DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



It's Always About You - Chapter 4

Chapter 4, The Perfect Guy
 by Oswald


Hari pertama pelajaran di sekolah baru gw pun dimulai. Gw belum begitu mengenal semua siswa-siswinya. Hanya beberapa anak hasil perkenalan gw dengan teman-teman ospek ajah. Itu pun ternyata gw enggak begitu cocok. Dan gw itu kelemahannya, suka lupa wajah orang. Jadi sering tuh kejadian di dalam idup gw, ada orang menyapa gw, lalu gw balas sapaan dia sambil tersemyum, tapi gw enggak tau dia siapa.
Dan teman-teman ospek gw itu beda banget waktu pakai seragam ospek dan waktu sekarang pakai seragam sekolah. Jadi gw rada lupa semuanya.

Di Denpasar, budaya berteman sangat berbeda sekali dengan di Jakarta. Mereka lebih berkelompok dan tidak terlalu membaur satu sama lainnya.
Mungkin karena siswanya banyak sekali. Bayangkan aja, untuk kelas 1 SMA saja terdiri dari 9 kelas.
Terlebih di sini mereka lulus dari sekolah yang sama yaitu SMP St. Yoseph. Sehingga mereka sudah saling kenal dari dulu.
Tapi gw yang anak baru hanya pelanga-pelongo kebingungan mencari teman yang kira-kira bisa akrab.

Mau tidak mau ya gw sok pede saja. Dan mulai menyapa beberapa anak di kelas gw.

Di kelas, gw duduk di bangku ke dua dari belakang di baris tengah. Gw duduk dengan anak bernama Dendra. Dia anak yang baik, namun pendiam.
Di sini mereka mengobrol menggunakan bahasa asli Bali mereka. Jadinya ya gw tidak begitu paham apa yang mereka bicarakan.
Terkadang mereka tertawa sambil melirik-lirik ke arah gw dan berbisik-bisik.
Gw cuma kebingungan saja. Emangnya ada yang salah ya sama penampilan gw?
Wew, emang sih gaya rambut gw spikey gitu, berdiri-berdiri dan gw tuh putih sendiri di kelas. Ada juga sih yang putih, tapi gak seputih kulit gw. Sedangkan yang lain semua kulitnya kecokelatan. Pokoknya keliatan banget deh bahwa gw tuh pendatang baru.
Jam sekolah kelas 1 SMA itu masuk siang dan pulang sore, ini karena jumlah anak kelas 1 SMA sangat banyak, maka jamnya dikhususkan.



Hari demi hari berganti dan gw mulai membaur dengan teman-teman baru. Gw mulai belajar aksen dan bahasa Bali. Lucu juga sih pertama mendengar aksen Bali buatan yang keluar dari mulut gw. Tapi lama kelamaan gw terbiasa dengan nada dan bahasa Bali.
Gw mulai kenalan dengan anak-anak sesama pendatang. Ada yang dari Solo, Surabaya, Manado, Bandung, dan banyak lagi.

Di sini gw dapat teman satu grup yang asli baik banget. Salah satu teman-teman baik gw itu bernama Joe (perempuan), Henny, Surya, Vita, Donny, Ely, Suartika, dan beberapa teman lagi. Kami menamakan diri VIP. Grup, kami sering pergi ke pantai bersama. Sepulang sekolah kami segera berangkat ke pantai di daerah Nusa Dua, dan langsung nyebur ke laut. Di sana ada dermaga yang menjurus ke tengah laut, dan kita bisa snorkling melihat-lihat ikan laut yang asliii cantik-cantik banget.
Setiap hari kami selalu ke Kuta, sekedar untuk bermain di Time Zone, atau hanya duduk-duduk di pinggir pantai sambil menikmati eskrim Mc Donald.
Terkadang gw hang out bareng teman-teman sekolah lain dan biasanya base camp kami di Circle K Mart Pantai Kuta, dan menikmati brownise cokelat.
Atau kalau tidak pergi bersama teman-teman, gw juga suka pergi sekeluarga ke Hard Rock Hotel Kuta untuk berenang, dan makan malam bersama. Bonyok member di sana, jadinya kita sering berenang sore-sore hingga waktu makan malam.

Ketika teman-teman di Jakarta tumbuh dengan gaya metropolitan, mal mewah dan gaya urban kota, gw tumbuh dengan berbagai aktifitas alam seperti ke pantai, ke gunung, ke danau dan hanya hangout ke cafe-cafe di sekitar Kuta-Legian-Seminyak.
Dari sini pola pikirku pun mulai berubah. Dan gw mulai tidak merindukan teman-teman di Jakarta lagi, walau terkadang, masih saja ada rasa kangen yang menggerogoti hati gw. Kalau udah begini, bawaannya mellow banget.

Tidak memakan waktu lama, gw sudah tergabung dalam organisasi sekolah. Gw masuk dalam kelompok sosial kemanusiaan. Gw menjadi salah satu anggota penggalang dana bagi kegiatan sosial sekolah. tugas gw yaitu, setiap hari Senin dan Jumat, gw harus berangkat lebih awal ke sekolah, dan berkeliling dari kelas ke kelas untuk meminta sumbangan. Itu termasuk gw harus memasuki kelas para kakak kelas di pagi hari.

Kali itu hari pertama gw bertugas menggalang dana. Gw memasuki setiap kelas dan meminta sumbangan kepada kakak kelas. Dan akhirnya gw memasuki kelas gw sendiri yang pada jam pagi itu di tempati para kakak kelas. Saat gw masuk kelas itu, gw langsung disoraki oleh para kakak kelas jahanam. Gw dikatain Sincan lahh, ada yang manggil gw Daia (merek sabun pencuci baju), dan lain-lain. Waduh koc kelas yang ini kakak-kakak kelasnya pada super rusuh ya?? batin gw.
Mereka ngata-ngatain gw karena rambut gw yang berdiri ala spikey gitu. Dalam hati, emang gak tau ya gaya spikey. Wew.. senorak itukah anak-anak Bali?
Gw dengan cueknya tetep ngider-ngider di dalam kelas untuk meminta sumbangan. Dan pada saat itu, gw melihat DIA lagi.
Ardo, kakak kelas tampan yang gw ketemu sewaktu orientasi. Wah ternyata dia berada di ruang kelas yang sama dengan kelas gw.
Dan ternyata eh ternyata, dia adalah ketua kelas. Wow! tambah kagum gw.
Ada beberapa kakak kelas najong yang doyan ngisengin adik kelas. Kantong sumbangan gw dilempar-lempar dan dioper-oper sehinnga gw gak bisa ngambil. Dengan gagah dan tegas Ardo mengambil kantong itu dari teman-teman nistanya dan memberikannya ke gw.

"Nih dik." katanya sambil memberikan kantong sumbangan gw.
"Terima kasih, kak." kata gw sambil menerima kantong itu. wuih suaranya kak Ardo keren, pikir gw. Beneran, suaranya khas banget.
"Udah semuanya kan?" tanyanya lagi.
"Udah, kak, terima kasih." gw mesem-mesem malu gitu. Terus gw segera keluar meninggalkan kelas itu. Sumpah, wajahnya ganteng bangeeettt...
Lesung pipinya itu loohhh... Anjriiitt!!!

Jantung gw deg-degan gak karuan. Koc gw deg-degan gini sih? Duh norak banget deh gw. Shit!! Wat the hack just happened?


Sepulang sekolahnya, gw berjalan bengong. Seharian gw gak konsentrasi belajar. Di mana teman-teman kelas gw lainnya pada rusuh, gw tetep gak bersemangat.
Beberapa teman anggota VIP menyusulku. Joe dan Ricky.

"Hoy Os!" teriak Joe.

"Hey.." sahut gw lemes.

"Napa koc lemes banget?" tanya Ricky. Ricky nih cowok semarang, orangnya putih seperti gw dan mukanya lumayan ganteng. Kalem-kalem macho deh.

"Iya nih, aku lagi enggak mood.." jawab gw masih lemes. Di Bali, orang-orang lebih tebiasa menggunakan kata Aku-Kamu. Bukan Gue -Elo seperti di Jakarta.

"Oh kenapa tah Os?" tanya Joe.

"Umm.. enggak papa." jawabku

"Naksir cewek yahh?" tanya Joe lagi menggoda.
Sekejap wajah gw langsung merah.

"Wuih beneran nok, si Os lagi jatuh cinta." Ricky enggak kalah iseng.

"Ndak Rick, aku ndak kenapa-kenapa koc." bohongku.

"Koc mukamu merah gitu cih? Wah pasti ke lagi suka sama orang ya?" tanya Ricky lagi, kepo.
Di Bali kata Kamu sering di ganti menjadi Ke.

"Ah ndak koc. Eh, ke tau kakak kelas yang namanya Ardo?" tanyaku.

"Oh, tau sih. Tapi ya aku ndak kenal." jawab Joe. Ricky cuma menggelengkan kepala. "Kenapa tah Os?" tanya Joe lagi.

"Oh, ndak apa koc, Jo." jawabku bohong lagi.

"Yang aku tau dia itu ya Ketua OSIS kita." jawab Joe.

Duerr! Kaget gw. Buset, si Ardo ternyata ketua OSIS juga? Wew.. Tambah merah wajah gw.

"Ya weis, aku pulang dulu yah Jo, Rick. Besok ya." kataku langsung kabur. Joe dan Ricky yang gw tinggal begitu aja cuma bisa benong kebingungan.

Gila tuh si Ardo, ternyata Ketua OSIS juga. Semua ajah jabatan di sekolah dia ambil. Jadi Kepala Sekolah ajah sekalian doooo....

Suatu hari gw dan teman-teman VIP sedang berjalan-jalan di Kuta. Waktu itu hari masih siang. Sekolah kami libur karena adanya Perayaan Adat Bali.
Sedang asik-asiknya berjalan sambil bercanda, tiba-tiba seorang teman kami berteriak.

“Kita main di Time Zone ajah yuukk!! Vita spontan berteriak.
Ely sampai kaget dan menumpahkan sedikit eskrim cornnya.

“Yuukk!” Andre menjawab kegirangan.

Semuanya setuju, dan jadilah kami bermain di Time Zone Matahari.

Serentak gak pakai lama teman-teman gw pun udah pada sibuk bermain sendiri-sendiri.
Dan gw pun memainkan game favorite gw. Selalu berhubungan dengan tembak menembak.

Sedang seru-serunya gw nembak-nembakin raptor di layar kaca game Jurassic Park, tiba-tiba teman gw berkata,
“Eh, temanku mau dateng.” kata Dian sambil wajah menatap layar HP.

“Oh. Siapa?” tanya gw acuh tak acuh. Maklum, gw kalau udah kena game tembak-tembakan kayak gini jadi autis.

“Sadris.” jawab Dian sambil masih bersmsan.

“Oh, ok.” gw masih asik dengan game gw. Terserah deh. Lagian siapa lagi tuh Sadris? Gak kenal. Bodo ah, pikir gw.

Tidak berapa lama, teman-teman Dian yang disebutnya tadi pun akhirnya tiba.
Teman-teman gw ang lain sudah berkenalan dengan gangnya Sadris itu.

Cuma gw yang masih menembak-nembak di layar kaca game. Gw sama sekali enggak sadar kehadiran anak gang lain. Gw konsentrasi sama game gw.

Tiba-tiba Dian menggamit lengan gw. “Os, kenalin donk, teman aku.”

Gw menoleh ke Dian, kemudian ke arah gang teman-temannya Dian dan... JEDEERR!!
Gw melihat DIA lagih...
Ardo berdiri di tengah teman-temannya, memakai kaos Volcom hitam, celana jeans pendek belel berwarna biru tua, sendal jepit hitam dan tas selempang Kuta Lines, melihat ke arah gw yang masih dengan bodohnya megangin senapan game. Kedua pipinya memiliki semburat warna kemerahan karena terbakar sinar matahari. Rambutnya dengan gaya mohawk yang keren, matanya yang tajam, senyumnya yang ringan, dan lesung pipitnya yang membuat gw.... gak rela berkedip. Duuhh... Cute banget tuh manusiaaaa....
Gw langsung bengong, melongo, mata gw gak berkedip sedikit pun.
Jagoan gw di dalam game di makan T-Rex. Game Over.

“Os, koc bengong sih? Ini kenalin temanku, kakak kelas kita, Sadris.” Dian akhirnya membuyarkan bengong super bodohnya gw.

“Saya Sadris.” Sadris meperkenalkan diri. “Ini teman saya, Eka, Daniel, Dika...” Sadris memperkenalkan tema-temannya. Gw menyalami teman-temannya juga.
“.... dan Ardo.”

Gw kembali bengong.

“Hai, kita pernah ketemu.” Ardo mengulurkan tangannya untuk bersalaman.

“Iya, kak, saya Oswald.” akhirnya gw mampu bergerak dan membalas salamannya. Kulit telapaknya halus, tapi genggaman tangannya kokoh.

Asliii gw grogiiii bangettt. Gw kayak panik sendiri dan salting-salting enggak jelas gituh. Gw mati-matian kelihatan biasa. Tapi ya ampun gw deg-degan abiiiss... Teman-teman gw enggak sadar kalau gw grogi, cuma satu orang yang tahu bahwa gw lagi grogi. Henny, dia bisa melihat kegrogian gw. Dan saat itu, Henny sadar akan satu hal. Satu rahasia kecil yang tersembunyi.


Kami akhirnya menghabiskan siang ke sore itu di sebuah cafe di daerah Kuta Square.
Teman-teman VIP sudah dapat membaur dengan Sadris and the gang. Kakak-kakak kelas yang ini sangat ramah dan baik. Mereka suka berguaru dan gurauan mereka asli lucu, enggak jayus.
Mereka tidak membeda-bedakan dan tidak membuat jarak antara kakak kelas dengan adik kelas.
Tawa dan canda terus mewarnai kehadiran kami bersama. Sesekali ada obrolan serius, gosip-gosip guru dan bercandaan yang sedikit "adult".

Gw masih aja grogi. Meskipun suasana sudah cair, secair-cairnya, tetap saja grogi gw belum juga hilang, apalagi duduk berhadapan dengan Ardo begini.

“Kamu tinggal di mana, Os?” Tiba-tiba Ardo bertanya. Dia tersenyum ringan. Lesung pipitnya langsung terlihat. Duh manisnyaaaa... kalau di komik-komik, gw tuh udah yang terbang sambil kayang-kayang gituh.
Teman-teman yang lain sama sekali tidak menggubris pembicaraan gw dan Ardo. Cuma kita berdua yang mengangkat topik berbeda sendiri.

“Saya tinggal di Sudriman Agung, kak.” jawab gw singkat.

“Oh. Ke asal mana, Os?” tanya Ardo lagi sambil memotong steaknya.

“Aku dari Jakarta, kak.” jawabku sambil senyam senyum bego.

“Umm.. Di Bali tinggal sama siapa?” Ardo kembali bertanya.

“Saya tinggal dengan orang tua dan abang saya, kak.” jawabku dengan masih senyam senyum bego.
“Kakak asalnya dari mana?”

“Aku dari Surabaya. Tapi udah dari kecil tinggal di Bali.” jawab Ardo tersenyum. “Jangan panggil kakak, panggilnya nama aja.”

OMG!! Gw disuruh manggil nama ajah... Gimana kalo manggilnya Beib ajah?

“Kak, eh, kamu tinggal di mana, do?” tanyaku belepotan.

“Aku tinggal di Gatot Subroto.” jawabnya dengan masih tersenyum.

Pembicaraan kami pun mulai masuk lebih dalam. Ardo menceritakan tentang bisnis kecil-kecilan yang baru saja diikutinya, yaitu berjualan berlian. Bisnis ini dia ikuti karena disarankan oleh ibunya, dan hasilnya lumayan besar.
Wow! Hebat banget, pikir gw. Masih muda udah mikirin bisnis. Bisnis berlian lagi.

Lalu obrolan kami pun berkenaan mengenai hal yang kami senangi, tentang keluarga, traveling, cita-cita dan kemudian berkisar tentang music. Ardo sangat mencintai musik. Dia pun bisa bermain alat musik terutama gitar dan bass. Musik kegemaran dia adalah Alternative, Jazz dan Soul. Humm.. Wat a nice taste he has...
Ardo benar-benar berkelas. Tutur bahasanya khas sekali dan sangat berpendidikan. Nada bicaranya santai dan tenang. Dan dia sangat smart! Pola pikirnya sangat tinggi dan tidak dangkal. Dan yang paling gw suka adalah, Ardo sangat open minded. Pikirannya seperti orang luar. Banyak hal yang dia share ke gw yang membuat gw ber OOO ria.

Sedang asik-asiknya gw ngobrol dengan Ardo, tiba-tiba, selalu tiba-tiba, Dian berteriak lagi.

“Udah sore nih, kepantai yuukk!! Liat sunset!!” teriaknya spontan. Ely sampai kaget dan menumpahkan ice lemon teanya.

Semua setuju, dan kami pun segera closing bill.

Setelah keluar dari cafe, Dian mengajak kami semua berlari cepat-cepat karena sudah hampir pukul enam sore. Kami pun akhirnya berlarian di sepanjang jalan Kuta Square, sambil tertawa-tawa.
Ketika kami berbelok ke ujung Kuta Square, mendadak jalanan ramai dan dipenuhi oleh turis asing. Jalanan itu sangat ramai hingga kami harus berhenti berlari dan mulai berjalan berdesakan. Namanya juga anak muda, kami berjalan cepat sambil menyelap nyelip para turis asing itu.

gw berjalan paling belakang. Ardo berjalan persis di depan gw.
Seketika sendal gw terserimpet dan talinya pun putus. Sialaaannn!! Hampir ajah gw jatoh!
Gw lalu menunduk untuk melihat sendal nista gw yang putus. Gw sedang setengah berjongkok, berusaha membetulkan tali sendal jepit gw ketika gw mendengar nama gw dipanggil.

“Os...! Oswald...!” Ardo memanggil gw. Dan tau enggak dia ngapain? Dia kasih liat titinya ke gw... Hahahaha!!! Enggak deehhh... Ngarepp...!!


Gw sedang setengah berjongkok, berusaha membetulkan tali sendal jepit gw ketika gw mendengar nama gw dipanggil.

“Os...! Oswald...!” Ardo memanggil gw.
Di tengah keramaian turis itu, Ardo menjulurkan tangan ke arah gw. Badannya yang tadinya menghadap ke depan, dipalingkannya ke belakang, menyamping dengan wajah lurus menatap gw. Telapak tangan kanannya terbuka, terjulur ke arah gw.

Melihat itu gw langsung berlari, meraih telapak tangan Ardo. Gw enggak memperdulikan sendal nista gw yang putus itu. Ketika telapak tangan kami bersentuhan, Ardo langsung menggandeng telapak tangan kiri gw.
Lalu dia menarik gw dari keramaian.

Dan kami pun berlari bersama.

Kemudian Ardo melihat ke bawah. “Koc sendalmu cuma sebelah, Os?” tanya Ardo kebingungan.

“Eh, iya, kak, Tadi talinya putus yang sebelah.” Gw menjawab sambil senyam senyum bego.
Tuh kan gw keceplosan lagi manggil Kakak.

“Wah, Ya udah nih pakai sendalku.” Ardo melepaskan sendal
Converse hitamnya dan menyodorkan sendalnya ke dekat kakiku.

“Ah, tidak usah, kak. Tidak apa-apa koc. “ Gw berusaha menolak. Yah enggak enaklaahh.. Masa sendal gw yang putus tapi jadinya die yang nyeker.

“Udah buruan pakai sendalnya. Nanti kita ketinggalan sunset loh.” kata Ardo sedikit gusar. Tangannya masih menggandeng tangan gw.

Gw menurutinya, gw pakai sendal milik Ardo. Kemudian dia menarik gw lagi dan kita lenjut berlari. Tangannya masih menggandeng gw, telapak kakinya bertelanjang kaki, dan sendalnya jadi gw yang pakai, meski agak kebesaran.

Kami pun menyeberangi Jalan Raya Kuta dan tiba di pinggir pantai. Wuiih.. pantainya ramai sekali. Rombongan kami akhirnya mendapati area yang lebih sepi. Dan cepat-cepat duduk.

Matahari tepat mulai terbenam. Warna merahnya begitu terang, dengan pendar keemasan disekitarnya. Awan kelabu yang memantulkan sinar emas matahari membuat langit terlihat lebih dramatis. Air laut memantulkan cahaya emas yang bergerak-gerak menyilaukan.
Indah sekali. Aku terbuai dengan semua itu. Pemandangan sunset adalah salah satu pemandangan favoritku.

Kami berempat belas duduk bersama di atas pasir putih. Joe duduk sambil merangkul Henny. Ely bersandaran kepada Vita. Surya dan Ricky duduk bersila. Sadris memeluk Dian dari belakang.

Gw menoleh ke samping, Ardo duduk di sebelahku. Lengannya memeluk lutut, otot lengan dan rusuknya terceplak jelas. Wajahnya lurus menatap arah matahari terbenam. Matanya sedikit mengernyit kesilauan. Namun air mukanya tampak tenang. Wajahnya yang terkena pantulan sinar keemasan bagai tembaga yang berkilauan. Rambutnya bergerak-gerak alami tertiup angin.

Selain pemandangan sunset yang indah, di sebelah gw juga ada sosok manusia hampir sempurna yang membuat gw tidak mampu berkedip. Seakan gw tidak ingin menutup mata, karena takut melewatkan hal-hal indah yang pada dirinya.

Gw seneng banget sore itu dilewati dengan berkumpul bersama teman-teman terdekat, bercanda dan tertawa bahagia. Dan terlebih, ada Ardo yang menjadi hang out mamber kita. Wuuiihhh!!!

Dan yang gw senang juga, gw belum pernah mendapatkan perlakukan yang begitu baik dari orang yang belum gw kenal secara dalam.
Bagi gw, perhatian yang ardo berikan sangatlah berharga.
Tadi di tengah keramaian turis, Ardo sadar gw ketinggalan. Ardo menunggu gw. Ardo mencari gw. Ardo memanggil gw. Ardo menggenggam tangan gw supaya gw enggak hilang lagi. Ardo rela memberikan sendalnya untuk gw, supaya kaki gw enggak kesakitan menginjak aspal. Ardo berkorban, walaupun hal kecil, demi gw. Coba kasih gw alasan, apa yang membuat gw enggak kagum sama dia?

Gw masih memandanginya ketika tiba-tiba Ardo menoleh. “Kenapa?” Dia Tersenyum. Dia sadar gw sedang memperhatikannya. Gw langsung salting gak karuan.

“Enggak, kak, Makasih ya untuk sendalnya.” Gw cepet-cepet berkata dengan seyum ringan.

“Jangan manggil kakak.” Ardo masih tersenyum, kembali menoleh ke arah matahari.

Sumpah! Pengen gw telen tuh orang...

Setelah beberapa menit matahari benar-benar tenggelam, kami pun mengakhiri sesi hang out kali itu.
Kami kembali berjalan melewati Kuta Square dan menuju ke parkiran mobil.

Sadris merangkul Ardo dari belakang. “Bro, aku mau nganterin Dian dulu, ke ndak apa-apa kan?”

“Hah? Ke mau nganterin Dian? Kenapa ke enggak ngomong dari awal?” Ardo bertanya kebingungan.

“Sori bro. Tapi ke tetep pulang bareng aku toh?” Sadris memasang tampang memohon.

“Wah, aku ya enggak enak mengganggu kalian, Dris. Aku pulang bareng Daniel aja.” Ardo mengangkat alisnya.

“Sori bro. Bukannya aku ndak mau nganter ke, tapi aku weis bareng Dika. Aku cuma mbawa motor.” kata Daniel, merangkul Ardo dan Sadris.

“Waduh, Eka malah dijemput sama pacarnya.” kata Sadris. “Udah bro, ke tetep bareng aku ya?”

Gw yang mendengar percakapan mereka, tidak menyia-nyiakan kesempatan.

“Kak Ardo bareng kita aja, kak.” Gw masang tampang polos, sepolos-polosnya.

“Ah, enggak apa-apa Os. Aku enggak mau negerpotin kamu.” jawab Ardo sungkan.

“Enggak repot koc , kak. Kan si Surya tinggalnya di Gatot Subroto juga, jadinya sejalan.” desak gw. Duh, nih congor paling pinter ngedesak-desak orang.

“Iya, kak, yuk bareng kita aja.” Henny turut meyakinkan Ardo. Makasih Henny darling...

“Ok, weis, aku ikut mereka aja.” kata Ardo kepada Sadris.

YES!!!

Diperjalanan, gw mulai ngrasa nguaannttoookk!! Padahal gw udah berusaha nahan kantuk gw supaya tetep jaim di depan Ardo yang duduk di sebelah gw. Teman-teman yang lain juga udah pada tepar semua. Hanya Joe yang menyupir dan Andre di depan yang masih sadar, mereka sedang ngobrol.
Gw udah lima watt deh matanya. Hampir beberapa kali gw tertidur.

Tiba-tiba kepala gw kejeduk sesuatu. Gw nengok, ternyata Ardo yang tertidur, kembali bangun karena kaget kepalanya menjeduk kepala gw.

“Sori.” katanya singkat.

“Enggak apa, kak.” kata gw dengan nada suara lima watt. “Ngantuk banget ya, kak?”

“Iya.”

“Sama, aku juga nih, kak.”

Tiba-tiba Ardo memegang kepala gw, memposisikan kepala gw untuk bersandar di bahu kiri dia, dan setelah itu kepalanya bersandar di kepala gw.

Kalau gw lagi enggak ngantuk, gw pasti udah kaget, sekaget-kagetnya.

Berhubung gw udah lima watt, yah gw pasrah aja. Pasrah kesenangan..

“Makasih ya, kak.”

Ardo mendekatkan bibirnya ke kuping gw dan berbisik. “Jangan manggil kakak.”

Selama perjalanan gw tertidur pulas. Sampai akhirnya kami sampai di depan rumah Ardo, dan dia pun harus keluar dari mobil. Aku terbangun. Dia mengucapkan terima kasih pada Joe dan berpamitan pada teman-teman VIP.
Gw terus memandanginya dari jendela mobil. Hingga mobil melaju dan sosoknya yang berdiri di depan pintu gerbang rumahnya, menjadi semakin kecil, dan akhirnya menghilang di balik belokan.
Gw jadi segar dan tidak mengantuk lagi.

Malam itu, gw enggak bisa tidur...

-----------------------------------------------------------------------------

Chapter 1 - It's Hard to Say GOODBYE

0 comments:

Post a Comment