DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 4

-chapter 4-
by MarioBastian

No matter where you live, I’m sure you're gonna love the weekend.

Ini adalah weekend keduaku di Indonesia. So far, semua berjalan lancar. Aku sudah lima hari bersekolah di CIS dan semua berlangsung tertib. I mean, bullying kelihatannya nggak begitu “hidup” di sini. Kecuali kalau aku menganggap kehadiran Esel sebagai bullying batin.

You lihat tadi Cazzo main futsal? Seksi kan? Seleraku bagus, kan?”

Hari Jumat di CIS sudah berakhir. Aku sedang menunggu dijemput Bang Dicky di sekolah. Esel dari tadi terus membuntutiku dan merecokiku tentang kejadiannya hari ini termasuk mengomentari kejadianku hari ini meski aku sama sekali nggak cerita.

I lihat you tadi makan burger di kantin. It’s so alay, girl,” katanya.
“Gimana caranya makan burger bisa jadi alay?” Aku memutar bola mata dan mencuci tanganku di wastafel.
“Karena si Joni, yang kampungan dan alay itu, suka makan burger. Jadi pasti semua yang makan burger is alay.”

Kami berdua sedang ada di WC siswa. Aku sih barusan pipis, kalau Esel sedang merapikan maskaranya. (Dia percaya, kalau bulu matanya lentik ke atas, dia bakal kelihatan so-middle-east.) Tapi entah kenapa kami malah menghabiskan waktu di WC bersih ini (sebersih WC hotel berbintang—dengan aroma jeruk dimana-mana, disemprot oleh sebuah kotak putih di langit-langit) mengobrol ngalor ngidul meski jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore.

“Aku makan burger karena aku kangen junkfood,” tukasku.

Esel merenung sebentar. Dia menelan ludah. Kelihatannya, untuk beberapa hal, dia mesti setuju. “Well, sebetulnya, Cazzo juga pernah makan burger. Jadi mungkin... kadang-kadang... makan burger tuh nggak alay.”

Ini lagi, Cazzo. Kelihatannya semua cowok keren di Bandung adalah milik Esel dan aku sebisa mungkin didoktrin untuk nggak jatuh cinta sama semua cowok itu, tapi setiap menit dia terus membicarakannya.

Burger bisa bikin otot. Kamu lihat otot Cazzo, kan? Keren, kan?” lanjutnya kemudian, kontra dengan semenit sebelumnya waktu dia bilang burger tuh alay.

Cazzo adalah salah satu cowok populer di CIS. Of course, cowok itu sadar kalau dia populer, sehingga dia akhirnya jadi sok ganteng. Cazzo blasteran Indonesia-Italia. Dia punya kulit mediterania yang eksotis dan tubuh kurus berotot yang menakjubkan. Bulu matanya pun lentik, mirip orang Arab, mungkin pengaruh benua tetangganya yang middle-east. Kegantengannya udah nggak diragukan lagi.

“Kamu mau kemana, Agas?” Esel membuntutiku. Lagi.
“Ke perpustakaan.”
“Ngapain?” tanyanya, dengan nada meremehkan seperti biasa. “Bukannya di sana ada penyakit menular... semacam... kutu?” Esel memutar otak. “Kutubuku,” lanjutnya.

Better, lah. Daripada nunggu dijemput di WC. Di situ kan banyak bakteri E.coli.”
“Tapi kalo kita nunggu di WC, mungkin ada satu dua cowok CIS ganteng yang pipis dan kita bisa ngintip, gitu?”
“Aku nggak larang kok kamu nunggu di sana. Kenapa mesti ngikutin, hayo?”

Esel mendengus kesal.

Aku nggak ngerti. Mestinya aku ini orang yang nyebelin buat dia (sama seperti dia yang nyebelin buatku). Tapi Esel begitu gigihnya menjadi “best-friend”-ku. Sudah total... delapan hari dia kemana-mana berdua denganku, berlagak menjadi sahabat terbaik. Padahal seringnya kami beda pendapat.

“Terus entar ngapain di perpus?” tanya Esel. “I belum pernah ke sana.”
“Ngng... baca buku?”
Boring.” Esel memutar otak. “Di perpus ada yang jual milkshake, nggak?”

Sebetulnya, Esel sudah punya “kawan bermain” sendiri, kok, sebelum datangnya aku. Namanya The Jelitaz. Isinya empat orang banci-banci kampung yang hobi tubruk-tubruk aksesoris demi dapet perhatian. Nggak percaya? Hari ini aja, Esel pake gelang-gelang hippies dari pergelangan sampe sikut, dan kalungnya itu lho, menjuntai sampai selangkangan. Rambut mereka sama semua. Lurus, smoothing, poni berayun-ayun mirip artis Korea, dan ada anting gemerlap satu butir di telinga kiri mereka.

Tapi jangan kira mereka ini superstar, ya. I mean, superstar sih, tapi bukan dalam artian “banyak penggemar”. Orang-orang pasti muter bola mata tiap The Jelitaz jalan di koridor berjejer. Belum lagi kalo ada cowok-cowok ganteng, mereka semua menjerit-jerit.

Nah, semenjak kedatanganku, Esel tiba-tiba jauh dari The Jelitaz. (Di sekolah, maksudnya. Kalo udah pulang ke rumah, keempat banci itu kumpul lagi dan nyalon bareng.) Aku masih belum tahu hidden agenda-nya si Esel sampe-sampe ngedeketin aku mulu. Aku yakin, dia mau backstab atau apa gitu—mungkin nempel ketenaran, which is questionable juga mengingat aku kan new kid on the block. Atau mungkin mau dianggap straight biar para Mahobia itu mau ngobrol dengannya.

Di mata CIS, of course, nggak ada yang nyangka aku gay. Cewek-cewek malah bilang aku cool dan hari kedua udah ada yang ngajak date. Sebetulnya, aku diem kan bukan karena cool. Tapi karena asing dengan lingkungan ini. Nah, kayaknya Esel memanfaatkan aku yang straight-looking ini buat memperbaiki image dirinya. Di CIS, ada kelompok Mahobia (pembenci gay) yang anti banget sama The Jelitaz. Unfortunately, Cazzo, satu-satunya cinta monyet Esel (di sekolah), adalah anggota Mahobia tersebut. Dan gara-gara kapan itu aku sempet ngobrol sama salah satu anggota Mahobia (itupun karena kami sekelompok di pelajaran Sejarah Indonesia), Esel jadi hiperaktif nempel di sampingku.

“Aku perlu pelembap nggak, buat masuk ke perpus?” tanya Esel. “Kulit I nggak bakal kering, kan?”
Dunno. Buka sepatunya.”

Kami berdua pun masuk ke dalam perpus yang berkarpet Pakistan. Perpusnya canggih, dengan suasana “bijaksana”... misalnya, rak-rak kebijaksanaan, kursi-kursi kebijaksanaan, lampu-lampu kebijaksanaan... dispenser air kebijaksanaan... semuanya terasa bijaksana. Banyak kayu jati dan penerangan secukupnya yang bikin kamu ngerasa lagi di Hogwarts. Aku ngambil novel sastra sembarangan di raknya sementara Esel menghampiri penjaga perpustakaan.

“Di sini ada Cosmopolitan?” tanyanya. Penjaga perpustakaan menggeleng. “Harpers Bazaar, deh?” Penjaga perpustakaan mengerutkan alis. “Jadi kalian nggak punya majalah-majalah itu?! Bahkan untuk majalah macam... Rolling Stone?”

Esel lalu berlari ke arahku dan membelalakkan matanya. “Can you believe that? Di sini nggak ada majalah fashion!”

“Baca aja majalah yang ada. Perpusnya tutup jam setengah tujuh. Jadi isi waktu aja di sini,” kataku.

Esel mengambil majalah Mangle yang ada di dekatnya. Lalu membuka-buka halamannya dengan cepat dan berisik. “Ih, majalah apa ini? Gambarnya sedikit. Menyalahi peraturan nih! Kita mesti lapor ke KPI!”

Komisi Penyiaran Indonesia? tanyaku dalam hati.

Dua puluh detik kemudian, ada telepon masuk ke ponselnya Esel. Banci itu sama sekali nggak menunjukkan tanda-tanda menyingkir keluar untuk menerima telepon—I mean, this is library, lady... Dia malah berdiri dan duduk di atas meja. “Hello? Tutut?”

Oh, salah satu anggota The Jelitaz.

“NAV? Sekarang? Oke. Éke dijemput, kan? Pung! Éke tunggu di gerbang, em? Yuk mari.” Kemudian Esel menyibakkan poninya di depan mukaku dan berbinar. “The Jelitaz mau karaokean! Ikut, yuk?”

“Nggak, ah. Capek nih. Tadi ada pelajaran olahraga.”
“Iih, gapapa. Nanti di tempat karokean kita bisa... karokean!”
I know, Idiot!
“Aku pulang aja. Kalian pergi aja. Lagian kan Granny mau jemput.”

Esel memutar bola mata dengan kesal. “Kamu payah, ya. Mestinya orang Amerika suka karokean. I duluan, deh. Cuuuusss...”

Esel pun akhirnya menghilang dari hadapanku dan entah mengapa aku merasa sangat lega. Lagipula, bukannya aku nggak friendly atau apa ya, aku nggak ngerasa enak hati aja buat jalan-jalan. Seolah... hatiku ini sekuat tenaga bilang bahwa mendingan pulang. Takut terjadi sesuatu.

-XxX-
Bang Dicky udah ngejemput di depan gerbang. Aku pun lagi bersiap-siap di depan perpustakaan, mengenakan kembali sneakers-ku. Di kejauhan, aku ngelihat anak-anak Mahobia sedang bersenda gurau. Astaga, mereka belum pulang ya jam segini? Aku pikir anak-anak bandel macam mereka benci sekolah.

Ketika aku berjalan melewati WC siswa, aku mendengar suara tangisan dan minta tolong.

“Huhuhuhu...” Suaranya mendengung dan bikin ngilu. “Tolooonngg... huhuhuhu...” Mirip kuntilanak. Versi... macho.

Hal pertama yang kulakukan, yang pasti nggak akan kalian lakukan, adalah geleng-geleng kepala. I swear, Dude. Padahal ini jam enam sore, langit gelap, sekolah udah sepi, lalu waktu lewat toilet ada suara tangisan, aku bertaruh kalian pasti lari ketakutan. Tapi aku nggak. Aku berhenti dan berkacak pinggang, memutar bola mata persis Esel kalo lagi kesal, dan geleng-geleng kepala.

Karena apa?

Karena bisa-bisanya Si Kunti ngebuntutin aku sampe ke CIS!

Well, sampe hari ini, aku belum pernah melihat sosok si Kunti secara utuh. Sejak kejadian bersama Esel di kamar mandi rumah Granny, aku sering melihat penampakan-penampakan dari si Kunti. Nyaris setiap hari. Tapi satupun nggak ada yang full-sight. Misalnya dia merangkak keluar dari teve atau menempel di langit-langit, kek... But no... aku hanya melihat dia lewat sana-sini selintas (mungkin satu atau... setengah detik!), atau mengeluarkan bunyi-bunyian... kapan itu dia pernah main-mainin pintu kamarku.

Dan saking seringnya, aku jadi terbiasa! Gile ya, bisa-bisanya aku enteng-enteng aja ngadepin makhluk halus. Pagi tadi aku yakin si Kunti terbang di ruang makan, aku lihat pantulannya di sendok perak yang ada di meja makan.

“Huhuhuhu... plis! Tolong bukain! Huhuhuhu...”
Oke, yang barusan kayaknya bukan suara si Kunti, deh.

Sebetulnya malah, aku belum pernah dengar “suara” si Kunti.

“Toloonng...” Duk! Duk! Duk!

Suara itu melolong lebih keras. Lama-lama aku yakin itu bukan suara makhluk halus. I mean, suaranya jelas dan terdengar memilukan. Sumbernya dari WC cowok.

Aku memutuskan untuk memeriksa sebentar sumber suara itu. Kemungkinan terburuk sih bisa jadi itu memang si Kunti, atau makhluk halus lain, yang tiba-tiba melayang menakutiku. Aku nggak perlu panik, kan? I mean, dimana sih ada berita kematian yang disebabkan makhluk halus? Kecuali dalam film horror tentunya.

WC-nya gelap. Aku menyalakan lampu, lalu pijar TL yang keemasan langsung menyeruak di seluruh WC. Astaga, bener-bener deh. Ini sih WC hotel bintang lima. Aku masih nggak percaya di WC sebuah sekolah ada sofa merah untuk duduk-duduk. Dan ada majalah!

Suara lolongan tadi berubah keras. Mungkin dia gembira karena ada seseorang menyalakan lampu. “Siapa itu? Tolong buka! Tolong! Gue di sini!”

Salah satu bilik toilet yang ada di WC itu tertutup rapat. Sumber lolongan minta tolong itu pun berasal dari bilik tersebut. Bilik yang, astaga, dikunci dari luar dengan mengikat tali tambang di kenop dan disambungkan ke kaki bilik sebelahnya! Ada seseorang yang sengaja dikunci di situ.

Aku buru-buru membuka ikatan tali tambang di kenop (dan jujur saja, agak mati simpulnya). Lagipula, bilik toilet ini kan bukan sebuah kubus yang tertutup rapat. Mestinya siapapun yang terkurung di situ bisa lebih cerdik lagi dengan merangkak di ventilasi bawah bilik, atau kalau perlu memanjat ke atas bilik. Tapi cowok ini malah memukul-mukul bilik dan tetap meraung minta tolong.

“Ampuuun, gue takut!” lolongnya. “Plis, bukaaa...”
Cowok itu menangis. Aku bisa merasakan kegetirannya.

Aku berusaha membuka ikatan itu, tapi sia-sia. Sambil berkeliling, aku mencoba mencari cara untuk membuka ikatan tali tambang tipis itu. Atau mungkin memutuskannya. Oh, aku bisa pinjam gunting di perpustakaan! Aku berlari keluar dari WC menuju perpus. Tapi sayangnya, perpus sudah gelap, si penjaganya sudah lenyap. Astaga.

Akhirnya aku kembali ke dalam dan berjuang untuk membuka ikatan yang disimpul erat-erat. Butuh sekitar... sepuluh menit. Dan si cowok di dalam bilik masih meraung-raung minta tolong. Tapi akhirnya aku berhasil membukanya. Yah, meskipun jariku jadi perih dan kalau nggak salah jari tengahku agak tergores kenop bilik.

Begitu berhasil kulepaskan tali itu, aku pun membuka pintu bilik. Di dalamnya kutemukan...
“Cazzo?”

-XxX-

“Bang?” kataku ke Bang Dicky. “Aku bareng temen, nih. Dia pengen numpang pulang. Bang Dicky mau nganterin, nggak?”

Bang Dicky agak kaget melihatku muncul tiba-tiba. Dia sedang asyik memainkan ponselnya di jok depan. Ponsel tersebut nyaris jatuh ke dashboard waktu aku mengetuk kaca jendela mobil barusan.

“Eh, Agas. Nganterin siapa? Esel?”
“Oh, bukan. Temen aku yang lain. Boleh?”
“Rumahnya di mana?”
“Kota Baru. Eh, Kota Baru kan?”

Aku menoleh ke arah Cazzo yang tertunduk di belakangku. Cowok itu mengangguk. Sambil membisikkan, “Parahyangan.”

“Oh, Kota Baru Parahyangan,” tambahku.

Bang Dicky mengerutkan alis, berpikir. Setelah dia menemukan “di mana” tempat tersebut, akhirnya Bang Dicky mengangguk. “Masuk deh,” katanya.
Thank you, kakaaakk...” sahutku, sebisa mungkin memuji atau apa gitu karena telah merepotkannya. Kulihat wajah Bang Dicky bersemu merah waktu aku bilang kakak barusan. Tapi aku nggak mau berpikir yang bukan-bukan. Mungkin dia mau bersin atau apa gitu. Esel bilang, menyerukan “kakak” lagi nge-trend di negeri ini. Nyontek gayanya SPG di mall-mall Indonesia. “Tapi aku duduk di belakang, ya.”

Aku dan Cazzo duduk di jok belakang. Kubantu dia mengangkat ranselnya ke dalam. Well, cowok ini kacau banget. Kalau Esel lihat Cazzo dalam kondisi ini, dia pasti bakal ilfeel.

Eh, nggak kayaknya.
Dia pasti bakal horny.

“Biasanya emang pulang ama siapa gitu?” tanya Bang Dicky, saat kami meninggalkan pelataran parkir CIS menuju pintu tol terdekat.
“Dia bawa motor sih. Tapi tadi dijahilin temen-temennya, motornya dicuri businya, bannya dikempesin. Sial deh pokoknya. Motornya akhirnya dititipin ke penjaga sekolah. Jadi pengen numpang.”

Cazzo masih menunduk dan gemetar di joknya. Wajahnya masih sama pucatnya waktu aku temukan dia di bilik WC tadi. Dan bau pesing itu... well, aku nggak perlu nyerita sama Bang Dicky kan kalo cowok ini ngompol? I mean, udah kering kok. Nggak akan nempel di jok mobil ini.

Ketika kutemukan cowok pujaan Esel ini, dia terlihat amat sangat berantakan. Cazzo meringkuk di atas toilet, memeluk lututnya sendiri. Rambutnya berantakan dan pipi beserta hidungnya basah karena menangis. Melihat wajahnya yang pucat, kuhampiri dia dan kubantu untuk berdiri. Saat itulah kusadari bahwa cowok ini ngompol. Jenis ngompol karena ketakutan, bukan karena tolol dan kekanak-kanakan. He surely needs help.

Nah, saat berdiri tersebut, dia langsung memelukku. But wait, bukan pelukan romantis yang mungkin diidam-idamkan Esel. Tapi pelukan ketakutan. Dia langsung mencengkeram punggungku dan nggak mau melepaskannya. Kepalanya disembunyikan di pundakku dan badannya gemetar hebat. Aku bisa mendengar jantungnya berdetak. Dan keringat dinginnya itu benar-benar pertanda bahwa dia “serius” lagi ketakutan.

Aku membimbingnya keluar dan menanyakan gimana dia biasanya pulang. Sengaja aku nggak nanya “Kenapa?” karena itu pasti bakal nyebelin banget. (At least, aku sih begitu. Kalau aku sedang bersedih, aku nggak mau ada orang yang menghampiriku, menanyakan kenapa, dan berlagak seolah dia orang paling bijak di dunia dan bisa membantuku mengatasi masalahku.) Lagipula, Cazzo nggak mengucapkan apa-apa soal alasan dia terkunci di bilik itu, jadi aku anggap, dia memang nggak mau nyerita apa-apa. Begitu kami tahu motor kesayangannya dalam kondisi buruk, langsung deh aku inisiatif buat mengantarkannya pulang.

Mobil sudah melaju di gelapnya tol kota Bandung dan aku masih belum mendengar Cazzo membicarakan alasan dia dikunci barusan. Kami duduk dalam hening sejak meninggalkan CIS. Bahkan aku dan Bang Dicky nggak ngobrol apa-apa.

“Kamu nggak apa-apa, kan?” tanyaku akhirnya, break the ice.
Cazzo masih duduk menunduk, merapatkan kakinya, dan mengepalkan tangannya. Lama-lama dia mirip Bang Dicky sewaktu kami mengunjungi pemakaman minggu lalu. Tapi kali ini lebih lively. Karena meski ketakutan, Cazzo berhasil mengangkat dagunya dan menatapku.

“Gue takut,” bisiknya.
Tangannya tiba-tiba meraih lenganku dan menggenggamnya dengan erat.

Aku nggak keberatan sih sebenernya. Hanya saja...
Astaga, dia ganteng ya dari dekat begini? Bener kata Esel! Darahku berdesir waktu menatap wajah lugunya yang ketakutan.

It’s okay. Kamu aman kok di sini,” kataku. “Dan kalo nggak mau nyerita pun, nggak apa-apa.”
“Gue takut hantu,” katanya.
“Semua orang takut hantu—“
“Dan gue bukan homo.”

Bang Dicky melirik melalui kaca spion dalam mobil. Aku agak terkejut dengan kata-katanya yang tiba-tiba nyambung ke situ. Well, berhubung kamu gabung di Mahobia, I’m sure you’re not a gay, batinku.

“Gue cuma kedinginan. Gue bukan homo,” katanya lagi.
“Dingin?” ulangku. Aku mengambil sweter Granny yang tertinggal di mobil dan berniat untuk menyelimuti tubuh Cazzo dengan sweter wangi stroberi itu. (Yes, Granny pakai parfum wangi stroberi, bukan balsem.)
“Bukan dingin itu,” erangnya. Cazzo menyingkirkan sweter itu bahkan sebelum aku meraihnya. “Gue berdiri karena gue kedinginan.”

Berdiri?

Aku menatapnya atas bawah. Buatku sih... dia sedang duduk di sini. Duduk di atas jok mobil Granny. Apakah aku yang tidak tahu bahwa duduk di jok disebut “berdiri” di Indonesia, atau memang dia agak gila setelah dikunci barusan?

“Gue benci kontes,” lanjutnya kemudian.

Kontes? Kontes apa? Miss Universe?

“Dan si Derry tuh belagu, lah. Mentang-mentang yang paling panjang!” ujarnya kemudian.

Oke, mungkin sebetulnya cowok ini lagi monolog, lagi berbicara sendiri dalam dunianya yang sepi dan tak ada manusia yang bisa mengerti dirinya. Mestinya dari tadi aku berhenti mencerna kata-katanya. I mean, antara satu kalimat dengan kalimat lain kelihatan nggak ada korelasi buatku, dan melihat tubuhnya yang kacau ini bisa jadi dia memang sakit jiwa.

Cazzo menoleh ke arahku. Cengkeraman tangannya makin kuat. Tapi kulihat dia tersenyum di balik matanya yang agak sembap. “Thanks ya udah nolongin gue.”

Aku balas tersenyum. Ragu untuk menjawab, masih bimbang antara dia memang “sudah” bicara padaku atau masih monolog dalam dunianya sendiri.

“Oh, nggak apa-apa, kok,” kataku akhirnya.
“Nama lo tuh siapa?”
“Agas.”
“Gue Cazzo.” Dia tersenyum lebih lebar. “Gue utang nyawa ama lo.”

-XxX-

Kalau mau tahu isi hatiku, jujur saja Cazzo itu memang ganteng dan manis. Untuk ukuran anak SMA, dia bisa jadi cinta monyet siapapun. Literally, cewek, gay, atau lumba-lumba, bisa jatuh cinta dengan mudahnya. Dari dekat aku bisa melihat bulu matanya yang lentik dan betapa sempurnanya hidung yang menempel di wajah itu. Alisnya membuat dia kelihatan macho dan perawakannya yang bandel bikin deg-degan.

Tapi kalau kamu nanya apakah aku jatuh cinta sama Cazzo? No. Aku nggak merasakan percikan-percikan kimiawi ketika dia duduk di sampingku—seganteng apapun wajah yang dia tawarkan. Dia mirip perasaanku pada... Zaki. Both of them are hot, dan aku nggak bakal berkilah bahwa sekali dua kali aku memang membayangkan hook up dengan mereka. Tapi untuk berpacaran? Nein. Aku lebih senang cowok yang sekarang menyetiri mobil ini yang jadi pacarku.

“Emang dia kenapa sih, Gas?” tanya Bang Dicky dalam perjalanan pulang.
Aku mengangkat bahu. “Nggak tahu, Bang. Aku nemu dia di WC cowok, kayaknya abis di-bully. Dia juga belum cerita alesan dia dikunci di toilet, atau at least, gimana caranya dia bisa sampe kekunci begitu.”

“Temen kelas Agas?”
“Di pelajaran sosial sih sekelas, Bang. Di eksak, nggak. Aku juga seumur-umur baru ngobrol sama dia barusan.”

Bang Dicky tetap jadi cowok yang manis di balik kemisteriusannya. Kebetulan, selama seminggu terakhir, nggak ada kejadian-kejadian aneh yang menimpa dirinya. Setiap hari Bang Dicky selalu ada di rumah Granny, membantu Granny membereskan rumah, menyiapkan makan, mengantar Granny kemana-mana, dan tentunya membuat bingkai kayu. Sekilas jadi mirip asisten pribadinya Granny. Tapi setiap aku nanya posisinya di keluarga ini, Granny bersikeras bahwa Bang Dicky adalah kakak baruku. (Bahkan setiap aku memancingnya, “Kok seorang kakak tuh malah kerja keras di sini, kayak pembantu?”, Granny malah membalikkannya padaku, “Karena cuma dia yang bisa kerja keras. Agas mau masak emangnya?”)

Sayangnya, sejak aku sibuk sekolah, aku jarang berinteraksi dengan Bang Dicky. Kami mengobrol kalau dia sedang menjemput atau mengantarku, dan kalau dia memang masih di rumah Granny sewaktu aku pulang sekolah. Aku pun nggak merepotinya lagi setiap si Kunti mulai membayang-bayangiku, sehingga kejadian “dia menginap bertelanjang dada di atas ranjangku gara-gara pengen ngelihat si Kunti” kayaknya hanya terjadi sekali saja.

Dan oh, soal kejadian di Iga Bakar kemarin, sampai sekarang masih misteri. No ones talked about it. Waktu aku nanya Granny pun, dia malah salah tingkah. “Itu urusan cinta orang dewasa, Sayang. Kita nggak perlu ikut campur. Agas mau Es Kelapa Muda?”

Aku nyerah, deh. Mungkin aku mesti nunggu sang waktu menjawabnya.

“Oh iya, di rumah ada Jeng Nunuk sama Zaki,” kata Bang Dicky kemudian. “Mereka mau nginep.”
“Hah? Ngapain? Ada acara apa emangnya?”

Weekend, Gas. Kadang-kadang Nenek sama Jeng Nunuk emang sering nginep bareng, terus sering ngajak Zaki, buat penghibur.”

Aku tergelak dan geleng-geleng kepala. Untuk ukuran nenek-nenek, selera mereka memang tinggi.

“Bang Dicky nginep?” tanyaku.
“Pengennya sih, gitu. Tapi nggak bisa. Dicky udah ada janji. Kayaknya lama. Jadi Dicky bakal langsung pulang ke rumah aja. Entar pagi-pagi Dicky pasti ke rumah Nenek, kok.”

Kemudian kami terdiam dalam hening.

“Agas mau langsung pulang?” tanya Bang Dicky sepuluh menit kemudian.
“Iya lah. Emang mau kemana lagi?”

Bang Dicky menarik napas. “Tadinya Dicky mau ngajak Agas main ke Cartil. Temenin Dicky. Tapi ini mah bukan janjian Dicky yang tadi, kok. Cuma acara jalan-jalan aja, ngelihat kota Bandung dari atas. Dicky sering main ke sini kalo lagi suntuk.”

Aku berpikir sejenak. “Boleh-boleh. Lagian belum malem, kan?”
“Bener nih, Agas mau ikut?” Bang Dicky kelihatan berbinar. Kedua alisnya terangkat dan wajahnya menjadi cerah.

“Iya. Nggak apa-apa. Lagipula weekend ini, kok. Nothing to worry.”

Sungguh, meski dalam kondisi gelap, bisa kulihat mukanya memerah gembira.

-XxX-

Baiklah, kelihatannya ini bukan jalan-jalan biasa ke kota seperti yang kulakukan dua minggu terakhir bersama Granny. Aku pikir ketika Bang Dicky bilang sightseeing maksudnya adalah menaiki menara tertinggi di kota ini, mungkin semacam restoran berputar atau Menara Eiffel bohong-bohongan (kalo nggak salah beberapa orang bilang kota ini adalah Parijs van Java), tapi ternyata aku dibawa ke sebuah bukit-bukit gelap, melewati desa-desa sepi dan jalanan menanjak yang curam.

Perjalanan yang mendebarkan. Selain karena trip ini hanya dilakoni aku dan si manis Bang Dicky (which I consider as a date), yang membuatku deg-degan karena girang, jalan beraspal menanjak yang dilalui pun membuat deg-degan. Aku pikir kami sedang menanjaki tembok, saking curamnya.

Tapi kami tiba di sebuah pondok di puncak bukit yang tinggi ini, di dekat sebuah pohon besar menyeramkan yang Bang Dicky bilang namanya pohon Caringin. Pondok itu sepi, hanya diisi beberapa muda-mudi yang sedang pacaran. Mobil Granny diparkir di pinggir jalan, dekat tebing curam dan sepanjang berada di sana aku khawatir mobil itu terjungkal atau apa gitu.

“Bagus nggak, Gas?” tanya Bang Dicky. Dia menunjuk hamparan titik-titik kuning yang membentang di hadapan kami, yang merupakan jutaan lampu yang menghiasi malam kota Bandung. “Kalo gunung itu nggak ada di sana,kita bisa lihat rumah Nenek.”

This is great,” gumamku. “Kenapa nggak dari kemarin abang bawa aku ke sini?”
“Dicky takut Agas nggak suka dibawa ke tempat kayak begini.”
“Aku suka, kok,” sahutku. “Semua pemandangan alam aku suka.”

Kami berada tinggi sekali di atas kota Bandung. Aku nyaris bisa melihat seluruh kota yang gemerlap itu, lengkap dengan titik-titik kuning yang bergerak lambat, yang kuasumsikan sebagai mobil.

Tentunya, selain menatap pemandangan indah di hadapanku, aku juga sebisa mungkin menatap pemandangan indah di sampingku. Bang Dicky tampak menawan malam ini. Dia mengenakan kaus V-neck yang dibelikan Granny (dan aku juga punya kaus yang sama), yang katanya mirip dengan kausnya Morgan Sm*sh. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya, dan rambutnya berkibar-kibar tertiup angin.

Kadang aku bisa mencium wanginya yang khas, yang membuatku ingin melangkah menghampiri dan memeluknya. Kulitnya yang mulus itu menggodaku untuk merabanya. Dan bibirnya yang merekah, membuat bibirku gatal—sebisa mungkin aku nggak manyun-manyun karena desperate ingin melumatnya. Kelihatannya sosok itu... hangat. Begitu besar dan... hangat.

Andai aku bisa membelai rahangnya yang—ASTAGA, dia menoleh!

“Kenapa, Gas?” tanyanya.
“Eh, nggak apa-apa, kok.”

Bang Dicky tetap menatapku. Aku melemparkan pandangan ke arah lain, tapi ekor mataku tetap dapat mendeteksi bahwa Bang Dicky masih menatapku. Dengan salah tingkah aku memasukkan tangan ke dalam saku dan mencoba memainkan tanah di bawah sepatuku. Sial. Di bawah sana gelap. Non-sense kalo aku main-main tanah.

“Agas kedinginan?” tanyanya lagi.

Are you kidding? I was living in New Jersey for years... suhu terdingin di sana berjuta-juta kali lebih dingin dibandingkan di kota ini. Aku bahkan punya koleksi sweter dan leg warmer. But instead of saying no, aku malah dengan tololnya mengangguk. “Iya, ya. Dingin.” Maksud aku, daerahnya memang dingin. Buat aku sih nggak. Mungkin buat orang Arab ini pasti dingin.

“Dicky pinjemin jaket deh, ya?”
“Eh, nggak usah—“
Tapi jaket itu sudah tersampir di bahuku.

Astaga. Bagaimana bisa dia dengan cepatnya melepas jaket itu dan menyampirkannya di bahuku? Dan kenapa dia mesti “maksa” kalo udah giliran ngasih barang-barang padaku. I mean, sweter pemberiannya masih menggantung di pintu, nggak kupakai sekalipun—karena kalau kupakai dan Esel kebetulan melihatnya, aku bisa dihukum pancung.

“Pake aja jaketnya. Entar masuk angin,” katanya. Dia nyengir dan aku nggak bisa berkutik.

Sialan. Sekarang wangi khasnya itu terasa begitu dekat. Terasa menusuk. Celana dalamku otomatis sempit.

Dicky masih menatapku—mungkin berharap aku mau minta sesuatu dan dia bakal melakukannya. Tapi yang ada malah aku jadi salah tingkah. Jantungku berdegup nggak keruan dan darahku berdesir makin deras tiap kusadari bahwa sepasang mata itu terus menerus menelanjangiku.

“Masih kedinginan, ya?” tanyanya. “Kok gemetaran?”

Aku nggak gemet—oh, aku gemetaran ternyata. Tapi yang pasti ini bukan efek kedinginan. Nggak mungkin. Mungkin aku... merinding, atau...

Bang Dicky berjalan ke belakang tubuhku dan membentangkan tangannya. Kupikir dia mau menggeliat, menguap, tapi ternyata dia memelukku dari belakang.

Deg.

Lengan-lengan besar itu tiba-tiba menjulur dari atas bahuku. Satu tangan langsung menyusup ke bawah lenganku dan tubuh Bang Dicky yang besar langsung menempel di punggungku. Kurasakan kedua tangan itu menarikku ke tubuhnya, dan dengan amat sangat terasa ada dagu halus yang bertopang di ubun-ubunku. Bang Dicky memelukku dengan erat.

“Masih dingin?” tanyanya.
Aku menggeleng pelan. Sangat pelan. Sampai-sampai kupikir mungkin aku belum menggeleng.

Perut Bang Dicky yang berisi menempel di pinggangku dan rasanya menggelitik. Sekarang celana dalamku sudah bukan sempit lagi... tapi sobek. Kedua tangan Bang Dicky saling menggenggam di depan perutku—yang juga menggelitik selangkanganku. Hembusan napasnya di atas rambutku rasanya...

“Waktu kecil Dicky suka dipeluk Mama dari belakang,” katanya kemudian.

Aku nggak bisa melihat ekspresinya karena aku nggak mau mengacaukan dagu yang sedang asyik bertengger di atas kepalaku.

“Dicky suka kalo dipeluk kayak begini,” lanjutnya. “Kalo punggung Dicky disentuh orang tuh... rasanya... menakjubkan.”

Ember, batinku—meminjam istilah Esel. Ini sih bukan menakjubkan lagi... ini sih udah... priceless pleasure. Berduaan di puncak bukit yang tinggi, menatap kota yang sibuk di hadapanku, yang terdiri dari jutaan titik-titik kuning di bawah langit yang gelap bertabur bintang, lalu seseorang memelukku dari belakang, menghangatkan tubuhku, menggelitik punggungku... aku rela menukar apapun demi momen macam ini selama-lamanya.

“Nggak apa-apa, kan Gas?” tanyanya—tiba-tiba membenamkan wajahnya di kepalaku.

Bercanda, ya? Bagian mananya dari momen ini yang “apa-apa”?

“Dicky sayang Agas,” bisiknya kemudian. “Makasih udah mau jadi adiknya Dicky.”

-XxX-

Rumah Granny bisa dibilang “ramai”. Untuk ukuran komplek horor rumah-rumah belanda macam ini, kalau ada tiga orang berkumpul malam-malam, rasanya seperti Avril Lavigne sedang konser akbar di sini.

Beberapa meter dari rumah Granny, aku sudah mendengar suara ribut dari dalam. Ketika mobil memasuki carport, ribut-ributnya makin jelas. Ada yang memutar lagu berirama dangdut dari ruang tengah.

:hear music: ... ku hamil duluan, sudah tiga bulan
Gara-gara pacaran tidurnya berduaan...
Ku hamil duluan, sudah tiga bulan
Gara-gara pacaran suka gelap-gelapan...
:hear music:

Ketika aku masuk, kulihat Granny dan Jeng Nunuk sedang duduk berdempetan di atas sofa. Di depan mereka, di atas meja kaca yang kecil, ada sebuah laptop terbuka dan dengan jelas dapat kulihat laptop itu sedang merekam Granny dan Jeng Nunuk melalui webcam-nya. Zaki berada di belakang laptop, mengacungkan karton putih besar bertuliskan lirik lagu dangdut yang sedang diputar tersebut, sambil tertawa terbahak-bahak.

Astaga.

Granny dan Jeng Nunuk centil-centilan di depan kamera. Mereka berdua lipsync! Kadang salah satu di antara mereka menggeleng-gelengkan kepala sambil mengacungkan telunjuk, atau kadang menggeret leher mereka sendiri seperti bunuh diri. Lalu mereka menggoyang-goyangkan kepala dan mengibaskan rambut. Dan kalau nggak salah barusan Jeng Nunuk memutar-mutar telunjuknya di samping pelipis, seolah mau bilang “tolol”.

Astaga. Granny bahkan memasukkan salah satu bantal sofa kami ke dalam bajunya.

“Ngapain sih mereka?” aku memutar bola mata sambil membuka sepatuku.
Bang Dicky tertawa geli melihat Granny dan Jeng Nunuk. Tapi dia cukup kuat untuk menjelaskannya padaku sambil terbahak.
“Itu namanya sindrom Sinjo,” ujarnya. “Nenek sama Jeng Nunuk emang paling kompak kalo udah ngikutin Sinta dan Jojo.”

Aku juga tertawa geli melihatnya—sebagian besar karena melihat Bang Dicky tertawa geli, bukan karena melihat Granny.

“Emang buat apa?”
“Buat dipasang di Youtube!”
“Youtube?” ulangku nggak percaya. Saat aku menganga, mungkin rahangku sudah jatuh ke lantai—saking lebarnya menganga. “Ngapain sih?”

“Lagi trend!” sahut Bang Dicky. “Yuk! Mau makan dulu? Dicky panasin Sop Buntut tadi siang, ya?”

Ketika aku menghampiri mereka bertiga, kebetulan lagu sudah selesai. Granny berpelukan dengan Jeng Nunuk, merasa begitu bahagia telah berhasil men-shoot dirinya yang centil-centilan di depan kamera.

“Agas!” panggil Granny. “Gimana tadi lipsing-nya? Bagus, kan?”
“Sinta Jojo pasti kalah,” sahut Jeng Nunuk. “Sebetulnya kakak ini lebih berbakat dari si Jojo, lho Gas. Cuma kebetulan, kakak sibuk, jadi nggak bisa se-famous Jojo.”
“Padahal bajunya bagusan kita, em?”

Granny mengenakan atasan chic warna ungu yang “jelas” nggak cocok dipake malam hari—aku bahkan nggak ngerti jenis atasan tersebut untuk occasion macam apa. Jeng Nunuk mengenakan tanktop yang ditutupi bolero emas rumbai-rumbai. Mirip penyanyi dangdut yang pernah kulihat di acara tujuh belasan KBRI di U.S beberapa tahun lalu.

“Terus entar videonya dikemanain?” tanyaku, seolah belum pernah menanyakan hal yang sama pada Bang Dicky barusan.

“Youtube, sayang. Jeng Nunuk punya account-nya! Kita udah masukin tujuh belas video. Apa sih nama account-nya, Jeng?”
“GadisGirang,” jawab Jeng Nunuk. “Add ya account Youtube kakak, Gas.”

Aku geleng-geleng kepala sambil tersenyum geli. Setengah dari diriku nggak habis pikir kenapa nenek-nenek ini begitu muda jiwanya. Setengah lagi bersyukur karena at least aku nggak mesti memiliki nenek tua renta yang sulit mondar-mandir ke sana kemari.

You know what, punya nenek yang centil ternyata menguntungkan. Aku bisa terhibur setiap hari.

“Oh, iya. Jeng Nunuk sama Zaki mau nginep lho malem ini,” ujar Granny riang. “Kita berempat bisa sleepover party!”
“Saya udah bawa kuteks lho Jeng Allya,” pekik Jeng Nunuk. “Kita juga bisa ngecat kuku kaki.”

“Iiih, nggak mau ah saya mah,” seru Zaki.
“Aah, kamu nih kurang gaul ya, Zaki,” sahut Jeng Nunuk. “Eh, pizza yang tadi dipesen udah dateng belum?”

Dalam satu jam kemudian, aku tiba-tiba larut dalam kegaduhan rumah Granny malam itu. Kami bagai keluarga bahagia. Keluarga yang biasa berkumpul malam hari, memesan pizza, memutar-mutar video yang sama (dalam kasus ini: video lipsync-nya Granny dan Jeng Nunuk—yang sambil dilihat sambil di-upload ke Youtube juga ternyata), dan membicarakan tante sebelah. Aku bahkan nggak habis pikir, kenapa aku bisa begitu mudahnya terlibat dengan tiga orang ini. I mean, aku sekarang sudah terbiasa memanggil nenek tua bernama Nunuk itu dengan sebutan “kakak”. Mengerikan, bukan?

Aku senang lho melihat Granny banyak tersenyum di rumah ini. Aku pikir, kehilangan seorang anak, ditinggalkan semua anak-anaknya karena menikah, tinggal sendiri di rumah Belanda yang ada si Kuntinya, bakal bikin nenek-nenek manapun kesepian dan stres. Mungkin sebentar lagi kena demensia dan seorang pun nggak bakal ada yang menyadarinya.


Tapi melihat betapa akrabnya Granny dengan Jeng Nunuk, bahkan dengan Zaki si kurir kayu itu, membuatku tersadar bahwa Granny bisa move on dan membentuk keluarga baru. Lembaran buku yang ditulis di atas perkamen menggunakan pena memang terus melaju ke halaman-halaman berikutnya yang kosong, kita tidak bisa kembali ke halaman sebelumnya dan menghapus kejadian-kejadian yang pernah kita tulis. Hal ini membuatku sadar bahwa aku harus berhenti larut dalam kesedihan karena “keluarga bahagia”-ku direnggut Tuhan tiga bulan lalu sampai-sampai aku menjadi orang lain—tahu nggak, kalau aku akhir-akhir ini jadi pendiem? Aku bisa lebih annoying dari Esel lho, I just choose not to. Aku bisa bersaing mendapatkan Cazzo, dan mungkin kesempatan luar biasa yang kualami petang tadi bakal kugunakan untuk merebut Cazzo dariku—sephobia apapun dia terhadap homosexual.

Dia tadi sudah minta nomor teleponku, lho. Tapi aku nggak ngasih. Of course, dia akhirnya maksa. Maksud aku kan, kalau aku ngasih nomor telepon aku, lalu kami SMS-an, lalu kami teman baik, aku bisa dianggap back-stabbing sama Esel karena dikira mau merebut cowok itu. Cazzo pun udah nawarin buat masuk dulu ke rumahnya (besar dan modern—impossible ada spesies Kunti di rumah ini). Dia bilang, ada spageti buatan Ibunya yang dimasak dengan cita rasa khas Italia. Tapi aku menolak juga, karena kalau aku ikut dinner di situ, aku bisa terlalu dekat dengan cowok ini, dan aku nggak bisa membayangkan berteman dengan seorang homophobia. Akhirnya sih aku kasih nomor hape aku supaya dia tutup mulut.

“Dicky pergi dulu, ya?” sahut cowok itu menginterupsi sesi makan pizza kami. “Pulangnya nggak akan ke sini. Langsung ke rumah Dicky.”

“Ooh, hati-hati, Sayang,” balas Granny sambil membawakan salah satu irisan pizza, “Ini bawa satu pizza-nya, biar nggak masuk angin.”
“Jangan lupa beli oleh-oleh buat Kakak, ya!” seru Jeng Nunuk seperti orang teler.
“Dicky cuma ke Cimahi, Kakak. Nggak bisa beli oleh-oleh.”

Begitu Bang Dicky lenyap di pintu depan, aku akhirnya bertanya. “Bang Dicky mau kemana sih, malem-malem begini?” Aku melirik jam dinding. Ini sudah hampir pukul sepuluh malam.

“Nggak tahu, Sayang,” jawab Granny. “Dicky juga nggak bilang. Mungkin dia ada konferensi pengrajin bingkai.”

Lho? Ada ya konferensi macam begitu?

Setelah Dicky lenyap kira-kira lima menit, Zaki mulai beraksi. Awalnya aku nggak nyadar bahwa ini adalah “aksinya”, sampai akhirnya dia pindah tempat duduk ke sampingku, memastikan Granny dan Jeng Nunuk asyik mengobrol, lalu tiba-tiba berbisik padaku. “Saya bobonya di kamar Bos, okeh?”

Aku mengerutkan alis. Aku pikir kami di sini bakal tidur di sofa atau dimana gitu, karena mestinya sleepover kan tidur bareng.

“Kok di kamar aku?” tanyaku.
“Karena Jeng Nunuk bobo bareng Granny—mereka mau kuteks-an bareng,” jawab Zaki ngeri. Tapi aku yakin bukan itu alasan dia ingin tidur bersamaku.

Aku mengangguk pelan. “Boleh aja,” jawabku. I mean, aku nggak punya excuse lain, kan? Nggak salah juga kan kalo dia tidur di kamarku? Paling dia pengen nunjukin sex-tape-nya dengan cewek-cewek Bandung yang dia deskripsikan putih, “bohay”, dan “sekseh”. Atau parah-parahnya membicarakan tentang Barack Obama, karena dia pikir orang Amerika cuma pengen ngobrol soal Obama.

“Tapi jangan bilang-bilang si Dicky, ya, kalo saya bobo bareng Bos,” bisik Zaki lagi.

Hah?

-XxX-

Tengah malam tepat. Kami sudah kembali ke kamar masing-masing. Aku dan Zaki sudah berkumpul di kamarku, dan cowok itu asyik melihat koleksi Oprah Magazine yang beberapa memang sengaja kubawa karena ada gambar artis-artis favoritku. Zaki langsung membaca dengan gembira. “Ini bacaan orang cerdas,” kata Zaki, “sebab tulisannya pake bahasa Inggris.”

Terserah deh, batinku.

Aku melompat ke atas ranjang dan bersembunyi di balik selimut besarku. Aku sudah mengganti setelanku dengan kaus kebesaran milik Dad (yang mati-matian nggak akan kubuang dan bakal terus kupakai saat tidur karena ini kenangan yang kumiliki tentang Dad) disertai boxer setengah paha tanpa celana dalam. Sementara, Zaki masih mengenakan kaus warna biru dan celana jins gelap, yang di bagian pahanya ada tumpahan saus sambal dari pizza tadi. Posisi tumpahan saus itu—Astaga, aku nggak lagi membayangkan bagian “itu”-nya Zaki, kan?

For God sake. Aku mesti cari penghiburan lain, nih.

“Bang Dicky tuh sebenernya kemana?” tanyaku (lagi), at least aku membuka obrolan, daripada diam mendengarkan Zaki membolak-balik halaman majalah dengan berisik.

Zaki mengangkat bahu. Sedikit pun nggak menoleh ke arahku. Dia benar-benar asyik dengan majalah luar negeri—berbahasa inggris dengan Ads yang tentunya dari Amerika.

“Apa Bang Dicky tuh suka punya acara sendiri macam begitu?” tanyaku lagi.
Zaki masih mengangkat bahu tanpa menoleh.

Hmh. Nyebelin, deh. Untuk apa sleepover kalo satu orang malah asyik buka-buka majalah? Ngobrol, kek. Bicarain tentang Bang Dicky, kek. Misalnya, masa kecil Bang Dicky atau apa gitu?

Aku berusaha keras mencari cara agar Zaki menoleh dan meninggalkan O-magazines-ku. Tapi melihat ekspresi wajahnya yang antusias, atau posisi duduknya yang seolah-olah nggak akan beranjak dari situ untuk sejuta tahun lamanya, aku nyaris menyerah. Sampai akhirnya aku teringat bahasan favorit dia—yang aku yakin lebih worth it dibandingkan apapun berbau Amerika.

“Bang,” panggilku—seminggu ini aku memang mulai memanggilnya Abang, “Bang tahu kan cara orang Amerika ngegedein kanjut?”

Tap!
Majalah yang dipegang langsung tertutup. See? Ngobrolin soal sex memang selalu manjur. Zaki lalu menoleh ke arahku dengan (lebih) antusias, ekspresinya hati-hati, antara ingin tahu lebih lanjut dan gengsi yang terlalu tinggi.

“Ada caranya ya, Bos?” tanyanya, mati-matian nggak terdengar terlalu bersemangat.
“Ada,” bualku, sambil mulai mengarang-ngarang cara memperbesar penis yang masuk akal.
“Gimana, Bos?” Kali ini Zaki pindah duduk menjadi di atas tempat tidurku.
“Diurut-urut, dipijat-pijat... ngng, dari atas ke bawah... pake, ngng...” Aku memutar otak. “Buah Anggur,” kataku percaya diri, lalu buru-buru menambahkan, “Yang baru dipetik.”

Zaki merasa takjub. Matanya langsung menerawang ke langit-langit. Mungkin langsung membayangkan bahwa semua pria Amerika kerjaan sehari-harinya adalah memijat penisnya sendiri menggunakan buah anggur yang baru dipetik.

“Pantas, Bos,” kata Zaki mengangguk-angguk. “Di film-film Amerika, mereka sering bilang minum Anggur. Mungkin maksudnya ngurut-ngurut kanjut ya Bos?”
“Nah, itu!” sahutku, meski agak bersalah juga sudah menipunya seperti itu. “Kurang lebih, lah,” tambahku.

Zaki mengangguk-angguk lagi, menerawang, dan makin terpukau dengan kanjut Amerika. Tapi tiba-tiba dia menoleh ke arahku dengan serius. Mukanya memerah, dan ujung bibirnya berkedut-kedut, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi ragu untuk mengatakannya.

“Apa?” tanyaku.
Zaki menelan ludah, menggaruk-garuk kepalanya, lalu tersenyum lebar, menyatakan bahwa apapun yang akan dia katakan mudah-mudahan aku nggak tersinggung. “Anu, bos.. pengen lihat, dong!”

“Lihat apa?”
“Lihat kanjut,” bisiknya, menoleh ke arah pintu sebentar. “Kan Bos udah janji waktu minggu kemaren, waktu di workshop, mau lihatin kanjut bos.”

Astaga, aku lupa pernah membuat janji seperti itu. Tapi kan, aku mengiyakan karena aku nggak tahu kanjut itu apa. Mestinya itu nggak termasuk janji dong.

 “Masa malem-malem begini?” kilahku.
“Jadi Bos maunya siang-siang?”
“Bukan gitu.” Aduh, gimana, ya? “Lain kali aja, gimana?”
“Sekarang aja, Bos. Mumpung sepi, nggak ada orang. Bentar aja, Bos!”

Aku deg-degan. I mean, menunjukkan alat kelamin di depan orang lain rasanya bukan ide yang begitu bagus, kecuali orang tersebut memang kita cintai. Tapi posisiku sulit. Lihat aja cowok ini, dia begitu hot! Gimana kalau terjadi semacam “ketegangan” waktu Zaki melihat little-jack-ku?

“Masa cuma Abang aja yang lihat kanjutnya aku? Terus aku gimana?”
“Bos pengen lihat kanjut saya?”
“Ah, nggak tertarik,” dustaku. Meski dalam hati, inginnya setinggi langit. “Nggak adil.”
“Bos pengen lihat memek cewek-cewek saya?”

Nah, kalo yang ini aku beneran nggak tertarik, batinku. “Ngapain, ih? Udah, ah, malu.”

Zaki geleng-geleng kepala sambil berdecak. “Yeee, Bos, yang malu mah mestinya saya atuh. Kanjut saya mah kecil!”

Tanpa malu lagi, Zaki tiba-tiba membuka celananya. “Tuh!” serunya, menyembulkan little-jack yang bener-bener little dari balik celana jins-nya. Aku terpukau karena akhirnya melihat pusaka cowok gagah dan seksi ini.

Aku menelan ludah. “Iya ya, kecil,” kataku. Meski jujur saja, I don’t care. Bahkan aku yakin, kalian pun pasti nggak peduli sekecil apapun pusaka tersebut kalau pemiliknya adalah cowok seganteng Zaki.

“Yang bos mana?” tagihnya.
Astaga. Gimana nih? Mesti dikeluarin? Little jack-ku sekarang sedang perlahan-lahan bangkit dari kubur. Aku khawatir ketika aku mengeluarkannya, tiba-tiba “Tuing!” dia berdiri tegak dan keras seperti beton. Sebisa mungkin aku menutupinya dengan selimut sekarang.

“Yang aku ada,” kataku. “Tapi kalau mau lihat, Abang mesti mau ngabulin dua permintaanku!” seruku. Lalu buru-buru meralat, “Tiga permintaanku!”

Mata Zaki memutar ke kiri, mempertimbangkan tawaranku. “Oke,” dengan mudahnya, “asal Bos jangan minta koleksi botol mirasku, ya?”

For God sake, untuk apa aku minta koleksi botol miras, hmh? I don’t even know he collects that!
“Permintaan pertama,” kataku, masih agak deg-degan mengutarakannya. “Aku pengen Abang telanjang nggak pake apapun.”
“Hah? Kenapa, Bos?” Dia mengerutkan alis.
“Sebab... sebab aku pengen lihat bentuk badan Abang yang bagus sebagai inspirasi. Aku pengeeen punya badan kayak Abang, ada otot-ototnya, ada tonjolannya, semua-muanya, deh. Aku rencananya mau fitnes, dan aku butuh inspirasi. Badan Bang Dicky kan nggak seberotot badannya Abang, jadi mesti Abang objeknya. I mean, kalo Abang aja pengen lihat kanjut aku sebagai inspirasi, berarti aku boleh dong lihat badan Abang keseluruhan sebagai inspirasi?”

Zaki menggelengkan kepala dan berdecak. Kupikir dia mau menganggapku gila atau apa, ternyata dia malah gembira. “Yeeee... bilang dong dari tadi, Bos!” serunya sambil berbinar. Dia langsung membuka kausnya, lalu celananya, dan terakhir... you know, lah. “Sebetulnya tadi saya téh pengen buka baju, sebab kalo bobo saya biasa nggak pake baju—baju saya dikit Bos, jadi dihemat-hemat. Tapi saya takut Bos risih sama cowok telanjang.”

Sampai sejuta tahun pun, aku nggak bakal risih lihat cowok telanjang.
Kecuali cowoknya itu kakek-kakek.
Atau menderita penyakit kulit.

“Nggak apa-apa gitu Abang telanjang?” tanyaku, sambil menelan ludah saat melihat Zaki benar-benar telanjang bulat di hadapanku. Dia melemparkan semua pakaiannya ke atas meja. “Itu”-nya berayun-ayun, meski kecil, dan aku nggak bisa melepaskan pandanganku dari situ.

“Ya nggak apa-apa dong, kan sama-sama laki-laki,” sahutnya. Aku yakin jawabannya nggak bakal sama kalau dia tahu aku gay.

Zaki mulai berdiri di pinggir ranjang, berkacak pinggang, dan entah kenapa dengan bangganya memamerkan badannya.

Astaga, semudah itukah permintaan pertama? Aku pikir dia bakal keberatan, lho. “Tapi eits, permintaan pertama belum selesai,” kataku, tiba-tiba mendapat ide. “Abang mesti telanjang setiap masuk kamar ini. Sebab inspirasi kan nggak datang dalam semalem, Bang. Orang Amerika butuh inspirasi. Aku juga butuh inspirasi... misalnya... bagian-bagian mana yang mau aku latih dulu di tempat fitnes, gitu...”

“Boleh,” jawabnya dengan enteng. “Permintaan kedua, apa?”

Ya Tuhan. Yang kedua ini harus manjur. Harus yang dia nggak bisa mengabulkan dengan mudah.

“Aku pengen tahu semua tentang Bang Dicky. Tentang pacarnya, lah. Tentang masa kecilnya, lah. Atau arti tato di punggungnya.”

Ha! Dia pasti nggak bisa ngabulin! I mean, tato di punggung pasti nggak ada artinya, kan?

Zaki kelihatan menimbang-nimbang. Selama dia menerawang menatap langit-langit, aku memperhatikan little-mini-jack-nya yang mengkerut di balik jembutnya yang lebat.

“Oke!” katanya. “Kapan? Bos mau tahu sekarang?”
Apa? Memangnya tatonya ada artinya, ya?
“Nggak juga, sih...” kataku.

“Kapan-kapan aja atuh, Bos, gimana? Saya janji deh, saya bakal nyerita. Sebab ceritanya panjang. Saya kan deket banget ama si Dicky, Bos. Sampe-sampe saya tahu warna favoritnya apa.”

Aku tergoda untuk menanyakan warna favoritnya Bang Dicky. Tapi pikiranku terganggu dengan pemandangan menakjubkan di depan mataku.

“Yang ketiga apa, Bos?” tantangnya.

Sialan. Aku belum menentukan permintaan ketiga.

WARNING! Melewatkan membaca bagian Spoiler ini tidak akan mengubah plot cerita atau kehilangan bagian2 tertentu yang penting. Bagi yang menghindari kata-kata atau adegan yang lebih vulgar, dapat langsung membaca kalimat di bawah spoiler. Sekali lagi, Spoiler ini nggak wajib dibaca. Sip?
Spoiler: show


-XxX-

Aku terbangun esok paginya dengan perasaan bingung. Seolah aku baru bangun dari jet lag hebat. Badanku terasa pegal, terutama bagian perut. Ketika aku membuka mata, aku agak terkejut melihat Zaki sedang tidur telanjang di sampingku. Otakku langsung berputar keras mengingat kejadian-kejadian yang terjadi semalam, seolah aku baru saja hangover dan nyaris hilang ingatan.

Singkatnya, atau yang aku ingat, aku menunjukkan little jack-ku pada Zaki dan dia terpukau. Kebetulan saat itu “dia”-ku sudah berdiri tegak dan ukurannya memang keterlaluan dibandingkan ukuran “dia”-nya Zaki. Di tengah-tengah kekagumannya, Zaki tiba-tiba meraba “milikku”, memainkan-“nya”, mengendus-“nya”, dan tahu-tahu dia sudah mengulum-“nya”. Semua dengan alasan, “Saya penasaran dengan kanjut ukuran gede, Bos.”

Meskipun aku agak bingung juga. Sepenasaran itukah? Sampe-sampe diendus, dikulum?

Aku bangun dan duduk di atas ranjang. Sambil menjernihkan kepala, mengumpulkan nyawa, aku menatap Zaki yang sedang tertidur lelap di sampingku. Dia tidur telanjang. Dan karena selimut sudah ditendang kemana-mana, dia benar-benar telanjang di atas ranjang. Little jack-nya sedang “bangun pagi”. Untuk sesaat, aku mengagumi setiap detail dan lekuk-lekuk tubuhnya yang begitu menawan. Lalu teringat malam kemarin saat dia memohon-mohon untuk nggak mengatakan ini pada siapapun.

Sungguh, deh. Aku pikir aku yang bakal memohon-mohon untuk nggak bilang siapapun, apalagi ke Granny, ya. Jangan sampe Granny sedih dua kali karena anaknya meninggal dan cucunya ternyata homosexual.

Kenapa sih bisa sampe kayak gitu?
Oh, iya. Semua berawal dari Zaki yang menawari “itu”-nya untuk kukulum. Aku melakukan siasat macam-macam sampai aku bisa memijat, mengocok, membuat “itu”-nya bangun, dan bahkan mengulumnya. Dan, astaga, aku baru ingat. Kalau nggak salah, baru sepuluh detik aku mengulumnya, Zaki langsung “cumming up”. Kalian tahu maksudku, kan?

Nah, dari situ, dia malah memohon-mohon untuk nggak bilang siapapun. Dia malah mengaku kalau dia udah lama nggak orgasme sehingga dengan mudahnya dapat ku-“kendur”-kan pertahanannya. Alasan yang masuk akal, meskipun agak aneh juga kedengarannya. Yang pasti sih, karena dia panik dan ketakutan, dia malah menawariku tujuh permintaan tambahan.

Tentu saja aku nggak langsung menyebutkannya. Aku menyimpannya untuk masa depan. Mungkin aku membutuhkan jasanya lagi atau apa, gitu?

“Zaenab...” Zaki mengigau di sampingku. “Abang punya kanjut gede, Darling...”

Tangan Zaki tiba-tiba meraba ke samping, ke daerah aku tidur semalam. Matanya masih terpejam dan dia kelihatan masih tertidur pulas. Masih bermimpi. Tapi tangan tersebut terus menepuk-nepuk bagian ranjang di sampingnya, meraba-raba, mencari sesuatu... lalu ketika dia menemukan punggungku, meraba-raba tubuhku, menemukan my little jack, mulutnya tersenyum lebar.

“Naaah! Zaenab! Ini kanjut Abang! Gede, kan?”

-XxX-

Baiklah, aku penasaran amat sangat dengan video yang di-upload Jeng Nunuk di Youtube. Dugaanku sih, mungkin sudah ada empat atau lima hits di situ, itupun mungkin teman-teman mereka sendiri yang menonton. Tapi begitu aku search tag-line video mereka semalam, ternyata video itu ada di list paling atas. Dan bahkan video Sinta Jojo yang mereka ceritakan ada di urutan ketiga dalam daftar pencarian.

Hits-nya sudah... 1,778! Astaga... Follower-ku di twitter bahkan nggak nyampe 200 orang! Kenapa video yang baru di-upload semalam bisa dapat hits sampai 1700 kali penayangan? I mean, ini bukan video Britney Spears single terbaru, kan?

Aku mengklik mouse dan tidak sabar menunggu loading selesai. Beneran, deh. Internet di Indonesia keterlaluan.

“Zaenab... I Miss you...” Zaki masih mengigau di belakangku. Ya, dia masih tidur. Padahal ini sudah jam... sepuluh pagi.

Oh, loadingnya selesai.
Hal pertama yang aku lakukan adalah mengecek komentar yang muncul. Aku terkejut, karena ternyata satupun komentar nggak ada yang berhubungan dengan perfomance Jeng Nunuk dan Granny. (Videonya baru berjalan sekitar... dua detik! Aku harus ganti modem dan provider, nih!)

Gileee, kuntinya kelihatan banget! Jadi pengen maen ke rumahnya.
Jurighirohunter 2 menit yang lalu

Beneran gtu Si Kunti? Hoax bukan seech? Tp mustahil ya klo scepet itu.
cintakudikocokkocok 5 menit yang lalu

kayaknya asli deh. Ini pake webcam, ya? lihat tuh dead pixelnya. Susah lho ngedit video low quality. CMIIW.
SamiRose17 6 menit yang lalu


Kunti?
Dengan tidak sabar aku langsung men-download video tersebut menggunakan IDM yang sudah kupasang di browser. Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk mendownload-nya. Aku bolak balik di kamarku dan terkadang membaca semua komentar dengan tidak sabar. Intinya, ada Si Kunti lewat dengan cepat di belakang sofa tempat Jeng Nunuk dan Granny sedang lipsync. Tepatnya di 2:22. (Beberapa bahkan yakin bahwa di menit 1:38 ada bayangan Kunti di dekat jendela—tapi banyak komentar langsung menepisnya dan mengatakan bahwa itu adalah tirai jendela.) Salah satu hal yang membuatku terkejut adalah, ini bukan pertama kalinya Granny terkenal di Youtube. Orang-orang yang menonton dan berkomentar ini pada dasarnya memang sudah tahu siapa itu Granny, tinggal dimana, dan mitos tentang Si Kunti di sekitar rumah ini.

“Zaenab... Uh... Oh...” Sekarang Zaki sedang melakukan hubungan seksual dengan gulingku. Ya. Meski dia masih tidur, pantatnya cukup lincah untuk mengentot gulingku sambil mendesah-desah.

Nah, sudah selesai loadingnya!

Aku memutar video itu dan langsung lompat ke menit 2:22. Benar saja, ada sekilas bayangan sesosok makhluk lewat di belakang Jeng Nunuk dan Granny. Dia bergerak cepat sekali. Kurang dari satu detik. Tapi meski begitu, sosoknya terlihat jelas. Mengenakan gaun panjang berwarna putih... melayang... rambutnya berwarna putih...

Trrrrt!
Astaga! Ponselku bergetar dan nyaris membuatku terjatuh dari kursiku.

—hey, ini CZ. Gw bru ngmbil motor dr skolah, skrg lg diderek k bengkel. Tp skrg gw lg d depan komplek rumah lo. K depan dong. Gw tngguin. Thx!—

Cazzo?

-XxX-

Ketika aku tiba di depan komplek perumahan, aku melihat sesosok cowok cute yang diidam-idamkan Esel sedang duduk di atas motor matic. Cazzo mengenakan celana pendek army, memamerkan bulu-bulu kakinya yang lebat. Dia mengenakan sandal yang casual dan T-shirt hijau yang agak ngepas badan. Di kepalanya bertengger topi yang dia putar ke belakang, dan dia sedang asyik memainkan ponselnya.

Ketika aku datang, dia nggak kelihatan ramah. Seolah dia jijik melihatku.

“Hey,” katanya. Ragu untuk mengatakan apa yang ingin dia katakan.
“Hey juga,” jawabku, mencoba berbasa-basi. “Ada apa nih?”

“Ngng...” Dia mengumpulkan kekuatan untuk mengutarakan maksudnya. “Gue cuma... ini nih. Gue pengen bales budi.”
“Bales budi buat apa? Buat semalem? Nggak usah, kok.”

“Udahlah, terima aja. Dari pada tidur gue nggak tenang. Gue tuh orangnya selalu nepatin janji!” katanya dengan bangga.
“Oh... ya udah.”

Cazzo memberiku sebuah bungkusan.
“Apa ini?” tanyaku.
“Buka aja.”

Aku menarik keluar apa yang ada di dalamnya. Ternyata isinya... cokelat. Sekotak besar cokelat lezat yang kelihatan menggiurkan. Lalu aku merogoh lagi dan menemukan... apa ini? Selembar foto Cazzo berukuran 4R, sedang berada di pinggir pantai, shirtless, memamerkan tubuh kurus tapi berototnya, disertai tanda tangan dirinya sendiri di bagian bawah foto.

“Apaan nih?” Aku mengerutkan alis.
“Itu foto gue. Plus tanda tangan. Buat lo. Gue tau lo pasti suka.”

Aku masih menatapnya dengan bingung. Entah aku yang tolol atau dia yang kepedean.

Cazzo menangkap kebingunganku. “Kok bingung? Lo pasti pengen punya ini, kan?”
“Nggak, tuh,” jawabku pasti. For God sake, kapaaaaaannn pula aku pengen punya “ini”?

“Lo anggota The Jelitaz, kan?” tanyanya.
Aku menatapnya sedetik sampai kemudian tergelak dengan nada tersinggung.

“Kamu jauh-jauh ke sini cuma buat ngasih ini dan nganggap aku The Jelitaz?” kataku. “Forgive me, Mr. I think I’m Handsome. Tapi aku sama sekali bukan anggota The Jelitaz dan seumur-umur aku nggak pernah minta foto plus tanda tangan macam begini.”
“Tapi kalian The Jelitaz pernah ngirim message di facebook, pengen foto ini!”
“Tapi aku bukan anggota The Jelitaz!”
“Kenapa marah, sih? Udah dikasih juga... Apa karena gue belum masukin cap bibir gue di foto itu, hmh?

Aku memutar bola mata.

“Sumpahnya, deh. Silakan ambil ini kembali, Mas. Udah aku bilangin, aku bukan anggota The Jelitaz!”
“Tapi lo gue lihat sering jalan sama si Esel!”
“Itu karena dia cucunya temen nenekku! Was that a mistake to have him on my friend list?”

“Oh.” Cazzo menggaruk kepalanya. Sekarang giliran dia yang bingung. “Jadi kamu bukan The Jelitaz?”
“Seratus persen bukan,” kataku. “Seribu persen.”

Mimpi pun aku nggak sudi masuk geng banci-banci itu.

“Dan kamu nggak butuh ini?” Dia mengacungkan fotonya.
“Sejuta persen nggak butuh!”

Dia kelihatan berbinar. “Berarti kamu bukan homo, dong?”
“Eh...” Nah, aku harus bilang apa? “Bukan, kok. Emang kalo aku temenan ama Esel, aku juga homo?”
“Bagus, deh. Berarti kamu bisa gabung di Mahobia.”

Nah, lho.

“Gue pengen maen dong ke rumah lo!” serunya kemudian. Dia bangkit dari duduknya, melepaskan standar matic-nya dan duduk dalam posisi mengemudi. “Naik tuh!”
“Mau ke mana, nih?”
“Ke rumah lo, lah. Suguhin gue minum, kek?”

Aku bukan kakek-kakek, ya... batinku.

Karena aku memang sedang berusaha ramah dengan semua orang di kota ini, akupun mengiyakan ajakan Cazzo tersebut. I mean, kalau aku saja bisa berteman dan mengobrol dengan Esel yang menyebalkan, kenapa nggak dengan Cazzo? Aku duduk di jok belakang dan agak bingung mesti berpegangan ke mana. Di Amerika sana, aku nggak pernah naik motor. Malah sebetulnya aku nggak pernah lihat motor berseliweran dengan bebas kayak di sini.

“Ini tuh komplek yang pernah masuk Ardan itu, ya?” tanya Cazzo. Aku sama sekali nggak ngerti.
“Aku baru datang dari Amerika. Aku nggak tahu apa-apa,” kataku jujur.
“Oh.”

Cazzo manggut-manggut lalu belok ke arah yang kutunjukkan. “Di Bandung tuh ada acara radio yang nayangin cerita-cerita hantu! Hiii... gue sih nggak pernah denger tuh program. Bikin stres! Mana tayangnya malam Jumat, pula. Salah satu ceritanya, tentang komplek perumahan ini. Katanya ada salah satu rumah, yang di atas gentengnya, suka ada Kunti lagi duduk-duduk. Hiiii... Serem pisan, lah. Katanya dia sering dipanggil Si Kunti.”

Aku memutar bola mata.
Cazzo ganteng, rumah tersebut adalah rumahku sekarang, Baby.

Tapi somehow, aku terkejut juga lho mendengar ternyata rumah Granny begitu “terkenal”. Setelah hits di Youtube itu... lalu cerita dari Cazzo... Sebetulnya, ada apa sih di rumah Granny?

Kami tiba di rumahku. Motor Cazzo diparkir di depan rumah Granny. Aku melompat turun dan mengajaknya ke carport.

“Rumah lo serem juga, ya! Mirip sama yang diceritain temen gue tentang rumah Si Kunti. Ada pohon kumis kucingnya di situ. Dan ada pohon belimbing. Dan ada...”

Sekarang wajah Cazzo terlihat pucat. Kelihatannya dia baru menyadari sesuatu.

By the way, nama yang punya rumah ini siapa?” tanyanya. Setengah ketakutan.

“Granny aku?” tanyaku balik. “Namanya Alia. Kenapa? Kamu kenal?”

Dan Cazzo pun jatuh pingsan.

Aku kaget saat bola mata Cazzo tiba-tiba berputar ke atas, menghilang di bawah alisnya. Badannya langsung lemas dan wajahnya pucat. Cazzo tersungkur di atas carport. Tergeletak seperti baru saja ditembak dari jauh.

Ehmagod... kenapa sih ama nih cowok?

Aku berusaha membangunkannya, tapi dia benar-benar pingsan. Aku memukul-mukul pipinya, tapi dia bergeming. Dengan susah payah, aku berusaha menariknya ke teras, mencoba menaikkannya ke atas kursi. Tapi susah.

“ABAAAANNGG!!” panggilku pada Zaki yang setahuku masih tidur waktu kutinggalkan tadi.

Aku mencoba merangkulnya dari belakang, menyusupkan tanganku di bawah ketiaknya, dan mencoba mengangkat tubuhnya. Tapi tubuhnya berat. Aku kesulitan untuk mengangkatnya.

Seolah Tuhan memang sengaja memberikan mimpi buruk semacam cowok pingsan di carport rumahku ini, Dia juga jahil dengan menambahkan mimpi buruk lain. Di depan pagar, kulihat Esel sedang berdiri menatapku. Tatapannya tak percaya. Dan dia menjatuhkan apapun dalam kantong plastik yang sedang dia pegang dari tadi.

Oh, sial. Aku bisa dibantai.

TO BE CONTINUED....

----------------------------------------------------------------------------------------------------------



0 comments:

Post a Comment