kukira dia bercanda soal kepanasan itu. Namun kulitnya mengkilat. Penuh keringat. Dia betulan sedang kepanasan.

“Kamu sakit?” tanyaku.
Faisal menggeleng. “Nggak, kok. Tapi saya kayak yang gerah. Padahal di luar hujan gede.”
“Mau aku beliin obat?”
“Nggak usah.” Faisal duduk di atas tempat tidurnya. Dia menggelengkan kepala. Menjernihkan otak. “Sorry saya buka baju,” katanya. “Lanjut aja bacanya.”

Oke. Lanjut.

Selama ini Dicky berusaha melupakan kejadian itu. Tapi bayangan wajah Dennis terus melekat di otak Dicky. Membuat malam Dicky seterang siang, membuat siang Dicky sekelam malam.

“Kapan?” Ibu dengan tenang bertanya lagi. Kali ini mulutnya dengan cantik menggigit biskuit.
“Kenapa Ibu mau tahu?”
“Karena kamu bilang ketemu Dennis, ya Ibu pingin tau.”
“Nanti Ibu nggak akan percaya.”

Ibu tergelak. “Jadi kamu berharap Ibu percaya?” Alis Ibu terangkat. “Haruskah Ibu percaya? Ibu kan cuma minta diceritakan. Banyak penulis novel menulis cerita bohong, tapi Ibu tetap membaca tulisan mereka.”

Dicky duduk di seberang Ibu. Memutar-mutar sendok dengan ragu. Dicky berdecak. Hati Dicky berkecamuk antara berkisah atau tidak berkisah. Melihat delik mata Ibu, kasihan Ibu kalau Dicky nggak cerita. Melihat delik mata Ibu, kasihan juga Ibu kalau Dicky cerita—takut itu membuatnya sedih.

“Jadi kamu mau cerita?”
“Oke. Dicky mau cerita,” jawab Dicky. “Dicky ketemu Dennis udah agak lama. Lebih dari sebulan lalu. Sebelum Nek Alia meninggal.”
“Kenapa baru nyerita sekarang?”
“Karena Dicky nggak yakin waktu itu ketemu Dennis.”

“Kalau sekarang udah yakin itu tuh Dennis?” Ibu mengambil biskuit.
Dicky mengangkat bahu. “Dicky cuma punya feeling... kalau mungkin itu Dennis. Semalem Dicky mimpiin sosok itu lagi. Sosok Dennis. Udah gede. Dennis nyuruh Dicky buat ngunjungin Esel. Dicky cuma geleng-geleng kepala aja. Namanya juga mimpi.”

Astaga. Beneran. Ada nama Esel.
Ada nama Cazzo.

....

Ini nggak ada kaitannya dengan Cazzo dan Ayysell yang aku temuin akhir-akhir ini, kan?
Yang namanya Cazzo sama Esel harusnya banyak, kan?

“Yang namanya Cazzo sama Esel banyak, kan?” tanyaku, melontar ulang apa yang ada dalam otak.
Kulihat Faisal sedang memicingkan matanya kuat-kuat. Pelipisnya dipijat. Dia seperti sedang sakit kepala. “Kenapa,Faisal?”

“Apa?” tanyanya.
“Kamu sakit?” tanyaku.
“Bukan, bukan. Saya cuma kepanasan. Aneh ini juga.”

Aku meletakkan catatan tulis ulang jurnal di atas meja. Kuhampiri Faisal. Kusentuh badannya...
... dingin.
Dinginnya sama seperti badanku.
Dingin karena di luar hujan deras.
Meski keringat itu tetap nyata.

“Sebelumnya kamu sering kayak begini?” tanyaku.
Faisal menggeleng. “Baru sekarang kayak begini. Aaahhh.”
“Aku ambilin handuk, ya. Lap keringatnya.”
Faisal mengangguk.

Aku masuk ke kamar mandi Faisal dan menemukan handuk merah lembap. Kuambil handuk itu dan berniat kuberikan padanya. Ketika aku keluar dari kamar mandi, Faisal sudah berdiri di tengah ruangan. Berdiri tegak. Seperti komandan upacara. Petir menggelegar di luar, sebagian cahaya kilatnya menerangi satu sisi tubuh Faisal.

Aku menelan ludah.
Aku takut.
Kenapa Faisal jadi seperti orang kesurupan?

“Ba-badannya masih panas?” tanyaku.
Faisal mengangguk. Matanya memerah.
“Ini handuknya.” Aku menelan ludah.
Faisal nggak mengambil uluran handukku.

Faisal mulai membuka kancing celananya. Melucutinya. Dadaku berdebar lebih kencang sekarang. Bukannya aku nggak suka sama pemandangan ini. Tapi... antara Faisal memang bercanda, atau dia sedang kesurupan. Aku selalu punya fantasi bercinta dengan cowok straight. Faisal ini dilihat dari sudut mana pun: straight. Badannya nggak bagus, tapi straight. Jadi, meski badannya bagus, yang penting straight dan wajahnya oke, aku bakalan sangat bergairah.

Dan, ya, aku mendadak bergairah.

Faisal telanjang sekarang. Kelaminnya menggantung di bawah jembut keriting yang agak dirapikan. Kelamin itu disunat rapi. Agak membesar. Agak berdenyut-denyut. Agak mengeras ketika cahaya kilat petir kembali memotret salah satu sisi tubuh Faisal.

Aku menjatuhkan handuk merah itu. Bukan demi suasana dramatis. Aku setengah ketakutan, setengah ingin melanjutkan. Situasinya persis ketika Cazzo menyiapkan omlet untukku pagi ini. Atau ketika Derry mendadak ingin bercinta. (Hantu Derry, maksudku.) Bedanya, selalu saja ada alasan bagiku untuk gagal bercinta dengan Cazzo dan Derry. Namun di sini?

Aku nggak mungkin berlari keluar dalam hujan deras.
Apalagi ketika ada cowok menarik telanjang di depanku.
Yang kelaminnya, selama aku berkata-kata dalam hati barusan, sudah mengacung ke udara.

Hffft. Nggak gede. Tapi oke.

“Faisal?” tanyaku.
Faisal menelan ludah. “Saya nggak tahu kenapa. Tapi pas lihat kamu sekarang, saya jadi pengin....” Faisal nggak melanjutkan kata-katanya. Kata-kata itu menggantung di bawah berisiknya hujan deras. Hal itu membuatku penasaran setengah mati.

Pengin apa?
Makan bakso?
Main sama lumba-lumba?

Kelaminku sudah mengeras seutuhnya sekarang. Faisal diam saja di sana. Dia belum melanjutkan kata-katanya. Aku merasakan libidoku kembali melambung naik. Mungkin, karena ini sudah sore, libido itu merapel semua hasrat yang kurasakan sejak pagi, melewati siang, hingga sekarang. Aku tak melihat kabur sebagai sebuah pilihan. Jantungku berdebar kencang, tetapi mataku fokus melihat organ yang menggantung di bawah perut besar Faisal.

Namun kami tetap diam. Tetap dihujani kilatan-kilatan cahaya petir, seperti dalam film-film vampir. Kalau Faisal ingin begituan, kenapa tidak bilang? Toh, aku tidak akan menolak. Untuk pertama kalinya hari ini aku yakin, aku tidak akan menolak.

Aku sih tetap lebih ingin bercinta dengan Cazzo. Namun kemungkinan aku bisa direngkuh oleh tubuh telanjang Cazzo semungkin matahari beranak pinak menjadi banyak. Matahari yang menyinari bumi, maksudku. Bukan matahari yang jualan baju dan setiap bulan menyelenggarakan diskon. Aku bisa saja bercinta dengan Derry kapan pun aku mau. Tapi, masa iya Derry lagi? Sementara di sini ada cowok straight telanjang yang tampak ikhlas aku jamah di bagian mana saja.

Setelah meyakinkan diri, aku maju. Aku mengulurkan tangan untuk menggelitiki putingnya. Faisal bergidik geli dan tersenyum.
Dan tersenyum, camkan itu. Dia nggak menolak.
Ketika aku meraba kulit dadanya yang halus itu, mata Faisal terpejam. Menikmati. Mulutnya mendesiskan sebuah desah. Aku melirik kelaminnya. Benda itu berdenyut semakin hebat.

Mungkin memang ini caranya bercinta denganku.
Mungkin memang ini saatnya aku bercinta.

Aku tak akan menceritakan dengan detail bagaimana kami melakukan itu. Biarkan itu kunikmati sendiri. Yang pasti, di bawah suara tawuran air di atas genting, juga cahaya petir yang berkali-kali memotret, aku melakukannya bersama Faisal.

Aku menjilat nyaris seluruh bagian tubuhnya. Faisal bergidik nikmat dibuatnya. Aku meraba dan mencubit nyaris semua permukaan kulitnya. Faisal mendesah dan mengedikkan kepalanya. Ketika aku mengulum kelaminnya ke dalam mulutku, Faisal menengadahkan kepala. Dia tidak tampak seperti lelaki gay yang jari kelingkingnya menari cantik sambil menggenjot maju mundur. Kedua tangannya meremas kepalaku dengan jantan.

Aku digagahi olehnya. Dan, rasanya nikmat.
Dia memperlakukanku seolah aku ini perempuan. Senyumnya berkali-kali dia lukis, setiap aku ketahuan mengamati wajahnya. Tangannya berkali-kali meremas dadaku, setiap kali aku mendesah menikmati. Ketika kelaminnya menusuk duburku, rasanya enak. Mungkin inilah yang dirasakan Derry selama ini. Ada satu titik di bagian dalam yang membuatku sesekali menggelinjang karena keenakan. Ditambah sugesti kelamin seorang lelaki yang keras seperti besi sedang berusaha menggelitiki diriku.

Kami menghabiskan sekitar empat puluh menit melakukan semua itu. Lebih lama dari semua film bokep yang kudownload. Aku selalu terpukau ketika Faisal berkali-kali melihat kelaminnya sendiri, menatapnya seolah memohon. Memohon aku menjepitnya lebih kuat lagi. Seolah pusaka itu di bawah kendaliku sekarang. Seolah pusaka keras itu tak berdaya di dalam tubuhku sekarang.

Faisal memuntahkan pejuhnya di atas perutku.
Putih kental. Hangat-hangat susu.
Ketika semua cairan putih itu melompat keluar, tubuh Faisah berkilat oleh keringat. Dia tersenyum lebar. Tampak puas. Dibaringkannya tubuh besarnya itu di sampingku, persis anjing laut. Kemudian, desah napasnya mulai teratur. Dan, dia tertidur.

Aku menghabiskan lima menit berikutnya melamun.
Sepuluh menit berikutnya mengingat-ingat adegan seks manis yang baru saja kulakukan.
Lima menit berikutnya merasa bersalah pada Derry.
Lima menit berikutnya merasa ingin melakukannya lagi dengan Faisal. Ya, aku puas bingit pakai pisan. Aku masih bisa merasakan titit mungil itu mendobrak bagian dalam pantatku.

Keras, dan ... aaah, apa aku perlu memasukkannya lagi? Tapi Faisal sedang mendengkur di sampingku. Seperti Gloria. Dari film kartun Madagascar.

Akhirnya, aku menghabiskan dua puluh menit berikutnya membersihkan semuanya. Hujan berhenti saat itu. Faisal terbangun. Sudah kupasangkan celana.
Ketika dia melihat diriku, wajahnya memerah malu.

“Sa-saya... saya tadi ngapain...?” katanya pelan. Menelan ludah.
Dalam raut wajahnya, tampak penyesalan yang sangat-sangat-sangat dalam. Tatapan matanya seolah meleleh karena ketakutan. Sudut bibirnya seolah berkedut karena rasa bersalah.

Dia seolah menyesal sepenuh mati melakukan seks indah tadi.

“Kamu tadi...” Aku tidak bisa menjawab.
“Apa saya tadi...?” Dia tidak bisa melanjutkan.
Aku mengangguk. “Apa kamu... nggak ingat?”

Napas Faisal menderu. Dia terduduk. Tampak ketakutan. “Badan saya sekarang dingin,” katanya. “Saya ingat semuanya. Semuanya. Tapi... saya nggak percaya saya ngelakuin itu. Pasti ada yang ngendaliin saya.”

Faisal tampak malu. Imut-imut malu. Dia tidak berani menatap ke arahku. Dia seolah baru saja memperkosaku. Lalu, merasa takut polisi akan menangkapnya. Padahal secara teknis, aku lebih-lebih menikmati seks itu dibandingkan dia.
Lalu, dia nyaris menangis.
Dia menyesal sekali lagi. Sangat-sangat menyesal.

Aku mengamati Faisal seraya mengerutkan alis. Kenapa ya dia? Apa yang terjadi padanya tadi? Kupikir... kupikir dia memang pengin melakukan itu. Mungkin karena hujan. Suasana romantis. Mungkin aku menarik. (Yah, dibandingkan Faisal, aku lebih menarik.)
(Apalagi dibandingkan Ayysell.)
Mungkin dia mabuk. Mungkin dia...

Tunggu...

Aku jadi teringat sesuatu.

Aku pernah ikutan pengajiannya Pak Haji Nasir. Tahu Pak Haji Nasir? Itu, guru ngaji yang ditaksir Ibu. Pak Haji Nasir suatu waktu pernah bilang padaku, dan anak-anak di kampung itu, tentang kesurupan.
“Kalau kamu merasa dingin tiba-tiba, berarti ada makhluk halus yang melewati tubuhmu. Energi kalian bersinggung sejenak, dan perasaan dingin itu mendadak muncul selewat. Tapi kalau kamu merasa panas tiba-tiba...” Saat itu Pak Haji Nasir sengaja menggantungkan kalimatnya dan menatap kami satu per satu. Mungkin mendramatisasi. Supaya menyeramkan. Setelah itu dia melanjutkan, “... berarti ada makhluk halus yang sedang mencoba mengontrol tubuh kamu.”

Dan, beberapa menit sebelum seks itu terjadi, di tengah hujan badai, di tengah suhu yang jelas-jelas dingin, Faisal kepanasan.

Apa dia...?

-XxX-

“Cuma itu pesannya?” selidik Ibu.
“Ya. Cuma itu.”
“Kalau bulan kemarin, apa pesannya?”
“Nggak ada pesan. Dennis cuma... menghilang.”

Dicky menelan ludah. Ragu menyebut kata itu lagi. Takut diejek Ibu lagi.

“Bagaimana menghilangnya?”
“Seperti kabut asap.” Dicky mendesah. “Menjadi bias. Menjadi kabur. Menjadi samar. Tapi Dicky masih ingat dengan jelas—“

Ibu menangis. Dicky bahkan tak sempat menyelesaikan kalimat Dicky.
“Kenapa, Ibu?”
“Apa kamu bilang? Menjadi kabut asap?”
“Mungkin kabut asap. Nggak jelas juga. Dicky nggak begitu ingat. Tapi Dicky—Ibu kenapa?”
“Jadi mitosi tu benar?”

Mitos?
“Ibu?” Dicky menghampiri Ibu dan menggenggam tangannya. Ibu tampak terguncang. Kedua tangannya gemetar. Kedua bola matanya berlinang. Kedua katup bibirnya menganga. Ibu seperti baru melihat almarhum Bapak di depan matanya. “Ibu?”

“Apa kamu yakin, dia menjadi kabut asap?”
Dicky menyesal sudah menceritakan ini. “Ya, kabut asap,” jawab Dicky akhirnya.

Dan Ibu pun menangis.
Sesenggukan.
Dicky berlutut di hadapan Ibu, merasa bersalah telah membuat Ibu menangis. Dicky memeluk Ibu yang membungkuk menahan cekat di tenggorokannya. Dicky mengusap bahu Ibu, menenangkannya.

“Itu cupid,” kata Ibu. Persis yang dibilang Agas.
“Siapa yang cupid?”
“Dennis. Dia betul-betul cupid.” Ibu menangis lagi.
“Ibu,l upain aja yang barusan. Barangkali Dicky ngelantur. Ibu tidur, ya? Dicky anterin ke kamar.”

“Dennis itu sekarang cupid,” jawab Ibu, masih bercucuran air mata. Tangannya mengelak uluran Dicky. Wajahnya berpaling dan melemparkan tatapan serius. “Dia menjadi cupid untuk satu alasan. Begitu alasannya terpenuhi, dia akan pergi.”

“Nggak ada yang namanya cupid, Ibu,” tegas Dicky.
“Dia menjadi cupid untuk membantu kamu nemuin orang yang kamu cintai.”
“Dicky nggak percaya cupid.”
“Siapa yang ada bareng Dennis waktu kamu ngelihat dia.”

Dicky berdecak kesal dan mulai berdiri. Dicky benar-benar menyesal pernah mengangkat topik soal ini. “Dicky lihat Dennis bareng Agas. Tapi mungkin itu halusinasi Dicky doang, mungkin itu pantulan cermin dari—“
“Jadi tugas dia buat ngejodohin kamu sama... Agas?”
“Ibu bilang apa, sih?”

Ibu menelan ludah dan kembali duduk tenang. “Mungkin Ibu belum pernah cerita soal perjanjian rahasia ini. Soal apa yang diceritakan Nek Alia ke Ibu bertahun-tahun lalu, sewaktu kamu masih remaja, sewaktu Dennis pertama kali pergi. Kata Nek Alia, ‘Dennis ada di dunia lain, untuk sebuah tugas dari Sang Pencipta. Siapa pun orang pertama yang dilihat Dicky sedang bersama Dennis... adalah pasangan kekasihnya masa depan, Dennis akan menjodohkannya. Itu satu-satunya tugas cupidnya.’”


-XxX-

Jadi, pada akhirnya, apa kalian ingin membuat rahasia?
Bersamaku, misalnya. Bukan tentang siapa selingkuhan kalian. Bukan tentang cowok yang diam-diam kalian taksir di kantor, atau di sekolah, atau di ujung gang, padahal kalian punya pacar membosankan yang hanya sanggup diajak pacaran melalui LINE.

Rahasia tentang rasa penasaran. Tentang aku mencuri beberapa lembar catatan tulis ulang jurnal buatan Faisal. Tanpa bilang-bilang. Lalu, aku membawanya ke angkot, dan menyelesaikannya sampai halaman sembilan. Aku tahu, Faisal akan sangat membutuhkan ini. Dia, kan mau membuat buku. Paling-paling dia akan meneleponku. Paling-paling aku akan mengembalikannya. (Setelah kufotokopi.)

Dari situ, entah aku kesurupan atau diam-diam mencari sensasi, aku mendapati diriku menaiki angkot Caheum-Ledeng, arah ke Ledeng. Aku turun di simpang yang ada McDonald-nya. Berjalan sedikit menuju kompleks perumahan yang kemarin menyelenggarakan Pameran Tumaninah.

Aku sudah membaca jurnal Friday Night itu. Meski belum selesai. Meski belum mengerti maksudnya ke arah mana. Sejauh ini kesimpulanku: ada tokoh bernama Dicky, ibunya Dicky, Agas Entah-Siapa, Dennis yang bikin semua terharu, Cazzo yang disebut-sebut, Esel yang kuharap bukan Ayysell, hingga berkali-kali membahas cupid. Rasa penasaranku bukannya membunuh kucing, tetapi membawaku kembali ke rumah tua itu.

Rumah nenek sihir, katanya. Rumah yang kini sepi. Diberi garis kuning polisi. Tampak muram. Tampak gelap. Dilewati oleh tukang nasi goreng yang terburu-buru hanya ketika melewati rumah itu saja.

Aku ingin mengerti apa maksud jurnal itu. Aku tidak mengerti mengapa aku ingin mengerti. Namun ketika aku berdiri di hadapan rumah itu, aku merasa inilah yang seharusnya kulakukan. Aku berdiri dengan tegak, menatap lurus ke arah pintu depan, dan ....

“Embeeer! You pikir I mawar sama detseu, hah? Tinta lah, Tanteee... please, mikir pakai logistik! Iya, maksud I logika. You sutra bertahun-tahun ngobras sama I masih aja tinta ngerti bahasa I, em?”

Ayysell?!

Buru-buru aku bersembunyi di balik pohon besar. Banci dari neraka jahanam itu mendadak muncul di ujung jalan, berbicara dengan kencang sendirian. Padahal, ini sudah malam. Sudah pukul delapan dan jalanan kompleks basah karena hujan. Namun suaranya begitu khas. Kalung-kalung yang berkilaunya membuatku yakin kalau banci itulah yang datang.

Ayysell seperti sedang mengobrol dengan seseorang. Kukira dengan Cazzo. Namun, tidak. Dia bicara sendiri. Dia bicara dengan udara. Dengan apa pun yang melayang di sebelah kirinya. Dia berjalan menuju rumah disegel itu, melompati garis kuning polisi, dan masih asyik mengobrol sendiri. Dia, bahkan, tidak menyadari aku sedang berdiri dua meter darinya. Di bawah bayang-bayang pohon yang gelap.

“Tinta-tinta-tinta! I mawar luluran pakai kembang margarita. Pokoknya, limosin menit, em. I tinta mawar maskara ke dalam lambreta lamborghini. Rumput laut! Rumpi! Sebentar aja, keleeuuss...”

Ayysell seperti orang gila. Sebenarnya penampilannya juga membuat dia kelihatan gila. Namun ini benar-benar gila. Dia bicara dengan udara kosong di sampingnya. Lalu, dia masuk seenaknya ke rumah yang disegel itu. Memutar ke samping, menuju halaman belakang.

Mengapa dia bisa seberani itu? Ini, kan rumah berhantu.
Mengapa pula dia ada di sini? Apa dia ada hubungannya dengan rumah misteri ini?

Ketika aku sedang asyik-asyiknya kebingungan atas kehadiran Ayysell di sini, sebuah tangan menyentuh pundakku, membuatku melompat kaget. Aku hampir mati. Jantungan. Seorang lelaki berdiri satu meter di hadapanku. Lelaki yang barusan menyentuh pundakku.

“Siapa kamu?” tanyanya.

Aku menyipitkan mata. Mencari cahaya lampu jalanan supaya bisa melihat siapa dia.
Dia adalah...
... tunggu.
Pantulan cemerlang dari matanya itu...
Dia lelaki angkasa bermata cemerlang.
Dia si pilot itu. Si lelaki yang katanya cucu pemilik rumah misteri ini.

“Siapa kamu?” tanyanya lagi. “Kenapa ada di sini?”
Aku menggeleng. “Aku nggak tahu.”
“Kamu kenal Esel? Yang barusan masuk?”
Aku menggeleng lagi. “Yah, pernah ketemu, sih....”
“Kamu temannya?”
Aku menggeleng kuat-kuat. Pertanyaan barusan harus dijawab setegas mungkin.

Lelaki itu memiringkan kepala. Seolah mengamatiku. Seolah mencari sesuatu dari tatapan mataku. Kemudian, aku melihat matanya berair. Dan, aku melihat dia menghapus air yang mulai menggenang di sudut matanya. Dia menarik napas. Mengendalikan diri. Lalu, dia berkata lagi padaku.

“Saya téh nggak tahu siapa kamu, tapi saya tahu mungkin kamu bisa bantu saya,” katanya.
Aku tidak mengerti. Namun aku hanya mengangguk saja. Seperti orang tolol.
“Saya cuma pengin tahu,” katanya. “Kenapa mukakamu mirip banget sama Agas?”


THE END

Dokumen Rahasia [Do Not Open] - Lelaki Hangat Di Bawah Hujan Deras

Lelaki Hangat Di Bawah Hujan Deras
- doc 1 -
by MarioBastian






Apa kalian ingin membuat rahasia hari ini?

Kalau boleh, aku ingin.
Rahasiaku bukan super-mega-high-priority secret seperti semua X-files di serial Amerika. Rahasiaku bukan kisah kelam pemerintahan negara, yang bisa diretas mahasiswa jurusan teknika. Rahasiaku sepele. Rahasiaku setara rahasia Ibu soal Pak Haji Nasir dari RW 007.

Iya, betul. Katanya, Ibu pernah naksir Pak Haji Nasir. Aku sempat tahu, tapi sekarang Ibu membuatnya rahasia. Ibu tidak membandingkan lagi Pak Haji Nasir dengan Ayah. Ibu juga tidak kelihatan lagi ikut pengajian Pak Haji Nasir demi ngeceng ketampanannya.

Yang menurutku sih nggak tampan, ya.
Bapak-bapak berkumis, gitu lho. Bukan tipeku.

Dan, aku akhirnya belajar untuk membuat rahasia. Persis seperti Ibu. Persis seperti Ayah yang membuat pertemuannya bersama Neng Surti di BTC sebagai rahasia berdua. (Tapi aku tahu. Karena saat itu aku juga sedang di BTC.)

Rahasiaku hari ini...
...
... tentang libidoku yang campur aduk. Lalu aku, berkhianat.

Aku memulai pagi dalam kegelisahan. Gelisah antara aku masih bermimpi indah, atau aku memang seberuntung itu. Bayangkan saja ini: aku bangun dalam pelukan lelaki berefek toko roti. Dalam Bahasa Sunda, dibaca: mustahil. Dalam Bahasa Arab: muzz-takhiel. Mungkin kalian masih ingat siapa lelaki berefek toko roti ini. Dia adalah ordo lelaki yang mampu membuat banyak orang menoleh karena terpesona. Persis Breadtalk, jujur saja. Nama lelaki itu Cazzo.

Kuar wangi tubuhnya khas. Secara spesifik, wangi lelaki. Secara spesifik lagi, wangi yang membuatku rela menghidunya seharian, mengisap setiap jengkal kuar yang menyebar dari permukaan kulitnya. Yang—sebagai informasi tambahan—berkulit mulus seperti bayi. Yang membuatku tak percaya ada lelaki berkulit semulus itu.

Iya. Aku bangun dalam pelukannya.
Lengannya sudah ada di bawah tengkukku ketika aku membuka mata. Lengan itu menjuntai di bahuku, jemari tangannya menggelitik tulang rusukku. Lalu, aku menemukan tangan yang lain melintang di atas perutku. Seolah menyatakan, “Jangan pergi. Aku ingin kamu ada di sini...”

Ketika otakku selesai loading-nya, aku menemukan hidungku sudah tenggelam di ketiaknya. Dan rasanya... seperti surga. Bukan karena ketiaknya. Bukan karena mataku tepat menatap putingnya yang merah. Bukan karena tak sengaja tanganku ada di atas selangkangannya. Namun karena fakta bahwa aku juga sedang memeluknya. Karena fakta bahwa kami terlihat seperti pasangan romantis.

Jantungku memompa lebih kencang ketika fakta itu menghantam otakku. Napasku memburu, mungkin menggelitiki ketiaknya. Namun Cazzo sedang terlelap. Dia mendengkur. Pelaaan sekali dengkurannya. Sehingga dia tak menyadari sama sekali, aku dalam fase setengah pingsan bisa dipeluk olehnya.

Semua itu kunikmati selama satu jam lamanya. Aku tak berani melihat jam. Lebih tepatnya, aku tak mau merusak posisi itu. Namun,aku tahu langit masih gelap. Kuperkirakan saja. Mungkin ini pukul empat atau lima dini hari. Sehingga... satu jam kemudian, aku tertidur lagi... setelah menikmati enam puluh menit penuh debaran bahagia. Setelah aku merekam setiap inchi tubuhnya, demi bahan masturbasi di rumah nanti.

Lalu aku bermimpi indah.
Dan, terbangun tepat pukul tujuh pagi...
....
... tanpa Cazzo di sampingku.

Tak apalah. Cazzo pasti sudah bangun dari tadi.
Ketika aku membuka mata, aku sendirian di kamar itu. Ruangan kamar terang karena sinar mentari, bukan lampu lagi. Posisiku nggak keruan. Persis kalau aku tidur berantakan di kasurku sendiri. Bekas Cazzo tidur masih terhampar di sana. Bahkan, masih hangat. Selimutnya pun tampak baru saja dikuak lima atau sepuluh menit yang lalu.

Aku mendengar banyak bunyi denting di dapur, ditambah Spongebob di TV ruang tengah. Ada suara kompor gas dinyalakan. Lalu bunyi denting. Lalu Patrick tertawa. Dan Squidward marah-marah. Lalu denting lagi. Suara membuka kulkas. Kemudian, Spongebob berteriak, “Patrick! Lihaaattt!” Aku tidak tahu itu episode yang mana. Lalu, entah mengapa mendadak suara presenter TvOne terdengar. “Selamat pagi. Anda masih di Apa Kabar In—“ Lalu suara Raffi Ahmad muncul, sedang bersahut-sahutan. Mungkin Dahsyat. Mungkin Cazzo sedang mengganti channel. Terakhir, suara kompor gas dimatikan. Dan, Cazzo memanggil. “Adeeek?”

Tanpa pikir panjang aku melompat dari ranjang. Kukenakan celana jins dan kausku yang bau ayam dijemur. Aku berusaha merapikan riasanku. Yang tampaknya sia-sia. Karena rambutku sedang dalam mode chihuahua kesetrum. Bagaimana kalau Cazzo sudah mandi di luar sana? Sudah berbusana rapi dan tampak seperti anak orang kaya? Sementara aku? Anak kampungan dari desa. Jins-nya murahan dan baunya nggak keruan. Apa aku perlu mandi dulu?

“Adeeek?”
“Oooiii!” balasku.

Mungkin, biar saja aku tampak seperti ini. Toh aku baru bangun tidur. Bukan salahku gaya rambut seberantakan ini. Dan, Cazzo pasti sudah melihatku bersama celana dalam kuning murahanku tadi. Ya ampun... aku nggak berani membayangkan itu.
Membayangkan Cazzo terbangun, menemukanku tidur telanjang berhelai celana dalam semata. Mungkin dia geleng-geleng kepala. Mungkin dia bergidik jijik, makanya dia pergi tanpa membangunkanku. Atau mungkin dia menertawakanku.

Ya Tuhan. Aku jadi malu.
Tahu begitu aku pakai celana jins-ku saja.

...

Tahu begitu aku tak perlu menginap saja. Mungkin memang aku bukan jodohnya Cazzo sampai kapan pun. Ayysell-lah yang cocok. Mungkin celana dalam Ayysell mereknya Victoria Secret, jadi dia tak pernah tampak memalukan sepertiku barusan.

Aku akhirnya memutuskan untuk melempar diriku apa adanya. Kalau tampak kampungan, ya sudahlah. Terima saja bahwa Cazzo memang tak pernah tercipta untukku. Terima saja bahwa aku harus mencari yang lebih masuk akal.
Derry misalnya.

Oh, Tuhan. Aku lagi nggak mau lihat hape.

Ketika aku berjalan ke dapur...
...
... aku justru menemukan Cazzo masih telanjang.

Maksudku, dia hanya mengenakan celana dalam segiempat hitamnya. Aku ingat, bahasa inggrisnya trunk. Celana dalam yang seperti hotpants. Serendah tepian jembutnya. Sependek garis selangkangannya. Dan kelaminnya tercetak jelas. Dia biarkan menggembung seperti sedang menyembunyikan gumpalan kaus kaki di dalamnya.

Dan bahkan, Cazzo tampak lebih berantakan dibandingkan aku. Hanya saja dia versi “kelihatan bagus dan so sweet”. Rambutnya acak-acakan, tapi persis artis Hollywood ganteng baru bangun tidur. Ada bekas cetakan tidur di tubuhnya, mungkin bekas bantal yang tertindih, atau selimut yang terjepit. Untuk membuatnya tampak imut-imut menggemaskan... dia ternyata sedang membuat omlet.

“Gue bikin omlet!” serunya senang. Kedua tangannya terangkat ke atas, persis petinju yang baru menang. “Nggak tahu enak, nggak tahu beracun, hahaha... makan aja lah!” Diakhiri dengan cengiran lucu yang bikin gemas. “Lo suka omlet nggak, Dek?”

“Suka.” Meski tentunya, aku nggak pernah makan omlet untuk sarapan.
“Sini duduk! Makan dulu. Kalo keasinan, bilang ya!” katanya.
Nggak usah, batinku. Kalau makannya sambil lihat kamu sih, omlet asin juga aku nggak akan peduli.

Kami makan di meja makan mewah sambil menonton TV. Tentunya Cazzo bercerita soal sejarah masak-memasaknya. Yang diakuinya nightmare. Dia nggak bisa masak, katanya. Mungkin iya. Tapi omletnya oke, kok. Bukan yang terbaik, tapi bukan yang terburuk. Kalau saja dia mau membangunkanku, mungkin aku bisa membantunya mengocok telur.

Masalahnya, aku tak bisa menikmati omlet itu karena visualku terganggu.
Aku yakin kalian juga akan merasakan hal yang sama. Bayangkan ini: satu meter di depanmu, ada lelaki menarik yang 90% telanjang. Lalu kalian makan omlet berduaan saja. Dan putingnya itu menarik perhatian. Dan perut ratanya. Dan bagaimana kurusnya lelaki itu tampak memukau—bukan kurus menjijikkan yang membuatmu bersimpati. Lalu hamparan kulit mulus itu... Oh, ya Tuhan... aku bahkan tak bisa berhenti mendeskripsikan kulit mulus itu. Karena itulah poin utamanya!

Kelaminku tegang sepanjang sarapan.
Pagiku terasa lebih berkobar-kobar dibandingkan biasanya.

Aku tak akan menampik rasa ingin berkhianat dari Derry. Tentu saja, aku tidak mencintainya hingga detik ini. Namun dia kekasihku secara teknis. Sehingga kalau aku begini begitu dengan orang lain, secara teknis pula aku berkhianat. Dalam benakku mulai tersusun beragam rencana memanfaatkan Cazzo agar mau bergumul denganku. Hanya fantasi saja, tentu. Toh aku homoseksual normal. Homoseksual yang otomatis membayangkan ranjang melihat Cazzo kondisinya seperti itu.

Mungkin aku bisa mengajaknya nonton TV di sofa setelah makan? Lalu kami akan mengobrol berdekatan. Lalu entah bagaimana caranya, kami berdua telanjang dan menggesek-gesekkan kelamin? Hahaha. Mimpi,ya.
Atau mungkin bisa kucoba? Siapa tahu.

Maksudku, kalau Cazzo saja bisa tertarik pada dugong Ayysell itu, aku percaya dia juga bakal tertarik pada lelaki sepertiku. Bahkan, aku sudah merelakan diri kalau aku harus mengenakan kalung-kalung etnis, andai memang Cazzo menyukai hal-hal kinky seperti itu. Mungkin di salah satu laci di rumah ini ada kalungnya Ayysell? Aku kan bisa pinjam.

Dan, gara-gara aku kebanyakan berfantasi soal itu, kini perut bawahku sakit menahan orgasme.

Sayangnya, fantasiku buyar lima menit kemudian ketika bel vila berdenting. Cazzo menatapku sambil mengangkat kedua alisnya. “Siapa itu?” tanyanya.
Aku mengangkat bahu.
Masih sambil telanjang seperti itu, Cazzo bergegas ke pintu depan. Aku masih berpikir mungkin itu penjaga vila yang mau mengantarkan pesanan atau menyiram kebun. Namun, ketika tamu itu masuk... jantungku copot.

Tamu itu Ayysell, ternyata.

-XxX-

Si Dugong sedang mabuk. Matanya berputar-putar. Kalau aku mengamati dengan seksama, aku jadi ikutan pusing. Dia mengenakan kostum kebesarannya: hotpants motif Burberry, sepatu bots berumbai, kaus polo ketat yang kancingnya tak bertaut, kalung rantai emas, dan gelang-gelang gemerincing. Padahal, sehari-hari jalannya sudah seperti bangau. Pagi ini, jalannya seperti bangau menari salsa. Cazzo sampai membopongnya masuk. Dan aku membantunya berbaring di sofa.

Satu-satunya hal yang membuatku bisa menahan panik adalah keputusanku mengenakan semua bajuku. Bayangkan kalau aku sarapan berlapiskan celana dalam kuning kampunganku saja. Mungkin Ayysell bisa otomatis sadar dari mabuknya kemudian membunuhku.

Untung sekali dia mabuk.

“Ayank kenapa sih mabuk-mabukan aja?” kata Cazzo ngambek. Dia duduk di samping Ayysell sambil mengusap kening kekasihnya, menghalau poni yang mengganggu.
“Taaam... tararam tam-tam... Akuuu boneka yaaang paling lucuuu...” Ayysell malah menyanyi.
“Ini, nih... kenapa aku nggak suka kalo ayank pergi dugem—“
“Masssaaa siiihhh?” telunjuk Ayysell bermain-main di hidung dan bibir Cazzo. “Akuuu boneka yaaang paling imuuut...”

“Ngapain aja semalem?” Alis Cazzo bertaut.
Kalau sedang ngambek begitu, aku jadi gemas ingin mencubit pipinya.
“Ngapain yaaa... kasih tau nggak yaaa...” Lalu Ayysell bersendawa. Keras, sekali. Sebisa mungkin aku menutup hidung, tanpa kelihatan kentara.

Kecuali Cazzo. Yang tampak tak terganggu dengan sendawa menjijikkan itu.

“Siapa yang nganterin barusan?”
“Pam pam, parampam...”
“Yank? Jawab, dong. Siapa yang nganterin barusan?”
“Gapai seeemuah... jemmmaaarikuh... rangkul eeeyke dalam—hik!“ Selama dua menit berikutnya, Ayysell menyanyikan lagu Rossa. Diselingi cegukan beberapa kali. “Aku... hik! Tegaaarrr...”

Kami jelas meninggalkannya di sofa untuk beberapa saat. Cazzo mengambil air minum. Dia tampak frustrasi. Sesekali, kupergoki dia salah tingkah menatap ke arahku. Mukanya memerah. Ya ampun, apa dia malu melihat kelakuan Ayysell di depanku? Nggak apa-apa, lagi. Toh memang dugong ini nggak bisa diharapkan. Kalau si dugong mabuk-mabukan, bukan salah Cazzo juga.

“Maaf, ya...” bisik Cazzo tanpa berani menatap mataku. “Esel emang...” Cazzo mengangkat bahunya. “Mudah-mudahan lo nggak risih atau apa—“
“Ah, nggak apa-apa.” Aku nggak risih karena Ayysell mabuk. Aku risih karena Ayysell jadi pacarmu, Kak. “Aku bawain selimut,ya.”

Ayysell masih menyanyi. Kali ini lagu Titi DJ.
“Sedalam dalam cintamuuuhhh... kuselami... warna-warna terrr—hik! Indah yang adaaa...” Bersendawa. “Diii... bumiii...”
“Ayank, udah!” Cazzo menepuk-nepuk pipi Ayysell supaya sadar.

Sampai detik ini, aku masih dilanda kecemasan. Aku masih takut Ayysell mendadak sadar dan menemukanku ada di sini. Titahnya kan sudah jelas: aku nggak boleh mendekati Cazzo dalam skenario apa pun. Apa jadinya kalau dia menemukanku menginap bersama kekasihnya? Jadi, dalam hati yang paling dalam, aku justru berharap Ayysell tetap mabuk.

Kalau perlu berminggu-minggu mabuknya. Lalu dia berjalan terhuyung-huyung ke kolam renang. Tercebur. Dan, tenggelam. Andai saja bisa terjadi.

Aku kembali membawa selimut dari kamar. Kubantu Cazzo menata selimut itu menutupi setengah tubuh Ayysell. Wajah Cazzo tampak cemas. Dan, aku iri. Ingin sekali aku punya lelaki yang sekhawatir itu ketika aku sakit.

“Hihihi... hihihi...” Lagu yang disenandungkan Ayysell mulai tak dapat dikenali. “Lompat satu, lompat duuuaaa... ada malaikat, itunya melooorrrooottt... hihihi...”
“Lagu apa itu?” tanyaku.
Cazzo menggeleng. “Lagu favoritnya. Tapi, gue nggak pernah tahu judulnya apa. Ayank... udah, ayank... ini minum.”
Ayysell sama sekali tidak mengindahkan segelas air putih yang sudah dibawakan Cazzo tadi.

“Hihihi...” Kemudian, lagu itu berhenti. Pandangan Ayysell jatuh ke arahku. Matanya menyipit. Dia berusaha mengenaliku. Dia berusaha mencari tahu kenapa aku ada di sana. “Kamu...”

Oh, tidak. Jangan sampai dia menyadari kalau ini aku.
Ya Tuhan. Apa aku sebaiknya pergi sekarang? Pura-pura ke kamar mandi? Atau bereskan meja makan dan pergi? Ayysell! Berhenti! Mabuk lagi saja! Jangan mengenaliku!

“Kamu... Mang Toto?” Ayysell bahagia sekali bisa menebak wajahku. “Mang Totooo... bikinin I lollliiipop! Dooong!”
“Ini bukan Mang Toto,” kata Cazzo. “Ini kan yang waktu itu—“
Buru-buru aku memotong Cazzo. “Lolipop, ya? Oke!” Aku tak peduli dianggap penjaga vila. Yang penting dia tidak tahu aku di sini bersama kekasihnya. “Bentar.”

Aku berlari ke dapur seolah akan membuatkannya lolipop. Di sana aku duduk bersembunyi. Memikirkan cara kabur terbaik. Apa alasan yang harus kukatakan pada Cazzo kalau aku mau pulang duluan? Kucingku masuk sumur lagi? Lagian, kalau aku pulang sekarang, memangnya aku tahu ini ada di mana? Jelas sekali di depan vila ini tidak ada angkot maupun ojek.

Di tengah kegelisahanku, aku malah bangkit dan naik ke lantai dua. Tubuhku seolah bergerak otomatis, memposisikan diri sejauh mungkin dari Ayysell. Aku sempat masuk ke kamar mandi lantai dua, tak punya bayangan mau ngapain di sana. Karena aku yakin Cazzo dan Ayysell benar-benar berpikir aku sedang membuat lolipop, aku menghabiskan waktu cukup lama di sana. Aku mondar-mandir di salah satu kamar besar di situ. Menggigit kukuku. Sesekali menengok ke tangga, berniat untuk turun dan menemui mereka lagi.

Namun setelah setengah jam berada di sana, aku malah dikagetkan oleh sosok anak kecil bermata cemerlang. “Argh!” Aku terkesiap sampai nyaris jatuh dari atas tangga. Anak kecil itu duduk di meja kayu dekat balkon. Dia menatapku sambil memiringkan kepalanya. Kakinya juga berayun-ayun.

Apa dia hantu? Kenapa dia terus mengikutiku?

Selama sepuluh detik lamanya aku membeku ketakutan. Kehadiran sosok itu rupanya lebih menyeramkan dibandingkan kehadiran Ayysell di sini. Dan sosok itu hanya duduk saja di sana. Tidak terbang ke arahku lalu mencekik atau apa. Dia bahkan tidak bersenandung atau cekikikan seperti kuntilanak.

Hanya duduk.
Dan, buatku itu lebih menyeramkan.

Setelah mengumpulkan lagi kekuatan, aku turun perlahan-lahan ke lantai bawah. Napasku lebih memburu dibandingkan saat kedatangan Ayysell tadi. Kepalaku bahkan celingak celinguk atas bawah, memastikan bocah itu tidak mengejarku. Ketika aku sampai di anak tangga terakhir, badanku penuh keringat dingin. Namun aku masih saja membayangkan si hantu bocah akan melayang lalu mencekikku dari belakang. (Maka dari itu aku selalu menoleh ke belakang setiap dua detik sekali.)

Aku harus memberitahu Cazzo, batinku. Harus.

Ketika aku sudah siap meneriaki Cazzo dengan, “Di atas ada penampakan! Ada hantu!” Aku dipaksa mengurungkan pengumuman tersebut. Karena ketika aku tiba di ruang tengah...
...
... Cazzo sudah telanjang bulat.
Pun, Ayysell.

Baju-baju mereka berceceran di sekitar sofa, dan Ayysell sedang duduk di atas perut Cazzo. Mereka berdua berciuman.
Dengan mesra.

-XxX-

Aku tak punya alasan lagi berada di sana. Tanpa pamit, aku pergi.

Aku meraih ponselku dan bergegas keluar. Mereka bahkan masih bercumbu meski aku sempat mengacung-acungkan tangan menarik perhatian dari arah TV—jujur, awalnya aku ingin pamit. Apa daya, kondisi pun tak mengizinkan. Aku menyusuri jalanan komplek vila mewah hingga menemukan pos satpam. Dari sana aku diberitahu untuk berjalan jauuuh sekali sampai mendapatkan angkot. Begitu menemukan angkot oranye Caringin-Dago, rasanya hidup ini indah. Mulai saat itulah aku kembali ke kenyataan bahwa aku ini hanya Niko anak tukang lotek.

Derry, tentu, sudah ada di depan gang rumahku ketika aku turun dari angkot. Tapi dia sudah kujinakkan lewat sms.
“Pokoknya aku mau pulang dulu. Entar sore aja aku ketemu kamu.”
Derry meludah. Kembali ke wataknya. “Pokokna, aing nunggu di sini!”
“Ya udah.”

Namun pada akhirnya, pukul setengah dua siang, aku sudah ada di kosan Derry. Diam di rumah rupanya ide yang buruk. Ibu menyuruhku ini itu. Sementara mood-ku sedang tidak dalam koridor yang sama. Aku hanya ingin bermalas-malasan. Dan, di seantero kecamatan ini, kelihatan jelas Derry-lah rajanya malas-malasan.

Derry, ajaibnya, tidak banyak bicara. Dia mendapat gitar butut hasil malak di RW 008. Katanya punya si Boreng, anak SMA Pasundan. Derry bilang, si Boreng porenges anaknya. Maksudnya: belagu. Jadi Derry ambil gitar butut itu, dia betulkan senarnya, dan dia mulai menghiasi ruangan kecil ini dengan suara serak tak beraturan nada.

Jreng-jreng-jreng... “I miss you but I hateyooouuu... my giiirrlll...” jreng-jreng-jreng...
Lagu pertama, Slank. Lagu kedua, Jikustik. Aku lupa lagi judulnya.
Bukan itu yang membuatku akhirnya cekikikan dan memperhatikan Derry lebih seksama. Beginilah Derry ketika salah tingkah. Aku menemukan wajahnya memerah setiap aku perhatikan dia lebih lama. Kalau tatapanku sudah keterlaluan, dia akan menyentak, “Apa, Njing! Lihat-lihat aja!” Lalu dia memalingkan muka, dan tersenyum sedikit-sedikit.

Tidak ada yang kulakukan sepanjang sore di kosan Derry. Aku hanya telungkup di atas bantal, memperhatikan Derry menyanyi dan membuat lagu. “Ini lagu buat si Boreng,” katanya, lalu bersenandung, “Boreeeng... Oh, Boreng! Mukamu kayak koreeeng...” jreng-jreng-jreng, “Kalau lewat kagak ngemeeeng... oh-oh-oh... kontolmu juga sedeeeng...”
Aku tertawa.

Derry juga tampak mempesona.
Setelah sms manis yang dia kirimkan semalaman, dia berpenampilan manis pula hari ini. Bajunya bersih. Bisa jadi dia sudah mandi. Sleeveless butut favoritnya itu sablonannya pudar. Namun tampak macho di badan Derry. Dia juga mengenakan celana pendek jins yang longgar. Yang memang sengaja begitu supaya bagian pinggangnya selevel sama selangkangan.  Entah dorongan libido dari mana, Derry kelihatan menarik lima kali lipat secara seksual hari ini.

Atau mungkin... gara-gara adegan pagi hari tadi?

Sesuatu yang seharian kucoba lupakan.
Ya, aku tak akan menangkis fakta bahwa aku masih menyimpan hasrat bercinta dengan Cazzo. Hasrat itu terus berputar di bawah perutku, kadang membuat perutku sakit, kadang membuat selangkanganku pegal. Aku bisa saja masturbasi untuk melepaskan semua beban itu. Namun tak bisa...

Karena pemandangan yang kulihat juga tak kalah mengganggunya.

Pertama, hantu anak kecil itu. Hantu yang membuntutiku ke mana-mana. Yang membuat tengkukku bergidik setiap mengingatnya. Yang membuat benakku sekarat karena penasaran mengapa dia terus ada di sana. Aku nyaris menghubungi Faisal untuk menceritakan pengalaman spiritualku itu. Bagaimanapun juga, hantu itu membuntutiku sejak aku menghadiri festival itu.

Kedua, aku masih belum sanggup melupakan figur Ayysell, telanjang, sedang bercumbu bersama Cazzo di atas sofa. Rasanya... kamu tahu... menjijikkan. Aku berusaha menangkis sosok Ayysell telanjang itu, langsung menyibukkan diri atau bernyanyi tiba-tiba... tapi lengan kurus Ayysell tetap memenuhi otakku, aaargh... dan juga paha berselulit itu... eeewww... Setiap kali aku berniat untuk onani sambil berfantasi tentang Cazzo, sosok Ayysell menghancurkan semuanya.

Jadi pada akhirnya, aku hanya membiarkan diriku tersiksa. Nyanyian dari Derry justru—sedikit banyak—menghiburku.

“Nico!” Derry berhenti bernyanyi. “Sia diem aja! Kenapa?”
Aku menggeleng. “Nggak apa-apa. Aku lagi nikmatin kamu nyanyi aja...”
“Wah?” Tautan alisnya menunjukkan dia tak percaya. “Suara aing kan busuk. Sia nyindir, hah?”
“Buat apa aku nyindir?” Kali ini, alisku yang bertaut. Karena tersinggung. “Terserah aku dong, mau nikmati nyanyian siapa aja!”

“Oh.” Derry manggut-manggut. Mukanya memerah. Dia menepuk beberapa kali gitar bututnya, seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu, setelah keberaniannya terkumpul, dia utarakan juga. “Nico... ewean, yuk?”

Aku cekikikan dalam hati. Gemas melihat tingkah Derry yang tidak biasa itu. Maksudku, sampai hari kemarin, dia akan melucuti bajuku dengan paksa, lalu nungging, lalu aku diminta memasukkan kelaminku ke duburnya. Semua tanpa pemanasan... apalagi perasaan. Tidak pernah dalam sejarah hubungan seksual kami, Derry mengajakku seformal itu.

Sayangnya, aku menggeleng dengan tegas. “Aku lagi nggak mau.”
“Ayolah...” Derry meletakkan gitar itu di atas meja, lalu telungkup di sampingku. Persis sepertiku. “Si Memey belum ada yang nengok.”
Memey adalah sebutan untuk lubang pantatnya. Karena tidak mungkin itu disebut memek, jadinya dia sebut memey.

Aku tetap menggeleng. “Akunya lagi capek.”
“Njing! Nginep doang bisa capek. Cepet, lah... diewe, yeuh...” Derry otomatis menelanjangi dirinya.

Ya, dia sudah mandi. Aku bisa mencium wangi sabun dari kulit tubuhnya. Ketika Derry mengangkat tangan untuk melepas kausnya, dia mengingatkanku pada Cazzo. Ketika dia melorotkan celananya, pun dia membangkitkan fantasiku akan Cazzo. Dan dia duduk sambil telanjang di sampingku. Pemandangan yang sebenarnya sering kutemui empat tahun terakhir. Namun hari ini... rasanya berbeda.

“Hayuk!” ajaknya.
Aku tetap menggeleng.
“Sok, lah... sekarang mah gimana sia, Nico... mau eweannya versi sia juga is okay...” bujuknya lagi. “Mau nyepong, kan?” Diam enyodorkan alat kelaminnya.

Wow. Ini pertama kalinya benda itu disodorkan di depan mukaku. Dalam rangka oral sex, pula. Kemajuan yang sangat pesat dalam hubungan seksual kami.

“Atau aing diiket? Kayak film bokep di hape sia ituh!”
“BDSM?”
“Yah itulah. Sok, aing mau lah... nu penting sia ngewe aing.”

Tawaran yang seksi, kalau boleh dibilang. Kelamin kebanggaan Derry menggantung megah di hadapan wajahku. Aku akhirnya bisa mengamati bekas luka sunatnya Derry, atau lebatnya jembut yang keriting itu. Wanginya juga khas... seperti...

Yah, seperti kelamin laki-laki lainnya.

Tidak pernah sebelumnya aku merasakan gelenyar gairah seperti ini terhadap Derry. Biasanya gairahku akan bercampur rasa takut, rasa jemu, hingga rasa jijik karena aku harus menyodomi Derry lagi dan lagi. Kalau kamu tidak keberatan aku menyampaikan satu fakta ini: ya, kadang kotorannya ikut keluar ketika “proses itu”, yang otomatis membuatku mual. Tapi aku tidak akan membahas soal itu. Sudah cukup menjijikkan prosesnya kualami, tak perlu diceritakan ulang.

“Kemon, broooh!” serunya. “Sia sok jaim pisan, Njing! Inih! Suka, kan?” Alat kelaminnya ditampar-tamparkan ke mukaku.
Ya, aku suka, batinku. Tapi nggak dalam momen ini.
Aku tak akan menyangkal bahwa apa yang dilakukan Derry sekarang benar-benar seksi. Tapi aku juga akan jujur pada kalian... bahwa aku benar-benar tidak mood berhubungan seks.

Apa aku perlu menyegarkan diri dulu? Maksudku, dengan sumpeknya kosan ini, Bandung yang panas, bayangan Ayysell telanjang sambil memutar-mutar kelaminnya seperti Derry terputar di otakku, belum lagi aku agak lapar... Mungkin aku perlu cuci muka.

“Aku mau ke kamar mandi dulu,” kataku, seraya bangkit.
“Ngapain, Njing?”
“Cuci muka.”
“Biarin, lah! Muka sia tuh dicuci gimana pun juga, bakalan tetep gitu. Inih... aaa... buka mulutnya...”

Aku menangkis suapan kelamin Derry. Dengan percaya diri aku berdiri dan meninggalkan kosan itu, turun menuju kamar mandi. Derry tentu saja membuntutiku. Dia melilitkan handuk bututnya, yang sebenarnya bolong di tengah sehingga belahan pantat Derry kelihatan, lalu merayu-rayuku sampai kamar mandi.

“Ayo, Nico! Ah, sia mah!”
Bahuku sampai ditariknya supaya kembali ke kamar.
“Bentar, dulu... aku mau cuci muka dulu.”
“Udahlah... Nggak usah dicuci segala mukanya. Kan bukan piring. Hayuk!”

Aku mengabaikannya. Aku tetap pergi ke kamar mandi, diekori Derry yang kerepotan memasang handuk bututnya.
“Atau sia mau ewean di sumur?”
“Cuci muka doaaang... kenapa, sih?”
“Tapi udah itu ewean, kan?”

Tak kujawab pertanyaan itu. Yang kulakukan berikutnya hanyalah fokus menyegarkan diri. Mungkin sebenarnya aku perlu mandi. Atau spa—kalau aku punya uang. Mungkin aku juga akan sekalian gosok gigi. Jadi, aku membeberkan semua peralatan mandiku yang sudah kuletakkan di kamar mandi sejak dua hari lalu, dan mengambil pencuci muka.

Semua berjalan lancar, kecuali bagian Derry terusmeraung-raung minta segera. Dari bayangan cermin kecil kamar mandi, aku bisamelihat Derry berdiri di pintu, menggesek-gesek punggungnya di daun pintu,mengira aku akan tergoda dengan tarian striptease-nya. Aku hanya memutar bolamata sambil kembali mengusap pipiku dengan pencuci muka.

Ketika aku membasuh mukaku lagi, lalu menengadah untuk melihat sisa sabun di wajahku—
“ARGH!”
—sosok Derry sudah berganti...

... menjadi bocah kecil bermata cemerlang itu.

-XxX-

“Maaf aku jadi ngerepotin.”
“Nggak apa-apa. Sini, masuk!”
“Aku nggak tahu mesti ngehubungin siapa lagi. Temenku nggak ngangkat teleponnya. Satu-satunya nomor yang kuingat cuma nomor kamu.”
“Ya udah, nggak apa-apa. Maaf ya kamarnya berantakan.”

“Maaf karena kamu jadi mesti jemput aku.”
“Eeeh... udah dibilangin nggak apa-apa. Ayo, sini masuk. Saya ambilin minum dulu.”
“Nggak usah repot-repot. Mungkin aku cuma bentar aja.”
“Lama juga nggak apa-apa.”

“Kamu nggak ada acara hari ini?”
Faisal berhenti sejenak lalu memutar otak. “Sebenarnya ada. Saya mau ke Pameran Tumaninah itu lagi. Tapi katanya hari ini ditutup. Ada garis polisi di mana-mana. Barusan saya juga baca tweet-nya infobandung, dia ngeretweet banyak orang Bandung yang ngetweet soal ditutupnya Pameran Tumaninah.”

Ya, benar. Aku sedang bersama Faisal saat ini. Berada cukup jauh dari rumahku sendiri. Kabur dari Derry. Dan dalam kondisi tertekan.

Bayangkan saja, satu-satunya kengerian yang tak pernah mau kualami, nyatanya terjadi beberapa jam lalu. Aku selalu punya paranoid ketika berada di kamar mandi, ketika pandanganku teralihkan sebentar dari cermin, lalu mendadak bayangan di cermin berbeda dengan kenyataan. Dan, itu terjadi padaku tadi. Jantungku rasanya copot. Sebadan-badan aku seperti kesemutan.

Hantu bocah bermata cemerlang itu mengikutiku sampai kosan Derry. Dia hanya diam di sana, menatapku tanpa ekspresi. Menerorku. Ketika aku berbalik menghadapnya, Derry-lah yang ada di sana, bukan si bocah hantu. Tanganku sempat gemetar karena kejadian itu. Memang, durasinya hanya tiga detik. Namun aku bisa ingat dengan jelas bahwa bayangan di cermin itu benar-benar si bocah hantu!

Semuanya tambah mengerikan ketika aku menghambur keluar dari kamar mandi sempit itu. Derry membuntutiku, masih sibuk memegangi handuknya. Satu-satunya yang ada di benakku adalah kamar tidur, kamar tidur, kamar tidur. Ada perasaan aman ketika aku membayangkan kamar tidur Derry. Mungkin sebaiknya bercinta saja dengan Derry. Pokoknya jauh dari kamar mandi terkutuk itu.

Sayangnya, ketika aku sampai di kamar Derry, keberanian yang sedikit demi sedikit kucoba kumpulkan, harus luntur dan meleleh lagi. Tepat ketika aku mendobrak pintu dan menghambur masuk...

... ternyata Derry sedang ada di atas ranjang. Berpakaian lengkap. Bau. Dan memainkan gitarnya. “Sia udah pulang?” katanya.

Otomatis, aku menoleh ke belakang...
... Derry berhanduk butut itu tidak ada.
Bahkan mungkin, tidak pernah ada.

Detik itu juga aku menelepon Sissy, yang berujung pada tujuh belas missed call. Derry, yang sudah kupastikan asli, marah-marah karena aku mengabaikannya. Entah mengapa muncul nama Faisal di tengah kepanikanku itu. Sehingga tanpa pikir panjang aku meneleponnya, mengajaknya ketemuan, beralasan macam-macam pada Derry, dan untuk pertama kalinya aku menangkis cengkraman tangan Derry. Aku kabur. Seadanya. Dengan uang di saku yang seadanya pula.

Di Tamansari aku turun dari angkot, karena uangku nyaris habis. Di situ pulalah Faisal menjemputku. Aku bahkan belum tahu apa yang sedang kulakukan saat itu. Aku juga nggak tahu, memangnya mau apa aku minta ketemuan dengan Faisal.

“Kamu panik,” kata Faisal kemudian, sambil menyuguhkan segelas air putih. “Minum dulu. Tarik napasnya.”
“Terima kasih.” Kuteguk air hingga habis. Lalu aku merapikan lagi napasku.
“Jadi gimana ciri-ciri hantu itu?”

Dalam perjalanan menuju kosan Faisal, aku menumpahkan semua kejadian yang kualami berkaitan hantu bocah itu. Aku menceritakannya berulang-ulang. Bagaimana rasa takutku. Bagaimana aku kebingungan. Pun spekulasiku bahwa itu semua dimulai dari Pameran Tumaninah itu.

Faisal mendengarkan dengan seksama. Dia jelas nggak memahami ceritaku. Aku maklum. Aku saja belum mengerti mengapa bisa terjadi. Namun dia tampak ingin mencoba memahamiku. Setiap kata-kataku diolahnya dengan serius.

Hujan deras mendadak mengguyur di luar. Tepat ketika aku selesai menceritakan Derry yang berubah menjadi hantu anak kecil di cermin. Suara berisik hujan seperti gemerisik seng yang sedang dilipat-lipat. Atau kresek. Faisal terpaksa menutup jendela kosannya. Cipratan air mulai masuk.

“Saya udah coba tulis ulang isi jurnal itu. Belum selesai, sih. Sejauh ini saya belum ngerti maksudnya apa. Nyeritain tentang seorang cowok. Namanya Dicky. Kayaknya nih orang suka ama yang namanya Agas. Lalu, entah ada problem apa gitu, dia harus pergi ke suatu tempat. Barusan saya nulis ulang pas di bagian Esel.”

Alisku terangkat satu mendengar kata itu. Kok, mirip nama pacarnya Cazzo?
Nggak di sini nggak di jurnal, kata Esel ada di mana-mana.
Kenapa bukan Nico?

Astaga.
Bayangan kaki kurus dan dada papan cucian itu muncul lagi dalam benakku.
Badan Ayysell, ya. Bukan badan Cazzo.
Kalau cowok lain yang papan cuciannya adalah perut. Ayysell justru dadanya.

Hentikan, Nico.
Hentikan.
Bisa dianggap kafir dari homoseksualitas kalau terus-menerus membayangkan Ayysell.

“Mau baca?” tawar Faisal.
Aku mengangguk menerima jurnal itu.
“Padahal hujan. Kok panas, ya?” Faisal mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah.

Dia nggak bicara padaku. Dia justru berpaling. Dan, dia kepanasan.
Kok, bisa kepanasan?
Aku, sih kedinginan.

Aku membuka catatan tulis ulang yang dibuat Faisal. Tulisannya bagus.
Maksudku, tulisan Faisal.
Sebentar. Aku baca dulu jurnalnya.

to be continue