DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 5

-chapter 5-
by MarioBastian

Pikiran seseorang memang nggak pernah bisa ditebak. Aku bahkan ragu telepati itu ada. Seiyanya ada, telepati pun nggak akan pernah bisa memprediksikan apa yang bakal seseorang lakukan. I mean, lihat itu wajah Esel ketika dia berdiri di depan pagar. Rahangnya mengeras dan matanya menyipit. Persis istri pemarah yang baru memergoki suaminya selingkuh dan yang ada di pikirannya hanyalah membunuh si jalang penggoda suami tersebut.

Waktu kulihat tatapan Esel tersebut, kupikir hanya tinggal menunggu waktu sampai dia menemukan pisau dapur terdekat dan menghunuskannya padaku. Tapi nyatanya tidak. Esel malah berlari menghampiriku dengan perasaan cemas.

“Kenapa ini? Ada apa?” serunya panik. “Dia kehabisan Oksigen? Keracunan udara? Oh, darling, bertahanlah...”

Esel bergerak secepat kilat. Dia langsung menghalau tanganku dan menarik Cazzo ke pelukannya. Tungkainya dilipat di bawah paha dan dibaringkannya kepala Cazzo di atas pahanya. Lagaknya sok pentiiiing banget. Mungkin dia pikir dia ini Baywatch berbikini merah atau apa gitu.

“Tadi dia tiba-tiba pingsan,” jelasku, kemudian berusaha mengipasi wajahnya dengan tangan.
Tapi Esel rupanya nggak senang aku begitu. Dia langsung menahan tanganku dan menghentikannya. “Jangan digitu-gituin, nanti dia makin pingsan.”

“Kita bawa masuk ke dalem, yuk?”
“Ya iyalah! Emangnya kita mau ngebiarin dia di sini kepanasan?!” seru Esel marah-marah. “Tahan ya Sayank...”

Esel mengelus-elus pipi Cazzo dengan gemas, dan bahkan membenamkan hidungnya di kepala cowok itu. “Hmh. Wangi Head and Shoulders,” gumamnya.

Aku membungkuk untuk meraih Cazzo dan menggendongnya. Satu tanganku kususupkan di bawah tengkuk Cazzo dan tangan yang lain di bawah lututnya. Namun rupanya, Esel nggak setuju. “Eit-eit-eit! Ngapain you? Itu angkat kakinya aja!”

“Kakinya gimana? Dia bukan mayat, Esel. Dia mesti digendong dari pinggir.”
Esel nggak mau kalah. “Tetep aja, seiyanya mesti begitu, I yang berhak gendong dia. Minggir-minggir!”

Aku mundur beberapa langkah dan menatap Esel yang kesusahan menggendong Cazzo. Mungkin emang banci nggak ditakdirkan jadi lifeguard kali, ya. Untuk mengangkat kepala Cazzo dari bawah tengkuknya saja, Esel mati-matian mengangkatnya. Kalo cowok itu lagi tidur, mungkin dia sudah bangun dari tadi karena terguncang-guncang. Setelah lima detik, Esel akhirnya menyerah.

You kok cuma ngelihatin aja sih? Bantuin dong!” serunya.
“Kan tadi disuruh minggir!” balasku.
You pikir Cazzo ini ringan, hah? Dia tuh berat... banyak otot! Macho... jadi nggak mungkin I gendong sendirian.”

Astaga. Kalau Esel jadi aku semalam, mungkin itu bisa mengubah perspektifnya soal Cazzo yang macho.

“Udahlah, sama aku aja!” seruku.
“Tapi awas, jangan deket-deket mukanya!” Esel merengut. “Entar kalo dia bangun, terus lihat muka you, bisa-bisa dia pingsan lagi karena lihat muka you.”

Aku nggak mendengarkan kata-kata Esel yang terakhir. Buru-buru aku menggendong Cazzo dalam posisi seperti tadi. Cowok ini memang berat, tapi nggak seberat yang digambarkan Esel. Aku sanggup kok kalau hanya membopongnya dari carport ke ruang tamu dengan jarak lima meter saja.

“Awas kepalanya kena tembok!” pekik Esel sok sibuk.

Astaga... tembok terdekat dari kepala Cazzo jaraknya jutaan kilometer! Kenapa sih Esel malah membuat segalanya makin sulit?!

-XxX-

Cazzo kini berbaring dengan nyaman di sofa tua Granny. Kepalanya ditopang bantal kecil yang empuk. Esel duduk tepat di samping wajah Cazzo, di tangannya terdapat kipas angin besar yang sejak tadi berputar mengangini wajah Cazzo.

“Sebenernya, you apain dia sih, tadi?” tanyanya cemas.
“Nggak ngapa-ngapain. Dia tiba-tiba aja pingsan di situ.”
“Nggak you cium dia atau apa, kan? You kan tau, Gas, dia itu Mahobia. You nggak bisa sembarangan nyium cowok anggota Mahobia. Mereka bisa pingsan. Kayak begini nih.” Esel lalu memandang Cazzo dengan wajah prihatin, lalu membisiki sesuatu, “You’re safe now, Darling.” Kemudian mengecup kening Cazzo.

Aku memutar bola mata dan bangkit dari sofaku. “Aku ambil minum dulu, deh. Kali aja dia bentar lagi bangun.”
“Oh, bagus!” Esel mengibas-ngibaskan tangan, menyuruhku pergi. “I minta orange juice, ya. Yang banyak gulanya. Yang so sweet.”

“Ambil aja sendiri,” sahutku sambil berjalan ke arah dapur.
Astaga-naga-dragon! I kan lagi jagain Cazzie, tinta mungkra bisa ambil orange juice sendiri. You tuh orangnya kurang pengertian, ya?”

Suit yourself, deh.

Ketika aku tiba di dapur, kurasakan rumah ini agak sepi. Of course, dengan kehadiran Esel, suasana terasa ramai. Tapi dari tadi aku belum melihat Bang Dicky, Granny, Jeng Nu—Oh, ada note di pintu kulkas.

The Jandaz joging dulu. Mungkin sekalian belanja. Jaga rumah, yaa...
—Janda Maniz—


Mereka semua pergi? tanyaku dalam hati. Aku belum pernah melihat Granny jogging dalam dua minggu terakhir. Aku pikir esensi dari sleepover adalah bangun sesiang mungkin esok harinya. At least, begitulah yang kami lakukan di Amerika.

Sebelum kembali ke ruang tamu, aku menyempatkan diri berjalan ke belakang rumah, mengintip workshop Bang Dicky... yang ternyata sepi. Pintu besar workshop itu tertutup dan digembok dari luar. Dengan perasaan kecewa, aku kembali ke dalam rumah dan membawa segelas air putih untuk Cazzo.

“Mana orange juice-nya?” berondong Esel, bahkan sebelum aku tiba di sofaku.
“Bikin sendiri, ah. Kan udah gede.”
You emangnya nggak lihat I lagi apa?”
“Lagi megang kipas angin, kan?”

“Tapi ini kipas angin untuk Cazzie. Nggak boleh sembarang orang yang megang. Mesti I. Udah sana, bawa orange juice-nya!”
No way!” Aku melotot.
“Ih! Nyebelin!” Rahang Esel mengeras, tatapannya makin nggak ramah. “Payah!”

Cowry ya Cazzie Darling,” bisik Esel, membelai pipi Cazzo sambil mendelik sesekali ke arahku. “Kadang orang yang pernah tinggal di Amerika tuh TOLOL!”

Aku memutar bola mata.

Sampai lima menit kemudian, si ganteng blasteran Italia ini masih terkapar tak bergerak. Esel memanfaatkan waktu tersebut untuk membelai-belai Cazzo, mungkin hanya inilah kesempatan dia bisa menyentuh cinta monyetnya itu. Jemari Esel menelusuri bibir Cazzo, membelai lekukan dagunya, dan tak lupa berkali-kali mengusap rambutnya. Esel pun nggak pernah absen memberitahuku lagi detail soal Cazzo, seolah aku belum pernah dengar hal tersebut darinya. “Cazzo ini blasteran Italia, lho. Jadi bulu mata lentik mereka ini alami. You jangan anggap ini hasil maskara, ya? Keterlaluan kalo gitu...”

Siapa juga yang nganggap itu hasil maskara?! batinku.

“Dia ke sini sebenernya mau apa, sih?” tanya Esel, “Pasti mau cari I, ya? Oh, Gosh... andai I semalem nggak ke NAV, andai I ikut sleepover bareng The Jandaz, mungkin kejadiannya nggak bakal kayak begini.”

“Dia mau cari aku, kok!” kataku.
Esel menoleh dan menatapku dengan pandangan meneliti. Alisnya berkerut. Dan bibirnya lama-lama berkedut. Kemudian, seperti dugaanku, dia tergelak menyindir. “You? Hahaha... Baby, I tahu kalo orang mesti bermimpi setinggi langit. Tapi you barusan mimpinya terlalu tinggi... Ngapain dia mau ketemu anak baru macam you? Hahaha...”

Haruskah aku ceritakan soal tragedi semalam?

“Dia pasti mau ketemu I, darling... Pasti gara-gara message FB yang terus I kirim buat dia. Mungkin dia berubah pikiran atau apa gitu... atau sadar kalo selama ini dia udah ignore truly love-nya dia...” kata Esel, matanya menerawang seolah sedang mengingat sebuah kenangan. “Mungkin akhirnya Tuhan nunjukin jalan...”

For God’s sake....

“Dia mau cari aku, darling,” ujarku lagi, nggak mau kalah. “Kalau dia mau nyari kamu, ngapain dia datang ke sini, hmh?”
“Karena dia pasti tahu aku ada di sini!” tukas Esel kesal, sambil matanya melirik kesana kemari, mencari alasan. “Well, I kan udah ngetwit kalo I mau ke rumah Jeng Alia. Mungkin dia baca twit itu dan buru-buru datang ke sini.”

“Dan kamu pikir Cazzo tahu dimana ‘rumah Jeng Alia’ tersebut?”
“Y-ya!” Esel memutar otak. “Twitter I ada foursquare-nya. Ada alamatnya. You tahu kan foursquare itu apaan?”

Bener-bener, deh.

“Eh, itu apa sih yang you bawa dari tadi?” Mata Esel mendelik ke arah kantong plastik berisi cokelat dan foto narsisnya Cazzo. Dari tadi aku memang menentengnya di tangan kiri, hanya saja pingsannya Cazzo lebih heboh, sehingga aku nggak begitu ngeh dengan apa yang kutenteng terus-terusan. (Aku bahkan baru sadar, mungkin aku membawanya ke dapur juga barusan.)

“Ini hadiah,” jawabku, dan sebelum aku meneruskan “buatku”, Esel sudah memotong kalimatku.
For me?” tanyanya dengan berbinar. Tanpa basa-basi lagi dia langsung merebutnya dari tanganku dan nyaris merobek kantong plastiknya. “Tuh, kan! Semuanya makin jelas! Dia emang mau ketemu I. Not you! Hadiah ini menandakan—Oh my God! Lihat ini!” Esel mengeluarkan kotak cokelat dari dalam kantong plastik, dan matanya berbinar seolah baru mendapat uang 1 milyar. “My favorite chocolate...”

“Sebetulnya—“
“Dan lihat ini! Argh!” Esel berdiri sambil melompat-lompat kecil. Di tangannya sekarang sudah ada foto Cazzo shirtless di pinggir pantai. Lengkap dengan tandatangan. Esel terlihat gembira sekali. Persis peserta kuis yang baru saja memenangkan babak terakhir dan masuk ke babak bonus. “I knew it! I knew it!

Ya Tuhan...

See?” tatap Esel kemudian, kali ini dengan pandangan meremehkan. “Dia ke sini mau ketemu I. Face it, Baby! I yang sering message dia di FB, I yang minta dibeliin cokelat sama dia dan dikirimin foto dia lagi di pantai! Jadi JELAS dia mau ketemu I.” Esel mengibas-ngibaskan foto itu di depan mukaku. “Lain kali dengerin aja apa yang I bilang, em? Cup-cup-cup. Kira-kira dimana ya Cazzie Darling ngasih cap bibirnya di foto ini?”

Belum pernah aku ketemu orang sepercayadiri dan seoptimis ini. Pikiran manusia memang nggak pernah bisa ditebak.

Esel buru-buru mengumpulkan hadiah dari Cazzo tersebut, takut aku akan menyentuhnya dan menyebarkan penyakit menular atau apa gitu. “Kalau you mau lihat foto ini, later yaa... mau I scan dulu, disucikan dulu... biar aman.”

Aku geleng-geleng kepala dan memilih merebahkan tubuhku di sandaran sofa. Lama-lama aku bisa gila. Cowok centil ini benar-benar tahu cara membuat orang lain meninggal dunia tanpa benar-benar menyentuhnya. Waktu aku bilang “aku bisa dibantai”, aku serius. Hanya saja caranya bukan dengan pisau atau senjata lain. Tapi dengan membuatku depresi melihat tingkahnya.

“Nah, sekarang, ambilin I orange juice! Go-go-go!” serunya.

Eerrghh...” Tiba-tiba Cazzo mengerang pelan. Tangan kirinya mengangkat dan langsung memijat pelipisnya. Kulihat alisnya mengkerut, berusaha keras membuka mata dan mengumpulkan informasi mengenai apa yang sedang terjadi terhadapnya.

“Oh-my-Goat, dia bangun!” pekik Esel dengan suara tertahan. “Siniin kipas anginnya! Kasih dia oksigen!”
“Kasih dia ruang, Esel. Jangan dikerubunin kayak begitu!”
“Jangan sok tahu, deh!” Esel memutar bola matanya sambil meraih kipas angin. “Kalo ada orang pingsan, mesti kita kasih oksigen! Ayo, Baby... hirup anginnya.”

Astaga... jadi kamu pikir angin yang dihembuskan kipas angin tuh Oksigen, hah?!

Aku beranjak dari sofa dan berdiri di ujung kaki Cazzo. Kulihat rambut cowok itu bergerak-gerak dikibas angin. Banci yang satu ini “benar-benar” mengarahkan kipas angin ke hidung Cazzo, berpikir bahwa oksigen bakalan datang dari kipas tersebut.

Cazzo berusaha mengangkat tubuhnya. Matanya perlahan-lahan membuka, mencoba membiasakan diri dengan cahaya yang masuk melewati pupilnya.

“Jangan dipaksain, Baby,” bisik Esel lembut, “Istirahat aja... Buka matanya pelan-pelan... kamu aman di sini!”

Cazzo mengerjap-ngerjapkan matanya sekarang, mulai ngeh ada suara-suara di sampingnya. Tapi begitu dia dapat melihat dengan jelas, menoleh ke arah Esel, meneliti wajah banci itu... kedua bola mata Cazzo memutar lagi ke atas, menghilang ke bawah alisnya, dan kepalanya terjatuh lagi ke atas bantal.

Dia pingsan lagi.

“Oh-my-Get!” seru Esel panik. “Dia pingsan lagi! Mungkin oksigennya kebanyakan! Agas! Cepet cabut listriknya! Bahaya nih, bahaya!”

Apa?

“Dia tuh kaget karena—“
“Cepet cabut listriknya!” pekik Esel panik.
“Matiin aja kipas anginnya dari situ, Sel...”
“Matiin apa?! Oh...” Esel akhirnya sadar bahwa kipas angin juga bisa dimatikan lewat tombol-tombol yang ada di penyangganya. “Sekarang coba you minggir dulu... takutnya dia engap karena dikerubunin. Kasih dia ruang!”

Aku memutar bola mata dan pergi juga dari situ. Aku udah nggak kuat lagi. Esel dikasih makan apa sih sampe bisa kayak begitu? Sambil menggerutu, akhirnya aku memilih untuk pergi dari ruang tamu dan masuk ke kamarku sendiri. Zaki sudah bangun ternyata. Dia sedang membaca O-magazine.

“Udah bangun?” tanyaku, sambil agak cemberut.
“Udah,” jawabnya, membalik halaman dan terpukau dengan gambar Kim Kardashian di halaman tersebut. “Dari tadi sih sebenernya. Tapi berhubung tadi denger suara si Esel, iiihhh... mending diem di sini dulu, deh. Nunggu sampe dia pergi.”
“Ih, curang.”

Tapi tiba-tiba aku mendapat ide.
“Eh, Bang. Aku kan masih punya lima permintaan, betul?”

Zaki menoleh dan mukanya kelihatan agak cemas.
“Ya?” katanya.
“Nah, sekarang aku mau nyebutin permintaan yang ketiga.”

-XxX-

Berhasil.
Awalnya aku kira rencana dadakan ini bakal berantakan (seperti yang kubilang, pikiran manusia nggak pernah ada yang bisa nebak), tapi ternyata bisa berjalan mulus sesuai target. Oke sih, memang agak susah meyakinkan Esel untuk membiarkan urusan Cazzo padaku, tapi Zaki benar-benar membantu. Andai Zaki benar-benar gay, langsung kucium dia saat itu juga. French kiss, deh.

Aku buru-buru merebahkan tubuh Cazzo yang pingsan untuk kedua kalinya di atas ranjangku. Dengan lebih manusiawi, aku mengibas-ngibaskan karton bekas membungkus oleh-oleh dari New Jersey kemarin ke arah dada Cazzo. Aku percaya angin yang benar untuk orang pingsan adalah angin yang nggak berlebihan.

Karena masih cemas, bisa saja Esel kabur dari tangan Zaki dan berlari ke sini, aku buru-buru mengunci pintu dan melemparkan kuncinya ke meja rias. Huh. Pagi ini benar-benar melelahkan. Aku baru sadar punggungku berkeringat sejak tadi. Mungkin ini setara dengan jogging yang dilakukan Granny.

Aku duduk di samping ranjang dan melanjutkan mengipasi Cazzo. Bukannya aku mau egois merebut Cazzo untukku sendiri ya, tapi ini demi kebaikannya. Aku sama sekali nggak tertarik pada Cazzo dan bisa saja aku tinggalkan dia berdua bareng Esel di ruang tamu. But no. Aku nggak sekejam itu. Aku nggak mau image-ku jadi buruk gara-gara aku membiarkan tamu macam Cazzo berduaan dengan cewek jadi-jadian macam Esel. Nggak bisa dibayangin deh apa yang bakal Cazzo ceritain ke temen-temennya tentang aku. Bisa-bisa semua orang di CIS menganggap aku anggota The Jelitaz. Dan oh, hal yang satu ini perlu diluruskan! Begitu Cazzo bangun aku harus langsung menyerbunya dengan pernyataan bahwa “aku nggak ada urusan apapun dengan The Jelitaz!”

Trrrt! Ponselku bergetar. Aku meraih benda itu dari atas meja rias dan menemukan Zaki meng-sms dengan nada panik.

—bos! Gmn nih?????—

—abang bawa aja Esel kmanapun, deh! Pliiisss... demi perdamaian dunia! Ntar ongkosnya aq ganti & abang blh ambil O-magz aku..—

—sama gmbar Kim Qadarsih nya gaa?—


Qadarsih?

—iya, sma gmbar itu. Klo abang mau poster Miley Cirus jg ambil aja..—

Aku meletakkan ponsel di atas ranjang dan mendesah lega. Ada untungnya ternyata memperalat cowok macam Zaki. Bukan maksudku berbuat nggak baik, ya. Tapi kasus ini adalah kasus urgent. Nyawa Cazzo ada di tanganku. Jadi mestinya Zaki mengerti.

Jadi begini, barusan aku meminta Zaki untuk membawa Esel kemanapun dia mau supaya aku bisa nolong temenku Cazzo. Of course, Zaki menolak mentah-mentah—hal terakhir yang ingin dia lakukan di dunia ini adalah ketemu Esel. Bahkan dia pun sebisa mungkin nggak ngalamin hal terakhir tersebut. Tapi mengingat dia udah janji padaku, dan dia bilang dia adalah cowok sejati yang menepati janjinya, dengan terpaksa dia keluar kamar dan merayu Esel untuk pergi.

Awalnya agak sulit, sesuai dugaanku. Melihat ada dua cowok favoritnya dalam satu ruangan, Esel jadi panas dingin saking kegirangan. Dia sibuk menjaga Cazzo sekaligus melayani Zaki. Beberapa kali aku menyikut Zaki untuk segera membawa kabur Esel kemanapun banci itu mau. Beberapa kali pun Zaki mengerang dan kelihatan memelas padaku untuk nggak menyuruhnya melakukan itu. Tapi akhirnya Zaki bersikap heroik juga, sih. Zaki mengajak Esel jalan-jalan keluar (dan meski Esel sempat mati kebingungan, harus memilih antara Cazzo atau Zaki, akhirnya banci itu milih Zaki—mungkin karena Zaki lebih alive dibandingkan Cazzo).

Tentunya, begitu Esel bergelayutan di tangan Zaki, bersiap untuk jalan-jalan weekend bareng cowok itu, Esel mendelik waspada ke arahku.

“Awas ya, Gas... I trust you now. Ini di luar kebiasaan I mercayain orang baru kayak you buat jagain my prince charming. Kalo ada goresan sedikit aja di badannya Cazzie Darling, I bakalan—“
“Mau jalan nggak nih?!” Kebetulan saat itu Zaki memotongnya sambil mengerutkan alis dengan kesal.
“Oh, honey baby. Of course! Yuk yuk!”

Well, sekarang aku berharap Zaki bisa bertahan dengan Esel atau menemukan trik jitu lain untuk menyingkirkannya. Kehadiran Esel benar-benar gangguan. Aku heran bisa ada orang yang sanggup temenan sama dia. Lagi ngapain ya mereka sekarang?

Tit-tiiiitt! Tiiiitt!
Suara klakson mobil nyaris membuat jantungku copot. Seperti kubilang, suara sekecil apapun di sini, bisa kedengaran dua kali lipat lebih kencang. Bahkan di siang hari macam begini. Aku menoleh ke arah Cazzo, memastikan dia masih pingsan, lalu berjalan ke jendela, mengecek dari mana suara klakson mobil tersebut berasal.

Ternyata mobil Granny.

Aku melihat Bang Dicky turun dari mobil tersebut, tertatih-tatih membuka pagar dan menyeretnya ke pinggir. Astaga, kenapa Bang Dicky jalannya seperti itu? Sambil memicingkan mata aku juga melihat bahwa tangan kiri Bang Dicky menekan keras pelipis kirinya. Pasti ada yang nggak beres.

Dengan perasaan cemas aku mengambil kunci dan mencoba membuka pintu. Tapi anehnya, kunci itu nggak bisa diputar! Ya Tuhan... kenapa ini? Aku menekan pintu, menduga mungkin kuncinya terjepit atau apa gitu, tapi tetap tidak bisa diputar. Bahkan ketika kutarik pintu ke arahku, aku masih belum bisa memutar kunci. Aku coba memutar ke arah lain... nihil.

Aku berlari lagi ke arah jendela, bermaksud memanggil Bang Dicky. Cowok itu sekarang sedang bersusah payah memindahkan motor matic Cazzo ke pinggir, agar mobil Granny bisa masuk. Yang membuat aku miris, motor matic itu nyaris terjungkal barengan dengan yang mendorongnya—apalagi Bang Dicky hanya mendorong dengan satu tangannya saja. Kenapa sih emangnya? Ada apa dengan—wait, itu bukan darah, kan?

Sambil mencoba tetap tenang, aku kembali ke pintu kamarku dan memutar kuncinya lebih keras. Masih belum bisa diputar juga. Aku tarik-tarik kenopnya, sampai kupikir bautnya mungkin sebentar lagi lepas, tapi pintu itu bergeming. Ketika aku berlari lagi ke arah jendela, Bang Dicky sedang memasukkan mobil Granny ke carport.

Hmmh... masa sih aku mesti lompat dari jendela?

“Bang Dicky!” panggilku.
Cowok itu masih mengemudikan mobil Granny tanpa sedikit pun menoleh ke arahku. Aku mengulurkan tangan dari jendela, melambai-lambai ke arahnya, tapi dia sama sekali nggak menangkap sosokku.

Aku berbalik lagi, memastikan Cazzo masih pingsan dan sekali lagi mencoba membuka pintu kamarku. Ya Tuhan... masa sih aku terkunci di kamarku sendiri? Dengan kunci yang ada di tanganku?

Suara mobil Granny sudah mati. Dengan suara agak sayup, kudengar langkah kaki Bang Dicky diseret-seret di atas teras. Aku bahkan mendengar suara debuman kecil, mungkin Bang Dicky menabrak pintu atau tembok, lalu kemudian berjalan lagi.

“Nenek?” panggil Bang Dicky.
“Bang Dicky!” panggilku membalas.
“Nenek?”
“Bang Dicky, aku kekunci di kamar! Pintunya nggak bisa dibuka?”

Aku menepuk-nepuk pintu dua kali, lalu tiba-tiba, “Ceklek!” Pintu itu terbuka dengan sendirinya.
Apa? Tapi, kan... barusan, kan... kenapa tadi... padahal aku udah...

Astaga. Rumah ini makin aneh aja.

Aku membuka pintu itu lebar-lebar dan bergegas keluar. Kutemukan Bang Dicky sedang bersandar di buffet tua Granny sambil memegangi dahinya. Darah mengalir dari sela-sela jarinya. Beberapa tetesan darah sudah mengering di atas kausnya.

Aku langsung nggak enak perut. Lutut rasanya lemas. Dari awal, aku emang nggak bersahabat dengan darah. Dan melihat darah mengering macam begitu, aku jadi teringat darah di baju Mom tiga bulan yang... Ah, sudahlah. Nggak perlu diingat-ingat lagi.

“Bang Dicky kenapa?” tanyaku panik. Dalam otakku langsung muncul beragam skenario yang mungkin saja terjadi. Bisa jadi Bang Dicky kecelakaan—meski aku yakin mobil Granny tadi baik-baik saja, atau bisa jadi Bang Dicky dirampok—dan aku nggak sanggup ngebayangin Bang Dicky berantem membela dirinya sendiri...

“Nenek mana?” tanyanya, tanpa berani menatap mataku. Bang Dicky bahkan mengacungkan tangannya ke arahku, memberi isyarat supaya aku jangan mendekat.

“Granny jogging. Bang Dicky kenapa?”
“Pulang jam?”
Aku mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Bang Dicky kenapa sih? Aku ambilin lap basah, ya?”

Bang Dicky mengacungkan lagi tangannya, mengisyaratkan agar aku jangan bergerak kemana-mana. Kulihat ekspresi Bang Dicky kesakitan. Alisnya bertaut sangaaat dalam. Dan hidungnya mengernyit seolah sedang melipat mukanya ke dalam.

“Di... Dicky...” ujarnya, terbata-bata. Matanya melirik sesekali ke arahku, agak ketakutan. “Dicky tunggu Nenek aja.”

“Tunggu Granny apaan?” Aku memutar bola mata dengan kesal. “Kalo darah-darah itu nggak buru-buru dibersihin, bisa infeksi! Aku telepon ambulans, ya?”
“JANGAN!” sentak Bang Dicky ketakutan. Matanya agak merah sekarang. “J-jangan... jangan telepon ambulans... Dicky tunggu... Nenek aja..”

“Keburu abis dong darahnya!” sahutku. “Aku ambil lap sama air anget dulu!”
“Nggak usah, Gas..”

Tapi aku sudah berjalan ke dapur dan mencari mangkuk besar di antara tumpukan alat masak milik Granny. Aku memencet-mencet termos, mengeluarkan air panas, lalu mencampurnya dengan air dingin sampai suhu airnya pas. Lalu setelah meletakkan air di atas meja di depan Bang Dicky, aku mengaduk-aduk kotak First Aid yang menggantung di ruang makan untuk mencari antiseptik.

“Udah Gas... nggak usah...” rintih Bang Dicky dari seberang ruangan.
“Ah, diem!” sahutku. “I can’t just watching someone’s bleeding and doing nothing.”

Mana pula antiseptiknya, hmh? Semua peralatan medis di sini berbeda jauh dengan isi kotak First Aid-ku di New Jersey. Maksudku, dari segi merk ya, bukan dari isinya. Kasa maupun plester bentuknya masih sama aja. Setelah setengah menit menelusuri setiap benda yang ada di dalam first aid box, aku memutuskan untuk mengambil kasa, gulungan perban, plester, apa ini? Oh, betadine... kapas... lalu stetoskop—entah kenapa benda ini bisa ada di first aid box, tapi aku rencananya mau main-main dengan stetoskop ini begitu selesai mengobati Bang Dicky—dan juga masker tissue warna hijau—siapa tahu dibutuhkan untuk... untuk... yah, terlihat seperti ahli medis, lah...

Bang Dicky sudah berbaring di atas sofa. Dia masih memegang dahinya yang berdarah dan aku buru-buru membasahi lap sambil memerasnya. Bang Dicky agak rewel waktu aku mencoba menutul luka di dahinya, dia menepis tanganku berkali-kali dan mengacungkan tangan, menahan agar aku nggak membersihkan lukanya.

“Iiiihhh... buka tangannya Bang Dicky!”
“Udah, Agas... nggak usah... Dicky baik-baik aja...”

Tapi aku nggak menyerah. Seperti yang kubilang, aku bukan orang yang bersahabat dengan darah, tapi kalau ada orang yang benar-benar membutuhkan pertolongan kita, mau gimana lagi? Mungkin aku bisa memejamkan mata kalau terpaksa melihat “luka” yang mengucurkan darah sebanyak itu, atau aku bisa membayangkan darah itu sebagai... sirup stroberi?

Ew.
Nggak jadi, deh. Aku memejamkan mata aja.

“Ayo Bang, buka dong tangannya. Bersihin dulu...”
“Nggak usah, Agas... Dicky nggak apa-apa...”

Aku mencubit perut Bang Dicky sampai cowok itu mengerang karena kaget. Tapi dia masih belum mau melepaskan tangannya. Lama-lama aku malah membersihkan darah-darah yang mengucur keluar dari jemari atau mengalir di atas pipinya, juga yang telah mengering di lehernya, meski Bang Dicky juga agak-agak menepis tanganku kalau lapnya sudah dekat dengan pelipis.

“Beneran, Agas... Dicky baik-baik aja... Ini cuma... Kecelakaan kecil.”
“Kecelakaan kecil aja begini, kecelakaan gede nya gimana? Buka, ya?” Aku menarik tangan Bang Dicky lagi... dan dia tetap bergeming.
“Kenapa sih Agas keukeuh pengen bersihin luka Dicky?” tanyanya, tapi dengan tatapan malu-malu.

“Karena aku sayang abang,” jawabku spontan. “Jadi buka, ya?”
“Sayang?”
Aku mengangguk mantap, menunjukkan ekspresi paling meyakinkan—meski lama-lama jadi kelihatan terlalu antusias. “Sayaaaannnggg... banget. Jadi tangan Bang Dicky mesti disingkirin... Sini tangannya.”

Bang Dicky melunak. Kali ini tangannya bisa kusingkirkan dengan mudah, meskipun dia masih waspada. Aku lega dan buru-buru membersihkan luka di—astaga... oke, aku tutup mata aja!!

Sambil sedikit-sedikit memejamkan mata, tapi sebisa mungkin melotot juga, biar Bang Dicky percaya aku bisa mengobati lukanya, aku pun menutul-nutul luka di dahi dan pelipis Bang Dicky tersebut dengan sembarang. Aku mengusapnya dengan lembut. Mengganti lipatan lap berkali-kali. Sesering mungkin berbalik dan memeras lap ke dalam mangkuk besar. Dan setiap mau mengelap lagi, aku fokus pada bibir Bang Dicky.

Anehnya, cowok itu justru nggak mengerang kesakitan sama sekali. Kontras dengan waktu aku mencubit perutnya tadi. Bang Dicky malah menatapku dengan serius, tepat menatap ke bola mataku, dengan tatapan yang sangaaat intim, seolah kami ini mau berciuman atau apa gitu. Aku jadi ge-er karena ditatap terus.

“Apa sih lihat-lihat?”

Bang Dicky mengerutkan alisnya tapi masih menatapku dengan intim. “Terus harus lihat ke mana, dong? Yang ada di depan Dicky cuma Agas.”

“Pejemin mata, kek... teriak-teriak, kek, karena sakit.”
“Tapi nggak sakit,” katanya. Dia diam sebentar. Aku meninggalkan lap di atas mangkuk dan langsung membuka botol betadine. “Jadi Agas ngobatin Dicky karena sayang sama Dicky?”

Ya Tuhan, dia ngebahas itu lagi.

“Iya, kakaaakk... Adek sayang sama kakak...” godaku. Aku membasahi kapas dengan betadine dan bersiap membersihkan luka Bang Dicky.
“Hanya karena itu?” tanyanya lagi.
“Iya. Emangnya apa lagi?”

Well, sebetulnya sih lebih karena “aku benci lihat orang berdarah”. Rasanya seperti... sakit. Rasanya seperti “memilukan” melihat cairan yang mesti ada di dalam tubuh manusia tiba-tiba merangsek keluar merobek bagian kulit dan menciptakan perih yang amat sangat. Uek. Perutku mual lagi nih.

Tapi kan aku juga sayang Bang Dicky, betul? Jadi aku nggak sepenuhnya berbohong.

“Bukan karena Agas benci lihat orang berdarah?” tanyanya kembali.

Hey... dia nggak baca pikiranku barusan, kan? “Ya nggak, lah!” sanggahku. “Kalo aku benci lihat orang berdarah, aku nggak bakal duduk di sini dan ngobatin Bang Dicky. Sini kepalanya naik, nggak kelihatan nih.”

Bang Dicky menaikkan kepalanya dan menunjukkan luka besar yang...

“Eh, rebahin aja kepalanya. Kelihatan kok dari sini,” ralatku buru-buru.

Aku mengompres luka itu dengan kapas yang telah diberi betadine. Jujur saja aku nggak tahu proper procedure buat first aid—khususnya untuk luka berdarah dengan sobek sebesar itu dan kita nggak tahu penyebabnya apa. Seumur-umur, this first aid is actually my “first” first aid. Yang ada dalam benakku adalah sebisa mungkin mencegah timbulnya infeksi karena bakteri, atau terlihat tolol karena diam saja dan lari terbirit-birit melihat darah. At least, I’m doing something, right? Lagipula aku pernah lihat temanku Walter jatuh dari sepeda, kakinya terseret-seret di atas aspal, lalu ada luka besar menganga dan berdarah banyak, dan kebetulan aku ada di sana dan diminta ikut ke Emergency Unit rumah sakit terdekat, dan aku lihat seorang suster hanya membersihkan bagian di sekitar luka, mengoles dengan antiseptik, dan menutupnya dengan perban. Simpel, kan? Mestinya prosedur yang kulakukan untuk Bang Dicky juga benar.

Kecuali Bang Dicky luka karena ditembak dengan senapan dan ada peluru bersarang di dalamnya dan aku mestinya melakukan operasi pengangkatan peluru instead of randomly dabbed the wound.

Seperti yang kuingat di Emergency Unit itu, aku melakukan prosedur yang sama. Dengan mudahnya aku mengolesi antiseptik, menutup luka dengan kasa, lalu menutupnya lagi dengan perban, dan terakhir merekatkannya dengan plester. Semuanya berjalan lancar dan malah aku kagum dengan hasil karyaku. Mungkin aku berbakat jadi first-aider. Mungkin suatu hari nanti aku mesti jadi suster di unit gawat darurat. Of course, hanya untuk pasien-pasien dengan luka begini ya, bukan luka bakar atau kecelakaan pesawat.

“Nah! Udah... sekarang lukanya aman!” sahutku bangga, tanpa sadar meneliti bagian tubuh Bang Dicky yang lain, mungkin saja masih ada luka yang menganga dan aku bisa memasang perban lagi...?

“Makasih, Agas...” kata Bang Dicky sambil mencoba bangkit. “Biasanya Nenek yang sering bantuin Dicky.”
“Biasanya?” ulangku heran. “Emangnya sesering apa kejadian kayak begini terjadi?”

Tapi setelah dipikir-pikir, betul juga. First aid box Granny bisa dibilang lengkap untuk ukuran first aid box rumahan. Kasanya banyak, perbannya banyak, plesternya banyak. I mean, stetoskop bahkan ada di dalamnya. Dan melihat kondisi botol betadine yang tinggal setengah, aku indikasikan bahwa kejadian macam begini memang sering terjadi.

“Ah, nggak sering-sering amat, kok,” kata Bang Dicky.

Bang Dicky kini duduk di sampingku, memegangi kepalanya dan mencoba menghalau rasa pusing yang dideritanya. Pasti mual banget kehilangan darah kayak begitu. Terakhir aku terluka, gara-gara jatuh dari tangga dan entah kenapa kakiku berdarah, aku masih ingat rasa mual dan pusing karena kehilangan darah.

“Jadi by the way, ini tuh gara-gara apa, sih?” selidikku.
Bang Dicky agak ragu untuk menjawab. Aku melihat dengan jelas saat Bang Dicky melirikku sejenak, memastikan aku bisa dibohongi... dan yah, akhirnya aku dibohongi juga. “Gara-gara kecelakaan kecil... Dicky... Dicky nabrak tembok.”

Aku yakin banget itu bullshit.

“Lagi nyetir mobil, terus nabrak tembok?” tanyaku.
“Bukan. Lagi jalan kaki.”
“Lagi jalan kaki, trus nabrak tembok?” Aku mengerutkan alis dan memutar-mutar mataku, mencoba menemukan bagian mana dari jalan kaki lalu nabrak tembok yang menghasilkan luka seheboh ini. “Kecepatan berapa Bang Dicky jalan kakinya? Seratus mil per jam?”

Bang Dicky menelan ludah. “Yaahh... Dicky lagi jalan gitu, lah... sendirian... udah gitu lihat ke belakang, tapi pas lihat ke depan, JEDUK! Nabrak tembok, deh...”

“Nggak mungkin, Abang.” Aku memutar bola mata. “Bilang aja kalo Bang Dicky nggak mau nyeritain kejadian sebenernya.”

Bang Dicky menoleh ke arahku dengan tatapan menyesal. “Dicky emang nggak mau nyeritain yang sebenernya. Dicky nggak mau bikin Agas khawatir.”

“Justru kalo aku nggak tahu, aku jadi khawatir, Bang. Semua orang juga pasti gitu.” Sambil manyun aku menggeser duduk menjauh dari Bang Dicky, ceritanya lagi ngambek. Sambil pura-pura memeriksa kukuku, aku menunggu Bang Dicky bakal menyerah dan akhirnya menceritakan kejadian yang sebenarnya.

“Maaf, Agas. Ini nggak sesimpel itu. Jadi Dicky belum bisa nyerita.”
“Terserah,” kataku kesal.

Dan dalam lima belas menit kemudian kami berdua hanya terduduk dalam diam.

Kami mirip... pasangan yang lagi marahan. Yang satu (Bang Dicky) duduk di ujung sofa, merebahkan kepalanya ke sandaran sofa dan menatap langit-langit. Otaknya pasti sedang mikirin sesuatu. Kedua bola matanya bergerak ke sana kemari, sesekali melirik ke arahku kemudian menerawang lagi ke langit-langit. Yang satu lagi (aku) duduk di ujung sofa lainnya, memain-mainkan kapas yang kotor, mencabik-cabik kapas yang kotor, dan saat kapas yang kotor sudah habis dicabik-cabik, aku mengambil kapas baru yang putih bersih, lalu mulai mencabik-cabik lagi.

Jujur saja aku suka kesal kalo ada orang yang nggak mau nyeritain semuanya tapi dia sudah memberikan clue-nya. I mean, luka itu adalah clue, tapi aku sama sekali nggak dapat behind the story-nya.

Lama kelamaan, aku akhirnya mengambil stetoskop dan memain-mainkannya. Daripada aku mendengar helaan-helaan napas Bang Dicky, yang kelihatannya mau-cerita-sesuatu-padaku-tapi-harus-jaga-rahasia, lebih baik aku memanfaatkan waktu. Ya! Aku bisa menggunakan stetoskop ini dan menambah ilmu pengetahuanku.

Tapi bodohnya aku, setelah aku mengenakan stetoskop itu di telingaku, lalu mencari objek detakan jantung untuk ujung stetoskop yang satunya, aku malah menoleh ke arah Bang Dicky dan menawarkannya. “Mau diperiksa jantungnya?” Dan saat itu juga aku menyesal mengatakan itu karena kedengarannya aku tolol banget.

Bang Dicky menoleh. Melirik sekali ke arah stetoskop, tapi kemudian menatapku lagi agak lama. “Boleh,” jawabnya. Dia lalu menggeser duduknya dengan canggung dan bingung antara melepas baju atau nggak. “Bajunya? Lepas? Jangan?”

“Nggak usah. Ngapain? Aku cuma pengen nyobain stetoskopnya aja.”

 Aku lalu mendekat, meletakkan ujung stetoskop yang bulat dan dingin itu ke tangan Bang Dicky. Ada suara berdesir kencang dari arah situ. Dan setiap aku menggeser ujung stetoskopku, terdengar bunyi gesekan-gesekan ribut yang memekakkan telinga. Ih, berisik. Pantas saja aku nggak bercita-cita jadi dokter.

Aku lalu memindahkan ujung stetoskopku ke dada Bang Dicky. Aku meraba-raba di bagian mana jantungnya berada. Tapi darahku sendiri malah berdesir karena nggak sengaja aku menyentuh lekukan dadanya yang agak berotot dan menonjol. Dan ketika aku dengan tololnya menggerakkan stetoskop ke bawah, aku menyentuh puting susunya. Sialan. Makin nggak keruan deh diriku ini.

Setelah aku berhenti di dada kiri, di tempat yang aku yakin bersarang jantungnya Bang Dicky, aku menekan lebih kuat stetoskop itu. Ada bunyi desiran angin yang kencang, detak jantung, lalu—

“Itu gara-gara ibunya...”

Argh!” Aku tersentak kaget dan langsung menjatuhkan ujung stetoskopku ke bawah.

“Kenapa Gas?” tanya Bang Dicky cemas. “Jantung Dicky mau copot, ya?”
“Bukan, bukan Bang. Barusan ada suara!”

Aku ngos-ngosan karena terkejut. Ketika aku menekan stetoskop itu, di antara detak jantung Bang Dicky yang berdegup normal, aku mendengar sebuah bisikan. Bisikan kecil tapi aku bisa memastikan datangnya dari situ. Suaranya seperti... entahlah... entah perempuan entah laki-laki, nggak jelas... mungkin anak kecil... mungkin remaja yang suaranya belum berubah...

“Suara?” Bang Dicky mengernyitkan alis. Heran. “Alat ini kan emang buat denger suara.”
“Maksud aku suara orang,” tukasku buru-buru. “Aku barusan denger suara orang dari sini!”

Aku menempelkan lagi ujung stetoskop itu ke dada Bang Dicky, persis di lokasi yang tadi. Tapi setelah berpuluh-puluh detik menunggu, suara itu nggak muncul.

“Ada suara orang lagi?” tanya Bang Dicky, penasaran.

Ada sih. Suaranya Bang Dicky yang bergetar dan tiba-tiba sampai di stetoskop ini. Tapi aku yakin suara tadi bukan suara Bang Dicky. Lagipula yang tadi tuh bukan suara getaran... tapi suara bisikan... seolah dia memang sedang berbicara denganku.

“Beneran, bang. Tadi ada yang ngomong dari sini!”
“Masa sih?” Bang Dicky meraih stetoskop dari leherku dan dia memasang benda itu di telinganya. Sejurus kemudian Bang Dicky menekan ujung bundar stetoskop di dadanya, mencari-cari “suara” yang kuhebohkan barusan, tapi dari alisnya dapat kuketahui bahwa Bang Dicky nggak menemukan suara apapun.

“Dia bisik-bisik gitu. Tapi aku bisa denger dengan jelas,” terangku.
“Bilang apa?”
“Bilang tentang ibu-ibu gitu, lah. Aku nggak ngerti. Sini aku coba lagi.”

Aku mengambil lagi stetoskop itu dan memasangnya di telingaku. Kuulangi lagi proses yang tadi, dan ajaibnya, suara itu muncul lagi...

“Kalian payah...”

-XxX-

Aaarrrggghhh!!”

Suara pekikan itu muncul ke dalam otakku, dan aku belum bisa memprosesnya dengan jelas.

Dug dug dug!

Sekarang terdengar bunyi dentuman yang sangat keras. Seperti... seperti bunyi palu memukul-mukul tembok.

Dug dug dug!

Aku membuka mata perlahan-lahan. Terganggu dengan suara bising tersebut. Dalam lima detik, aku melakukan quick scan dan quick review.

Aku ada di atas sofa. Berbaring menyandar ke punggung sofa. Kakiku selonjoran di atas meja. Kepala Bang Dicky di pahaku. Bang Dicky? Oh, rupanya aku ketiduran. Dan Bang Dicky masih ketiduran. Dan raut mukanya yang lugu itu begitu menggemaskan... membuatku...

Tunggu. Kenapa kami bisa ketiduran?

Hmh. Kalau nggak salah kami sedang membahas tentang cupid sampai akhirnya kami ketiduran. Dan sebelum cupid, kami membahas tentang cinta. Sebelum cinta, kami membahas band Indonesia yang membuat banyak lagu-lagu cinta. Apa ya namanya? ST-12? Pokoknya kami ngebahas itu karena kami... kami ngebahas Sinta Jojo, yang dipraktekkan Granny dan Jeng Nunuk semalam. Dan itu pun karena kami membahas Youtube-nya Granny yang kubilang ada kuntilanaknya.

Lalu kenapa kami membahas Si Kunti, ya?

Oh, karena aku mendengar suara bisikan dari stetoskop! Mungkin saja itu suara Si Kunti, kan? I mean, kehadiran makhluk halus di rumah ini kelihatannya sangat wajar.

Dug dug dug!Aaaarrgghh!”

Aku tersentak dan akhirnya memilih bangun. Dengan hati-hati, kuambil bantal sofa terdekat dan kupindahkan kepala Bang Dicky ke atas bantal. Cowok itu menggeliat. Sempat menggenggam tanganku (dan aku nyaris bersandar lagi ingin menikmati genggaman tangannya). Tapi aku beranjak dan sedetik dua detik memandangi dulu sosoknya yang besar itu rebahan di atas sofa. Dengan perban menempel di dahinya, memanjang hingga ke pelipis. Lalu bibir yang terkatup rapat itu...

Agaaasss...??”

Suara jeritan tadi akhirnya memanggil namaku. Siapa sih itu? Otakku berputar. Oh! Cazzo!

Aku langsung berlari menuju kamarku dan menggebrak pintu. Saat aku menghambur masuk, kulihat cowok cinta monyet Esel itu sudah terpojok di sudut ruangan. Dia duduk di atas lantai, memeluk lututnya, badannya gemetar dan mukanya ketakutan.

“Cazzo, kamu kenapa?” Aku menghampirinya dan mengajaknya berdiri.

Cowok itu bergeming. Dia bertahan duduk di situ, mengelak saat kucoba untuk mengangkat tangannya. Aku membungkuk dan mencoba menarik lengannya. Tapi dia tetap terduduk ketakutan.

“Kamu lihat apa, Cazzo?”
“G-gue nggak mau pindah dari sini!” bisiknya cemas, seriously nggak nyambung dengan pertanyaanku.
“Di sini dingin, lho. Yuk kita ke ruang tengah!”

Cazzo menggeleng dengan mantap dan menepis tanganku. “Kalo gue p-pindah... entar... entar Si Tante ngi-ngikutin!” Melihat napasnya yang menghela seperti itu, aku menduga Cazzo habis menangis. Dan kalau melihat dari matanya yang agak sembap, juga pipinya yang kelihatan lembap, mungkin dia seharian ini memang menangis.

“Tante siapa?”
Aku nggak bisa membayangkan ada tante-tante berkeliaran di kamarku dan mengikuti kami kemanapun kami pergi.

“Tante itu tuh!” seru Cazzo frustasi. Dia mengedikkan hidungnya ke arah meja rias, dan langsung memalingkan pandangannya dari meja tersebut.

Aku menoleh dan menemukan meja rias itu kosong. Meja rias yang berdiri dengan megahnya, dengan motif sulur-sulur batik di pinggiran kacanya, dan pantulan tembok kamar yang ada di dalamnya. Nggak ada siapa-siapa di situ. Nggak ada tante-tante... maupun om-om...

“Siapa yang kamu lihat di meja rias emangnya?”
“Si Tante!” bisiknya, agak keras.
“Aku nggak lihat siapa-siapa di situ, Cazzo. Sekarang di mana si Tante-nya?”

Cazzo menatap dengan tajam ke arah meja rias selama sekitar dua detik. Dia lalu menoleh ke arahku, meletakkan tangan di telingaku, lalu berbisik. “Ssst... dia ada di dalem kaca!”

“Di dalem kaca?” ulangku nggak percaya. So there was another “ghost” in this house?! Astaga. And in my room? Hiding in the mirror?

Ssst!” Cazzo menekan bibirku dengan jari telunjuknya. “Jangan keras-keras. Entar kalo dia ngerangkak keluar lagi kayak Ju-On, gimana?”

Siapa pula itu Ju-On?!

“Ya udah. Kita ke ruang tengah aja, yuk? Di sana nggak ada cermin.” Aku menarik lagi tangannya, tapi Cazzo tetap bergeming.
“Lo gila, ya?!” bisiknya, agak membentak. “Entar kalo dia tiba-tiba lompat keluar dari kaca, gimana?! Bisa mati!”

“Terus mau gimana?” Lama-lama aku jadi kesal. Seharusnya selain bergabung dengan Mahobia, Cazzo juga bergabung dengan Ghobia (Ghost Phobia—kalau memang ada). Masa iya sih ada cowok yang lagaknya macho di sekolah tapi takut setengah mati sama hantu! I mean, hantu kan makhluk halus. Seharusnya hantu tuh makhluk yang paling less-threatening.

“Lo usir dia dulu!” bisiknya lagi. “Ini kan rumah lo!”

How am I supposed to shoo them if I can’t even see them?!

Belum juga aku merespon, aku langsung mencium bau pesing yang sangat menyengat. “Bau apa ini?”
“Bau Si Tante!” bisik Cazzo mantap. “Setan emang baunya aneh-aneh.”
“Tapi kayak bau pipis,” gumamku.

Aku berdiri tegak dan mencari-cari sumber bau. Hidungku mengernyit kecil berulang-ulang, membaui udara, tapi tetap nggak bisa menemukan sumbernya. Bau ini bisa berasal dari mana saja. Terlalu kuat kadarnya.

Cazzo menarik-narik celanaku dan aku pun jongkok di depannya. “Kamu nemu darimana bau itu?” tanyaku.
“Udah dibilangin, bau itu dari si Tante!” Cazzo melotot. “Terus kapan lo mau ngusir si Tante, hah?”

Aku memutar bola mata dan kembali berdiri. Tapi belum juga aku melangkah, Cazzo tiba-tiba menggenggam tanganku. Dia kelihatan takut lagi. “Jangan tinggalin gue di sini, dong! Nggak friendship lo, bro!”
“Jadi kamu mau ikut?”
“Ya nggak, lah!” serunya, seolah aku menanyakan “Kamu mau ML ama kambing?”
“Terus gimana aku mau ngusir si Tante dong?!”

“Oh, iya ya.” Cazzo menerawang ke arah lain dan memutar otak. “Boleh, deh. Tapi jangan lama-lama, ya... dan terus lihat ke arah gue! Entar kalo dia nyerang gue gimana?”
“Iya iya...”

Cazzo akhirnya melepaskan genggamannya dan aku bisa melenggang ke meja rias. Jujur saja ini konyol. Aku, mau mengusir hantu yang bersembunyi di balik cermin, demi cowok homophobia yang macho di sekolah tapi K.O di dunia mistis... di siang hari? I mean, di film-film kan hantu munculnya malam hari!

Aku tiba di depan meja rias dan menemukan semuanya baik-baik aja. Nggak ada bekas-bekas hantu merangkak keluar dari cermin, atau hantu bersembunyi di balik cermin... Ketika aku mendekatkan wajahku ke arah cermin, meneliti mungkin si Tante sedang meringkuk bersembunyi di dunia seberang sana, aku malah memperhatikan hidungku. Gosh, komedoku mulai bermunculan nih. Aku harus beli pore pack baru. But wait, di mana toko yang menjual pore pack di kota ini?

“Ada?” tanya Cazzo dari sudut ruangan.
“Oh,” kataku, menoleh sekilas ke arahnya lalu pura-pura meneliti lagi cerminnya. “Ada tuh,” bualku. “Hus! Hus!” Aku mengibaskan tangan sembarangan ke arah cermin lalu menunjukkan ekspresi setannya-sudah-pergi.

“Dia udah pergi?” tanya Cazzo lagi, harap-harap cemas.
“Dia lagi... ngng... ngerangkak nembus tembok... keluar dari rumah!” seruku, nyaris menambahkan “Horeee” demi meyakinkannya bahwa tempat ini sangat-sangat aman sekarang.
“Cek lagi!” pinta Cazzo.

Astaga.

Aku meneliti lagi cermin meja rias itu. Sampai lima menit kemudian, aku nggak menemukan satupun penampakan yang berarti. Aku bahkan berharap tiba-tiba muncul kuntilanak atau apa gitu, demi memuaskan rasa penasaranku. Tapi nggak. Satu tuyul pun nggak ada yang muncul, apalagi tante-tante. Dan karena merasa seperti orang tolol meneliti cermin selama bermenit-menit, aku akhirnya menyerah dan membual lagi.

“Dia udah pergi! Semua udah bersih!” seruku. Kali ini nggak ragu lagi untuk menambahkan, “Horeeee!!”

Cazzo ragu untuk bangkit. Dia masih merangkul lututnya sendiri, celingak-celinguk kanan kiri, waspada mungkin saja si Tante melompat keluar dari dalam kasur atau tembok. Aku memutar bola mata dan akhirnya dengan pasrah menghampirinya lagi untuk membantunya berdiri. Kali ini dia menurut. Ketika kuulurkan tanganku, dia langsung meraihnya dengan sigap. Dia bahkan langsung berdiri—oh, bukan. Dia langsung memeluk tanganku, seolah aku nggak boleh pergi dari sampingnya.

Ketika berdiri, aku bisa melihat lehernya basah karena keringat. Kaus yang dipakainya pun basah, khususnya daerah ketiak, dada, perut, selangkangan... selangkangan? Kenapa daerah sebelah situ basah juga? Seheboh itukah keringat yang ditimbulkan dari wilayah itu?

Itu bukan...
Tiba-tiba bau pesing tadi menyengat lagi.
Oh, Great.

Cazzo mungkin menangkap mataku sedang memandangi celananya yang basah di daerah selangkangan. Dia langsung membela diri. “I-ini bukan ngompol!” serunya, lalu memutar otak. “I-ini gara-gara si hantunya! Dia tadi pipis di sini!”

Sekarang aku nggak bisa membayangkan ada hantu tante-tante yang secara “sengaja” pipis di atas Cazzo... tante-tante kalo pipis pasti jongkok, kan... astaga... nggak kebayang, deh.

-XxX-

“Aku ngambil minum dulu,” kataku, beranjak dari sofa sambil membereskan peralatan first aid yang tadi kugunakan untuk mengobati Bang Dicky.

“Gila lu! Jangan tinggalin gue di sini dong,” pelas Cazzo seperti anak kecil. “Serem nih!”
“Kan itu ada yang nemenin, ada Bang Dicky.”
“Tapi dia kan lagi tidur!” sahutnya. “Mana bisa dianggap nemenin kalo orangnya lagi tidur.”
“Aku cuma bentar kok... Cuma ke dapur, ngambil minum, terus ke sini lagi. Cuma dua menit, nggak nyampe dua minggu.”

Cazzo ragu untuk membantah. Tapi akhirnya dia menyerah juga. Akupun dengan agak tergesa bergegas ke dapur, menyiapkan orange juice botolan dan menghidangkannya di ruang tengah. Aku sengaja bawa tiga gelas, kalau-kalau Bang Dicky terbangun dan ingin minum.

Cazzo langsung meneguk dengan lahap segelas orange juice. Matanya jelalatan mengawasi setiap sudut ruang tengah, mungkin dia pikir bakal ada setan bermuka merah seperti yang pernah kulihat di film Insidious. Ketika gelasnya habis, dia minta segelas lagi. Well, kadang cowok ini lucu juga. I mean, bukan maksudku naksir atau apa, ya. Melihat cowok sok macho yang ternyata takut setengah mati sama hal-hal berbau mistis kelihatannya funny juga. Atau cute. Aku juga takut hantu kok, tapi kan nggak separah itu. Aku masih ingat malam pertamaku di sini, saat aku ketakutan setengah mati dan meng-sms Bang Dicky minta ditemani. Hanya saja karena penampakan Si Kunti sudah keseringan, entah kenapa kok aku jadi terbiasa. Bukannya pengen pindah rumah ke manaaa gitu, aku malah betah dengan segala macam penampakan yang berseliweran di sana-sini. In fact, aku bangga Granny-ku bisa terkenal di Youtube dan rumah ini sudah masuk radio lokal. Mungkin mestinya aku menjadi paranormal. Aku bisa bikin acara sendiri di teve, judulnya “Bocah dari Rumah Berhantu” dan syutingnya dilakukan di sini lalu aku diwawancara mengenai kegiatan si Kunti, dan mungkin aku bisa menggunakan sweter hitam modis yang kubeli kemarin bersama Granny untuk episod pertamaku.

“Jadi sebenernya apa yang kamu lihat?” tanyaku, membuka obrolan.
“Gue lihat si Tante,” katanya, dengan volume yang cukup rendah sampai aku harus membungkuk untuk mendengarnya dengan jelas. “Waktu tadi gue bangun... gue lihat si Tante lagi duduk di depan meja rias... nyisir rambutnya... pake lipgloss... lalu masuk ke dalem kaca!”

Cazzo menceritakannya dengan nada-nada yang menyeramkan. Nada yang digunakan Dad untuk menceritakan kisah horror padaku waktu kecil, apalagi kalau kami sedang summer camp sekeluarga.

Eh, tunggu. Aku kan nggak punya lipgloss.

“Gilaaa. Serem banget! Bajunya putih panjaang... hiiii.. rambutnya putih... keriting... dan tangannya juga putih... Hiiii...” Cazzo langsung merinding membayangkannya dan dia mengambil segelas lagi orange juice. “Pokoknya gue nggak mau cerita lagi!” katanya tegas.

“Terus bagian pipis itu?”
“Pipis?” Cazzo memutar otak. “Oh. Itu. Dia... si Tante... dia pipis di atas kasur. Gue juga heran kenapa dia pipis di situ!” Dan Cazzo pun mengalihkan pandangannya ke arah lain, takut bertemu pandang denganku.
“Di atas kasur, ya?”

At least sekarang aku tahu di mana sumber bau pesing itu berada.

“Jadi celana kamu basah bukan karena ngompol, ya?” pancingku.
“Oh, bukan. Bukan...” jawab Cazzo. Kepalanya menggeleng terlalu antusias.
“Jadi yang pipis adalah si Tante?”

TRANG! TRANG! Trang-trang! Traaanngg....

Tiba-tiba sebuah suara logam mengagetkan kami berdua. Suaranya seperti panci besar alumunium yang jatuh dari meja dan menghantam keramik lalu berguling-guling. Aku tersentak kaget dan langsung menoleh ke arah dapur. Sementara Cazzo...

... dia latah.

GUE YANG PIPIS DI CELANA! GUE YANG PIPIS DI CELANA!” pekiknya, tepat ketika suara mengejutkan itu muncul. Cazzo menyadari ucapannya, dia langsung menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Matanya melirik ketakutan ke arahku. Sayup-sayup aku bahkan bisa mendengarnya mengatakan, “Ups!”

Tapi sebelum aku sempat bereaksi pada latahnya yang akhirnya membongkar bualannya, Cazzo buru-buru mengalihkan pembicaraan.

“Apa itu tadi?” serunya. “Kucing? Kunti?”
“Di sini nggak ada kucing,” gumamku.
“J-jadi itu kunti?!”
“Di sini ada kucing!” ralatku buru-buru. “Mungkin itu kucing tetangga! Mereka suka main ke sini. Main ke dapur. Main jatuh-jatuhan panci!” Aku nggak mau Cazzo pingsan lagi karena dia pikir ada si Kunti di sekitar kami. Weekend-ku sudah cukup melelahkan dengan kejadian pingsannya Cazzo pagi tadi dan kehadiran Esel dan kecelakaan Bang Dicky.

“Tapi bisa jadi itu kunti!” seru Cazzo panik.
“Itu kucing!” balasku. “Meooonnnggg?” panggilku ke dapur.

Cazzo deg-degan untuk beberapa saat. Dia berkeringat lagi. Entah keringat karena takut si Kunti muncul atau keringat karena malu gara-gara latah dengan isi pikirannya sendiri.

Aku bergegas menuju dapur dan menemukan sebuah panci tergeletak di atas lantai. Setelah kucari-cari di seantero dapur, aku nggak menemukan satupun penampakan si Kunti. Ataupun kucing. Setelah kurapikan lagi peralatan masak itu, aku duduk kembali di ruang tengah.

“Mau makan?” tawarku. Sebisa mungkin aku nggak menyinggung soal latahnya yang tadi. Kasihan juga. Mungkin bisa aku bahas lain kali. Saat mukanya tidak semerah sekarang. Paling sekarang aku tinggal memikirkan bagaimana membereskan bekas ngompol itu?

Astaga... sulit juga ya menahan tawa!

“Nggak, ah. Nanti gue disodorin menyan, lagi...” ujarnya, dengan malu-malu melirik ke arahku. “Kok lo mau-maunya tinggal di sini, sih?”

Aku mengernyit. “Well, pengennya sih aku stay di US. Tapi karena embassy keukeuh aku mesti pulang ke Indonesia, ya udah, aku ke sini—“
“Bukan itu,” potong Cazzo. “Kok mau-maunya tinggal di rumah ini?”
“Karena cuma ini satu-satunya pilihan tempat tinggal. Mau di mana lagi?”
“Sewa apartemen, kek.”

Kami lalu menghabiskan tiga puluh menit ke depan untuk mengobrol. Aku jadi tahu kalau Cazzo punya hobi main gokart. Dia penggemar formula 1 nomor satu dari Indonesia—begitu katanya. Dan dia kelihatannya hafal setiap detail apapun yang berhubungan dengan balap mobil tersebut. Begitu ingat aku pernah tinggal di USA, dia langsung mencerocos tentang Indianapolis, salah satu sirkuit yang pernah jadi host F1 beberapa tahun ke belakang. Dia juga bertanya-tanya beragam hal tentang Indianapolis, seperti cuaca, actual condition, sebesar apa sirkuitnya, yang of course nggak bisa aku jawab karena sekalipun aku bukan penggemar F1. NASCAR pun nggak pernah nonton, apalagi F1. Dan saat aku secara nggak sengaja nyeritain pengalamanku terbang ke London, ikut Dad yang ada business-party di Silverstone sambil nonton F1 (tapi sumpahnya aku nggak nonton, aku malah jalan-jalan di Soho dan Harrods), kami malah menghabiskan tiga puluh menit tambahan untuk membahas sirkuit F1 di Inggris tersebut. Ckckck.

Akhirnya Cazzo menyadari bahwa pembicaraan kami sudah terlalu banyak condong ke hal-hal yang menjadi interest-nya. Sedikit pun kami belum membahas apa yang aku sukai.

“Kalo lo suka apa?” tanyanya.
“Aku?” ulangku, kaget karena Cazzo menanyakannya. “Aku suka... ngng... baca?”
“Baca?” ulangnya, dengan tatapan jijik. “Baca kayak... baca buku?”
Aku mengernyit tersinggung. “Iya. Emangnya baca apa lagi?”

“Tapi kan itu, ngng...” Cazzo mencari-cari istilah paling buruk untuk menghina hobiku itu. “Kampungan banget.”

Aku benar-benar tersinggung. “Well, kalo aku nggak hobi baca, dan sore kemarin aku nggak ke perpus karena hobi bacaku, kemungkinan besar kamu nggak bakal ada di sini. Mungkin kamu masih meringkuk di WC sekolah!”

Keterlaluan cowok ini. Apa haknya mengejek hobi baca sebagai hobi kampungan? Memangnya salah ya suka baca buku? Semua orang sukses di dunia ini pernah baca buku, and it wasn’t, maksudku, is never: kampungan! Tiba-tiba saja aku terobsesi untuk membela hobi baca buku ini, meskipun sebetulnya aku nggak hobi-hobi amat baca buku. But still...

“Oh,” Cazzo menutup mulutnya, sadar bahwa apa yang dikatakannya barusan benar-benar kejam. “Sorry.”

Aku mengambil minum dan memilih untuk nggak berkomentar. Tapi ngomong-ngomong soal kejadian kemarin sore, aku jadi penasaran. Sebetulnya apa sih yang terjadi semalam?

By the way, semalem tuh kenapa sih kamu bisa kekunci gitu?” tanyaku.
“Kekunci apa?” tanyanya defensif. Obviously dia nggak mau bahas soal kejadian tersebut.
“Kekunci di toilet, nangis di dalamnya, meringkuk, nggak keluar lewat ventilasi, lalu motor kamu—“
Sstt-sstt-sstt!” desis Cazzo memotongku. Dia bahkan membungkuk ke arahku untuk membungkan mulutku. “Lo banyak omong, ya?”

Aku menyingkirkan mulut Cazzo dan kami pun terduduk dengan tenang lagi di sofa masing-masing. “I’m just asking...” gumamku. Lalu semuanya hening.

“Gue lagi uji nyali semalem!” seru Cazzo, which is bullshit, karena lagi-lagi matanya nggak mau bertemu pandang dengan mataku. “Kan lo tau sendiri, gue agak... agak nggak suka sama hantu. Gue benci mereka! Jadi Mahobia nantang gue uji nyali.”

Really?” kataku dengan ekspresi datar. “Dan mereka juga ngambil busi motor kamu?”
“Y... ya! Itu kan supaya gue nggak kabur!”
“Jadi mereka pikir... kamu nggak mungkin naik taksi sehingga satu-satunya cara supaya kamu nggak kabur adalah nyuri busi motor kamu?”
Cazzo terpojok. “Lo banyak nanya, ya?”

Karena kamu banyak ngebullshit, batinku.

“Terus, aku denger kamu meracau di mobil, waktu kita pulang ke rumah kamu. Itu kamu lagi ngomongin apa?”
“Meracau?” Cazzo mengingat-ingat lagi apa yang terjadi semalam. “I-itu...” Dia berpikir keras. “Itu gue lagi latihan drama buat hari senin.”

For God’s sake. Seumur-umur baru sekarang ada orang yang lagi ketakutan tiba-tiba menghafal dialog drama untuk hari Senin. Bullshit-nya keterlaluan.

“Bener latihan drama?” tanyaku lagi.
“Iya!” jawabnya defensif.

TRANG! TRANG! Trang-trang! Traaanngg.... DUNG! Dung! Dung-dung-dung... BRAK! Brak.. ZZEESSSSHH! Zzzzsssshhh... BLETAK!

“GUE KONTES PAGEDE-GEDE KONTOL! KONTOL GUE NGACENG! GUE DISANGKA HOMO! GUE DIHUKUM!!”

Bunyi-bunyi mengagetkan itu tiba-tiba muncul lagi. Aku tidak sekaget tadi, hanya saja kali ini bunyi-bunyi berjatuhan itu banyaaaaak sekali. Sudah banyak, panjaaaang pula. Seolah seseorang baru saja membanting semua peralatan dapur dalam waktu bersamaan dan semua barang-barang itu menggelinding nggak keruan. Akibatnya, Cazzo latah lagi. Latah yang terlalu panjang.

Cazzo langsung menutup mulutnya. Keringat dingin dengan cepat membasahi wajah dan tubuhnya. Sekali matanya melirik ke arahku dengan tajam, kemudian merasa menyesal sudah kelepasan macam begitu. Aku, yang sedang terkejut mendengar rentetan bunyi-bunyian itu, lebih terkejut lagi mendengar apa yang dikatakan Cazzo barusan.

“M-maksud gue... itu cuma...” Cazzo salah tingkah. Telinganya merah. Kali ini dia nggak berani menatap mataku.

Aku menyipitkan mata memandangnya. Nggak perlu aku cek suara apa yang ribut-ribut barusan karena apa yang dilatahkan Cazzo lebih menarik. Thank God, aku mengingat dengan jelas apa yang baru saja diteriakkan Cazzo.

Tapi belum juga aku berkomentar, Cazzo sudah menyerangku. Dia bangkit dari sofanya, melompat ke arahku dan langsung meraih bagian atas kausku. Dia mencengkeramnya dengan kuat, menarikku ke arahnya, dan tatapannya benar-benar panik. Atau malu.

“Awas lo ya kalo lo bocorin apa yang lo denger barusan!” bisiknya tajam. Kupingnya makin merah dan aku malah ingin tertawa. “Kalo lo bilang-bilang... lo bakal... bakal... pokoknya awas!”

Aku dan Cazzo saling bertatapan. Mata kami beradu satu sama lain. Aku meneliti bola mata Cazzo dan menemukan bahwa ada rasa cemas dari dalamnya. Yang tentunya ditutupi oleh sikap defensifnya. Kurasakan pula tangannya gemetar saat kerah kausku ditariknya. Napas Cazzo memburu—aku berulang kali merasakan napas hangatnya yang membuatku agak sesak.

Sepotong tangan tiba-tiba muncul dan menarik tangan Cazzo dari kausku. Tangan itu pun mendorong Cazzo mundur ke belakang, hingga terjatuh ke atas sofanya semula. Tangan itu langsung berada di depan dadaku, bersiap, waspada, kalau-kalau Cazzo akan menyerangku lagi. Baru tiga detik kemudian aku baru sadar... bahwa itu adalah tangan Bang Dicky.

Bang Dicky?
Suara berisik tadi rupanya membangunkan cowok ini.

“Ngapain pegang-pegang bajunya Agas, hah?” seru Bang Dicky agak marah. Alisnya berkerut ke dalam menunjukkan dia nggak sedang bercanda.

Cazzo terpana menatap Bang Dicky. Secara bergantian dia menatapku, lalu Bang Dicky. Lama kelamaan, Cazzo menyerah. Dia menelan ludah. Menunduk. Dan akhirnya merebahkan diri.

“G-gue...” katanya. “Gue pulang ya, Gas?”

-XxX-

Baiklah, untuk ukuran jogging, ini sudah keterlaluan. I mean, mana ada orang lari pagi dan belum kembali sampai jam 3 sore? Aku menunggu dengan cemas. Aku benci kalau orang terdekatku nggak ada kabar macam begini. Aku jadi ingat waktu tiga bulan lalu Mom bilang bakal meneleponku begitu tiba di Los Angeles. Dan aku juga sudah nitip oleh-oleh aneka rupa seperti foto walk of fame-nya Britney Spears dan lain-lain. Tapi empat jam lewat dari rencana Mom menelepon, aku sama sekali belum dapat kabar. Tahu-tahu... Oke, stop it! Aku harus berhenti memikirkan soal kejadian itu!

—gw mnta maaf—

Tiba-tiba Cazzo membuyarkan lamunanku dengan mengirim sms. Aku yang sedang asyik menatap Boeing 737-800 descending di FSX-ku terpaksa bangun dari depan komputer lalu beranjak ke meja rias untuk mengambil ponsel.

Astaga. Bau pesing itu masih ada. Padahal dua puluh menit lalu sudah kusingkirkan ranjangku ke halaman belakang, kujemur, dan seluruh ruangan ini sudah kusemprot dengan pewangi yang kutemukan di ruang tengah.

—minta maaf untuk apa?—

—krn udh narik baju lo td. krn udh bohong ama lo...—

—that’s O.K. nobody’s perfect—

—gw ga payah kan?—


Tiba-tiba kudengar suara Zaki menghambur masuk dari ruang tengah. “Gila, man... mimpi buruk!” serunya.

Bang Dicky membalas, “Zaki abis dari mana?”
“Itu tuh, disuruh si Agas nemenin si banci jalan-jalan. Ckckck. Edan, sepanjang jalan tangan saya diremes-remes terus. Hiiii... saya mau ikut mandi di sini, ah! Mandi junub! Eh, itu kepala kenapa Ky, pake diperban segala?”

Aku nggak mendengar suara Esel. Ke mana dia? Apa Esel kabur dari Zaki? Nggak mungkin. Apa Zaki kabur dari Esel?

—payah? Payah knp? Spt yg aku bilang, nobody’s perfect—

—klo kata temen2 gw sih, gw payah. Hal2 yg gw lakuin ga bisa ditolerir lg. Kok lo bsa santei gtu sih ngadepin gw?—

—nobody’s perfect <-- how many times do i have to type this phrase?—

—pasti lo the jelitaz ya? tp g mw ngaku? Kta si Derry, klo ada org yg sanggup nerima gw apa adanya, psti dia the jelitaz!—

—oke, trnyata bener kmu payah. Knp utk nilai org lain aja msti dgrin prinsip org lain coba?—

—jd kmu beneran the jelitaz?—

—BUKAN!!—


Agak lama Cazzo membalas. Aku bahkan sudah approach mendekati runway dan sedang mengatur localizer. Sampai aku benar-benar landing, tune ground frequency, lalu request for taxi, Cazzo belum membalas. Malah Zaki yang menghambur masuk ke kamar, hanya mengenakan handuk yang dililit di bawah perutnya, terpukau melihat ranjangku yang kosong.

“Lho? Ini kasurnya mana bos?” tanyanya.
“Dijemur.”
“Emangnya kenapa? Bos ngompol, yaaa...?” Zaki terkikik geli.
“Bukan aku yang ngompol, kok.”

Kemudian Zaki mendadak cemas. “Saya ya bos yang ngompol?”
“Bukan, bukan. Orang lain. Eh, maksud aku, kasurnya aku jemur bukan karena ada yang ngompol.”
“Kok wangi Kispray?” Zaki membaui udara.
Dan terlambat, botol pewangi ruangan itu sudah terlanjur ditemukan Zaki di atas meja rias. Dia mengambil botol itu dan mengernyit heran. Mudah-mudahan bau pesing tadi sudah benar-benar hilang oleh pewangi tersebut.

“Bos abis nyetrika?” tanyanya.
“Nggak, kok. Kapan juga aku nyetrika?”
Sejarah menyetrikaku benar-benar buruk. Pernah suatu kali aku ironing kemejaku dan kainnya nggak rapi-rapi, kusuuut terus. Sampai akhirnya Mom memberitahuku bahwa kabelnya belum dicolokin ke listrik. Sejak saat itu aku benci menyetrika.

“Terus ini kenapa ada di sini?” Zaki mengacungkan botol itu. “Ini kan buat nyetrika.”
“Hah?”
Aku merebut botol itu dan membaca petunjuk yang ada di cover-nya. Astaga. Betul. Ini untuk nyetrika.

Langsung saja aku berkelit. “Aku suka wanginya! Jadi aku semprot-semprot aja di kamar.”
“Kalau kata saya sih... baunya eneg, bos! Bikin mual...”

Iya sih, batinku. Lama-lama aku juga pusing mencium baunya.

Zaki meletakkan lagi botol itu di atas meja rias dan membuka handuknya. Kini dia... bertelanjang bulat lagi!

“A-abang ngapain?” tanyaku gugup.
Sebisa mungkin aku nggak menatap ke arah “Ucok”-nya, apalagi meneliti titik-titik air yang menempel di sekujur tubuh Zaki. Aroma sabun yang khas dan aura lembap yang dia berikan membuatku agak bergairah.

“Lho? Katanya kalo masuk kamar bos mesti bugil, bos? Buat inspirasi?” Dia mengernyitkan alis.
“Itu... ngng... lain kali aja...” Aku menelan ludah. Sumpah deh, aku nggak siap kalo mesti horni sore-sore begini. Melihat “itu”-nya yang menggantung dan berayun-ayun...

“Yakin, bos?”
“Iya! Cepetan pake!” Ya Tuhan ya Tuhan ya Tuhan. “Aku... aku lagi nggak mood buat nyari inspirasi sekarang.”
Yo wes.”

Zaki pun melilitkan lagi handuk ke tubuhnya. Dia lalu terpana melihat game yang sedang tayang di komputerku.

“Main apa, bos? Asyik tuh!”
“Main game jadi pilot.” Lalu ponselku bergetar lagi. Mungkin Cazzo sudah membalas pesanku yang tadi.

—lo mw kan jd fren gw? Tp plis jgn blg2 org lain. Gw ngaku gw butuh lo yg ga peduli sama kkurangan2 gw. Gw bru dkluarin dr mahobia smalem. Mreka pkir gw homo pas gw ngaceng pas qta kontes pgede2 rudal. Udh gt c Moris pke blg gw takut setan lg, jd deh gw mkin dkluarin & d anggap banci. Gw pgn gbung lg ama mreka, krn cm itu satu2nya jlan bsa survive d CIS. Tp smentara itu, gw jg butuh lo yg nrima gw apa adanya...—

Oh. Ternyata dia lama membalas tuh karena mengetik sms sepanjang ini.

ZAAAPPP!

Tiba-tiba komputer-ku mati dan seluruh ruangan langsung hening.
“Kenapa ini?”
“Mati lampu kayaknya bos!” Zaki mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
“Aku emang nggak nyalain lampu dari tadi, jadi lampu itu ya emang mati.”
“Eeeh, bos! Mati lampu tuh maksudnya aliran, bos! Mati listrik!” Dan Zaki pun terkekeh geli.

Sial. Mana aku belum nge-save flight yang tadi, pula.

Bang Dicky tiba-tiba melongokkan kepalanya dari pintu. “Mati lamp—Zaki, ngapain telanjang begitu?”
“Lagi mau pake baju kok, Sob! Mati lampu, ya?”
“He-eh. Dicky juga tadi lagi nyetrika tiba-tiba mati lampunya. Ada yang lihat Kispray, nggak?”

Astaga. Lain kali aku harus benar-benar membaca petunjuk setiap botol.

Setelah Bang Dicky mendapatkan pelicin pakaiannya, dan setelah Zaki mengenakan boxernya (at least dia nggak telanjang bulat sekarang), aku duduk-duduk di depan meja rias. Sedikit banyak aku membayangkan lagi hantu Tante yang keluar dari cermin meja rias ini.

“Gila bos, jalan sama Esel... mimpi buruk!” ujar Zaki membuka obrolan. “Sepanjang jalan dia ngegelendot, terus... mana dia tadi minta ditemenin belanja ke mal lagi. Apa kata orang ngelihat saya jalan ama banci yang nempel manja-manjaan terus? Hiiii...” Zaki menepuk-nepuk tubuhnya, seolah ingin mengusir kutukan apapun yang menempel di badannya.

“Sama. Di sekolah juga si Esel ngebuntutin terus. Bikin stres!”
“Dia kan pernah nembak bos, ke saya, ke si Dicky...”
“Nembak?” ulangku.

Aku nggak bisa membayangkan Esel membawa-bawa senapan lalu menembaki Bang Dicky dan Zaki.

“Maksudnya nyatain cinta, bos,” kata Zaki kemudian, menyadari mungkin aku nggak tahu ‘nembak’ tuh maksudnya apa. “Gila, ya. Masa laki suka sama laki. Kok bisa ya Bos?”

Astaga. Dia nggak tahu apa, dia sekarang lagi ngobrol ama laki yang suka sama laki? Kalau diberikan pertanyaan macam begitu, ya aku nggak bisa jawab. Karena semua perasaan suka sesama jenis ini sudah dari sananya. Sudah dari kecil aku mengagumi cowok-cowok.

“Sebab Tuhan nyiptain dunia ini penuh warna. Nggak cuma item atau putih. Jadi nggak cuma cowok ama cewek, tapi juga cowok yang suka cowok dan cewek yang suka cewek,” kataku, teringat simbol gay yang warna-warni seperti pelangi.

“Rasanya gimana ya bos, suka ama cowok?” tanya Zaki kemudian.
Aku menelan ludah. “Tanya aja sama cowok yang suka sama cowok langsung,” jawabku.

Meskipun secara teknis, Zaki memang “sudah” bertanya pada cowok yang suka sama cowok.

Aku, yang sebetulnya agak sensitif membahas soal gay bersama cowok yang bukan gay, mencoba mengalihkan pembicaraan. “Oh, iya. Aku pengen nagih permintaan aku yang semalem dong!”

“Permintaan yang mana?”
Aku menoleh ke arah pintu, lalu berbisik. “Yang tentang Bang Dicky. Please...”
“Tentang tatonya itu?”
Well, bukan cuma tato aja sih. Tapi semua-muanya.”

Zaki memutar otak. “Kayak gimana? Kayak ukuran kanjutnya juga?”
“Ya nggak dong, tapi yang lebih happening daripada itu.” Kurasakan mukaku memerah.

Tapi mungkin aku bisa tanyakan soal little-jack Bang Dicky suatu hari.

“Misalnya soal mantan pacarnya yang kemaren itu. Ceritain dong masa-masa pacaran mereka.”
Zaki menengok ke arah pintu, memastikan Bang Dicky nggak akan menempelkan kuping di pintu dan mendengarkan seluruh obrolan kami. “Nggak, ah! Itu mah sensitif!”
“Lho? Kan udah janji!”

Sialan. Masa janji telanjang aja nggak perlu diingetin tahu-tahu bugil tapi janji nyeritain orang lain malah di-cancel segala?!

Zaki menggaruk kepalanya agak lama. Ragu, melirik ke arahku, lalu ke arah pintu. “Duh, gimana ya...? Pass aja, deh. Pertanyaan berikutnya, bos!”
“Abang pikir ini kuis!” Aku melotot geram. “Aku pengen tahu soal pacarnya Bang Dicky!”

Zaki menimang-nimang sebentar. Dia kelihatan takut untuk menceritakannya, tapi dia juga kelihatan nggak mau mengingkari janjinya. “Tapi saya udah janji sama si Dicky buat nggak cerita ke siapa-siapa, bos! Entar saya kena kutukan, lagi...”
“Kutukan apa?”
“Kutukan dari si Dicky, lah. Kalo saya bilang-bilang soal si Lita, entar saya dikutuk dikejer-kejer sama si Esel kemanapun saya pergi.”

Well, technically, mereka emang “sudah” dikejar-kejar Esel, kan?

“Jadi sebenernya abang udah tahu soal pacarnya Bang Dicky itu?” tanyaku, teringat kejadian waktu di Iga Bakar saat Zaki dengan ahlinya pura-pura nggak tahu.
Zaki mengangguk. “Sebagian besar sih tahu, bos. Tapi beberapa hal mah masih belum tahu. Apalagi soal kenapa si Dicky suka kesurupan kalo ngelihat si Lita.”

“Nggak apa-apa, ceritain aja.” Lama-lama aku bakal jadi gossip-hunter, kayaknya.

Zaki melirik ke arahku, lalu menunduk, menimang-nimang lagi. Tiba-tiba Zaki bergumam seperti ini, “Andaaaiii aja saya bisa punya majalah playboy dari Amerika...” Dan dia melirik sekali ke arahku.

Astaga. Jadi dia pengen cerita tentang Bang Dicky itu ditukar dengan majalah Playboy, hah?

“Iya-iya. Entar aku beliin majalah Playboy asli Amerika. Pake bahasa Inggris!” Aku memutar bola mata.

Selama setengah jam kemudian, aku diceritakan banyak hal oleh Zaki. Bang Dicky dan Lita bertemu dalam sebuah pesta di Embassy. (Aku pikir Embassy tuh kedutaan besar, ternyata tempat dugem.) Granny kebetulan berteman dengan host party, diundang untuk launching sebuah produk, dan mengajak Bang Dicky menemaninya ke pesta. Di sana lah mereka bertemu Lita. Sekitar dua tahun lalu.

Mereka pasangan yang serasi, yang satu ganteng yang satu cantik. Dan selama dua tahun pun mereka terlihat harmonis—Zaki bilang pasangan itu bikin iri. But of course, sering juga mereka berantem layaknya orang pacaran, dan Zaki sering ngintip pertengkaran mereka, pertengkaran yang nggak dimengerti Zaki karena Lita kalo marah-marah atau teriak-teriak selalu pake bahasa Inggris. Meski begitu, mereka tiba-tiba memutuskan untuk lanjut ke jenjang pernikahan dan segala sesuatunya sudah disiapkan untuk pernikahan.

Sayangnya, beberapa hari sebelum hari H, ketika semua undangan sudah disebar, katering sudah dihubungi, bahkan gedung sudah disewa, Lita memutuskan untuk meng-cancel pernikahannya dengan Bang Dicky. Zaki bilang sih, ada satu malam dimana Bang Dicky dan Lita pacaran di workshop (dan Zaki nggak sengaja—meski aku nggak percaya dia nggak sengaja—mengintip mereka berduaan di dalam), pasangan tersebut sedang saling membuka diri tentang masa lalu mereka. Saat Lita tahu bagaimana masa lalu Bang Dicky, ditinggalkannya lah cowok itu. Tapi entah kenapa Bang Dicky jadi alergi amat sangat kalau ketemu Lita.

“Emang masa lalunya seperti apa?” tanyaku.
“Ooh, itu sih rahasia.” Zaki mendongak ke arah jendela dan menunggu aku merespon.

Astaga. Sekarang dia benar-benar menyebalkan. Begini deh kalo ngegosip ama cowok, nggak asyik. Masa aku harus barter satu barangku lagi demi mendapatkan satu cerita extension?!

“Aku beliin majalah Playboy dari Eropa, deh. Sekarang cerita!”
“Ah, apa majalah Playboy lagi.” Zaki berjalan ke arah tumpukan O-magazine yang pagi tadi sudah kutukar dengan mengasuh Esel. “Majalah orang Amerika udah, majalah Playboy entar, masa sekarang mau majalah lagi?”

“Jadi maunya apa?”
“Saya maunya game yang tadi, bos!” Dia menunjuk komputerku. “Main jadi pilot.”
“Maksudnya gimana? Itu kan program!”
“Maksudnya, saya pengen main itu juga bos. Dan bos mesti ngajarin!”

Aku memutar bola mata.

“Terserah abang aja deh. Nah, sekarang cerita!”
Eit, tunggu dulu!” Zaki melipat tangannya di depan, seolah baru saja memenangkan sesuatu. “Bos juga mesti bantuin saya bikin surat cinta buat si Zaenab pake bahasa Inggris!”

Aku menepuk dahiku dan menggelengkan kepala.

“Iya-iya-iya...” Sumpah deh, si Zaki orang yang nggak cocok buat dititipin rahasia. Masa rahasia orang lain bisa dengan mudahnya ditukar dengan bantuan bikin surat cinta?

“Oke. Tapi inget, ya... jangan bilang-bilang orang lain, dan jangan bilang-bilang si Dicky kalau saya yang ngasih tahu bos. Kalo si Dicky nanya, bos bilang aja, ngng... si Kunti yang ngasih tahu bos!” Zaki menepuk tangannya dengan gembira. “Ya misalnya dia ngasih penampakan-penampakan atau apa gitu...”

Eh-ma-God... Aku nggak bisa membayangkan bercakap-cakap dengan si Kunti membahas masa lalu Bang Dicky.

“Iyaaaa...” lolongku. “Jadi apa masa lalu Bang Dicky tuh?”
Zaki menarik napas. “Si Dicky kan ngebunuh ayahnya sendiri, bos.”

-XxX-

“Aaaaahhhhh...” Sebuah jeritan panjang menginterupsi obrolanku dengan Zaki. Belum juga aku membayangkan yang bukan-bukan tentang Bang Dicky membunuh ayahnya sendiri, tiba-tiba kudengar teras depan rumah ramai oleh suara-suara wanita yang melengking.

“Cobain Jeng Shinta! Pedeeessssshhhh!”
Itu suara Granny.

“Granny, ya?” tanyaku.
Zaki mengernyit lalu mengangguk. “Kayaknya sih...”
“Ya udah, biarin. Kita lanjut!”

“Agaaaassss?” panggil Granny.
Sial. Malah dipanggil, lagi.

Aku sengaja nggak bersuara dan langsung menutup mulut Zaki dengan telunjukku. Aku pura-pura nggak ada di rumah aja, deh. I mean, paling Granny mau mengajakku gabung dengan kawan-kawannya. Kali ini aku nggak bisa ikut, ada kegiatan yang lebih penting.

“Di sini, yaa?” Granny tiba-tiba saja menghambur ke kamarku. “Kamu belum pulang Zaki? Eh, yuk, gabung sama yang lain!”

Granny nggak kelihatan kayak baru pulang jogging. Dia mengenakan celana jins yang bagian pinggulnya besar, lalu atasan tipis motif bunga-bunga, dan rambut yang dikuncir kuda mirip anak muda. Mulutnya bau jahe.

“Entar aja deh Granny... aku sama Zaki lagi—“
“Eeeh, ayo kita gabung dulu. Ngobrol-ngobrolnya terusin di sana aja. Nenek bawa Maicih lho! Agas pasti suka...”
“Mak Icih?”
Astaga. Another friend of Granny?

“Nenek bawa Maicih?” tanya Zaki dengan mata berbinar. Belum juga Granny menjawab, Zaki sudah melompat dari tempat duduknya dan berlari keluar ruangan. Se-ngefans itukah Zaki dengan Mak Icih? Dia tuh artis, ya? Kok aku belum pernah dengar Granny punya teman selebritis?

“Tuh, Zaki aja udah ke sana! Yuk yuk!” Granny menarik tanganku dan membawaku ke ruang tengah. Di sana ada sekitar empat wanita paruh baya dengan kostum modis motif kembang-kembang sedang duduk manis di atas sofa. Semuanya pernah kulihat, satupun nggak ada wajah baru yang mestinya bernama Mak Icih.

Anjrit! Level yang paling gede, Nek?” seru Zaki takjub sambil mengacungkan sebungkus keripik pedas. “Cobain nih Gas... Maicih namanya!”

Jadi ini Mak Icih tuh?
Aku pikir orang. Aku pikir Mak Icih.

“Maicih tuh merk keripik setan ini! Gila, pedes banget!” kata Zaki seolah menjawab pertanyaan batinku barusan. Zaki dengan asyik menjilat-jilati telunjuk dan jempolnya yang kini penuh dengan bubuk cabe. “Mau nggak?”

“Cobain, Gas!” seru Jeng Nunuk dari atas sofa. “Anak-anak muda kota Bandung makanannya Maicih, lho... Kita-kita juga begitu. Namanya Icihers.”

Granny sudah duduk di atas sofa sambil memasukkan lagi sekumpulan keripik pedas ke dalam mulutnya. “Yang ini level 10! The best! Jarang dikeluarin lho, limited edition... kebetulan Jeng Novi temenan sama presidennya, jadi kita-kita The Jandaz dapet yang level 10!”
“Ini lho Gas, yang namanya Jeng Novi,” ujar Jeng Novi mengacungkan tangan, khawatir aku lupa dia tuh nenek-nenek yang sebelah mana. "Sebentar lagi saya mau jadi Jenderalnya malah... saya juga kenal Mak Elang yang jadi insipirasi si Presiden."

“Kamu makannya sama ini, Gas...” Jeng Nunuk berdiri dan menyodoriku segelas air berwarna merah. “Ini namanya bir pletok! Pasti asoy, deh...”

Asoy tuh apa?” bisikku ke Granny, tapi Granny nggak mendengarku.

Aku, yang rencana semula ingin mendengarkan cerita Zaki tentang Bang Dicky, akhirnya menyerah dan bergabung bersama The Jandaz selama kurang lebih... pokoknya sampe jam 5 sore, lah. Berkali-kali aku mengedikkan kepala ke arah Zaki, memberi kode padanya untuk menyingkir dan melanjutkan sesi ngobrol kami, tapi cowok itu malah menawariku Maicih lagi. “Agas mau ini lagi, yaaa? Kakak, Agas minta lagi katanya!”

Sialan.

Jujur saja, dari gigitan pertama keripik tersebut, aku jamin dia nggak akan pernah jadi sahabat baikku. Cukup satu keripik aja deh seumur hidup. Bubuk-bubuk cabenya membakar lidahku, dan ketika aku siram dengan bir pletok, tubuhku malah makin terbakar. Aku kira bir pletok tuh semacam bir... maksudku, bir yang kalau dibahasainggriskan menjadi: beer, sehingga at least aku bisa mabuk dan melupakan rasa pedas dari Maicih. Nyatanya bir pletok adalah ramuan yang terbuat dari jahe dan dapat menghangatkan tubuh.

Dalam obrolan nenek-nenek tersebut, aku jadi tahu bahwa Granny bukan sekedar jogging biasa. I knew it. Selama dua minggu terakhir aku nggak pernah lihat Granny punya niatan untuk olahraga pagi. Ternyata memang itu hanya alasan saja. Tujuan sebenarnya adalah weekend shopping dan “jali-jali” keliling Bandung. Dari cerita yang kudengar, kelihatannya mereka sudah mengelilingi setengah dari kota ini hingga ke pelosok-pelosoknya.

Saat ini, setelah tiga gelas bir pletok dan entah berapa suap keripik pedas—yang makin dimakan justru makin ingin tambah, bukannya berhenti (dan Jeng Nunuk keukeuh bahwa aku kena sindrom tericih-icih)—kami sedang membicarakan video Youtube Granny dan Jeng Nunuk.

“Gambarnya jelas, kan?” kata Jeng Nunuk. “Saya tuh takutnya agak burem atau gimanaa gitu. Kan bahaya.”
“Jelas sih, Jeng,” timpal Jeng Novi. “Tapi make-up-nya kurang cerah. Mungkin matanya lebih dipoles lagi, gitu?”
“Mungkin lightning-nya kurang,” sahut Granny dengan lagak sok pintar.

Please, Granny. Lightning tuh artinya petir.

Aku menunggu-nunggu sampai salah satu dari nenek-nenek ini membahas si Kunti yang lewat dalam video itu. Tapi mereka sama sekali nggak menjurus ke sana. Bahkan mungkin nggak akan pernah.

“Tapi kalo rambut saya diuraiin bakalan mirip si Jojo, kan?” kata Jeng Nunuk.
“Kurang panjang sedikit, Jeng Nunuk,” balas Jeng Shinta. “Mungkin sampai sini lah.”
“Saya nyaris lupa liriknya lho semalem. Ih, gila. Deg-degan banget,” tambah Granny dengan lagak bahwa syuting semalam adalah penting, sama pentingnya dengan presiden menandatangani kerjasama internasional antar negara.

Astaga. Masa sih nggak ada yang ngebahas soal si Kunti?

Hits-nya bagus lho, Jeng...” kata Jeng Novi. “Saya tadi ngecek di android saya, katanya udah ribuan. Keren, kan? Mungkin kita bisa ngalahin Sinta dan Jojo!”
“Dari awal sebetulnya kita udah ngalahin mereka,” sahut Jeng Nunuk. “Cuma mereka lebih beruntung aja. Jeng-jeng tahu kan kalo giginya si Jojo tuh nggak rata? Masih lebih rata gigi kita, kan... meskipun pada palsu semua.”

Dan mereka pun tertawa.

Ya Tuhan, Jeng Novi. Memangnya Jeng nggak baca komentarnya, hah?

Bang Dicky muncul ke ruang tengah dan memanggil Zaki. Tapi proses itu begitu cepat sehingga banyak dari kami yang nggak menyadarinya. Bang Dicky bahkan berjalan minggir, sengaja agar para nenek-nenek itu nggak melihat ke arah perban yang menempel di pelipisnya.

Aku yang sedang penasaran dengan pendapat para bintang utama tentang adanya penampakan si Kunti di menit 2:22 akhirnya memberanikan diri untuk menginterupsi.

“Aku juga udah lihat videonya lho tadi!” sahutku. “Orang-orang pada heboh di menit ke dua lebih dua puluh dua.”
“Oya? Agas udah lihat?” Mata Jeng Nunuk berbinar. “Kata Agas pencahayaannya bagus, nggak?”
“Padahal si Sinjo juga dalem ruangan, kok. Kayaknya sih sama aja, Jeng,” sahut Jeng Novi.
“Tapi kok kayaknya mereka tuh lebih bersinar gimanaaaa gitu. Sampe-sampe ST12 bikinin lagu buat mereka!” tukas Jeng Nunuk.

“Pencahayaannya bagus kok!” Aku mencoba mengembalikan pembicaraan ke jalur semula. “Cuma di menit dua lebih dua puluh dua tuh, ada bagian yang bikin heboh.”
“Pasti soal bantal yang di perut saya!” tebak Granny dengan yakin. “Saya tahu banget bagian itu bakal jadi hits.”
“Itu kan saran saya, Jeng Allya... kata saya juga apa.” Jeng Nunuk mendelik bangga.

Iiihh... coba lihat lagi deh menit dua lebih dua puluh dua. Atau at least lihat komentarnya, deh!” seruku, agak frustasi.
“Dua dua dua, ya?” kata Jeng Novi. “Mirip plat nomor motor matic saya.”
“Ngomong-ngomong soal matic,” sela Granny, “besok kita bisa ambil matic kita dari bengkel! Udah selesai dicat!”
“Masa sih, Jeeenngg?” sahut Jeng Nunuk gembira. “Berarti besok kita bisa meratui jalanan lagi dooong?”

Aku menyerah.

-XxX-

Pukul tujuh malam listrik sudah mengalir kembali. Aku sedang membereskan gelas-gelas di dapur dan meletakkannya begitu saja di wastafel. Well, kalau nyetrika saja aku benci, apalagi cuci piring. I mean, aku nggak semusuhan itu kok sama domestic stuffs. Hanya saja aku bakal mencoba menghindarinya kalau bisa.

Granny dan kawan-kawannya masih ngobrol di ruang tengah. Mereka hari ini membeli kaus bergambar SM*SH BLAST yang samaan dan dengan ributnya mencoba satu persatu setiap kaus itu. Jeng Nunuk yang paling heboh. Kaus yang dia punya katanya kurang ketat, jadi dia mencoba kaus Jeng-jeng yang lain.

Pikiranku sebetulnya masih belum beralih dari cerita terakhir yang kudapat dari Zaki di kamar tadi. Bang Dicky ngebunuh ayahnya sendiri? Masa sih? Gimana caranya? I mean, beneran atau bercanda si Zaki itu, masa sampe segitunya?

Parahnya, aku belum ketemu Zaki maupun Bang Dicky sejak Zaki dipanggil tadi. Kami nggak berpapasan sekalipun di dapur, atau barangkali mereka lewat sekali dua kali ke ruang tengah. Ketika aku sengaja mencari-cari di teras belakang pun, aku nggak melihat sedikit pun penampakannya. Kemana ya mereka?

“Granny lihat Zaki sama Bang Dicky?” tanyaku ketika Granny masuk ke dapur membawa sampah plastik bekas Mak Icih.
“Nggak, sayang. Emang kamu nggak nemu di rumah, gitu? Mungkin mereka lagi di workshop.” Granny berbalik keluar dari dapur, tapi sempat menambahkan satu informasi lagi. “Oh, Esel sama temen-temennya datang tuh. Nyari kamu katanya. Mereka ada di depan.”

Apa?! Sial.

Buru-buru aku kabur ke teras belakang dan berharap Esel nggak pergi ke sini. Huh. Bikin frustasi aja itu orang. Ngapain juga malam-malam begini dia datang? Kenapa sih dia nggak pergi karaokean kek, nyari om-om kek, bareng temen-temennya itu? Ini Saturday Nite, for God’s sake. Mestinya banci hedon macam dia bersenang-senang.

Aku bersembunyi di balik sebuah drum di halaman belakang, berharap drum biru plastik ini cukup untuk menutupi tubuhku. Sesekali kepalaku melongok, mengintip ke arah pintu belakang, jaga-jaga kalau Esel datang dan memergokiku.

Sumpah deh, satu Esel tuh sudah sangat cukup untuk menghias hidupku. Kalau dia datang bersama teman-teman the Jelitaz-nya, kamu bisa bayangin belasan Esel berkumpul dalam satu ruangan dan semuanya pada ngutarain pendapatnya masing-masing. Pernah satu kali aku duduk bareng The Jelitaz di kantin, dan itu bukan pengalaman yang ingin kuulang lagi.

“Kok gitu sih?!”

Mendadak aku mendengar suara dari kejauhan. Aku menoleh kanan kiri, mencari sumber suara.

“Dicky takut Zaki nggak bisa jaga diri.”

Itu suara Bang Dicky. Ada di mana ya dia?

“Saya bisa kok jaga diri. Emangnya saya masih anak kecil, hah?”

Mereka sedang mengobrol berdua. Tapi suaranya sayup-sayup. Ada di mana sih?

“Terus maksudnya Zaki nggak pake baju di kamarnya Agas tuh apa?”

Bang Dicky terdengar kesal. Ups. Mereka sedang ke sini! Ternyata mereka berdua sedang berjalan tergesa-gesa, datang dari arah workshop.

“Kan saya baru beres mandi, Ky. Masa kamu mikir yang macem-macem, sih?”
“Kalo yang ngelakuinnya Zaki sih, nggak aneh Dicky mikir yang macem-macem juga.”
“Ah, Sob. Nggak percayaan banget sih kamu. Udah ah, saya mau pulang. Capek!”
“Inget lho ya pesan Dicky!”

“Kapan-kapan!” Dengan kesal Zaki menendang segunduk tanah yang ada di hadapannya... dan sialnya sebagian dari tanah tersebut melayang ke arahku. Fuck.
Eits! Nggak bisa!” Dicky mengejar Zaki. “Kalo Dicky sampe lihat Zaki berduaan lagi sama Agas, nggak akan Dicky biarin untuk kali ini.”

“Terserah!” seru Zaki kesal dan berlalu mengitari rumah untuk keluar dari rumah Granny.

Ya Tuhan. Ada apa lagi ini? Kenapa mereka bertengkar?

Bang Dicky geleng-geleng kepala sambil berkacak pinggang. Dia lalu masuk ke dalam rumah dengan perasaan gundah. Kenapa sih? Apa yang mereka ributkan? Kenapa sampe namaku juga dibawa-bawa?

Karena penasaran, aku pun memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan mengejar Bang Dicky. Makin sini semua hal di rumah ini makin bikin penasaran. Ketika aku mendapat fakta baru, misalnya soal Bang Dicky—yang katanya—membunuh ayahnya (meskipun itu belum tentu benar—atau mungkin kata-kata Zaki tadi terpotong oleh suara jeritan Granny), tiba-tiba saja aku mendapat misteri baru.

Kenapa Bang Dicky nggak suka ngelihat aku berduaan dengan Zaki? Apa ada yang disembunyikan dari Zaki?

Aku sudah tiba di ruang tengah tapi nggak menemukan Bang Dicky. Yang ada hanyalah Jeng Novi yang mengajakku gabung untuk memilih antara kaus Morgan dan kaus Bisma. Aku pun mencari-cari ke dapur tapi nihil. Kamar mandi ada yang ngisi, tapi dari suaranya sih itu pasti Jeng Shinta. Dan ketika aku masuk ke kamarku...

“Nah, muncul juga nih yang ditunggu-tunggu...”

Oh... My... God...
Sial sial sial!

Kamyu kemana aja sih, Nek? Kita-kita nungguin lho dari tadi di sini.”

The Jelitaz sudah ada di kamarku!!

Keterlaluan! Pertama, itu nggak sopan! Kedua, menyalakan komputer tanpa izin adalah pelanggaran berat! Dan ketiga, koperku itu bukan tempat duduk!

“Kalian ngapain di sini?!” kataku, dengan alis mengerut kesal.
“Kita nungguin you. Nenek bilang you ada di dapur, ya udah, kita-kita tunggu di sini aja. Jadi gimana Cazzie Darling hari ini?”

The Jelitaz sebenarnya empat orang, tapi yang ada di kamarku hanya tiga. Hanya Esel, Syarifudin, dan Slamet. Well, yang namanya Syarifudin minta dipanggil Syahrini ketika kami pertama kali berkenalan, dan si Slamet itu sudah duluan mengenalkan diri dengan nama Seila Marcia. Tapi sampe sekarang pun aku nggak sudi panggil mereka dengan nama kebagusan macam begitu.

Kamyu nggak gerepe-gerepe detseu, kan?” tanya Syarifudin. Matanya mendelik-delik sombong ke arahku, dengan tangan dilipat di dada dan poni yang berkali-kali dikibaskan.

Aku nggak merespon pertanyaan itu. Pertama, aku nggak suka sama si Syarifudin ini. Kedua... aku nggak tahu, gerepe-gerepe itu artinya apa. Jadi instead of replying, aku malah berkacak pinggang dan menunjukkan wajah kesal ke arah mereka.

Detseu kenapa sih mukanya kayak babon begindang?” tanya Syarifudin ke Esel.
Esel mengangkat bahu. “Tahu tuh, udah dari sananya. Jadi Agas, cerita dooong... Cazzie ngapain aja hari ini? I pikir dia masih pingsan lho, makanya I bawa The Jelitaz ke sini. Tapi barusan ketemu Bang Dicky katanya Cazzie udah pulang dari siang. By the way, itu Bang Dicky kepalanya diperban, ya?”

Aku yang malas berkomunikasi dengan mereka, menjawab dengan pendek. “Begitu Cazzo bangun, dia langsung pulang.”

“Payah,” gumam Syarifudin.

“Eh, lihat! Bloggie gueh di GIF ada yang komen!” seru Slamet dari depan komputer. Banci yang satu ini emang dari awal udah stay depan komputerku, membuka-buka facebook dan kelihatannya sedang me-Like semua status yang ada di timeline-nya. “Kira-kira gueh bisa kenalan nggak, ya?”

Aku mengingatkan diriku, begitu semua virus ini pergi, aku bakal langsung mem-password komputerku.

“Mungkin Cazzo nggak suka lihat rakyat jelata kayak detseu,” ujar Syarifudin ke Esel, tentunya sambil mengedik ke arahku waktu menyebut “rakyat jelata” barusan.
Ember.” Esel memutar bola mata. “Udah jelas, kaleeee...”
Kamyu butuh make-over, Baby,” kata Syarifudin kemudian, kali ini ngobrol padaku. “Rambut kamyu tuh terlalu... apa, yaaa? Straight looking.”

Wuzzup with my hair, bitch?! Aku bangga dengan rambut ini! jeritku dalam hati.

Aku nggak habis pikir, kenapa aku bisa diam saja melihat mereka semua ini menindasku. Well, sebetulnya mereka nggak menindas secara langsung sih, hanya saja mereka kepedean dengan pikiran mereka sendiri. Kalau aku membantah mereka dan mengatakan yang sebenarnya, aku yakin aku bakal dianggap mencari perhatian. Benar-benar nggak ada pilihan, ya?

“Sebagai The Jelitaz, you mesti tampil mempesona,” ujar Esel sambil mengaduk-aduk wadah make-up-nya.

Aku melirik ke arah Syarifudin, menatapnya dengan pandangan: tuh-dengerin-banci!

Syarifudin menangkap maksud tatapanku. “Oh, Darling... maksud Esel tuh kamyu, bukan akyu.” Kibas poni dulu sekali, “Kalau akyu sih udah mempesona.” Kibas lagi.
Embeeeerrr...” sahut Slamet sambil terbahak.

"Aku bukan anggota The Jelitaz. Jadi kalian nggak usah repot-repot," jelasku frustasi.
"You anggota The Jelitaz, Baby. Karena kita-kita terlanjur datang ke sini, berarti you otomatis jadi anggota. It was like... nature call!"
"Lagipula kamyu kan udah ngobrol ama Cazzie," tambah Syarifudin. "Berarti kamyu udah cocok jadi The Jelitaz."

Enough!” pekikku. “Aku nggak butuh make over, okay? Dan aku bukan The Jelitaz! Aku bangga jadi diri sendiri.”
Ih, kasihan.” Syarifudin bergidik.
“Naaaahhh... ini!” Esel mengeluarkan sesuatu dari dalam kotak make-up-nya. “You butuh lipgloss ini. Coba pake, biar bibir nggak kering kayak orang lagi sariawan.”

No way!” kataku.
“Aduh, plis dehh.. eloh jangan sok-sok bahasa Inggris gituh deh...” kata Slamet. “Ini khan Indonesiah...”
“Aku nggak mau pake lipgloss!” pekikku.
“Bau pesing ya di sini?” sela Syarifudin. “Kamyu ngompol, ya?”

Ya Tuhan.
Andai mereka tahu prince charming mereka lah yang ngompol di situ.

“Pantes kasurnya nggak adah!” sambung Slamet. “Gueh nggak nyangka eloh udah segedeh gituh masih ngompol jugah.”
“Bukan aku yang ngompol!” seruku. “Itu si Cazzo yang ngompol!”

Mereka semua terdiam. Menatap ke arahku dengan serius.
Lalu tertawa terbahak-bahak.

Hahaha... kamyu mesti gabung di grup lawak, deh. Ngebojegnya keterlaluan! Hahaha...”
Tinta mungkra Cazzo ngompol, darling. Udah deh, ngaku aja. Kita-kita nggak akan bilang-bilang, kok! Hahaha...”

Okay, enough! I’m sick of it!

“TER-SE-RAH!” sahutku. Kemudian berbalik dan keluar dari kamar. “Terserah kalian aja lah semuanya!”

Dengan kesal aku berjalan menuju dapur, keluar ke teras belakang, dan terus berjalan sampai ke halaman paling belakang. Mereka pikir mereka itu siapa? Sok-sok pengen make over orang lain padahal dandanan sendiri udah terlalu over! Mungkin make over yang mereka maksud tuh adalah membuat segala-galanya menjadi sangat OVER, seperti misalnya tiga lapis kalung tengkorak yang menjuntai di leher Slamet.

Aku benci The Jelitaz. Dan aku benci karena Tuhan menjodohkanku dengan mereka. Kenapa sih aku mesti ketemu The Jelitaz? I mean, mending sendirian kemana-mana deh daripada dihinggapi banci-banci itu! Aku nggak percaya masih ada orang yang segitu percaya dirinya dengan anggapan yang mereka buat sendiri.

Dan seumur hidup aku nggak bakalan sudi jadi anggota The Jelitaz!

Tanpa sadar aku sudah tiba di workshop Bang Dicky. Lampunya menyala terang—dan kupikir Bang Dicky ada di dalam—sehingga aku memutuskan untuk masuk. Untuk mencegah The Jelitaz ikut masuk, aku pun menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Hanya untuk jaga-jaga saja.

Workshop cukup terang dengan lampu pijar yang keemasan. Di dalamnya bau kayu dan pelitur cukup menyengat, dan ada satu frame baru diukir setengah saja di atas meja. Setelah aku mengelilingi workshop, mencari-cari ke setiap sudut, aku nggak menemukan Bang Dicky di situ. Bahkan di balik tirai-tirai yang menutupi balok-balok kayu itu. Kemana Bang Dicky, ya? I mean, kenapa workshop-nya dibiarkan menyala kalau nggak ada orang?

“Agaaasss??” Tiba-tiba kudengar suara Esel dari teras belakang. “You dimana? Kapan nih kita mulai make overnya??”

Sialan. Mereka masih antusias dengan make over sialan itu! Ya sudah, aku bersembunyi di sini saja.

“Agaaasss?? I nggak punya waktu banyak nih! Mau dugem entar maleeemmm... You dimana sih?”

Aku diam saja. Duduk di salah satu kursi dan memandangi setiap frames yang ada di situ. Hey, mana sih frame favoritku yang ada ukiran cupidnya?

Oh, itu. Di sebelah sana. Aku turun dari kursiku dan berjalan menuju Cupid. Frame ini benar-benar indah. Aku suka detailnya. Untuk ukuran “first frame”, ukirannya terlalu sempurna. Pahatan awan-awannya, si Cupidnya, warna frame-nya yang keemasan...

Traaakkk! Tak-tak-tak!!

Apa itu?
Sebuah suara mengagetkanku dari belakang. Aku berbalik dan menatap seluruh ruangan workshop, menyipitkan mata untuk mengecek segala kemungkinan, tapi nggak menemukan apa-apa. Suara apa sih? Seharian ini aku ketemu banyak suara benda berjatuhan tanpa menemukan dengan pasti siapa penyebabnya.

Tiba-tiba saja aku merinding. Bulu kudukku berdiri dan keringat dingin mengalir di sekujur tubuhku. Apa itu si Kunti? Apa dia mau bicara padaku lewat pertanda-pertanda? Ya Tuhan... kok jadi menyeramkan begini, ya?

I mean, lihat saja suasananya. Benar-benar pas! Mirip dalam film-film horror. Hari sudah gelap... aku sendirian... di belakang rumah... di dalam sebuah workshop... workshop yang lampunya menyala padahal nggak ada satu orang pun di dalamnya... sialan... aku yakin banget pernah nonton film horror tentang tokoh utama yang digiring masuk ke sebuah ruangan kosong dengan lampu menyala... lalu pintu tiba-tiba tertutup dan muncullah...

Okay, stop it! Jangan membayangkan yang bukan-bukan! Itu hanya film! Hanya film!

Aku memutuskan untuk berpikiran positif, melepas jauh-jauh semua ingatan tentang film horror dan kembali menatapi frames yang ada di sini saja. Mungkin aku bisa mulai dengan—

“Hey, kemana cupidnya?”

Ketika aku berbalik menghadap frame Cupid itu, aku nggak menemukan pahatan cupid yang biasanya bertengger di atas bingkai di antara awan-awan. Sedikitpun nggak ada tanda-tanda bekas ada Cupid di situ. Ini masih frame yang tadi, kan? Aku mengecek labelnya. Ini masih Cupid frame favoritku! Lalu kemana pahatan cupid itu?!

Mendadak, aku berkeringat dingin lagi. Aku merasa ada yang sedang memperhatikanku dari belakang. Seperti waktu aku pertama datang ke rumah Granny, saat aku yakin banget ada yang sedang mengawasiku. Siapa itu? Kenapa aku merasa ada sepasang mata yang sedang menatap tengkukku?

Aku berbalik perlahan-lahan, mati-matian berpikir positif dan nggak membayangkan si Kunti atau siapapun. Dan ketika aku berbalik, tepat seratus delapan puluh derajat dari posisiku semula... aku menemukan Cupid itu sedang melayang.

“Hai!” sapa si Cupid.
Dan dia ukurannya sebesar tubuhku.

TO BE CONTINUED

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

0 comments:

Post a Comment