DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 7

-chapter 7-
by MarioBastian


Hari ke-13 Perang Dunia III (dan hari ke-3 suspended)...

“Jadi, mendingan yang mana, Gas? Topi bulu-bulu yang ini? Atau yang ada tudungnya yang itu?” Granny menyeberangi kamar dan menarik sebuah topi lebar bertudung (nyaris mirip dengan topi Lady Gaga di video klip Telephone) dari dalam lemari. “Kalau yang ini kan bisa menghalau panas, betul?”

“Astaga... dari mana sih Granny dapet topi-topi itu, hah?”
“Dari mana-mana, Darling... yang ini dari Cimol Gedebage... yang ini Pasar Baru... lalu yang itu dari toko antik di Jalan Riau... yang ini juga... oh, yang ini sih bikin sendiri di tukang rajut, sengaja Nenek datang ke Binongjati buat ngerajut topi ini. Murah lho ongkos rajutnya!”

Dan Granny pun mengacungkan topi rajut paling aneh yang pernah kulihat.

“Pake yang ini aja, Granny. Yang ini manis, kok.” Aku mengacungkan topi mungil cantik warna pink pucat yang mirip dengan topi di kartun Strawberry Shortcake.

Nehi-nehi-nehi,” kata Granny dengan logat India dan kepala bergoyang kanan kiri. “Yang itu kurang mencolok. Nenek butuh yang mencolok. Yang bikin orang-orang terkejut. Yang bikin orang-orang bilang, ‘ya ampun, siapa gadis cantik itu?’”

Ha-ha. Yang bener aja, deh.

“Dengan Granny datang ke acara Inbox pun, Granny udah mencolok. I mean, sejak kapan acara anak muda macam Inbox ditonton sama nenek-nenek? Granny pasti bikin heboh kalo muncul di sana.”
“Tapi gimana kalo Nenek nggak kesorot kamera, hah? Gimana kalo kameramen nya ngantuk dan nggak ngeh kalo ada nenek-nenek di acara itu? Bisa-bisa gagal rencana Nenek.”

Aku menepuk dahi dan menggelengkan kepala. Satu hal yang pasti, aku nggak akan nonton acara Inbox tersebut. Bahkan kalau perlu, aku bakal pura-pura nggak kenal dengan Granny setiap kami jalan berdua di tempat umum.

Jadi begini, Granny sedang berantem dengan sahabat terbaiknya, Jeng Nunuk. Pertempuran mereka aku sebut Perang Dunia III karena efeknya benar-benar bikin pusing. The Jandaz otomatis goyah sekarang. Program Gadis Matic “memberi minum gratis untuk anak-anak jalanan” pun batal dilaksanakan dua hari yang lalu, semua gara-gara perseteruan Granny dan Jeng Nunuk.

Apa penyebabnya?
No other else: the fight between me and Esel.

Terakhir kali Esel datang ke rumahku, dia ngamuk-ngamuk karena dia pikir aku merebut semua orang yang dia sayang. Meski telah kujelaskan bahwa aku sama sekali nggak melakukan apapun, banci itu nggak mau percaya. Dia telanjur sakit hati. Dia telanjur berpikir bahwa aku backstabber, tukang merebut kebahagiaan orang lain (si Selamet malah bilang aku ini kayak Dementor), dan bahwa aku mengancam kelangsungan hidup banci-banci CIS karena aku “katanya” terlalu banyak tebar pesona.

For God’s sake, kapaaaaan aku tebar pesona? The only place I often visit in CIS is the library! Setahuku, nggak sempet tuh aku tebar-tebar pesona ke sana kemari.

Intinya, sejak saat itu, kami musuhan. Sialnya, Esel kalo lagi musuhan sama orang, bakal melakukan berbagai cara untuk menjatuhkan musuhnya. Salah satunya adalah mengatakan yang jelek-jelek tentang aku ke Jeng Nunuk sambil meyakinkannya bahwa aku ini berbahaya. Of course, Jeng Nunuk percaya sama cucu kesayangannya itu dan langsung menghubungi Granny untuk “membicarakan” masalahku tersebut.

Katanya aku ini tukang merebut kekasih orang lain, maniak seks, kuper, sering mencuri penghapus dan pulpen di kelas, menghisap ganja, dan parahnya sih Esel bilang ke Jeng Nunuk kalau aku gay dan dia juga menyebut-nyebut sesuatu tentang Ryan Jombang.

But Thanks, God, bukannya percaya sama Jeng Nunuk, Granny malah membelaku. Granny bilang satupun kata-kata Jeng Nunuk nggak ada yang bener. Granny malah bilang aku ini anak gaul karena pernah tinggal di Amerika, majalah-majalahku berbahasa Inggris dan bergambar Oprah Winfrey, dan tentunya Granny memastikan bahwa aku punya stock pulpen dan penghapus yang cukup di rumah tanpa harus mencurinya di kelas.

Waktu mengatakan soal gay pun Granny hanya tertawa. Katanya impossible aku gay karena aku nggak pake anting di kiri dan bajuku nggak ketat-ketat macam Esel. Granny malah menyerang Jeng Nunuk dengan bilang bahwa Esel-lah yang sudah pasti gay karena Esel sering banget pake lipgloss dan contact lens. Jeng Nunuk tersinggung. Ujung-ujungnya kedua best friend itu bermusuhan dan suasana komplek dalam 2 minggu terakhir terasa panas.

Granny sekarang selalu memutar ke blok sebelah hanya karena nggak mau melewati rumah Jeng Nunuk yang lebih dekat dengan gerbang komplek. Granny bahkan membuang semua bunga-bunga sedap malam pemberian Jeng Nunuk ke dalam tong sampah. Status-status facebook-nya pun terdengar sangat menyebalkan.

t03HaN , , q4wh Tw y9 trB4eeq , ,

cMuu9Ha dYa s4D4R s3s4DaR-s4DaR-xx , , F*cq y0u ! !


Persaingan terbaru mereka adalah tampil di teve. Bukan jadi artis tentunya, melainkan penonton. Aku baru tahu di Indonesia ada acara teve pagi hari yang menyajikan konser kecil-kecilan dari artis lokal, menyanyi lipsync dipandu host yang garing setengah mati, dan ditonton oleh penonton yang ada di panggung. MTV TRL mungkin maksudnya. Rada-rada mirip seperti itulah. Setiap stasiun teve kayaknya punya program yang sama persis. Ada Derings, Inbox, Dahsyat, dan lain-lain.

Nah, dua hari yang lalu, Jeng Nunuk berhasil bikin Granny panas dengan tampil di acara Dahsyat. Dia datang bersama Esel, mengenakan kostum warna kuning dan tampil beda dibandingkan penonton yang lain. (And of course, kehadiran Esel di situ bikin aku muntah! Dia mirip... banci kampungan. I mean, dia mengenakan kaus ketat berlengan pendek, celana ngepas selutut, rambut lurus berponi, bibir berlipgloss, dan mata dipasangi contact lens warna hijau cerah. Belum lagi soal bedak yang kelihatan kentara dan gelang-gelang Bali-nya itu, lho. Yuck.)

Si Host, Raffi Ahmad (Correct Me If I’m Wrong), terkejut melihat penampakan gadis lanjut usia di bangku penontonnya. Dia langsung menarik Jeng Nunuk ke tengah panggung dan dalam waktu 3 menit Jeng Nunuk berhasil tampil di depan jutaan penonton Dahsyat di seluruh Indonesia. Dan satu dari jutaan tersebut adalah Granny, yang akhirnya membanting-banting piring plastik karena kesal.

Alhasil, Granny langsung menghubungi program acara Inbox dan menanyakan program hari esok mereka. Dan hari ini Granny sedang melibatkanku dalam “pemilihan baju fantastis” yang kira-kira bakal membuat Gading-Martin-Whoever menariknya ke atas panggung.

“Yang kembang-kembang ini gimana?” Granny mengacungkan dress paling kuno yang pernah ada. “Yang ini warnanya mencolok, kan?”

“Tapi itu kurang modern, Granny... pake yang biasa aja, deh...” Aku mengacungkan dress hitam polos yang sudah kutandai dari tadi. “Ini gimana?”
“Ah, no way.” Granny mengaduk lagi lemarinya. “Yang itu terlalu... pemakaman.”

Granny muncul dari balik lemari medieval-nya dan mengeluarkan jaket merah mencolok dari bahan kulit (yang mengilat). “Yang ini bagus, kan?”
“Dalemnya pake apa?”
“Ngng...” Mata Granny berkeliaran ke tumpukan bajunya. “Tanktop putih yang itu, mungkin.”

“Bawahannya?”
“Celana jins!” Granny buru-buru mengambil celana jins yang sudah ditandainya dari tadi. “Nah, kan... Nenek pasti kelihatan kayak cewek karir.”
“Ckckck. Asal Granny bahagia aja, deh...” Aku memutar bola mata.

Setelah puas menentukan pakaian fantastisnya (yang sebetulnya jauh dari fantastis—I mean, Granny malah kelihatan kayak nenek-nenek kaya raya yang tampil modern dan mengendarai Benz terbaru), Granny pun menggantung kostumnya itu di belakang pintu dan mulai mengaduk-aduk tumpukan sepatunya.

“Kamu yakin kamu nggak mau ikut, Darling?” tanya Granny sambil mencoba menyelipkan kaki ke dalam wedges warna mocca.

No, Granny. Aku di rumah aja. Lagian, kan, grounded means staying in the ground. Aku nggak boleh terbang kemana-mana buat jalan-jalan. Dan juga CIS ngasih banyak tugas selama masa skorsing ini.”

“Kamu udah ngerjain tugas-tugas kamu, Sayank?”
“Sebagian.”
“Pokoknya nggak usah khawatir, Darling. Nenek selalu dukung kamu. Bahkan meski kamu suspicious macam begini—“
Suspended, Graannn..” selaku.
“Ya, pokoknya itu. Apalagi kamu waktu itu membela diri, kan? Dari Esel, kan?”

Ini adalah hari ketiga di mana aku diskors dari CIS. Aku dirumahkan selama 7 hari dan dibebani banyaaak sekali pekerjaan rumah. Don’t worry, Esel juga mengalami hal yang sama. Intinya sih ini semua gara-gara perang antara aku dan Esel, yang juga sama panasnya dengan Granny dan Jeng Nunuk.

Hari pertama sejak kami bermusuhan, Esel tiba-tiba menyebarkan rumor bahwa aku gay ke seantero CIS! Well, basically yes, I’m gay. Tapi kan aku nggak tampil di depan orang-orang sebagai gay. Hal ini malah membuat sebagian orang resah. Misalnya beberapa cowok yang sekelompok denganku di pelajaran olah raga tiba-tiba melontarkan berbagai alasan waktu aku mengajak mereka ganti baju bareng. Ini bener-bener bikin aku sakit hati. Memangnya aku ini bawa penyakit atau apa, hah? I mean, seiyanya aku gay, maksudku mengaku gay di depan publik, bukan berarti aku bakal memangsa segala jenis cowok di dunia ini. Aku juga pilih-pilih, okay.

Rumor gay itu pun membuatku didekati oleh DIGEOLS (Discreet Gay, Bisexual, or Lesbian Association), sebuah klub rahasia di CIS yang fokus dalam bertahan hidup sebagai gay, bi, atau lesbi di sekolah. Mereka sembunyi-sembunyi mengajakku gabung dalam klub mereka, bahkan menawariku posisi sebagai Future Public Relations.

Aku jelas menolak penawaran tersebut. But thanks to Digeols, aku jadi tahu siapa-siapa saja homosexual discreet di CIS.

Yang paling parah adalah aku masuk daftar buruan Mahobia. Aku sempat dikerjai mereka dengan cara dikunci di dalam WC, dilempari ular, dan diputarkan lagu Lingsir Wengi—mungkin mereka pikir aku sama pengecutnya seperti Cazzo. Tapi untung satupun dari kejahilan tersebut nggak ada yang membuat takut. It’s a bit silly, though.

Sampai akhirnya empat hari lalu aku membabibuta di laboratorium Biologi dan memecahkan boneka patung organ tubuh hingga jantung dan livernya pecah berkeping-keping. Semua dimulai gara-gara Esel bikin ulah.

You masih berani-beraninya ya, deketin Cazzie,” desis Esel beserta The Jelitaz di belakangnya, tepat saat aku sedang membereskan peralatan lab-ku. Kebetulan memang aku yang kebagian mengunci laboratorium, sehingga saat itu aku sedang sendirian.

Shut up,” sahutku. “Aku lagi nggak mood ngobrol ama oposum.”
You pikir I lagi mood ngobrol ama platipus macam you?” Esel geleng-geleng kepala dan berkacak pinggang. “I di sini karena ini udah darurat. Kelihatannya you dari lahir nggak pernah dianugerahin kuping, ya? I udah ultimatum you buat nggak ngedeketin Cazzie, tapi you budeknya nggak ketulungan. Cocok deh you kalo jadi setan budek di persimpangan kereta api.”
“Embeeeerr... mukanya aja sama!” sahut Selamet.

“Kamu yang lebih budek, Setan Budek,” sahutku. “Udah berapa kali aku bilang, aku nggak pernah ngedeketin Cazzo—dia yang ngedeketin aku—tapi teteeep aja kamu mikir yang sebaliknya.”
“Karena faktanya begitu, Bondon! Cuih.” Esel meludah ke samping. “Tinta mungkra seorang Cazzo secara sengaja ngedeketin you. Yang ada juga you nyantet detseu, dan you ngebikin seolah-olah dia yang ngejer-ngejer you. So pathetic...

Aku nggak percaya Esel bisa bilang “pathetic” padahal JELAS-JELAS dia yang pathetic.

Suit yourself, bitch,” sahutku. “Aku nggak peduli, okay. Ultimatum apapun terserah kamu, deh. Toh yang rugi selama ini cuma kamu karena mikirin masalah ini setiap menit. Aku sih nggak.”

Rahang Esel mengeras. “Oh, really?” Esel memberikan tatapan jahat penuh kemenangan. Susah payah dia membangun kembali percaya dirinya. “Semoga beruntung deh entar pulang ke rumah nggak ada yang ngegodain. Atau at least, nggak ada yang nanyain nomor telepon. Hihihi...”

“Apalagi sih Esel, hah? Sekarang kamu ngapain lagi? Ngegosip ke stasiun teve kalo aku gay?”

“Oh, better,” katanya sambil cekikikan dengan The Jelitaz. “I baru aja nge-email link manjam you, bahkan ngeprint sebagian buat ditempel di gerbang, dan bahkaaaannn—this is the best part: I kirim profile manjam you ke guru BP kita!”

So you think it would make any different?” Aku memutar bola mata dan meraih ranselku. “Orang-orang udah berpikir kalo aku gay, SEANTERO CIS, sampe-sampe ada klub gay rahasia yang ngajak aku gabung. Ngasih profil manjam aku sama sekali nggak ngubah apapun. Lagipula, aku tinggal bilang account itu palsu. I mean, account macam begitu bisa dibikin sama siapa aja, kan?”

No, dear, no. Itu nggak semudah yang you bayangkan...” Esel berhenti sejenak untuk menambah efek dramatisir. “I juga bilang kalo you sama persis sama Ryan Jombang. Tipe-tipe gay yang mesti diwaspadai. Apalagi you berasal dari keluarga broken home karena yatim piatu, jadi kemungkinan you butuh perawatan medis dan psikiater buat ngobatin sakitnya you sebagai binan.”

Fuck you, Esel. Don’t care!” Aku bergegas keluar dari laboratorium. Tapi Esel menahanku. “Mau apa lagi sih?”

I mau you enyah dari—“

Aku mendorong tubuh Esel sampai terjatuh sebelum dia menyelesaikan kata-katanya. Aku sudah frustasi sampai-sampai ingin membunuhnya sekarang juga. Esel jatuh menindih tiga anggota The Jelitaz yang lain—satu di antara mereka langsung menangisi kuteks kukunya yang belum kering.

“Ini yang terakhir buat kamu! Aku sama sekali NGGAK ada niatan buat deketin Cazzo! SEDIKITPUN! Okay? Kalo kamu masih nggak mau nerima juga, berarti kamu yang BUDEK!”

Faktanya memang begitu, kok!
Semenjak aku dirumorkan gay, Cazzo bukannya menjauh dariku, dia malah makin nempel. Dia bahkan meminta maaf berkali-kali karena dia yakin rumor gay itu datang gara-gara dirinya. Gara-gara profile picture itu lah, atau gara-gara foto kami itu lah, atau karena dia selalu membuntutiku selama istirahat lah...

Malah, dia jadi satu-satunya orang yang berusaha meyakinkan murid-murid se-CIS kalau aku straight, kalau rumor itu hanya salah paham.

Esel buru-buru bangkit dan balas mendorongku hingga aku tersungkur di antara meja-meja laboratorium yang panjang. “Biasa aja, Bondon! Jangan pake dorong-dorongan segala! Lo pikir gue takut, hah?!”

Dan terjadilah catfight sialan itu. Aku dan Esel bertarung di laboratorium Biologi, saling menjambak rambut, mencekik, dan mencakar muka. Banci itu lebih canggih lagi karena dia berhasil menendang perutku sampai aku tersungkur di atas meja penuh gelas Kimia. Aku akhirnya membabibuta, aku mengambil bangku terdekat dan melemparkannya ke arah Esel. Sayangnya lemparanku meleset.

Selama sekitar dua menit kami berdua menghancurkan laboratorium Biologi. Anggota The Jelitaz yang lain bukannya melerai malah menyemangati Esel biar menang. Si Syarifudin bahkan mengeluarkan pom-pom dari dalam ranselnya dan meneriakkan yel-yel.
"Yow-yow, Esel! Give me E! Give me S! Give me L! Give me... ngng... apalagi, sih?"

Puncak paling parah dari kekacauan itu adalah boneka patung organ tubuh pecah tercerai-berai di atas lantai dan seorang guru kebetulan lewat di laboratorium waktu insiden itu terjadi.

Alhasil, aku dan Esel di-suspend dari CIS. Dirumahkan selama 7 hari dan dibebani dengan banyak sekali homework. Aku dan Esel dikenai hukuman karena dianggap telah “membuat keonaran” dan “merusak properti sekolah”. Well, nggak bisa ngelak juga, sih. Karena emang begitu kejadiannya.

Tapi yang bikin aku frustasi adalah kami—aku dan Esel—sempat didudukkan beberapa jam di ruang BP, dikelilingi banyak guru, dinasihati beragam hal soal menjaga sikap dan betapa memalukannya kami berdua. Sebalnya, topik tentang “aku gay” pun tiba-tiba jadi pembahasan utama di ruang BP. Oh, worse, semua kekacauan ini seolah terjadi gara-gara aku gay. Seolah orientasi seksualku adalah biang kerok semuanya.

Aku bahkan dinasihati jutaan kali untuk meluruskan orientasi seksualku, dan bahwa semua guru di CIS mendukungku untuk menjadi “normal”, dan bahwa di lemari dokumen di ruang wakasek ada banyak brosur tentang melawan perasaan menyimpang sebagai gay, dan bahwa ekskul sepakbola masih butuh orang, dan lain-lain, dan lain-lain.

Oh, I’m sick of it!

Lama-lama aku bersyukur karena diskors dari CIS. At least, aku bisa menenangkan diri.

“Kamu setuju kan sama heels yang ini?” Granny membuyarkan lamunanku. “Kira-kira Nenek kelihatan lebih tinggi nggak ya?”

“Ya, ya...” jawabku malas-malasan.

Aku beringsut di atas ranjang Granny dan memerhatikan wanita tua itu membereskan semua outfit-nya sambil memisahkan barang-barang mana saja yang bakal dibawanya pergi.

“Nah, udah selesai. Tinggal masukin ke koper,” gumam Granny. “Oh, Agas, kamu mau dibawain oleh-oleh dari Yogyakarta?”
“Terserah Granny aja. Aku belum pernah ke sana, jadi nggak tahu apa aja yang ada di sana.”

“Nenek bawain Nasi Kucing, deh, ya?”
“Whiskas?” Aku mengerutkan alis.
“Bukan makanan kucing, darling. Tapi nasi kucing. Kalo Nenek ke Jogja, Nenek selalu nyempetin makan di warung tenda pinggir stasiun, makan nasi kucing...”

Rute “menonton Inbox” Granny terbilang agak boros. Granny bakal berangkat sore ini menggunakan pesawat dari Bandung ke Jakarta, menginap di salah satu hotel Bintang 4, lalu menonton acara Inbox sepagian, siangnya ke bandara untuk terbang dari Cengkareng ke Jogja (karena udah nggak ada penerbangan Jakarta Bandung lewat dari jam 10 pagi), lalu malamnya terbang dari Jogja ke Bandung.

Intinya sih: naik pesawat. Granny emang hobi ngumpulin Frequent Flyer Miles.

“Udah Nek?” Bang Dicky muncul dari balik pintu, melongokkan kepala dan mengerutkan alis. “Entar taksinya dateng jam empat. Jangan lupa tiketnya.”

Oh, iya. Aku belum bilang, ya? Bang Dicky juga ikut Granny ke Jakarta, sehingga yang tinggal di rumah ini hanyalah aku seorang. Dan untuk mengantisipasi kesepian maupun rasa mencekam rumah ini di malam hari, aku sudah menghubungi Zaki untuk sleepover. (Of course, dia girang bukan main.)

Entah apa yang mesti kukatakan soal Zaki nyatain cinta padaku dua minggu yang lalu. Aku pikir dia cuma bercanda (sampai sekarang pun aku pikir dia memang bercanda). Tapi dia berkali-kali bilang, “Saya serius!” sampai-sampai membuatku ngeri. I mean, seorang cowok yang hobi nge-sex bareng jutaan cewek tiba-tiba nyatain cinta padaku?

It would be too sweet. Too... sexy. Saking seksinya mestinya ini impossible. Coba bayangin, ada berapa juta gay sih di dunia ini yang mendambakan bercinta dengan cowok straight? Aku bertaruh, dari 1 juta gay, ada sekitar... 1 juta yang mendambakannya. Dan hal yang paling banyak didambakan adalah hal yang paling mustahil. Contohnya... perdamaian dunia... atau hujan uang dari langit.

Meski sudah kujelaskan, bahwa mungkin perasaan yang dia rasakan hanyalah perasaan sayang sebagai teman, atau keluarga, atau menganggapku adik misalnya, Zaki tetap keukeuh bahwa yang dia rasakan adalah cinta. Dia nggak ngerasain hal yang sama buat cewek-cewek lain. Katanya aku pengertian lah, aku sabar lah, aku ngegemesin lah, et cetera, et cetera. Dan rasanya dia pengen memelukku terus.

Well, sekarang merangkul tubuhku memang sudah jadi hobinya. Setiap rumah kosong, lalu kebetulan Zaki mampir, (atau kapan itu aku memang sengaja datang ke rumahnya yang sempit karena bosan di rumah melulu), Zaki suka mengajakku duduk dan merangkul pundakku, menarik kepalaku agar bersandar di bahunya. Mirip orang pacaran aja gimana. Tangan Zaki bergerilya di rambutku... dan tiap aku mengangkat kepala karena pegal, cowok itu ngambek.

Nyebelin, kan?
I mean, di tengah usaha mati-matianku untuk nggak jatuh cinta sama cowok, ternyata aku malah dapat anugerah macam begini.

“Nih-nih-nih, udah selesai...” Granny berdiri dan menyerahkan koper mini warna hitam itu pada Bang Dicky. “Tiketnya udah di dalem. Kamu cek lagi, Sayank. Nenek mau mandi dulu.”
Bang Dicky mengangkat kedua alisnya menandakan oke.

Setelah Granny hilang ke kamar mandi, lalu Bang Dicky selesai meletakkan koper Granny di ruang tengah, Bang Dicky menghampiriku di kamar Granny. Saat itu aku sedang melamun sambil ketakutan dengan interior kamar Granny yang dutchy abis. Ada wallpaper jaman medieval, meja rias jaman medieval, karpet tebal jaman medieval, hingga lampu dinding yang temaram.

“Agas yakin nggak mau ikut?” tanya Bang Dicky. Dia duduk di kursi keras dari kayu jati, yang tadi sudah kucoba kududuki tapi rasanya tidak nyaman.
“Nggak, Bang. Aku banyak pe-er. Akunya juga lagi nggak mau ke mana-mana.”

Bang Dicky terlihat cemas. Matanya memandang kosong ke atas lantai, berusaha deal dengan kenyataan bahwa Zaki bakal menemaniku semalaman. Bang Dicky memang masih nggak setuju aku main sama Zaki—entah untuk alasan apa.

“Agas yakin nggak ada temen Agas yang lain yang bisa diajak nginep bareng? Supaya banyakan, gitu... nggak cuma berdua aja...”
“Aku udah ngajakin temen-temenku, Bang... tapi begitu tahu rumahku di sini, semua orang tiba-tiba punya kesibukan. Mereka takut sama isu si Kunti.”

Bang Dicky mengangguk-angguk. Pandangannya masih kosong.

“Hati-hati ya sama si Zaki,” kata Bang Dicky kemudian. “Kalau dia mulai macem-macem, telepon Dicky.”
“Ya, ya...”
“Zaki tuh agak... mesum orangnya.”

Ember, batinku. Dan sejak awal pun aku sudah tahu... bahkan aku sudah mesum-mesuman bareng cowok itu.

“Agas nggak apa-apa kan sendirian? Maksudnya, nggak ada Dicky di sini?” Bang Dicky terlihat khawatir. “Entar gimana kalo si Kunti muncul...”
“Udah ih, Bang... jangan dipikirin mulu... kan ada Bang Zaki... tenang aja.”

Begitu aku menyebut nama Zaki, Bang Dicky justru terlihat lebih cemas.

“Ya udah...” katanya akhirnya, menyerah dengan segala kekhawatirannya. “Tapi inget ya... jangan macem-macem. Apalagi sampe masuk ruang yang dikunci di belakang—“
“Aku nggak masuk ruangan itu!” potongku. “Udah kubilang, kemaren tuh aku lihat kucing masuk ke situ, niatnya mau aku keluarin, tapi belum juga aku masuk Bang Dicky udah nongol... lagian pintunya dikunci. Sejak aku datang ke sini pun udah dikunci.”

Bang Dicky menghela napas. Dia lalu bangkit dari duduknya dan memelukku. “Jaga diri baik-baik, ya...”

-XxX-

Masih ingat kan, kapan itu aku pernah nyerita kalau ada dua ruangan di rumah Granny yang dikunci? Nah, kemarin-kemarin, mungkin sekitar empat atau lima hari yang lalu, aku sempet punya kejadian yang bikin kaget.

Waktu itu sekitar jam lima sore. Aku lagi nonton Penguin of Madagascar sambil nyemil keripik Bukan Si Emak (di Bandung sekarang sedang perang keripik, dan aku sudah agak lama murtad dari Maicih). Saat aku mengambil minum di dapur, kulihat seekor kucing melompat dari atas lemari dan menghilang di koridor yang menuju salah satu “kamar terkunci”. Kucingnya warna emas, kok. Bukan kucing hitam gelap yang kupikir bakal banyak berkeliaran di rumah hantu macam begini.

Aku mengikuti kucing itu karena pada dasarnya aku suka kucing. Sumpahnya, aku sama sekali nggak kepikiran buat masuk ke kamar terkunci tersebut.
Pertama, ruangannya terkunci, and I have no idea where is the damn key.
Kedua, sejak menginjakkan kaki di sini, Granny sudah mewanti-wanti untuk nggak masuk ke ruangan tersebut, dan Granny bicaranya seolah di dalam ruangan itu ada tahanan paling mematikan, lebih mematikan dibandingkan Sirius Black.
Ketiga, aku cukup banyak nonton film horor, dan aku sudah menyimpulkan bahwa kehororan selalu dimulai saat si tokoh utama melanggar peraturan dari yang punya tempat.

Nah, aku jelas nggak mau menambah kehororan dalam hidupku. Jadi aku sama sekali nggak keberatan nggak pernah tahu ada apa di dalam kamar tersebut.

Tapi begitu aku membuntuti kucing itu, aku menemukan kucing itu lenyap ke balik pintu kamar yang terkunci. Kucing itu menembus pintu, seperti hantu. Dan setelah tiga detik berada di dalamnya, dia mengeong-ngeong seperti memanggilku.

Berhubung kuntilanak saja sudah pernah kulihat di atas lemari, aku nggak kaget lagi melihat kucing menembus pintu. Yang kuherankan adalah kenapa si kucing terus menerus mengeong dari dalam. I mean, kalau di dalam kamar itu gelap, kenapa dia nggak keluar lagi saja dan mencari makanan di sini? Dia bisa menembus tembok, kan?

Aku, yang merasa dipanggil-panggil oleh si kucing, berdiri terus di depan pintu dan mencari cara untuk membukanya. Bukannya aku penasaran sama kamarnya, ya—aku penasaran sama si kucing, kok. Aku membungkuk, berjinjit, mengintip ke balik engsel, mengintip ke lubang kunci, berharap ada suatu petunjuk yang menarik atau apa...

Tapi setelah dua menit berjuang keras, aku nggak menemukan apapun. Bang Dicky keburu muncul dan agak ngambek waktu melihat aku main-main di depan kamar terkunci itu. Sedikit banyak aku tersinggung waktu Bang Dicky menuduhku mencoba menjebol kunci kamar itu.

Ya sudah, lah. Lagipula sejak awal aku memang nggak berniat masuk ke kamar itu. Bahkan jika kuncinya menggantung di lubangnya, aku tetap nggak bakal membukanya. Kurang kerjaan.

—n3nEEq uDzz nY4mvve bnDr4 , , zAqqY uDzz d4t4N9 LuMzz ? ?—

Astaga... apa sih yang Granny sms-in ini? Bahasa Rusia, hah?

—belum. Msh di jalan katanya—

Sudah dua puluh menit berlalu sejak Granny dan Bang Dicky meninggalkan rumah. Aku mati gaya di ruang tengah, bosan browsing internet dan acara teve jam empat sore belum ada yang menarik. Tugas sosiologiku nyaris selesai tapi skorsing masih empat hari lagi—aku masih punya banyak waktu.

Hmmmh... ngapain, ya?

Workshop dikunci nggak, ya?

Aku sudah beberapa kali masuk lagi ke workshop demi bisa melihat penampakan si Cupid yang terbaru. Aku jadi terobsesi sekarang. Selalu berpikir bahwa bisa saja si Cupid melompat keluar dari frames, mengajakku ngobrol, syukur-syukur bisa mengabulkan tiga permintaanku seperti Om Jin, atau empat permintaan, lalu mungkin saja bisa jadi hantu peliharaanku... kapan itu aku pernah sengaja mengelap frames The Cupid hanya karena penasaran apakah akan keluar Cupid dari dalamnya.

Tapi penampakan yang kutunggu-tunggu itu tak kunjung terjadi. Minimal mata mengedip, deh. Nihil. Mungkin karena saat aku masuk ke workshop, Bang Dicky selalu ada di sana, mengawasiku. Dia jadi makin nyebelin sekarang. Setiap masuk workshop aku selalu dijaga ketat. Memangnya Bang Dicky nyimp—

KLETAK! KLETAK!

Apa itu?!

Aku mendongak dan duduk tegak di atas sofa. Kepalaku langsung memutar ke arah dapur dan mataku waspada. Jantungku berdegup kencang. Sumpah deh, yang barusan bikin kaget. Aku lagi asyik-asyiknya melamun tiba-tiba suara itu muncul begitu aja.

Suaranya seperti... baskom plastik yang jatuh ke atas lantai. Tapi suaranya keras sekali. Sekeras suara petasan.

Perlahan-lahan aku menyandarkan lagi punggungku ke sandaran sofa. Aku juga berusaha menenangkan jantungku. Kejadian suara-suara mistis memang lumrah terjadi di sini. Tiba-tiba benda jatuh lah, tiba-tiba lampu gantung bergoyang-goyang, atau tokek yang bernyanyi tiada henti, apapun yang menyeramkan bisa terjadi. Aku cukup terbiasa dengan suara-suara benda jatuh itu. Hanya saja yang barusan benar-benar keras.

KLETAK! KLETAK! KLETAK!

Nah, kan. Muncul lagi.

Aku terduduk di atas sofa selama beberapa menit. Bingung antara berdiri dan mengecek ke dapur apa yang terjadi, atau membiarkan itu berlalu begitu saja. Setelah semenit bergumul dengan pikiran sendiri, aku memutuskan untuk kembali merebahkan punggung ke sandaran sofa. Aku anggap saja si Kunti sedang asyik bermain atau apa gitu, jadi aku nggak perlu gangg—

KLETAK! KLETAK! KLETAK! KLETAK!

Oke-oke-oke. Aku ke sana sekarang.

Fiuh. Setan yang satu ini agak maksa, ya? Gampang ngambek.

Aku berjalan dengan hati-hati ke arah dapur. Di tanganku sudah ada majalah yang kuambil dari bawah meja, jaga-jaga andai aku mesti menggulungnya dan memukulnya ke pembuat onar barusan. Jujur aja aku deg-degan. Amat sangat deg-degan.

Tapi aku yakin kok, semua bakal baik-baik aja. I mean, se-harm apa sih hantu? Mereka nggak bisa bunuh manusia, kan? Mereka bahkan nggak bisa menyentuh kita... Tangan mereka menembus badan kita saat mencoba memeluk... atau at least, begitulah yang kulihat dari serial Casper.

Ketika aku tiba di dapur, ruangan itu kosong—ha, sesuai dugaanku, kan? Tapi mungkin di salah satu sudut ruangan ini, di balik lemari piring atau di langit-langit, ada seekor Kuntilanak sedang memperhatikanku atau apa gitu, jadi aku mesti jaga-jaga.

Aku menggulung majalah yang kupegang, membuatnya seperti pentungan. Saat aku melihat majalah apa yang sedari tadi kubawa... Oh, great... ternyata majalah Misteri. Ckckck. Cocok banget, em?

Aku berjalan layaknya pemain bisbol yang siap mengayunkan tongkatnya. Mataku waspada. Lirik kanan. Lirik kiri. Agak curiga dengan pintu lemari makan yang terbuka sedikit. Juga posisi teflon yang digantung yang menurutku agak miring sedikit. So where’s the Kunti? Where are you hiding, Bitch?

Miiaawww...”

ARGH!” Aku melompat kaget menabrak dinding dan nyaris menjatuhkan sebuah sapu. Dengan terkejut aku langsung menoleh ke sumber suara...

Di atas kompor sedang berdiri kucing keemasan yang kulihat tempo hari. Kucing itu menatapku seolah aku ini tolol. Dia mengeong beberapa kali sambil mengendus-endus udara untuk mencari pijakan melompat.

Heh! Kamu hantu, ya?!” seruku menodongnya.
Miaw.”
“Kamu makhluk halus?!”
Miaw.”

Gemetaran, aku memutar otak. “Kamu... kamu kuntilanak, ya? Menjelma jadi kucing?”
Miaw.”

Astaga. Aku nggak lagi ngobrol ama kucing, kan? Kenapa kucing ini menjawab pertanyaanku? Kebanyakan kucing kalau kuajak bicara biasanya langsung menatapku heran, memandang seolah aku ini orang gila.

Kucing itu melompat. Hop! Dia lalu berjalan melewatiku, mengeong lagi, dan bergegas menuju kamar Granny.
Miaw!” panggilnya.
“Apa?”

Kucing itu menatap pintu kamar Granny, lalu menatap ke arahku... penuh harap.
Miaw,” katanya.
“Kamu pengen aku masuk ke kamar Granny, hah?”
Miaw.”
No way!”
Miaw.”

Kucing itu menghampiri pintu Granny lebih dekat. Salah satu kakinya mengais-ngais kusen pintu, mencoba membukanya.

“Kamu nggak bakal bisa masuk ke kamar Granny!” ejekku, sambil menghampirinya. “Pergi kamu!”

Kucing itu menoleh. Menatapku. Lalu memutar bola matanya. Dan dua detik kemudian dia berjalan menembus pintu. Lenyap ke balik kamar Granny...
Sialan. Aku lupa kalau dia hantu!

Tiba-tiba saja kucing itu menjulurkan kepalanya dari dalam, menembus pintu—hanya kepalanya saja. Dia menatapku lagi. Lalu menjulurkan lidahnya. “Weeekk!” cibirnya.

“Sialan!” umpatku.

Aku langsung mendobrak pintu kamar Granny, yang pada dasarnya memang nggak dikunci, dan langsung menemukan kucing itu sudah ada di atas meja rias. Dia seperti pesulap saja... bisa berada dimana-mana dalam hitungan detik.

“Sebenernya kamu mau ngapain?!” Aku berkacak pinggang dan melotot menatap hantu kucing itu.
Miaw-miaw,” jawabnya.
“Kalo ngomong yang jelas, deh!”
Miaw.”
“Apa?!”
Miaw.”

Percuma. Apapun pertanyaannya, jawabannya pasti Miaw. Kucing hantu ini jelas nggak bisa bahasa Indonesia.

Do you speak English?” tanyaku, just in case ternyata dia bisa bahasa manusia.
Miaw.”

Oh, forget it!
Lama-lama aku jadi orang tolol berharap seekor kucing bisa berbicara layaknya manusia. Seekor hantu kucing, to be exact.

Kucing itu lalu mengendus-endus laci meja rias. Berkali-kali dia mengeong lagi, menatap mataku, lalu mengendus-endus lagi. Aku bergeming di posisiku, belum mengerti maksudnya apa. Setelah akhirnya dia mengais-ais laci meja rias, aku akhirnya mengerti kalau dia ingin aku membuka laci itu.

“Tapi kamu kan hantu! Tembus aja langsung kalo mau masuk,” kataku.
Miaw, miaw.” Kucing itu lalu memperagakan tangannya yang menembus ke dalam laci, menunjukkan bahwa “bukan mau masuk, tapi mau buka!”

Aku melipat tangan di depan dada, memicingkan mata. “No way, aku nggak mau buka laci Granny, karena itu kan privacy!”
Miaw.” Kucing itu memelas. Matanya bulat besar dan berkaca-kaca... mirip kucing oranye di film Shrek yang sering memberikan tatapan memohon. Tinggal diberi sepatu bot dan topi koboi, kucing hantu ini pasti bakal mirip dengan Puss The Boot.

“Nggak!”
Mew...”

Astaga. Makin sini kucing itu makin imut-imut. Padahal dia hantu!

“Oke! Tapi cuma buka aja, ya...”

Kucing itu terlihat gembira. Dia mundur beberapa langkah mempersilakanku membuka laci Granny. Huh, sialan. Kok bisa-bisanya aku nurut sama hantu.

Hantu kucing, pula.

Ketika aku membuka laci itu—yang ternyata nggak dikunci, padahal aku sudah berharap lacinya terkunci sehingga aku nggak perlu membuka apapun—kucing itu langsung melompat ke dalam dan mengarahkan kaki kanannya ke salah satu benda.

Miaw-miaw-miaw!”

Aku membelalak menatap benda yang ditunjuk si kucing. Kuambil benda itu, kuangkat, dan wajahku pucat tak percaya. “Oh my God! Granny punya G-string?! Disimpan di dalam laci?!”

Dan G-string-nya warna merah!

MIAAAWWW!!” pekik kucing itu marah. “Miaw-miaw-miaw-miaw-miaw!” Kucing itu menjejak-jejak laci, menunjuk benda yang dimaksudnya.
“Jadi maksud kamu tuh bukan G-string ini? Emang apa yang pengen ditunjukkin, hah?”
Miaw-miaw-miaw.” Kucing itu tetap menunjuk ke arah yang sama. Arah tempat aku meraih G-string merah milik Granny barusan. Tapi aku nggak melihat apa-apa lagi selain G-string ini dan...

Astaga! Ini vibrator?!

Aku menarik alat itu ke depan mukaku dan membelalak tak percaya. Baru sekarang aku melihat benda seksual macam begini—I mean, secara langsung. Benda ini nyata! Dan Granny memilikinya! Warnanya pink pula... gimana cara menyalakannya?

MIAAAWWW!!” kucing itu menjerit lagi.
Aku terkejut dan nyaris menjatuhkan vibrator itu.
Miaw-miaw-miaw!”

Dasar kucing sialan! Maunya apa, sih?!

Dengan jengkel, aku merogohkan tanganku ke dalam laci. Kali ini aku menggapai-gapai apapun yang ada di dalamnya. Kucing hantu itu sekarang mengawasiku bak komandan mengawasi latihan prajuritnya.

Astaga, Agas... kamu ini dihipnotis atau apa, sih? Kok mau-maunya nurut sama hantu?

Mendadak, aku merasakan jemariku menyentuh sesuatu yang bergemerincing. Benda tersebut dingin... dan keras, seperti logam... dan saat aku mencoba menggenggamnya...

Kunci?

-XxX-

Baiklah, ini terakhir kalinya aku menuruti perintah kucing. Baik itu hantu, maupun nyata. Aku selalu mengganggap kucing tuh hewan yang lucu. Tapi ketika aku menyadari bahwa aku sudah dimanfaatkan oleh seekor kucing hantu, aku merasa sangat tolol. Sekurangkerjaan apa sih aku ini?

Miaw...” Kucing itu menyeringai lebar. Mirip banget sama kucing gendut di film Alice in Wonderland.

Satu meter di hadapannya, aku tersihir, menatap pintu “kamar terlarang” yang kini ada di hadapanku. Sejak kunci itu kutemukan di dalam laci, si kucing hantu langsung heboh menggiringku ke belakang rumah, tepat ke kamar terlarang itu. Awalnya aku langsung menolak membuka pintu itu dan berniat menyimpan lagi kunci itu. Tapi rasa penasaranku ternyata membuatku ragu.

Kucing hantu itu memohon-mohon dengan ekspresi yang ingin dikasihani. Jujur aja aku nggak ngerti maksudnya apa, tapi pikiranku jadi berkembang kemana-mana. Bagaimana jika di dalam ruangan itu terkubur jasad si kucing yang penasaran? Yang membuat hantunya kini berkeliaran di sekitar rumah? Bagaimana jika Granny punya sisi gelap yang nggak diketahui banyak orang, misalnya hobi membunuh kucing (mungkin karena sebal atau benci bulunya atau apa gitu) dan menyimpan mayat si kucing di dalam kamar terlarang ini.

Atau apapun bisa terjadi, deh. Nggak mungkin seekor kucing hantu muncul tiba-tiba dan memohon padaku untuk membuka pintu itu. Pasti ada alasan di balik semua itu.

Saat keraguanku akhirnya memenangkan keinginan untuk membuka pintu, tiba-tiba muncul sebuah bisikan di telingaku.

“Kalo aku sih, nggak bakal mau deh buka pintu itu...”

Suara itu begitu kecil, tapi aku dapat mendengarnya dengan jelas, kata per kata. Suaranya seperti anak kecil laki-laki. Dan seperti berada jauuuuh sekali.

Bisa jadi itu anak kecil yang sedang bermain di luar sana, kan? Bisa jadi suara itu berasal dari anak-anak tetangga kami. Atau suara teve.

Eh, aku menyalakan teve nggak, sih?

Miaw...” eong si kucing, menyela pikiranku. “Miaw...” Dia memelas lagi.

“Nggak.” Aku menarik napas. “Aku nggak mau buka pintu ini. Granny ngelarang aku buka pintu ini.”
Miaw.”
“Emangnya ada apa sih, di dalem?”
Miaw miaw.”
“Tapi aku kan nggak ada hubungannya sama itu!”
Miaw.”
“Apa?”
Miaw miaw miaw.”
“Ngomong yang jelas, dong!”

Jantungku berdebar menatap pintu itu. Otakku bergumul keras. Aku lagi nggak berhalusinasi, kan? Kucing itu tampak nyata di hadapanku. Begitu juga pintunya, kuncinya, rasa penasaranku... tapi kenapa sulit sekali untuk memutuskan antara membuka atau nggak membuka?

Kucing hantu itu berjalan ke arah kakiku, tiba-tiba kepalanya mengelus betisku—meski sebetulnya, aku nggak merasakan apa-apa. Hanya hawa dingin yang menggigit. Dia mengeong lagi. Menatap mataku dengan pandangan memelas. Dengan mata bulat berairnya itu.

Selama tiga menit, aku bimbang memutuskan. Kakiku bahkan sudah kesemutan karena kelamaan berdiri. Tapi akhirnya, “Nggak,” sahutku mantap, “Aku nggak bakal buka pintu ini.”

Aku pun bergegas menuju kamar Granny dan meletakkan kunci itu kembali ke dalam lacinya. Aku nggak akan membuka pintu itu sampai kapanpun.

-XxX-

Tapi ngomong-ngomong, Granny-nya juga lagi di Jakarta, kan? Dia nggak bakal tahu.

Lima menit sejak aku meletakkan kunci itu kembali ke lacinya, aku mengambilnya lagi dan akhirnya membuka pintu itu. Hanya sebentar saja. Niatku sih hanya membuka pintu itu, menyalakan lampu, melihat-lihat, mematikan lampu, lalu keluar dan menguncinya lagi. Hanya itu. Hanya... lima menit saja.

Tapi sekarang sudah... dua puluh menit sejak aku masuk ke kamar terlarang itu. Si kucing hantu nggak kelihatan lagi batang hidungnya dimana-mana, bahkan di dalam kamar terlarang tersebut. Sementara aku, anehnya, sedang asyik melihat foto-foto berpigura cantik yang menggantung di salah satu dinding. Jumlahnya banyaaaak sekali. Aku nyaris mengira ini studio foto tersembunyi atau apa, gitu.

Dinding itu dilapisi wallpaper klasik yang mirip dengan semua wallpaper di ruangan lain—khas rumah kolonial Belanda. Di atas dinding itu digantung puluhan foto berukuran besar maupun kecil yang dibingkai frame berpahat indah. Semua frames di sini lebih indah dibandingkan frames di workshop.

Bingkai-bingkai itu mengilat dan berpelitur, dengan pahatan bunga, batik, hingga bulu-bulu angsa. Yang menarik adalah foto-foto yang dibingkainya... percaya nggak, setelah dua puluh menit berdiri di sini, aku belum menemukan satupun foto Granny.

Aku pikir ini wall of fame-nya Granny atau apa gitu, foto-foto masa muda Granny dengan dress polkadot dan rambut sasak yang vintage—seperti yang kutemukan di album foto di ruang tengah. Tapi ternyata ini kumpulan foto sebuah keluarga kecil yang terlihat bahagia... sekaligus menyeramkan.

Keluarga itu terdiri dari seorang bapak berperut buncit dengan kumis tebal, seorang ibu kurus dengan rambut bergelombang, dan dua anak laki-laki mereka. Semua fotonya berwarna, kok, nggak ada yang hitam putih. Hanya saja gambarnya agak pudar dan pencahayaannya buruk, karena date taken-nya mungkin sekitar awal dekade 90-an. Salah satu foto bahkan bertuliskan Juni 1993.

Dari seluruh foto-foto itu, kebanyakan terdiri dari foto sang ayah dan sang ibu. Mulai dari masa pacaran, hingga punya dua anak. Mulai dari rambut sang ibu yang lurus berkilau hingga menjadi ikal bergelombang macam begitu.

Aku agak mengenal anak laki-laki sulung dalam foto-foto itu. Matanya mirip mata Bang Dicky... dan alisnya juga... bisa jadi ini foto masa kecil Bang Dicky... better, bisa jadi ini foto keluarga Bang Dicky...

Tapi masa, sih?
Kalo iya ini foto keluarganya Bang Dicky, kenapa bisa ada di rumah Granny? Kenapa bisa ada di kamar terlarang? Dan kenapa mesti “terlarang”?

Aku bolak-balik di sepanjang dinding berfoto itu, menatap satu persatu figur anak laki-laki kecil yang sementara kuduga adalah Bang Dicky. Ada foto saat alisnya mengerut ke dalam, mirip sekali dengan Bang Dicky sekarang. Dan foto saat tertawa, terdiam, atau yang di ujung sana, favoritku, saat anak laki-laki itu duduk di bangku kereta, menatap keluar jendela, benar-benar mirip dengan sosok Bang Dicky sekarang.

Aku kemudian duduk di sebuah sofa tua keras berwarna hijau lumut yang ada di situ, pandanganku menerawang ke sekeliling ruangan dan penasaran dengan ruangan ini. Jujur aja ini ruangan yang aman. Jauh dari marabahaya atau bahkan bangkai-bangkai kucing. Hanya terdiri dari satu set sofa tua dengan meja kayu jati yang berdebu, karpet tebal dengan motif berulang-ulang, lemari buku tua—tetapi terkunci dan ada kaca yang menghalanginya, lalu stand-clock besar warna coklat, hingga kepala-kepala rusa yang dijadikan hiasan dinding. Dan ruangan mungil ini sedikit pun nggak punya jendela atau ventilasi—pantas saja rasanya pengap dan lembab.

Tapi tunggu, satu lagi yang nyaris kulewatkan: di dekat stand-clock tua itu ada pintu besi kecil yang ditutupi wallpaper yang sama dengan dinding—tapi orang bodoh pun pasti tahu bahwa itu adalah pintu.

Aku beranjak dari sofa dan menghampiri pintu itu. Ada kenop yang mencuat di pinggir pintu, menggodaku untuk membukanya.

Hmmh... buka nggak, ya? Aku berpikir keras. Tapi kemudian, kalau ruangan ini saja sudah dengan lancang kumasuki, apa bedanya dengan membuka pintu besi ini? Lagipula aku sudah terlanjur masuk ke sini, kok. Dan aku yakin, semua orang yang masuk ke sini pasti penasaran dengan pintu ini.

Cekrek!

Nah, kan, nggak dikunci.

Ketika aku membuka pintu besi itu, aku menemukan ruangan gelap yang lebih lembab dan pengap dari kamar terlarang. Astaga, rumah Granny tuh sebetulnya bekas apa, sih? Kenapa bisa ada ruangan-ruangan menyeramkan macam begini?

Aku menggapai-gapai tembok di sekitar pintu, mencari tombol lampu. Tapi setelah lima menit mencari, aku nggak menemukan satu tombol lampu di mana pun. Jantungku berdebar. Hasrat “anak-baik-nurut-orang-tua”-ku kalah besar dengan hasrat penasaranku. Meski aku ragu—dan aku tahu ini adalah salah—tapi aku ingin tahu lebih banyak tentang apa saja yang ada di rumah Nenek tercintaku ini.

Aku membuka pintu lebar-lebar, membiarkan cahaya lampu dari kamar terlarang menerangi ruang rahasia ini. Tiba-tiba aku merasakan sehembus angin dingin bergerak melewatiku, menembus tubuhku yang hangat bahkan sampai mengibaskan celana pendekku. Angin dingin itu hanya menembusku dalam sekejap. Tapi berhasil membuat jantungku berdegup amat kencang. Sangat kencang, sampai-sampai kupikir aku dapat mendengar degup jantungku sendiri.

Haruskah aku meneruskan petualangan ini?

Di ujung ruangan gelap itu, melalui cahaya dari kamar terlarang, aku dapat melihat sebuah benda besar tersimpan dengan rapi dan megah. Pupilku membesar dan makin lama makin dapat melihat apa saja yang berada di ruangan gelap itu.

Dan jantungku nyaris copot...

Ya Tuhan...

Ternyata benda besar itu adalah peti mati.

-XxX-

Aku mematung ketakutan di depan pintu besi tersebut. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhku... bahkan kurasakan kakiku seperti jelly, bergetar layaknya vibrator. Parahnya, tenggorokanku tercekat dan aku nggak bisa menggerakkan tubuhku untuk maju... bahkan untuk mundur.

Aku ketakutan setengah mati.

“Agaaasss?” Sayup-sayup, terdengar suara Zaki. “Yuhuuu?”

Zaki?

Tiba-tiba saja aku tersentak bergerak dan buru-buru berbalik menuju kamar terlarang. Kututup pintu besi itu, nggak begitu rapat sih, tapi yang penting tertutup. Aku bergegas keluar dari kamar terlarang, dengan tergesa mengunci pintu kamar tersebut—dan agak susah karena tanganku gemetaran—kemudian berlari dan...

Zaki muncul dari dapur. “Agas?” Dia mengerutkan alis. “Kenapa, Baby?”

Tanpa kelihatan kentara, kusembunyikan kunci kamar terlarang di dalam saku celanaku. “Ng... nggak.” Aku menelan ludah. “Aku nggak apa-apa, kok.”

“Kok keringetan?” Zaki menghampiriku dengan cemas. Dia berusaha mengelap dahiku, tapi aku mengelak.
“Nggak apa-apa, kok. Tadi aku habis olahraga, Bang.”
“Di sini?”
“I-iya...” Secepat kilat aku memutar otak memikirkan olahraga paling masuk akal. “Cuma olahraga ringan, kok. Push up... sit up... kayak gitu, lah.”

Zaki menggelengkan kepalanya. “Kalo olahraga mah ke tempat fitnes atuh, jangan di sini. Di sini mah engap. Udah gitu deket kamar setan, lagi. Iiih... mau-maunya Baby masuk ke wilayah ini.”

“Kamar setan?” ulangku.
“Iya—Eh,” Kemudian Zaki menutup mulutnya. “Jangan diobrolin di sini. Nanti setannya keluar!”

-XxX-

Okay. Petunjuk baru.
Bukan informasi yang menyenangkan, tapi at least ada satu clue tambahan mengenai misteri rumah Granny ini. Dan mungkin juga bukan clue yang informatif, sih.

Ditambah, Zaki menolak membicarakan tentang kamar tersebut dan lebih senang membahas hubungan seks-nya dengan Mitha beberapa minggu yang lalu, cewek kampus yang toketnya rata. Apalagi sore ini aku sudah janji mandi bareng Zaki, dan cowok itu sedang bersemangat menantikan momen tersebut sehingga pertanyaan jenis apapun akan ditolaknya.

“Kenapa sih Abang nggak mau nyeritain tentang kamar setan itu?” tanyaku, pukul lima sore saat aku dan Zaki masing-masing sedang melucuti pakaian kami di kamar mandi.
“Eh, Baby... udah dibilangin, pamali ngomongin soal kamar itu jam segini. Nanti ada yang ngikutin lho, pas pulang ke rumah! Hiii...”

Aku memutar bola mata. Rumahku di sini, Idiot!

Aku nggak bisa lepas memikirkan soal kamar setan itu, soal foto-foto di kamar terlarang, dan ruangan gelap berisi peti mati. Benakku masih dipenuhi jutaan pertanyaan, sampai-sampai Zaki mesti mengguncang bahuku untuk membuyarkan lamunanku.

Tapi siapa sih, yang nggak kepikiran?
Aku harus mencari informasi lagi nih. Mungkin aku nggak bakal masuk lagi ke kamar terlarang itu. Mungkin lebih baik aku mencari di sekitar rumah saja. Melihat-lihat album foto tua punya Granny, memastikan apakah benar foto-foto di kamar terlarang adalah foto keluarga Bang Dicky.

Atau kalau perlu aku googling soal rumah ini. Barangkali ada artikel mengenai rumah Granny, gitu? I mean, di Youtube saja Granny sudah seterkenal itu. Masa di Google dia nggak famous?

“Baby?” Zaki mengerutkan alis sambil melepas celana jins-nya. “Kok ngelamun terus sih, dari tadi?”
Aku tersentak sedikit dan langsung membuntutinya melepas celana pendekku. “Eh, siapa yang ngelamun... aku lagi ngelihatin... a-air di bathub!”
Zaki menoleh ke arah bathub. “Kenapa sama airnya, Gas?”
“Nggak apa-apa...”

Nah, sekarang kelihatannya Zaki jadi kepikiran. Dia mengerutkan alisnya dan bertanya-tanya ada apa dengan diriku.

Ya Tuhan, aku harus berhenti terobsesi dengan kamar terlarang itu! Aku sudah lancang melanggar perintah Granny dan akibatnya pikiranku jadi nggak keruan macam begini. Aku harus memikirkan hal lain. Hal semacam... semacam Zaki misalnya. Otot-otot lengan Zaki yang terbentuk karena sering menjadi kuli kayu... dan misteri kenapa kulitnya bisa sebagus itu padahal dia pekerja kuli.

“Abang dari mana tadi?” tanyaku, membuka obrolan—sekaligus mengalihkan pikiranku sendiri dari kamar terlarang itu.
“Dari Pasir Koja. Nyari kayu.” Zaki melepas celana dalamnya, dan... telanjanglah dia.

Sialan. Sekarang jantungku berdebar lagi.
Berdebar karena bergairah.

Makhluk nyaris sempurna itu kini berkacak pinggang padaku, nyengir jahil, membiarkan little-jack-nya yang mungil itu berayun-ayun saat dia bergerak mengambil gayung. Dia sudah mirip patung Nabi Daud karya Michelangelo sekarang. Kecuali wajahnya.

Aku sangat mengagumi punggung Zaki yang lebar dan besar. Garis lekukan di tulang belakangnya membuatku berdebar. Apalagi kalau dia sudah mengangkat tangannya... ugh, panas dingin, deh.

Sejak Zaki sering merangkulku, membiarkan tubuh telanjangnya menghangatkan tubuhku, aku jadi punya fetish baru yang selama 16 tahun terakhir nggak pernah aku miliki. Kalau Zaki sudah merangkulku ke pelukannya, aku jadi senang bermain-main dengan puting susu Zaki, menarik-narik rambut ketiaknya dan kadang memilin-milinnya (kapan itu aku pernah berniat mengepangnya, tapi Zaki keburu tertawa geli), dan pernah juga aku memintanya mengikat kedua tangannya di pinggiran ranjang seperti Bondage di situs porno favoritku.

Anehnya, cowok ini santai-santai aja aku melakukan itu padanya. In fact, he admits he loves it! Dia bahkan mengaku, nggak ada satupun cewek yang pernah digaulinya yang melakukan hal seperti itu—no wonder, cewek kan paling payah soal sex. Mereka tuh buta G-spot! Dimana-mana selalu cowok yang berusaha keras mencari lokasi-lokasi G-spot cewek.

“Tuh, kan... Baby ngelamun lagi!” Zaki melipat tangan di depan dada, dengan ekspresi ngambek. “Mikirin apa, sih?”
“Nggak, ih... nggak mikirin apa-apa.”

Aku buru-buru melepas celana dalamku, dan... tadaaaa... langsung deh ada yang mencuat ke atas seolah sedang menantang langit. Ya, little jack-ku mendongak, lapar sambil menatap tubuh Zaki yang telanjang.

“Wah, edan bos!” Zaki menghampiriku dan langsung merangkulku. “Kangen nih, Bos!” Dia pun mencoba mengendus leherku.

“Ih, awas dulu... aku mau ngegant—aahhh—Abang, ih! Aku mau ngegantung celana dal—aaahhhh...” Astaga, nikmat sekali rasanya saat Zaki menghembuskan napasnya di leherku lalu bibirnya yang lembut itu mengecup-ngecup kulitku.

Aku merasakan tubuhku didekapnya lebih erat. Kedua tangan Zaki bergerilya di punggungku. Satu tangan mengusap seluruh punggungku, satu tangan meremas-remas pantatku. Little jack-ku terjepit di antara perut kami. Dan sensasi geli yang kurasakan dari jembut Zaki membuat little jack berdenyut-denyut.

Jujur aja baru pertama kali kami melakukan ini. Biasanya kami hanya saling mengoral, menjilat-jilat seluruh tubuh, dan saling mengocok. Aku belum pernah didekapnya seerat ini, diusapnya penuh kehangatan, dan dibuat tak berdaya seperti sekarang.

Ya Tuhan... beginikah rasanya surga...?

Jantungku berdebar makin kencang setiap ada sensasi baru yang menyentuh tubuhku. Saat jemari Zaki tiba-tiba mencubit putingku... atau putingnya sendiri yang bersentuhan dengan putingku... atau saat kedua bibirnya terkatup di daun telingaku... aaahhh...

I love you,” bisik Zaki di telingaku, sambil menghembuskan napas hangat.
I know it,” balasku, sambil menikmati tangan kiri Zaki yang sedang menelusuri belahan pantatku. “You’ve said that million times...”

You love I?” bisik Zaki lagi, bertanya, sambil menggelitiki daun telingaku dengan lidahnya yang hangat.

“Hmmhhh... Yeah...”
You love I?”
“Eh?”

Zaki sudah berada di depan mukaku—menghentikan segala aktifitasnya. Dia menatapku dengan mata berbinar, kelihatan gembira sekali. Senyumnya lebar.

Astaga. Emangnya apa yang barusan kukatakan?

You love I!” ulangnya senang.
Aku menggeleng buru-buru. “No. No. I don—“

Terlambat. Bibir Zaki sudah mengatup mulutku dengan rapat. Dekapannya makin erat—tangan kirinya meremas pantatku dengan kuat. Aku nyaris terjengkang karena mengelak, tapi Zaki terlampau kuat untuk menahan tubuhku agar tidak terjatuh. Kini dia dengan asyik melumat bibirku sambil sesekali menjilatinya dengan lembut.

“Zaki,” bisikku, di tengah terpaan kecupan itu. “Kita kan mau mandi—“
“Tunggu,” selanya, lalu mengecupku lagi sekitar lima menit, sampai-sampai bibirku kesemutan, dan akhirnya dia melepasnya juga.

“Asyik juga ternyata cipokan ama Bos!” seringainya sambil mundur. Ucok kesayangannya sudah mendongak sekarang, berdiri sekeras batu—tapi tetap saja, nggak ada bedanya dengan saat si Ucok masih tidur.

“Abang jangan nyari-nyari kesempatan, deh!” gerutuku. “Udah aku bilang berkali-kali, Abang nggak mungkin jatuh cinta sama aku karena kita sama-sama laki-laki. Yang Abang rasain tuh cuman... nafsu... atau apa lah, mungkin kena voodoo—“
“Jadi Baby nggak love I?” tanyanya sambil meraih gayung dan mulai mengguyur tubuhnya yang besar dengan air.

“Bukan gitu...” Byur! “The idea of you, loving me, is not even make sense!”
Byur!
“Apa itu artinya?”
Byur!
Zaki mulai menyiramiku dengan air yang dingin dan kami sama-sama basah sekarang.

“Bisa jadi itu cuma perasaan Abang sesaat. Perasaan seneng, atau apa gitu—“
“Kan saya udah bilang, Bos,” sela Zaki, Byur! “Saya ngerasain perasaan berbeda setiap bareng Bos. Saya sering deg-degan... atau kepikiran... waktu kemaren-kemaren mah pernah kangen pengen bobo lagi ama Bos...”

“Nah! Mungkin itu cuma perasaan kangen, bukan cinta!”
Byur!
“Eeeehhh... si Baby nggak percaya aja, huh!” Zaki mulai mengambil sabun.”Ini bukan sekedar perasaan seneng karena Bos bisa nerima saya apa adanya, seperti yang Bos bilang waktu itu. Tapi ini lebih jauh dari itu. Ada perasaan kalo saya pengen terus ada di sisi Bos, ngelindungin Bos, ngejaga Bos, dan ngelihat Bos ada di sekitar saya setiap waktu.”

“Abang lebay,” sahutku. “Baru juga kenal berapa minggu, masa ada perasaan kayak begitu?”

Aku menerima sodoran sabun berbusa dari tangan Zaki dan mulai menyabuni tubuhnya yang besar itu. Dengan lembut kubusai setiap lekuk tubuhnya yang menawan sambil berusaha keras menjaga degup jantungku yang berdebar kencang. Sensasi yang kurasakan saat jemariku menyentuh putingnya, atau menelusuri lekuk perutnya, atau saat Zaki mengangkat kedua tangannya lalu kugosok ketiaknya—dan dia masih berkicau soal perasaannya padaku—rasanya menakjubkan. Nggak heran deh kalo little jack-ku berdenyut-denyut riang dan mungkin sebentar lagi akan menyemburkan lava putih hangat jika ada sesuatu menggelitikinya.

“Dan abang serius, Baby...” Zaki menatapku dalam. “Waktu abang bilang I love you, abang bener-bener I love you.”

Oh my God, cute banget sih si Ucok ini. Coba lihat, aku tarik-tarik kepalanya ke bawah, dilepas, langsung mantul-mantul di atas jembutnya.

“Bos?”
“Eh?” Aku berhenti memainkan si Ucok.
“Bos dengerin apa yang—ada telepon.”

Kata-kata Zaki memang diinterupsi oleh dering telepon. Cowok itu langsung keluar dari kamar mandi, masih basah, penuh sabun, and of course naked, bergegas menuju telepon yang menjerit-jerit. Aku geleng-geleng kepala sambil mulai menyabuni tubuhku sendiri.

Sebetulnya, aku cinta nggak sih sama Zaki? I’m definitely gay. Dan basic-nya, aku nggak mungkin nolak kalo ditembak sama cowok macam Zaki. Who’s gonna refuse him, though? Tapi aku nggak ngerasain perasaan kangen atau apa gitu yang biasanya orang-orang bilang saat mereka jatuh cinta. Aku nggak mikirin dia waktu makan, atau mandi, atau pergi sekolah, seperti lagu dangdut yang pernah kulihat di teve, “Mau makaan... teringat padamu...No. Kalau makan, aku langsung teringat berapa karbohidrat yang terkandung dalam makanan yang tersaji di depanku.

In fact, aku lebih kangen Bang Dicky dibanding Zaki. Aku sering kangen dengan alisnya yang ekspresif, dengan senyumnya yang menawan, atau kadang teringat Bang Dicky telanjang dada di pinggir jalan waktu aku kecipratan kubangan beberapa minggu lalu. He’s so sweet. He doesn’t need to show his dick to impress me. Ada semacam aura yang... entahlah... aura yang menarikku untuk terus ada di dekatnya, karena rasanya nyaman dan menenangkan.

Dan buatku, Bang Dicky terlihat... normal. Terlihat lebih natural untuk jadi cowok yang kucintai. Badannya berisi, standar cowok late 20’s yang jarang olahraga dan nggak metrosex. Beda banget sama Zaki yang berotot, yang kadang mengaburkan rasa sukaku pada Zaki—apakah aku suka dengan kegagahannya, atau aku memang mencintainya? Juga jelas beda banget dengan Cazzo yang so cute, twinky, menggemaskan, dan gantengnya nggak ketulungan.

Wajah Bang Dicky pun biasa aja... menarik, imut, tapi—eh...
Tiba-tiba sepasang tangan muncul dari belakangku dan berusaha mendekap perutku. Zaki sudah selesai nelepon, ya?

“Abang?” bisikku. “Siapa yang barusan nelepon?”

Zaki nggak menjawab. Tangannya malah menarik tubuhku mendekatnya, lalu kurasakan otot-otot lengan besar merangkul bahuku, dan hembusan napas dingin di tengkukku—tunggu! Ini bukan tangan Zaki!

DEG!

Jantungku langsung berdentam keras seolah dipukul dengan palu kuat-kuat.

Astaga. Lengannya berbulu! Dan warnanya gelap! Ini JELAS bukan tangan Zaki!
Dengan jantung berdegup kencang, tanpa kentara aku mencoba menoleh ke belakang, melihat siapa yang sedang memelukku sekarang. Demi Tuhan, napasnya sedingin es. Dan punggungku agak tertekan karena... perut buncit?

Saat aku menoleh, benar saja...
Aku berhadapan dengan mimpi buruk.

AAAARRGGHH!!” Aku menjerit sekuat-kuatnya dan langsung melompat ke depan, terjatuh ke dalam bathub berisi air. Mataku tertutup rapat dan aku meringkuk di dalam bathub. Tubuhku gemetaran, bukan karena kedinginan. Aku menutup mukaku, nyaris menangis. “AAAARRRGGGHHH!!” aku menjerit berkali-kali, berharap bayangan itu pergi atau at least Zaki datang menolongku.

Kalian tahu apa yang kulihat?

Aku melihat pria di foto-foto di kamar terlarang sedang merangkulku dengan tubuh telanjangnya!
Pria yang kuduga sang bapak di keluarga kecil itu!

-XxX-

Tak ada penampakan hantu yang lebih buruk dibandingkan ini. Wajah pria itu sangat dekat dengan mukaku. Dia menatapku dengan matanya yang merah. Kumis yang tebal dan jambangnya tumbuh tipis di wajahnya, dan kepalanya yang botak memantulkan cahaya lampu.

Pria itu mengeluarkan napas dingin. Bibirnya menyeringai. Aku hanya melihatnya tiga detik saja, tapi aku punya cukup waktu untuk memastikan kalau pria itu adalah si “bapak” itu. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Warna kulitnya. Bentuk hidungnya. Kumisnya.

“Minum ini.” Zaki menyodoriku segelas air putih sambil membuka selimut yang menutupi tubuhku. Aku menggigil karena takut tapi dengan perlahan menerima sodoran minum itu. “Tenang, Baby... Abang ada di sini.” Dan Zaki merangkulku lagi.

“Mukanya nyeremin,” kicauku lagi, menyatakan hal yang sama berkali-kali.
“Iya, iya,” Zaki mengangguk-angguk dan kembali menarik kepalaku ke bahunya. “Ssstt, udah ya, Gas. Jangan dibahas terus. Agas udah aman di sini.”
“Aku masih inget dengan jelas mukanya!”

Zaki muncul tepat saat aku sedang meringkuk ketakutan di dalam bathub. Dia awalnya bingung, kenapa aku berteriak-teriak sendiri. Tapi akhirnya dia menarikku keluar, menghandukiku, dan membawaku ke ruang tengah. Di sana aku terus mencerocos di telinganya, “Aku lihat hantu! Hantu bapak-bapak! Dia peluk aku! Aku lihat hantu!”

Sekarang kata Zaki aku sudah aman. Aku ada di ruang tengah dan semua lampu di rumah ini dinyalakan, bahkan hingga ke lampu meja yang temaram. Televisi langsung dihidupkan untuk menghalau kesepian. Zaki bahkan menyalakan MP3 dari ponselnya, hanya demi mendatangkan ambience ramai dan alive di dalam rumah. Tapi tetap saja, bayangan hantu itu nggak bisa lepas dari benakku.

“Aku nggak ngerti, kenapa Abang bisa tenang kayak gitu, sih?” gerutuku jengkel.

Bener, deh. I mean, aku baru saja got in touch dengan makhluk dari dunia lain, yang hanya muncul beberapa detik di kamar mandi, tapi sanggup menghembuskan napas dingin dan membuatku melompat ke dalam bathub sambil berteriak. Mestinya ini jadi masalah serius. Berminggu-minggu tinggal di sini, si Kunti nggak pernah menyentuhku macam begitu. Tapi hantu yang satu ini udah melanggar batas. Terlebih-lebih batas privasiku.

“Ada hantu di rumah ini kan udah nggak aneh, Baby,” kata Zaki. “Bos juga pernah lihat si Kunti, kan?”
“Ya, tapi kan ini bukan muncul doang, ini tuh meluk! Si hantunya meluk aku!” sungutku. “Emangnya Abang nggak cemburu?”

Zaki menggeleng setelah berpikir sebentar. “Nggak, ah. Dia kan setan.”

“Harusnya ini jadi masalah serius. Ini udah melanggar batas privasiku!” Dan aku pun memuntahkan lagi uneg-unegku pada Zaki soal betapa urgent-nya menanggapi dengan serius kejadian yang kualami barusan.

Ini sudah seperti di film-film horor. Padahal apa yang terjadi di film horor kan sebetulnya nggak terjadi di dunia nyata. At least, aku yakin sih begitu. Aku masih menganggap wajar penampakan-penampakan hantu di seluruh dunia. Tapi kalo terlibat dalam kehidupan manusia rasanya berlebihan. Mereka itu makhluk halus, For God’s Sake. Halus. Nggak nyata. Seperti Casper. Seperti kucing hantu itu yang bisa menembus tembok.

“Emang kenapa sih ama setannya? Kayak gimana dia?” tanya Zaki.
“Dia tuh bapak-bapak. Ada kumisnya. Kepalanya botak, lalu perutnya—“ Tunggu. Haruskah aku menceritakan dengan detail tentang si hantu itu?

“Perutnya kenapa?”

Gimana kalo Zaki mulai tanya macam-macam? Gimana kalau pria itu adalah benar ayahnya Bang Dicky, yang sudah meninggal, yang sudah jadi hantu, yang Zaki pernah bilang dibunuh oleh Bang Dicky sendiri, lalu ketika aku menceritakan detailnya Zaki langsung ngeh bahwa itu adalah hantu Ayahnya Bang Dicky, lalu pertanyaan berlanjut ke kamar terlarang? Ini hanya hipotesaku saja, sih. Tapi mungkin juga, kan? Gimana kalau kemunculan hantu itu ada hubungannya dengan kamar terlarang? Aku bisa dimarahi Granny.

Aku sudah agak memikirkan ini sejak bermenit-menit lalu. Sejak Zaki pergi ke dapur dan membawakanku air minum, aku sudah curiga bahwa ini ada hubungannya dengan kamar terlarang tersebut.

Bisa jadi hantu itu terkurung di kamar terlarang itu dan baru bisa keluar kalau ada yang membuka pintunya. Bisa jadi itulah alasan Granny melarangku mendekati kamar terlarang. Bisa jadi si kucing hantu itu adalah pembawa malapetaka yang membuatku lalai mematuhi perintah Granny.

Sial.
Aku benci kucing deh, mulai sekarang.

“Yaaaah, ngelamun lagi!” Zaki mengepit hidungku dan menggoyang-goyangkannya. “Bos. Pantes aja kesurupan. Ngelamun terus, sih!”

“Aku nggak kesurupan!” balasku. “Aku dipeluk setan! That’s different!”
“Jadi gimana setannya? Barusan kan belum beres.”
Aku menelan ludah. “Yaa... pokoknya gitu. Hantunya nyeremin. Kayak di film-film gitu, lah, nyeremin.”

“Berdarah-darah?” tanya Zaki.
“Ya,” jawabku. Tapi kemudian teringat, sedikitpun aku nggak melihat darah. “Nggak, sih. Tapi tetep aja nyeremin.”

Zaki terdiam dan menerawang. Berkali-kali kepalanya menoleh ke arah dapur, tepat ke arah lorong yang menuju kamar terlarang tersebut. Aku sih berharap semua hipotesaku salah, bahwa kemunculan hantu itu nggak ada hubungannya dengan aku memasuki kamar terlarang.

Kami terdiam beberapa menit. Aku meringkuk di pelukan Zaki dan entah bagaimana merasa nyamaaaan sekali. Di lain sisi, cowok itu sedang sibuk berpikir. Alisnya sesekali berkerut dan rahang bawahnya bergerak kanan kiri.

“Bos yakin Bos tadi nggak ngapa-ngapain di kamar belakang?” tanya Zaki tiba-tiba.
Jantungku langsung berdegup keras. “Kapan?” tanyaku balik.
“Waktu sore tadi, sebelum mandi.”
Aku menggeleng. “Nggak,” dustaku.

Zaki mengangguk-angguk lagi. Dan berpikir lagi.
Sekarang jantungku berdetak kencang karena kedengarannya hipotesaku mendekati benar. Sialan. Andai saja hari ini aku nggak membuka pintu kamar terlarang itu. (Bahkan jika penampakan tadi nggak ada hubungannya dengan kamar terlarang, aku mestinya nggak membuka kamar itu karena Granny sudah melarangku sejak hari pertama aku di sini. )

Fuck you, Agas! You’re STUPID!

“Emang kenapa gitu, sama kamar belakang?” tanyaku hati-hati, sambil menelan ludah. Sedikit banyak, aku masih berharap hipotesaku salah.

Zaki tersentak. Kemudian menyeringai padaku. “Ah, nggak, kok. Cuma nanya aja.”
“Emang kamar itu ada setannya, ya?” tanyaku lagi. “Tadi kan Abang bilang bisa didatengin setan kalo ngobrol di depan kamar itu.”
“Itu cuma bercanda,” kata Zaki. Kemudian meringis ngeri. “Ya, pokoknya sih kata Nenek gitu.”

“Emang Granny bilang apa ke Abang?”
“Apa?”
“Bilang apa, soal kamar itu?”

Zaki terdiam, ragu untuk menjawab. Aku menduga dia sedang memutar otak, antara menyusun kata-kata yang tepat atau sekalian membual saja.

“Nggak bilang apa-apa,” jawabnya akhirnya, “Pokoknya jangan deket-deket aja, sih. Entar dibuntutin setan pas pulang ke rumah.”
“Ah, bohong!”
“Iya bener! Masa Abang cinta sama Bos pake berani boong segala, sih...”

Kami berdua terdiam. Aku meringkuk lebih rapat dan kini sedang memainkan jembut tipis yang tumbuh sampai ke pusar Zaki. Otakku masih berputar keras mencari cara, gimana mengetahui tentang kamar terlarang itu tanpa mesti menyebut-nyebut bahwa aku hari ini masuk ke dalamnya.

“Abang pernah masuk ke kamar itu?”

Kudengar Zaki menelan ludah. “Ng-nggak.” Dia berusaha keras menjaga ‘rahasia’ tersebut—kalau memang ada rahasia yang disembunyikan dariku.

“Isinya apa, sih?” tanyaku.
“Isinya?” Zaki memutar otak. “Mana tau. Kan belum pernah masuk. Paling juga barang-barang bekas, lah. Gudang.”
“Ah, kalo cuma gudang, ngapain dilarang segala? Ngapain juga bikin isu soal setan.”

Zaki mengganti channel teve, kehabisan ide untuk membawaku keluar dari topik tersebut. “Bos mau makan?” tanyanya.

Aku menggeleng.

“Saya mau ke dapur dulu, ya Bos. Lapar, nih. Belum makan. Paling masak Indomie.”
“Jangan lama-lama,” kataku, merentangkan tangan dan kaki, keluar dari zona nyaman rangkulan Zaki. “Setiap setengah menit, mesti ke sini. Temenin aku!”

“Yeee, kenapa nggak Bos aja yang nemenin saya di dapur?”
No way! Aku lagi nggak mau deket-deket kamar mandi atau dapur atau bagian belakang rumah. Hiii...”
“Ya udah, tunggu di sini.”

Zaki pun menghilang ke dapur, meninggalkanku yang frustasi mengganti-ganti channel, karena kebetulan banget nggak ada acara seru di teve. Sialan. Kadang aku menyesal nggak ikut Granny ke Jakarta. I mean, aku nggak perlu ikut ke acara Inbox-nya, kan? Aku bisa stay di hotel sepanjang pagi, nonton teve kabel hotel, mungkin explore kota Jakarta, apapun deh daripada stuck di sini dan ketemu hantu itu.

Nah, kan, coba aku ikut. Mungkin kejadian masuk kamar terlarang itu nggak akan pernah tercipta.

“Awas, dia ke sini.”

Tiba-tiba sebuah bisikan muncul di telingaku. Jantungku mencelos kaget dan keringat dingin mendadak muncul di punggungku. Suara siapa itu? Kenapa suara itu muncul tanpa wujud, dan kenapa harus dekat banget ke telingaku?!

Mataku langsung waspada melirik kanan dan kiri. Seluruh tubuhku menegang. Bulu kudukku merinding dan tenggorokanku tercekat sehingga aku nggak bisa berteriak meminta tolong. Suaranya memang bukan suara bapak-bapak. Lebih mirip suara anak laki-laki kecil yang sore tadi juga kudengar sebelum masuk ke kamar terlarang.

Dan apa maksudnya “Awas dia ke sini”? Memangnya siapa yang mau ke sin—

Shit.

Ya Tuhan...

Tanpa kusadari...

Sofa di hadapanku...

Sudah diduduki...

Oleh pria itu!

Aaaarrrgghh!!” jeritku. Tapi...
Tapi...
Tak ada satupun bunyi yang terdengar!

Aku membuka mulut, hendak menjerit lagi.
...
Nggak bisa. Nggak ada suaranya! Tenggorokanku tercekat!

Dan parahnya, kepalaku nggak bisa berpaling. Seolah aku sudah disihir menjadi patung. Harus melihat pemandangan mengerikan itu dengan jelas. Pria akhir empat puluhan, telanjang bulat, beberapa bagian di perutnya penuh cakaran, dan dari mulutnya keluar buih. Matanya yang merah memandang tajam ke arahku. Tepat ke mataku.

Badanku menggigil nggak keruan, tapi satupun nggak ada yang bisa melakukan respon dengan benar. Tangan dan kakiku kaku. Tubuhku lemas tapi tak bisa kugerakkan sedikit pun. Aku bahkan mengutuk mataku karena tak bisa kupejamkan!

“Dennis?” ujar pria itu.

Suaranya berat dan basah. Tapi di antara buih-buih mengerikan itu aku bisa mendengarnya dengan jelas. Satu kata yang obvious.

“Dennis?” panggilnya lagi.

Tubuhku menggigil nggak keruan. Tapi sedikitpun aku nggak bisa menggelengkan kepala. Aku hanya bisa menatap pria itu sambil ketakutan, berusaha menjerit meski tenggorokanku rasanya ditarik ke lambungku.

“Kenapa kamu pergi, Dennis?” Pria itu bangkit dari kursinya. Perlahan-lahan melayang ke arahku. “Kenapa pergi?” Dan dia sudah berjarak setengah meter dariku, menyebarkan aroma busuk di hidungku. “Kenapa kamu menghilang?”

“Bos?”

Aaaarrrggghhh!!”

Ketika Zaki tiba-tiba muncul dari dapur, tiba-tiba saja semua teriakan yang tadi aku coba pekikkan langsung membahana di seantero rumah. Tentunya diiringi dengan lenyapnya si pria itu. Lenyap bagai mimpi buruk di pagi hari. Dan aku menjerit-jerit nyaris sepanjang malam itu.

-XxX-

Hingga pukul 12 malam, Zaki masih memelukku dan menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. Aku tersedu-sedu dalam dekapannya, menangis dan ketakutan. Beberapa saat lalu Zaki malah mencoba bernyanyi—mungkin maksudnya untuk menenangkanku—tapi aku malah menangis makin keras dan menyuruhnya berhenti.

“Saya tanya sekali lagi, Bos,” kata Zaki. “Beneran nih, Bos nggak masuk ke dalem kamar di belakang?”

Lama aku terdiam, bingung antara berkata jujur atau melindungi diriku dari amukan Granny karena melanggar perintahnya. Kalau di sekitarku ada satu malaikat dan satu iblis yang sedang beradu-argumen, mereka pasti sedang bertengkar soal kondisiku ini.

“Nggak bisa,” kata si malaikat, “Ini harus dilaporin. Ini demi kebaikan si Agas juga.”
“Kebaikan pala lu peang,” balas si iblis, “Gimana kalo Nini-nini centil itu marahin si Agas? Gimana kalo si Agas dihukum? Misalnya dikurung di kamar terlarang itu, yang ada peti matinya itu!”
“Ya nggak mungkin lah, Ontohod!” Si Malaikat menjitak kepala iblis. “Namanya juga kamar terlarang, ngapain juga dikurung di situ. Udah ane bilangin, mending bilang aja. Kali aja si Omes ini bisa ngasih tau alesannya kenapa dilarang, gitu.”
“Nggak-nggak-nggak.” Si Iblis menggosok-gosok dagu. “Terlalu riskan. Gimana kalo si Omes ini marahin si Agas? Udah cukup dia ngelihat penampakan, malem ini. Masa mau dimarahin juga?”

Oke. Sebetulnya percakapan itu hanya ada di kepalaku saja. Sisi malaikat dan sisi iblisku memang sedang beradu mulut soal ini. Dan gara-gara itu aku jadi nggak bisa memutuskan apa yang harus kulakukan.

“Bos?” Zaki memanggil lagi.

Setelah dua menit perang batin, aku akhirnya memutuskan, “Ya, aku masuk, Bang,” sambil memeluk tubuh Zaki dengan erat, berharap penuh dia nggak marah atau gimana gitu. “Aku masuk karena disuruh kucing, Bang.”

Zaki mengerutkan alis dan bergumam, “Yaelah, si Kitty masih idup, ya...”
“Oh, nggak kok, dia udah mati. Dia hantu.”
“Maksud abang téh, dia masih gentayangan ternyata.”

Beberapa menit kami terdiam lagi.

“Sebetulnya ada apa sih sama kamar itu, Bang?” Aku memberanikan bertanya. Dilihat dari tenangnya Zaki menghadapi semua ini, dan betapa santainya dia menanggapi cerita dariku, kemungkinan besar Zaki tahu banyak hal tentang misteri kamar terlarang.

“Nggak ada apa-apa sama kamar itu. Itu cuma... yah.. kamar terlarang.”
“Kenapa sampai dilarang?”
“Karena nggak dibolehin masuk.”

Aku memukul perut Zaki sampai cowok itu meringis. “Jangan bercanda deh.. serius, nih!”

Zaki nyengir sambil mengacak-acak rambutku. “Iyalah, iya. Abang kasih tau sesuatu. Tapi Bos jangan bilang siapa-siapa lagi soal ini. Setuju?”
“Setuju,” balasku semangat.
“Dan Bos mesti mau nerima cinta dari Abang—“
“Ter-se-rah!” potongku. “Ayo kasih tau.”

Aku mendongak dan menatap wajah Zaki dengan serius. Cowok itu mengambil napas dan bersiap mengatakan satu rahasia besar yang selama ini telah menghantui pikiranku.

“Sebetulnya yang Bos lihat tuh Bapaknya si Dicky.” Zaki lalu menoleh ke arah guci besar yang ada di pojok ruang tengah. “Namanya Pak Darmo. Dia udah meninggal belasan tahun yang lalu.”

Oh.
Dugaanku benar, ternyata.

“Dia juga lagi ada di sana, tuh!”
“Apa?!” Seketika jantungku berdetak lagi dengan kencang.

Ujung dagu Zaki menunjuk guci besar itu. Tatapannya nggak seramah biasanya. In fact, Zaki melihat ke arah guci itu seolah... musuh terbesarnya ada di sana.

“Abang ngomong apa, sih?” bisikku, mulai paranoid.
“Itu, yang dari tadi nakut-nakutin Baby...” Zaki mengatakannya dengan tenang, seolah sedang mengatakan, “Itu lho, suaminya Ceu Epon yang kemaren baru pulang umroh...”

Aku mencubit lengan Zaki. “Jangan nakut-nakutin! Sengaja ya, mentang-mentang aku lagi ketakutan pake bercanda kayak gitu segala.”

“Yaaah, Baby, kok nggak percaya?” Zaki terlihat kecewa kemudian berusaha menunjukkan ekspresi serius. “Dari tadi dia emang ada di situ, kok. Merhatiin kita berdua di sini. Matanya merah... bugil... dan kanjutnya juga kecil... sama kali lah, sama saya... eh, nggak, gedean saya.”

Sejujurnya, aku sama sekali nggak kepikiran soal kanjut waktu penampakan itu muncul di hadapan mataku. “Emangnya Abang bisa lihat?” tanyaku.

Zaki menarik napas dan menghembuskannya dengan panjang. “Sebenernya sih... dari awal juga saya udah lihat, Bos.”

Aku menatap matanya.

“Sejak Bos ada di depan kamar belakang sore tadi... Pak Darmo udah berdiri di belakang Bos. Nyoba buat meluk Bos.”

-XxX-

Aku benci tinggal di sini. Benci. Mungkin aku akan pindah ke apartemen secepat mungkin. Aku bakal bilang Granny kalo aku nggak sanggup lagi tinggal bersama hantu-hantu ini, dijauhi teman dan nggak ada yang mau sleepover di sini karena ini rumah setan, dan dari awal aku benci tirai-tirai kuntilanak itu.

Aku bahkan sudah menggoogle rate termurah apartemen di Bandung—yang di Setiabudi dan Ciumbuleuit itu lumayan. Mungkin aku bakal pinjam uangnya ke bank lalu menggantinya dengan uang warisan dari Mom and Dad saat aku berusia delapan belas tahun nanti. Pokoknya aku ingin pergi dari sini.

Sekarang sudah jam dua dini hari. Dan aku nggak bisa tidur. Zaki ada di sampingku, sudah tertidur pulas sebenarnya, tapi dia jadi orang berbeda semalaman ini. Bener, deh. Sejak dia menceritakan soal rahasia kecilnya itu, dia jadi agak pendiam. Agak nggak bersemangat, bahkan saat aku mencoba menggapai Ucok-nya yang mungil itu, dia menepisnya—katanya lagi nggak mood.

Aneh, kan?

Biasanya dia sendiri yang langsung menarik tanganku dan meletakkannya di atas alat kelaminnya.

Setengah jam lalu, saat kami sudah di atas ranjang, dia sempat curhat sedikit padaku.
“Saya jadi ngerasa nggak enak, Bos. Jadi ngerasa bersalah.”
“Sama siapa?”
“Sama Dicky.”
“Kenapa?”

Zaki ragu untuk bilang kenapa, tapi akhirnya dia cerita juga.

“Soal Pak Darmo itu. Soal saya bisa lihat penampakannya itu. Semua-muanya, lah. Mestinya itu kan rahasia.”
“Abang kan cinta aku, jadi nggak apa-apa, dong,” kataku menenangkan. “Aku nggak bakal bilang-bilang Bang Dicky kok kalo Abang nyerita.”
“Bukan masalah itu.”

Zaki menghela napas lagi. “Saya ngerasa udah ngelanggar janji saya.”
“Janji apa?”
“Janji antar pria.”
“Ya janji apa?”
“Janji adalah janji.”

Aduh, di saat galau pun, orang ini bisa tetap nyebelin, ya?

Sampai akhirnya dia tertidur, dia sama sekali belum bilang janji apa yang dia langgar. Zaki bahkan keseringan melamun. Berbaring di atas ranjangku, meletakkan tangan di belakang kepala, menebarkan aroma maskulinnya dan membuatku bergidik senang melihat rambut-rambut di ketiaknya, atau putingnya yang bulat itu... tapi pikirannya melayang entah kemana. Dia agak susah diajak ngobrol.

Alhasil, jam dua pagi, dia sudah tertidur pulas sementara aku masih berbaring pura-pura tidur, menutup mata tapi masih 100% alive. Aku menarik selimutku tinggi-tinggi, tidur sambil memeluk Zaki. Sesekali aku membuka kelopak mataku kecil-kecil, mengintip, barangkali penampakan Pak Darmo muncul lagi atau apa gitu, kemudian buru-buru menutupnya lagi.

Thanks God, sampai jam dua ini, nggak ada penampakan pria itu lagi. Sejak tengah malam, aku membuka komputerku, main flight simulator, mengajari Zaki main game itu, dan aku sudah rada lupa dengan kejadian yang kualami sejak sore tadi. Hanya saja, waktu kami selesai main, naik ke atas ranjang, dan mulai tidur (dan Zaki mulai galau sendirian), aku jadi teringat lagi dengan si Pria itu.

Hmmh... sebetulnya rahasia apa saja sih yang tersembunyi di rumah ini? Beneran, deh. Makin terkuak satu petunjuk, makin besarlah rahasia itu. Makin banyaklah misteri yang harus ditemukan—bukannya makin berkurang.

Sialan. Pokoknya aku mesti pindah dari sini secepatnya... dan—

Kletak!

Oh, shit. Apalagi nih?

Sedikit-sedikit aku membuka mataku, mengintip penampakan apa yang sedang terjadi di dalam kamarku.

Ngng... Atas lemari kosong... Ngng... Ujung ranjang kosong...
Ngng...
Jendela jug—
Oh, Martha-Fokker!

Ada kuntilanak di meja rias!

Aku langsung memejamkan mata kuat-kuat, memeluk Zaki lebih erat, dan deg-degan tentunya. Saat aku mengintip lagi, kuntilanak itu masih di sana.

Kuntilanak itu memunggungiku, tapi akupun nggak bisa melihat pantulan wajahnya di cermin. Dia sedang asyik menyisir rambut. Rambut gimbal hitam yang panjang ke bawah... Si Kunti mengenakan gaun putih panjang, persis seperti di film-film. Dia asyik duduk-duduk—atau tepatnya melayang, mungkin pantatnya nggak kena-kena amat ke kursinya—sambil mengayun-ayunkan kakinya.

Aku memejamkan mata lagi. Ketakutan.
Ya Tuhan ya Tuhan ya Tuhan... cobaan apalagi sih yang mesti aku hadapi...?

Tapi lama kelamaan, aku malah penasaran. I mean, ngapain juga kuntilanak itu duduk di situ?

Aku mengintip lagi ke arah meja rias... dan si Kunti masih ada di situ...
Dia sedang...
Tunggu...
Dia sedang ngapain?

Dia sedang... menarik-narik rambutnya yang kusut. Rupanya sisir besar yang dia gunakan dari tadi tersangkut di rambutnya yang gimbal itu. Beberapa helai rambut melilit gigi sisir, sebagian sudah ada yang rontok ke lantai... dan si Kunti frustasi karenanya...

“Tau gini pake Rejoice, deh!” gumamnya.

Kuntilanak pake shampo?

Karena kesal sisirnya nggak bisa keluar dari rambut gimbalnya itu, si Kunti menghela napas dan melipat tangan di depan dada. Sisirnya dibiarkannya menggantung di rambutnya, terjebak dan terlilit kesana kemari. Dia meniup-niup poni di keningnya hingga bergerak-gerak ke atas. Kemudian dia...

... menoleh.

 Sialan!

Buru-buru aku memejamkan mata lagi, pura-pura tidur. Selama sekitar... lima menit aku pura-pura tidur. Jantungku berdegup kencang lagi dan aku memeluk Zaki lebih erat lagi. Mungkin cowok itu sudah sesak napas sekarang.

Gila. Serem banget wajahnya. Melihat wajah kuntilanak langsung ternyata lebih seram dari pada melihatnya di teve. Yang di teve kalah, deh. Meski aku hanya melihatnya sedetik saja, aku masih ingat detail menyeramkan itu. Muka pucat pasi, putih, smokey eyes, bekas luka di wajah, keriput dimana-mana, dan matanya yang merah itu... pokoknya mimpi buruk.

Sampai sepuluh menit kemudian, aku masih menutup mataku. Pokoknya sampai pagi nanti, aku nggak bakal membuka mataku apapun yang terjadi. Gimana kalo dia sekarang sudah ada di sampingku, or worse, melayang di depan mukaku? Bahaya, kan? Jadi aku memilih untuk diam saja.

Mendadak, kudengar si Kunti bersenandung. Suaranya lirih, tapi aku yakin banget dia sedang bernyanyi.

... Pernah ada... Rasa Cinta...
... Antara kita... Kini tinggal kenangan...


Hihihihihi...” Dia menyela senandungnya dengan cekikikan yang menyeramkan.

... Ingin kulupakan... Semua tentang dirimu...
... Namun tak lagi... Kan seperti dirimu, Oh Bintangku...


Hihihihihi...” Cekikikan lagi—entah apa maksudnya.

... Jauh kau pergi, meninggalkan diriku...
... Di sini aku, merindukan dirimu...


Well, suaranya bagus sih... but still, dia kuntilanak...

... Kini kucobaaa, mencari penggantimu...
... Namun tak lagi, kan seperti dirimu, Oh Kekasih...


Lagunya sebetulnya bagus, disenandungkan penuh perasaan dan mengalir dengan lembut. Aku nggak tahu ini lagu siapa—entah si Kunti membuatnya atau memang populer di kalangan makhluk halus, tapi aku suka untaian nada yang dialunkan si Kunti barusan. Rasanya seperti mendengar... suara Mom meninabobokanku.

Mungkin si Kunti bisa ikut Dunia Lain Idol!

Lama menunggu untaian senandungnya yang lain, ternyata si Kunti sudah berhenti menyanyi. Aku mengintip sedikit, sedikiiiit saja, dan melihat si Kunti masih duduk di meja rias. Dia sedang... mengepang rambutnya sekarang.

Tanpa menoleh, kulihat dia berbicara padaku.

“Tenang aja...” katanya, dengan suara lirih. “Dia nggak bakal berani masuk ke sini, kok. Dia juga takut kuntilanak...”

T-tunggu... Si Kunti bener-bener bicara sama aku, nih?

“Lagipula...” lanjutnya. “Siapa sih yang nggak takut tante, em? Hihihiihi...”

Em?
Kuntilanak itu bilang “em”?

-XxX-

Pagi harinya, aku nyaris nggak mikirin tentang Pak Darmo yang nyeremin dan bugil itu. Begitu aku membuka mata, tepat pukul tujuh, Zaki sedang tertidur lelap, tangan terlentang ke atas, selimut sudah lenyap, dan Ucok-nya yang mungil itu sedang mendongak. Dan tetap mungil.

Aku pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil, lupa kalau malam kemarin sempat dipeluk hantu saat mandi di sini. Yang kuingat justru si Kunti. Waktu aku kembali ke kamarku, dan mataku tertumbuk pada meja rias, aku teringat si Kunti yang bernyanyi di situ. Dan dia bicara padaku. Dan dia bilang “em”! I mean, aku pikir “em” hanya diucapkan banci macam Esel saja.

Trrrt! Trrrt! Ponselku.

—: m4ww oN-4iR nEccH , , nUn9TooN eS-cH3-tHe-Fee eeaa , , 9iiLeE ! baNy4Gg n4qq m03dA , ,—

Granny?
Ya Tuhan. Aku hampir lupa Granny sedang di luar kota untuk nonton acara teve.

“Bang?” Aku menggoyang-goyang tubuh Zaki. “Bangun Bang, temenin nonton, yuk?”

Teringat akan guci besar di dekat televisi, aku jadi nggak berani nonton teve sendirian. Mungkin untuk satu atau dua minggu ke depan, aku bakal puasa nonton teve. Atau kalau perlu aku streaming teve amerika aja deh dari komputer. No fucking way aku nonton sendirian selama Pak Darmo masih ada di sekitar sini.

Mudah-mudahan waktu Granny pulang, hantu pria itu bisa dimasukkan lagi ke dalam kamar terlarang.

“Bang?”

Astaga, sleephead banget sih ni orang. Apa sih kemaren istilah dari Bang Dicky...? Oh, Kebo!

“Bangun, Bang!” Aku mencubit puting susunya, tapi Zaki malah tersenyum-senyum geli. Sialan. Masa aku harus ngocok itunya lagi sih biar dia bangun? “Bang! Kebakaran, Bang!” jeritku.

Tapi Zaki masih tertidur pulas.
Ya Tuhan... gimana cara banguninnya, nih?

“Bang!” Lalu memutar otak. “Titit abang ngegedein, Bang! Segede Monas!”
Mendadak, Zaki membuka matanya, buru-buru bangun dan mengecek ke arah selangkangannya.
“Mana? Mana?”

For God’s sake! Masa sih ada orang yang bangun gara-gara dibilang alat kelaminnya gede?!

“Udah kecil lagi!” pekikku jengkel. “Lagian, dibanguninnya susah amat, sih?!”
“Mana Bos, yang gede?”
Aku mencubit puting susunya dengan kesal sampai cowok itu meringis.

“Temenin nonton teve yuk!”

Acara Inbox-nya, seperti dugaanku semula, adalah acara yang garing. Tapi better lah, dari pada Dahsyat. Orang-orang yang menonton ramai sekali. Semuanya kelihatan muda. Usia anak sekolah. Seusiaku, malah. Dan beberapa dari mereka mengenakan baju yang samaan.

Ya Tuhan, memangnya anak-anak ini nggak sekolah, hah?

Oh, itu Granny!

Seperti rencananya semula, Granny tampil mencolok di antara remaja-remaja itu. Dia mengenakan topi besar, kacamata hitam, jaket kulit merah yang mencolok, kulit keriput yang kelihatan “jelas”, dan berdiri paling depan, nempel ke panggung. Saat itu yang sedang manggung adalah Cherrybelle. Granny asyik jingkrak-jingkrak sambil ikut menyanyi.

:hear music: ... Tuhan... Tolong... Aku...
... Ku tak dapat menahan rasa di dadaku..
... Ingiiin aku memiliiiiki...
... Namun dia ada yang punya...
:hear music:

Astaga. Mana remote? Aku mau ganti channel!

Granny kelihatan seperti... anak alay. Aku saja yang melihatnya malu. Buatku, ada batasnya nenek-nenek bersikap centil. Yang barusan sudah keterlaluan. Nggak ingat umur. Mudah-mudahan nggak ada orang yang tahu bahwa aku cucu dari nenek-nenek di teve itu. Dan kenapa pula si cameraman menyorot Granny agak lama?

By the way, Bang Dicky di mana, ya?

“Ada nggak Neneknya?” Zaki berlari dari kamar mandi, hanya berbalut handuk dan tubuhnya masih lembap karena basah. “Wah! Chibi-chibi-chibi!”
“Apaan, sih?”
“Ini kan yang nyanyi Chibi-chibi-chibi.” Zaki langsung duduk di sofa, menunggu kamera menyorot Granny lagi.

Sementara itu, di dalam hati, aku berharap yang barusan adalah penampilan Granny terakhir kali di depan jutaan pemirsa Indonesia dalam acara Inbox. Mudah-mudahan—Astaga, sekarang Granny melambaikan tangannya, berharap Cherrybelle mau menyalaminya!

“Itu Nenek!” pekik Zaki. “Cantik, ya?”
“Siapa? Chibi-chibi-nya atau Granny-nya?”
“Itu, yang berdiri deket Nenek, yang baju ijo.”
Zaki pun menunjuk remaja cewek berambut panjang yang berdiri tiga orang dari Granny.

Karena malu melihat Granny bertingkah seperti itu, aku memutuskan untuk kembali ke kamar saja, online di manjam atau apa gitu. The world war III is frustating. Kadang aku sebal kalau Granny sudah berduaan dengan Jeng Nunuk, mereka bisa sangat annoying... embarassing... terlalu centil. Dan ternyata saat mereka musuhan pun nggak ada bedanya.

Aku sih, kalau musuhan, aku bakal menyebarkan gosip jelek tentang musuhku, biar dia tahu rasa—seperti yang sudah Esel lakukan duluan padaku. Atau aku akan menerornya lewat telepon. Misalnya mengatakan bahwa si Kunti lagi peluk kamu lho sekarang... dia pasti ketakutan, kan? Dan orang-orang se-Bandung raya pasti percaya kalau aku mulai berbicara tentang kuntilanak.

Eh, tunggu. Mungkin aku bisa menggunakan cara itu untuk membalas Esel!

Aku menghabiskan pagi itu dengan membaca komik di atas ranjang. Pintu kamarku terbuka, jaga-jaga kalau aku mesti lari dengan segera dalam kondisi darurat. Suara teve di ruang tengah masih kedengaran. Dan Zaki masih asyik menonton.

Baru juga beberapa menit, tiba-tiba kudengar MC bilang begini.
“Eh, gila lho! Ada nenek-nenek di sini!” Dan penonton pun riuh ramai. “Nek, Nek, sini Nek! Naik ke atas.”
Lalu beberapa penonton terdengar heboh dan salah satu MC menyatakan kekagumannya ada wanita tua di acara mereka.

Huh.
Ternyata rencana Granny berhasil. Padahal aku sempat mengira rencana Granny bakal gagal. I mean, Inbox kan outdoor, agak sulit untuk menarik perhatian. Beda dengan Dahsyat—semua penontonnya otomatis masuk teve.

Aku akhirnya turun dari ranjang, ingin melihat bagaimana penampilan Granny live di depan jutaan pemirsa. Tapi begitu aku sampai di depan pintu, menoleh ke arah teve, aku membeku.

Oh, God...

Di atas sofa, di samping Zaki, sedang duduk si Kunti.
Hantu wanita berambut panjang itu sedang... merangkul Zaki dari belakang. Dan sejurus kemudian...
Dia menoleh.

Shit!

-XxX-

“Tapi saya mesti kerja, Bos, gimana dong?”
“Tunggu bentar lagiii aja. Temen aku bentar lagi datang.”
“Berapa menit lagi?”
“Lima menit!”

Mudah-mudahan dari Padalarang ke Bandung jalanan kosong. Mudah-mudahan Cazzo menaiki Concorde atau apa gitu ke sini.

“Lho, barusan kan udah nungguin sepuluh menit, Bos.” Zaki menggaruk kepalanya, bingung antara menurutiku atau menuruti bos di tempat kerjanya. “Nanti saya telat pisan, atuh Baby.”

“Abang nggak sayang ya sama aku?”
Okay, it’s so pathetic to use “sayang” as a weapon. Tapi mau bagaimana lagi? Selama hantu Pak Darmo belum diselesaikan, aku nggak mau ada di rumah ini sendirian. Aku butuh seseorang. Siapapun itu untuk memastikan aku nggak sendirian.

“Yaah, ya sayang atuh Bos. Tapi mau gimana lagi, kan Abang juga mesti kerja, Bos.”
“Entar gimana kalo hantu Pak Darmo nyamperin aku lagi, hah?” pelasku. “Tadi pagi aja si Kunti ikut nonton bareng Abang!”
“Si Kunti mah nggak apa-apa, nggak pernah ngeganggu.”
“Nah, terus, hantu Pak Darmo gimana?”

Zaki menelan ludah, kehabisan jawaban. Untuk hantu yang satu ini, bahkan Zaki pun nggak tahu solusi tepat untuk menanganinya. Jangankan itu, untuk nyerita kenapa bapaknya Bang Dicky bisa meninggal, dan gimana cara Bang Dicky membunuhnya, Zaki berkelit minta ampun. Padahal aku sudah mengancam untuk putus hubungan dengannya—tapi kali ini Zaki agak bertanggungjawab dengan tidak menceritakannya padaku.

Sialan. Selain ketakutan, aku makin penasaran sekarang.

Yuhuuu...!” Tiba-tiba sebuah suara melengking memanggil kami.

Aku dan Zaki, yang sedang berdiri di teras, langsung menoleh ke arah gerbang. Di sana berdiri Jeng Nunuk. Dia memakai daster kembang-kembang, rambut disanggul rapi, dan di tangannya ada semacam dokumen. Aku menyipitkan mata nggak percaya melihat musuh terbesar Granny dengan beraninya muncul di halaman rumah kami.

“Nah, ada si Kakak, tuh!” seru Zaki gembira. “Bos ama si Kakak aja sampe temen Bos dateng ke sini! Saya berangkat dulu ya Bos!” Dan Zaki kabur begitu saja.

Sialan-sialan-sialan.

Begitu Zaki melesat dengan mobil kap terbukanya meninggalkan rumah Granny, Jeng Nunuk dengan malu-malu menghampiriku. Kepalanya celingukan, menengok kanan kiri memastikan Granny nggak ada di sekitar sini. Dia pun senyum-senyum palsu—nyengir maksa dan tetap celingukan.

“Jeng Allya nggak ada ya, Gas?” sapanya—masih celingukan, kali ini ke arah taman.
“Jeng Nunuk nyari apa?” tanyaku.
“Oh, Kakak nggak nyari apa-apa,” jawabnya, terlalu bersemangat. “Justru Kakak pengen ngobrol ama kamu, Gas! Yah, sharing-sharing lah. Kayak Dorce Show aja gimana...”

Apa pula itu Dorce Show?

“Kamu nggak tau apa itu Dorce Show?” kata Jeng Nunuk, terkejut. “Itu acara talkshow. Mirip program talkshow terkenal di Amerika—yang sering ada di MetroTV! Itu lho, Opera Winter.”
“Opera Winter?” Aku memicingkan mata. “Oprah Winfrey, maksudnya?”
“Nah, itu! Emangnya Kakak bilang apa barusan?”

YOU JUST SAID OPERA WINTER, BITCH!!
Aaargh!

Ya Tuhan, kenapa aku terus menerus dihadapkan dengan nenek-nenek yang bikin jengkel?!

Kami terdiam beberapa detik. Aku memandang Jeng Nunuk penuh kesal, sementara nenek-nenek itu masih mixed, antara celingukan dan mencoba tersenyum padaku.

Aku menarik napas, mencoba berpikir positif dengan kehadiran Jeng Nunuk. I mean, aku sedang menunggu kedatangan Cazzo, dan selama aku menunggu, mungkin aku bisa membuat Jeng Nunuk tertahan di sini untuk menemaniku. Hanya sampai Cazzo datang. Begitu cowok itu muncul, aku akan mengusir nenek-nenek ini.

Sejak Zaki bilang dia harus berangkat kerja, aku diserang ngeri membayangkan aku berada sendirian di rumah ini. Otakku penuh dengan bayangan hantu Pak Darmo—dan kadang-kadang si Kunti. Tiba-tiba saja aku jadi paranoid. Maka dari itu aku meminta Cazzo untuk datang ke rumahku. Dia baru saja pulang sekolah—yes, sekarang masih pukul satu siang, tapi CIS ajaibnya sudah bubaran. Cazzo setuju dan langsung mengambil motornya untuk menjemputku.

Mungkin kami mau pergi keliling kota atau whereever—yang penting aku jauh dari rumah ini. Yang penting ada seseorang yang menemaniku.

“Yuk, mari masuk!” ujar Jeng Nunuk kemudian. “Nggak usah sungkan-sungkan.”

Eh?
Perasaan ini rumahku, deh!

Aku dan Jeng Nunuk masuk ke ruang tamu, dan kami duduk berseberangan. Jeng Nunuk masih agak khawatir Granny muncul dari salah satu tempat karena kepalanya masih celingukan. Dia juga sering sekali menelan ludah dan melemparkan cengiran maksa. Di pelipisnya aku melihat keringat mengalir turun.

Kenapa sama Jeng Nunuk? Dia takut?

“Jeng Allya belum pulang, kan? Masih di Jakarta, kan?” tanya Jeng Nunuk sambil meletakkan dokumennya di meja. “Kakak tadi lihat performance dia di Inbox. Pasti pulangnya agak lama. Apalagi Jeng Allya tuh seneng banget naik pesawat. Pasti dia naik pesawat ke sana kemari dulu sebelum akhirnya nyampe di Bandung. Kamu mesti tau sifat Allya yang itu, Gas.”

I know, Bitch.

“Terus Jeng Nunuk ada apa nih nyari aku?”
“Oh, seperti yang Kakak bilang tadi, mau sharing!” Dan dia nyengir lagi.
“Soal apa?”
“Soal...” Jeng Nunuk menelan ludah. “Kamu nggak ada biskuit atau teh atau apa gitu, Gas? Camilan sambil ngobrol, lah...”

Aku memutar bola mata.
“Ada, sih.” Aku lalu berdiri dan membuka buffet terdekat tempat Granny biasa menyimpan biskuit-biskuitnya. “Tapi kalo teh ambil sendiri di dapur. Aku... aku nggak tau dimana Granny nyimpen teh-nya.”
Lebih tepatnya sih, aku lagi nggak mau pergi ke dapur. Aku tahu kok di mana Granny menyimpan teh-nya.

“Air putih juga nggak apa-apa,” kata Jeng Nunuk sambil merebahkan punggung di sofa.
“Ngng... air putih juga aku nggak tau.” Lalu buru-buru aku menambahkan, “Maksudnya, nggak usah malu-malu. Kalau mau minum, tinggal ambil aja, kok!”

Jeng Nunuk mengerutkan alis dan terlihat gugup. “Ya udah, kalo gitu, nggak apa-apa.” Jeng Nunuk pun membuka tas kecil yang sedaritadi disampirkan di bahunya dan mengeluarkan termos kecil. “Sebetulnya Kakak bawa teh sih dari rumah. Teh Dilmah lho, rasa leci. Agas mau?”

Dia menenggak termos itu lalu menawarkannya padaku.

“Enak, lho!” Dan menenggaknya lagi.

Kalau dari rumah bawa teh, kenapa minta disuguhin juga, sih?!
BITCH!!

Setelah menggigit dua biskuit, Jeng Nunuk menyampaikan maksud kedatangannya ke sini. “Kakak ke sini mau bantu, Agas,” katanya. “Yaaah, semacam solidaritas tetangga, lah.”
“Bantuan apa?”
“Bantuan kecil aja, nggak berarti apa-apa, kok. Nggak usah ngerasa nggak enak gitu...” Dan Jeng Nunuk pun menyodorkan beberapa brosur. “Kali aja Agas tertarik salah satu.”

Aku membaca dengan cepat judul-judul setiap brosur. Sebagian besar seminar, dan sebagian lagi organisasi.

Jangan Bunuh Diri, Tuhan Masih Sayang Kita (free seminar Cure The Gay)

Jika Nabi Luth Berhasil Maka Kita Akan Berhasil, bersama KH. Ahmad Jalaludin S.Ag

Jemaat Suci Pembersih Dosa, bersama Pastor Joseph Tobing

Berjalan Di Jalan Yang Lurus with Mario Teguh

Cooking The Pastry with Farah Quinn


“Oh, maaf, yang ini punya Kakak!” Buru-buru Jeng Nunuk merebut brosur bergambar Farah Quinn dan nyengir malu. “Mungkin ini tadi keselip!”

Pesantren An-Nur, memberikan cahaya bagi mereka yang tidak ingin tersesat.

“Apa-apaan ini, Jeng Nunuk?!” tanyaku, jengkel.
“Itu brosur. Kamu pasti butuh salah satu, Gas.”
“Aku nggak butuh! Aku bukan gay!”

Memangnya aku bermasalah dengan orientasi seksualku, hah? Aku memang gay, batinku, tapi bukan berarti aku bermasalah dengan hal tersebut. Menyodorkan brosur-brosur ini seolah aku frustasi dengan hidupku sendiri dan butuh seminar-seminar untuk membantu jiwaku. For God’s sake, I’m healthy! As healthy as those straights out there! I’m not even sick!

Aku membanting brosur itu di atas meja, sisanya belum kubaca tapi aku tahu isinya sama saja. Aku benar-benar tersinggung.

“Kakak tahu perasaan kamu Gas,” ujar Jeng Nunuk dengan pandangan iba. “Hidup memang berat.”
“Hidupku nggak berat, Jeng Nunuk! I’m fine!”
“Nggak apa-apa kok, Gas, kamu nggak perlu malu lagi. Kakak udah tahu kok semuanya. Kakak bisa bantu.”

For God’s sake...” Aku menggeram. “Aku nggak butuh bantuan!”
“Tenang, Sayank, minum ini.” Jeng Nunuk menawarkan tehnya. “Jangan terlalu terburu-buru. Ini semua memang sulit.”
“Nggak ada yang sulit, kok!”

Jeng Nunuk menghela napas dan tersenyum. “Kamu tuh lagi di tahap denial, Sayank. Tahap yang paling rawan.”
No, I am not!” pekikku. Aku mengepalkan tangan kuat-kuat dan menahan diri untuk nggak meninju muka wanita tua sok tau ini. “Aku baik-baik aja, Jeng Nunuk...”

Jeng Nunuk menggeleng, “Nggak-nggak-nggak, kamu lagi rentan sekarang. Tapi nggak perlu khawatir, Kakak di sini siap bantu Agas.”
“Makasih udah mau bantu, but please, I don’t need any help. ANY. Aku nggak punya problem apa-apa.”

Makin aku mengelak, aku makin terlihat seperti gay frustasi yang butuh seminar-seminar itu. Dan Jeng Nunuk malah makin menunjukkan tatapan iba saat aku menggeram-geram membantah tuduhan gaynya. Dia justru makin percaya kalau aku gay.

“Esel dulu juga punya problem yang sama kayak kamu,” kata Jeng Nunuk, tiba-tiba bercerita. “Dia agak-agak... apa yah... ada kecenderungan untuk menjadi gay. Tapi untung dia bukan gay—Esel sendiri yang nyerita. Tapi Kakak tetep nyaranin dia ikut salah satu seminar itu, baru sekali ikutan, dia langsung sembuh! Hebat, kan? Temen ceweknya tiba-tiba banyak. Cuma cowok macho yang dikelilingin sama banyak cewek.”

Temen cewek?? Semua temen Esel adalah banci!

“Dia sekarang bersih,” lanjut Jeng Nunuk. “Dia hidup bahagia.”

Bersih? Aku menggeleng-geleng kepala. Memangnya Gay tuh narkoba, hah?

“Aku juga bersih dan hidup bahagia!” sahutku. “Jadi tolong, Jeng Nunuk nggak usah repot-repot ikut campur sama kehidupan aku. Aku bukan gay!”
“Bukan?” Jeng Nunuk agak terperangah sekarang. Entah dia kecewa karena aku nggak mau mengaku juga.

“Bukan. Be, u, ka, a, en. Bukan. Okay? Buktinya apa, coba?” Aku meremas bantal sofa. “Jadi Jeng Nunuk bisa ambil lagi brosur-brosur ini.”
“Tapi seminar yang ini bagus, lho. Kamu mesti datang! Mana yah?” Jeng Nunuk mengaduk-aduk kumpulan brosurnya.
“Nggak perlu, Jeng Nunuk. Aku nggak bakal ikut seminar apa pun!”

“Nah, ini!” Dan Jeng Nunuk menunjukkan seminar berjudul, “Meluruskan Jalan, dengan narasumber Johnny Iskandar, seorang mantan komentator sepakbola yang juga mantan homosexual.”

“Di seminar ini ada door prize, hadiahnya jalan-jalan ke Pangandaran, ikut program Menyatu Dengan Alam,” tambah Jeng Nunuk. “Dan free T-shirt.”
“Cukup, Jeng Nunuk. Cukup. Aku nggak bakal ikut seminar apapun.”
“Tapi ini untuk kebaikan kamu, Gas.”
“Aku baik-baik aja!” jeritku frustasi.

Sambil terengah-engah, aku mengultimatum Jeng Nunuk. “Aku nggak punya waktu buat ini, Jeng Nunuk. Kalo nggak ada lagi yang mau Jeng Nunuk bahas selain seminar-seminar ini, Jeng Nunuk boleh pulang, sebab aku mau pergi.”

“Pergi?” Jeng Nunuk terlihat kaget. “Jangan dulu! Diem dulu di sini... sekitar... lima menit lah. Atau sepuluh.”
“Kenapa emangnya?!”
“Nggak apa-apa. Kita ngobrol-ngobrol aja sebentar.” Dan Jeng Nunuk pun mulai celingukan lagi ke arah dapur, sesekali ke luar jendela, seolah menunggu seseorang.

“Emang Jeng Nunuk lagi nunggu siapa?”
“Nggak nunggu siapa-siapa!” Jeng Nunuk tertawa—terlalu antusias, jadi buatku sangat-sangat mencurigakan. “Kakak cuma pengen, yah, sharing aja sama Agas. Ngebahas apapun yang Agas pengen, deh...”

“Tapi aku mesti siap-siap. Aku mau pergi.”

Kletak! Kletak!

“S-siapa di dapur?” tanya Jeng Nunuk, mukanya terlihat pucat. “Nggak perlu dicek!” katanya buru-buru. “Tapi di sana nggak ada orang, kan?”
“Paling juga si Kunti,” kataku—tentunya aku pun nggak sudi ngecek karena aku lagi musuhan sama bagian belakang rumah, mulai dari dapur, kamar mandi, dan semua kamar di belakang. “Di sini kan banyak kuntilanak-nya. Udah sering kok kletak-kletak begitu.”

Bukannya makin pucat, Jeng Nunuk malah terlihat lega. “Itu kuntilanak, ya!” serunya. “Itu kuntilanak lho, Gas!”
Yes, I know!” Aku memutar bola mata.

“Jeng Allya tuh emang agak edan, ya?” kata Jeng Nunuk kemudian. “Dia punya indera keenam buat lihat hantu. Dan dia juga melihara kunti buat jaga rumah.”
“Indera ke enam?” ulangku.
“Iya. Sick sense. Kamu tahu kan Gas kalo Jeng Allya punya sick sense?”

Aku menggeleng pelan. “Aku nggak tahu kalo Granny punya sixth sense.”
“Oh, ada. Dia bisa ngasih tau keberadaan hantu-hantu di sekitar kita. Kan waktu itu Masih Dunia Lain pengen bikin Uji Nyali di kamar belakang, tapi ditolak Allya. Dasar si Allya itu, nggak tahu kesempatan bagus buat terkenal.”

“Jadi Jeng Nunuk tahu soal kamar belakang itu?”
“Lho? Emangnya Agas nggak tahu? Itu kan peringkat 1 ruangan paling menyeramkan di Bandung versi Nightmareside Ardan FM. Semua orang se-Bandung raya udah tau. Ngomong-ngomong, ada biskuit lagi, nggak? Yang rasa Kelapa. Biar kayak Ruth Sahanaya.”

Seolah terhipnotis, aku berdiri ke buffet tadi, mencari-cari Biskuit Roma, sambil melamun mendapat fakta terbaru tentang Granny. Fakta ini bisa dibilang... akurat. (Karena dikatakan langsung oleh Jeng Nunuk, aku yakin dia mengatakan yang sebenarnya.) I mean, bukti-buktinya jelas. Rumah ini definitely berhantu. Dan semua orang sudah “tahu” tentang rumah ini. Dan yang membuat aku terkejut adalah Granny punya sixth sense.

Trust me, she doesn’t have any material for it.
Pribadi yang Granny tonjolkan di hadapanku jauh dari pribadi orang yang punya indera keenam. Dia kelihatan seperti... nenek-nenek centil biasa. Layaknya nenek-nenek The Jandaz yang lain. Aku nggak menemukan benda-benda pusaka dari dunia lain di sekitar rumah ini. Hanya saja memang agak mencurigakan melihat dekorasi interior rumah ini yang mirip rumah zaman Belanda di film-film horor Indonesia.

Tapi mestinya aku sudah curiga sejak awal, melihat Granny yang selalu tampak tenang menghadapi isu kuntilanak di rumahnya ini. I mean, kalo rumahku adalah rumah kuntilanak, bagiku itu masalah besar. Tapi Granny menganggap kuntilanak seolah itu adalah kucing liar yang keluar masuk rumah penduduk. Di matanya, nothing to worry.

And worse, barusan Jeng Nunuk bilang Granny melihara kuntilanak?

“Dari mana Jeng Nunuk tahu kalo Granny melihara kuntilanak?” tanyaku.
“Ya tau, lah,” jawabnya sambil mencomot dua keping biskuit, “Emangnya kamu nggak curiga Gas, kenapa si Kunti seneng banget keluyuran di komplek ini? Dan kenapa pula seneng banget nangkring di atap rumah kamu ini?”

“Kuntilanak kan ada di mana-mana.”
“Kecuali yang ini,” sela Jeng Nunuk. “Yang ini beda.”

Beda? Apanya yang beda?

Aaaarrrgghhh!!!” Tiba-tiba kudengar suara seseorang menjerit. Arahnya dari dapur.

Aku dan Jeng Nunuk sontak berdiri dan langsung menoleh ke arah dapur. Tapi aku nggak berani melenggang ke sana. Suara barusan seperti... suara manusia. Jelas bukan kuntilanak, dan jelas bukan perempuan. Hanya saja menjerit seperti perempuan, tapi aku yakin ini laki-laki.

Aaaaarrrggghhh!!” jeritan itu muncul lagi.

Aku menoleh sekilas ke arah Jeng Nunuk, wanita tua itu mukanya pucat. Tangannya gemetar dan dia buru-buru membereskan brosurnya. Kemudian seseorang kudengar berlari dari arah dapur, melangkah lebar-lebar melewati ruang makan menuju ruang tamu. Salah satu kursi di ruang makan tersenggol, dan begitu aku menoleh untuk melihat siapa yang berlari...

“Esel?!”

Capcus! Capcus! Ada setan di dapur! Aaargh!”
Esel terbirit-birit ketakutan, wajahnya pucat sekali—meski matanya tampak jelas mengenakan softlens warna hijau yang kampungan. Dia langsung menarik Jeng Nunuk keluar, kabur meninggalkanku tanpa sedetik pun menoleh ke arahku.

Satu-satunya kalimat yang kudengar terakhir kali dari mulut Esel adalah ini, “Gagal, Kakak, Gagal! I tadi ketemu genderuwo di dapur, he is peluk-peluk I! Aaarrghhh... jijik! Cepet capcus dari sindang!”

Dan mereka berdua pun hilang di jalan raya, meninggalkanku sendirian di ruang tamu.

Aku melongo terkejut di depan sofa, masih bingung melihat kejadian yang baru terjadi semenit terakhir. Pertama, kenapa bisa ada Esel muncul dari dapur? Sejak kapan dia masuk? Dan ngapain? And for God’s sake, dari mana dia bisa masuk?! Kenapa aku nggak melihatnya melintasi gerbang depan??

Kedua, kenapa dia lari ketakutan? Apa maksudnya genderuwo?? Apakah maksudnya...

Oh, shit.
Aku harus segera pergi meninggalkan rumah ini.

Tanpa berpaling lagi, aku keluar dari rumah, mengunci pintu depan dengan tergesa, dan pergi dari situ. Mungkin aku mau ke Indomart, berlama-lama di situ, sampai akhirnya Cazzo datang.

-XxX-

Sialan.
Aku nggak bawa ponsel!
Setelah sekitar lima belas menit mondar-mandir di sebuah mini market, aku baru sadar kalau aku nggak membawa ponsel, sehingga aku nggak tahu kabar Cazzo.

Aku pun memutuskan untuk pulang dan berencana menunggu di depan rumah saja kalau Cazzo belum datang. Aku yakin kok Cazzo nggak bakal masuk ke dalam rumah kalo nggak ada aku. Bahkan mungkin aku ragu kalo dia bisa berani berdiri di depan rumahku.

Sepanjang aku kabur ke Indomart, aku memikirkan beragam skenario mengejutkan yang kudapatkan di rumah. Ada kemungkinan Jeng Nunuk sharing denganku bukan karena ingin sharing. Tapi karena ingin mengalihkan perhatianku. Supaya Esel bisa masuk ke dalam rumah, dan melakukan sesuatu entah apa itu sesuai dengan yang mereka rencanakan.

Mestinya aku sudah curiga dari awal, kenapa juga Jeng Nunuk tiba-tiba mampir ke rumah Granny, mengobrol denganku, membawa-bawa brosur, celingukan seperti menunggu seseorang... I mean, itu sudah jelas, kan? Ada obvious hidden agenda di balik tingkahnya itu. Hanya saja aku masih belum tahu apa yang mereka rencanakan.

Untuk ukuran banci, Esel lumayan nekat menerobos rumahku lewat dapur dan menggunakan neneknya untuk mengalihkan perhatian. Aku sih, kalau sedang musuhan dengan seseorang, sampai mati nggak bakal mau masuk ke rumahnya. Meskipun aku mau menyimpan bom atau kecoa di bawah bantalnya.

Kira-kira apa yang mereka lakukan, ya?
Rencana jahat apa yang sedang mereka laksanakan?
Jelas banget Jeng Nunuk mau berkomplot dengan Esel karena Jeng Nunuk juga musuhan dengan Granny. Everything seems... perfect. Mereka jadi tim yang solid. Tim yang kompak.

Aku sudah tiba di depan rumah ketika otakku berspekulasi tentang rencana jahat Esel (bahwa mungkin Esel menyimpan narkoba, lalu memanggil polisi, lalu memfitnah kami—whatever can happen). Cazzo sudah ada di sana, duduk di teras rumah. Agak canggih juga dia berani masuk ke wilayah penuh aura mistis ini. Biasanya cuma nyampe gerbang komplek.

Melihat dia duduk dengan tenang di sana, aku langsung masuk ke dalam dan menemuinya. Dia memakai kaus dan celana pendek seperti biasa, tetapi di badannya tersampir juga rompi army yang masing-masing sakunya penuh dengan barang.

“Lama amat, loe!” sapanya sambil cemberut. “Gue udah di sini dari tadi, tau!”
“Aku ke Indomart dulu.”
“Ngapain?”
“Mau belanja, tapi nggak jadi. Eh, tumben-tumbenan sih pake rompi?”

Cazzo mengangkat rompinya dan menunjukkannya dengan bangga. “Ini rompi canggih, Bro!” Dari salah satunya dia keluarkan gadget kotak kecil yang belum pernah kulihat sebelumnya. “Rompi ini isinya peralatan pembasmi hantu!”

“Wah?”
“Eeehh... nggak percaya!” Dia menyalakan gadget itu. “Lihat nih, ini detector makhluk halus! Pernah dipake si mbak Citra yang Dunia Lain itu di acaranya Tukul Arwana. Keren bro! Wajib punya. Kalo ada titik warna ijo, berarti ada jin baik. Kalo merah, berarti setan jahat.”

Aku memutar bola mata. Bisa-bisanya Cazzo beli alat macam begini. Darimana dia tahu kalo alat ini akurat?

“Terus isi rompi itu apa aja?” tanyaku.
“Oh, ini?” Cazzo membuka salah satu saku rompi dan mengeluarkan beberapa benda. “Ini bawang putih... ini tasbih... terus ini... cermin Yin dan Yang...”
Cazzo membuka saku-saku lain dan menunjukkan isinya satu per satu padaku.

“Ini palu buat drakula... ini paku buat kuntilanak... terus ini, ngng... batu ali sakti dari Gunung Gamalama... Ini Qur’an, ini Injil... Ini Tripitaka... Ini... lupa lagi agamanya apa, yang pasti ini kitabnya. Kita nggak pernah tahu hantu yang kita temuin agamanya apa... terus yang ini...”

For God’s sake, ngapain sih Cazzo?” selaku. “Bener-bener useless, deh. Emangnya hantu punya agama?”
“Punya, kok!” Cazzo terdengar tersinggung. “Kata pak Kiyai, jin tuh punya agama juga.”
“Terus tujuannya bawa kitab-kitab ini buat apa? Ngajak ngaji bareng, gitu?”

“Lo tuh emang nggak kreatif banget, ya?” Cazzo menggeram. “Kitab-kitab ini kan dipakenya di kepala si hantu. Nanti si hantunya bakal ngerasa panas, kebakar, inget ama dosa-dosanya! Gitu!”

Aku menepuk dahi dan geleng-geleng kepala.
“Terus kamu berani nyimpen kitab ini di atas kepala hantunya?”
“Ya nggak, lah!” sahut Cazzo seolah pertanyaanku barusan jawabannya sudah sangat jelas. “Bukan gue yang bakal nyimpen kitab di atas kepala hantunya. Lo dong, Bro! Gimana, sih? Ini kan rumah lo!”

Eeeerrrggghhh...

“Tetep aja nggak berguna!” kataku. “Aku ngajak kamu ke sini karena minta jemput buat jalan-jalan keliling kota. Aku pengen keluar dari rumah ini. Bosan di rumah terus.”
“Oh, ngedate?” Mata Cazzo kelihatan berbinar.

Cazzo sama saja kayak Zaki, straight yang entah kenapa terperangkap jatuh cinta padaku. (Sampai saat ini aku masih yakin ini gara-gara kekuatan cupid tolol itu—kalau memang kekuatan cupid memang exist.) Yang membedakan Cazzo dari Zaki adalah gengsinya. Gila, dia cowok paling nggak mau ngaku sedunia.

Beberapa hari sebelum diskors, aku pernah meminjam salah satu buku pelajarannya, dan ketika aku membuka halaman paling belakang, aku menemukan banyak sekali tulisan namaku dan namanya.

Cazzo Agas Forever

Agazzo

True friend true everything, my Agas...


(Dan masih banyak lagi coretan-coretan cinta yang ditulisnya di buku itu.)
Jujur saja aku geli membacanya. Rasanya... aneh. Rasanya nggak normal. Baru kali ini aku merasa bahwa cowok mencintai cowok adalah sesuatu yang salah. Mungkin karena aku menganggap bahwa Cazzo—maupun Zaki—mestinya nggak terlibat rasa cinta kepadaku. Mestinya mereka punya dunia sendiri, jauh dari duniaku yang gay dan penuh kontroversi.

Nah, saat aku menanyakan perihal coretan-coretan itu, Cazzo mendadak pucat dan berkelit ke sana kemari. “Itu maksudnya friendship, Bro! BFF! Kayak Paris Hilton sama Nicole Richie.” Dan sampai mati pun dia nggak bakal mengaku kalau dia jatuh cinta padaku.

No, bukan ngedate!” kataku buru-buru. “Cuma... jalan-jalan biasa. Ngegerakin kaki, lah, daripada seharian diem terus di rumah gara-gara diskors.”
“Oh.” Cazzo terlihat kecewa.

Kami terdiam beberapa saat, bingung harus bicara apa. Aku sih tertegun melihat wajah polos Cazzo yang begitu bersemangatnya menemuiku, bahkan jika dia harus datang ke tempat paling ditakutinya sedunia. Ini benar-benar perjuangan yang keras buat Cazzo. Lama-lama aku jadi merasa bersalah membuatnya kecewa seperti itu.

“Tapi tempatnya kamu tentuin sendiri, bebas mau ke mana aja. Mau dibikin ngedate juga boleh—yang penting pergi dari sini,” kataku kemudian.
“Bener?” Cazzo mengangkat salah satu alisnya.
Count on me!”
Cup, ya!” Cazzo mengacungkan kelingkingnya, mengajak bersumpah. “Pokoknya lo mesti nurut pergi ke manapun gue pengen. Deal?”

Suit yourself.” Aku berbalik masuk ke dalam rumah sambil menarik tangan Cazzo. “Bentar, aku ngambil hape sama dompet dulu. Tapi temenin. Sekalian mendingan rompinya simpen di rumah aja. Ngapain juga dibawa keliling kota.”

Cazzo berdecak, kemudian berkomentar saat kami sudah tiba di ruang tamu. “Ngambil dompet aja mesti ditemenin.”
“Rumahnya kosong. Aku takut ada apa-apa.”
“Kosong?”
“Iya. Cuma ada aku aja di sini. Granny lagi ke Jakarta sama—“

“Terus yang tadi ngobrol ama gue siapa dong?!” potong Cazzo sambil ketakutan.

“Ngobrol apa?” Aku menoleh ke arahnya dan melihat wajah Cazzo sudah pucat pasi.

“T-tadi... tukang kebun lo...” Mata Cazzo bergerak kanan kiri, mulai menyadari ada sesuatu yang nggak beres.
“Tukang kebun?” Aku mengerutkan alis. “Aku nggak punya tukang kebun. Semua tanaman di sini dirawat langsung sama Granny.”

“Eeeehhh.. yang tadi, Bro! Yang di luar lagi nyiram tanaman!”
“Siapa, ah?”
“Waktu gue dateng ke sini, ada yang lagi nyiram tanaman. Bapak-bapak. Ada botaknya. Ada kumisnya juga. Udah gitu dia cuma pake celana pendek doang. Dia bilang dia tukang kebun!”

Bapak-bapak? Botak? Berkumis?
Jantungku mencelos dan aku diserang rasa ngeri. Apakah itu... apakah itu Hantu Pak Darmo?

“Gue sempet ngobrol dulu ama dia, Bro! Dia juga bilang, lo lagi keluar dulu sebentar, bentar lagi juga pulang. Udah gitu dia jalan ke belakang rumah, udah deh, lo keburu datang.”

Ya Tuhan! Sekarang hantu itu sudah berani muncul di depan umum! Pura-pura jadi tukang kebun!

Dari punggungku, langsung keluar keringat dingin karena ngeri membayangkan hantu itu mengajak Cazzo mengobrol. Apakah aku harus bilang kalo tukang kebun itu sebenernya cuma hantu? Apakah Cazzo bakal pingsan?

Nggak. Aku nggak mau satu-satunya manusia di ruangan ini pingsan gara-gara hal tersebut. Kalau Cazzo pingsan, berarti aku sendirian lagi.

Anjrit!” Tiba-tiba Cazzo gemetaran. “J-jangan-jangan... jangan-jangan tukang kebun itu hantu, ya Bro?”

Aku nggak menjawab. Satu suara pun nggak ada yang berhasil keluar dari mulutku. Entah kenapa aku jadi membisu seperti ini. Aku hanya menunjukkan... wajah pucat pasi. Makin meyakinkan Cazzo bahwa tukang kebunnya adalah hantu!

Perlahan-lahan, dengan tangan gemetaran, dia mengeluarkan gadget detector hantu dari rompinya. Keringat sudah mengucur deras dari pelipis Cazzo, diiringi helaan napas panik. Cazzo menyalakan alat itu dan meringis ngeri. Aku melirik ke arah layar yang mirip radar, dan menemukan...

... ada satu titik merah bergerak menuju bagian tengah radar... atau tepatnya... ke arah kami.

Bukkk...
Cazzo terjatuh ke atas sofa ruang tamu, pingsan dengan damainya sambil menjatuhkan detector itu ke lantai.

Tenang tenang tenang, Agas. Bisa jadi alat itu salah. Bisa jadi itu hanya alat tipuan yang dibuat untuk tujuan komersial. Titik merah itu hanya... main-main. Ya. Titik merah itu bukan hantu Pak Darmo.

Tapi sekuat apapun aku berusaha berpikiran positif, aku tetap yakin bahwa titik merah yang ada di detector itu, adalah hantu Pak Darmo. Badanku makin merinding. Kausku sudah menempel ke badan, basah oleh keringat. Dan ketika dengan perlahan-lahan aku berbalik ke belakang, persis seperti di film-film horor saat sang tokoh sedang ditatap dari belakang, aku menemukan...

Ya Tuhaaannn...

Hantu Pak Darmo sedang berdiri tiga meter dariku! Matanya merah dan dia tersenyum licik!

-XxX-

“Dennis?” tanya Pak Darmo.

Dia masih berdiri tiga meter di hadapanku, kali ini memakai celana pendek, nggak bugil kayak semalam. Aku menggeleng untuk kesekian kalinya, menyatakan bahwa aku bukanlah Dennis.

“Dennis?” tanyanya lagi.

Aku terduduk di atas sofa, tepatnya di atas tubuh Cazzo yang pingsan. Badanku gemetaran dan entah sudah berapa liter keringat dingin keluar dari kulitku. Lututku lemas, dan jangan bicara soal jantungku. Kedengarannya sudah seperti perkusi sekarang.

Bip. Bip. Bip.
Detector hantu mengedip makin keras saat Pria itu melayang makin dekat. Titik merah itupun makin besar, makin dekat ke center radar. Aku mundur perlahan-lahan, menindih Cazzo, menaiki punggung sofa.

BRAK!!

Tiba-tiba pintu depan membanting sendiri! Tertutup!

Oh, great.
Sekarang aku benar-benar tokoh utama yang menjadi korban dalam film horor.

Aku menelan ludah, berharap pita suaraku berfungsi kembali dan aku bisa minta tolong pada siapapun. Toloooonngg... batinku. Tolooonng...

Saat aku sedang ketakutan setengah mati, mencengkram apapun di sekitarku dan menyeret tubuhku lebih jauh dari pria itu, tiba-tiba muncul sesuatu dari dapur. Sesuatu itu berwarna putih... melayang... dan...

Ergh, lengkap sudah!
Sekarang semua hantu rumah ini berkumpul!
Si Kunti juga muncul, melayang ke arah Pria itu... sambil membawa teflon...

Membawa teflon?
Aku memicingkan mata menatap penampakan satu itu. Si Kunti tetap nampak menyeramkan seperti semalam, rambut gimbal kusut, gaun putih panjang, muka rusak, keriput di sekujur tubuh, bagian di sekitar mata yang menghitam, dan melayang. Tapi di tangannya, ada sebuah teflon hitam milik Granny yang sering kupakai untuk membuat telor ceplok.

Si Kunti melayang ke belakang Pria itu, begitu hening... dan sembunyi-sembunyi. Sementara hantu Pak Darmo terus menerus mengatakan Dennis. Si Kunti lalu menyeringai ke arahku, seringai yang menyeramkan sekali... gigi-giginya tajam dan keluar banyak air liur dari dalam mulutnya. Dia sekarang bergabung, berada tepat di belakang pria itu... mengantri. Mungkin antri ingin membunuhku. Atau...

Tunggu.

Si Kunti mengacungkan teflonnya ke atas...
Dan...

DOOONNNGGG!!

Dia memukulkan teflon itu ke kepala hantu Pak Darmo!!

Aku melongo menatap kejadian itu. Si Kunti buru-buru melayang kembali ke dapur, meninggalkan hantu Pak Darmo yang tersungkur ke depan, pusing karena dipukul teflon. Which makes him closer to me, now, bikin aku makin ngeri.

Hantu Pak Darmo bangkit perlahan-lahan, lalu menoleh ke belakang sebentar. Tapi rupanya itu nggak mengganggu fokusnya untuk kembali menatap ke arahku, menanyakan Dennis lagi, dengan jarak sekitar satu meter, dan detector hantu itu berkedip-kedip darurat!

“Dennis?”

Sialan. Aku sudah nempel di jendela, sekarang. Aku terjebak. Tubuhku pun beberapa kali merosot karena tanpa sadar aku menduduki tirai jendela. Jantungku berdebar makin kencang sekarang, hawa dingin tiba-tiba menusuk kulitku...

Dan lagi-lagi... si Kunti muncul dari dapur, mengacungkan teflon, melayang lebih cepat—

DOOONNNGGG!!!

Dia memukul lagi kepala hantu Pak Darmo, sampai pria itu tersungkur ke arahku, nyaris menindihku. Aku menjerit-jerit ketakutan. Tapi si Kunti malah kabur lagi ke dapur—dia pikir ini main-main, ya?!

Hantu Pak Darmo sama sekali tidak terganggu oleh ulah si Kunti yang iseng. Dia tetap mendongak, mengangkat kepalanya, menatap ke arahku, dan menusuk mataku dengan pandangannya yang mengerikan dan merah itu. Perlahan-lahan dia mengangkat tangannya, menggapai-gapai kakiku. Tangan besar berkeriput mengerikan... meraih ujung kakiku... dan...

Seketika kakiku dijalari hawa dingin yang menusuk. Tangan Pak Darmo mencengkeram kakiku—yang entah kenapa tiba-tiba membeku—dan aku nggak bisa berkutik lagi. Aku lemas. Aku nyaris menangis, tapi aku nggak bisa. Untuk menjerit pun aku tak sanggup.

Diangkatnya kakiku ke mulutnya...
Dan mulailah dia...
Mengulum jempol kakiku...

Lalu aku merasa pusing... Kepalaku terkulai ke samping. Satu-satunya benda yang masuk dalam pandanganku adalah detector hantu itu. Detector yang kini menampilkan... dua titik. Satu titik merah... dan satu titik hijau... si titik hijau tepat berada di belakang titik merah, tapi aku nggak bisa melihat apapun...

Kelopak mataku terlanjur tertutup... badanku lemas... dan... dunia ini gelap...

Aku...

Aku pingsan...

Suara terakhir yang kudengar adalah...

DOONNGG! DOONNGG! DOONNNGGG!!

-XxX-

Saat aku tersadar, aku menemukan kepalaku rasanya pusing sekali. Debar jantungku sudah berdetak normal, tapi aku masih lemas dan mengucurkan keringat dingin. Ketika kudengar beberapa suara gemerisik—dan bahkan sayup-sayup suara Granny—aku mulai sadar bahwa aku sudah siuman.

Hal terakhir yang kuingat adalah kejadian itu, saat jempol kakiku dikulum oleh hantu Pak Darmo. Entah kenapa saat aku terbangun dari pingsan, aku justru mengingatnya dengan jelas. Padahal selintas aku berharap aku lupa akan kejadian mengerikan itu. I mean, siapa sih yang berharap jempol kakinya dikulum makhluk halus?

Aku membuka mataku perlahan-lahan... cahaya lampu langsung menyerbu masuk, membuat kepalaku makin pusing. Saat pupil mataku mulai mengecil dan aku dapat melihat cahaya dengan baik, aku langsung menatap langit-langit rumah Granny.

Langit-langit ini ada di... ruang tengah.
Aku sudah ada di ruang tengah.

Untuk memastikannya, aku bahkan dapat mendengar suara teve dekat sekali. Dan ketika aku menoleh, ya, di hadapanku teve sedang menyala. Tapi siapa yang memindahkanku ke sini? Hantu Pak Darmo?

Perlahan-lahan aku mencari jam dinding terdekat, ingin tahu sekarang sudah jam berapa. Dari jam dinding Mekkah yang ada di dekat televisi sih, sekarang sudah jam tujuh malam. Sudah... enam jam aku pingsan.

Saat aku bangun, selimut yang menutupi tubuhku terjatuh. Oh, ada yang menyelimutiku juga! Dan saat aku duduk tegak di atas sofa, aku melihat Bang Dicky sedang duduk di sofa di seberangku. Aku memicingkan mata, memastikan bahwa itu adalah benar Bang Dicky. Dan ya! Itu Bang Dicky.

Dia sedang... memeluk lututnya sendiri... menatap karpet dengan pandangan ketakutan... dan badannya menggigil...

Kondisinya seperti... seperti saat Bang Dicky mengantarku ke makam orangtuaku berminggu-minggu lalu. Dia kelihatan paranoid.

“Kebetulan kamu bawa bawang putih. Nenek barusan mau numis kangkung tapi ternyata bawangnya abis. Ini buat dimasak aja, ya? Kamu suka tumis kangkung, kan? Tumis kangkung is food Indonesian. Sama enaknya kayak sfageti.”

Aku mendengar sayup-sayup suara Granny dari kamarku, sedang bicara dengan seseorang. Ketika aku menoleh ke arah kamar, kebetulan Granny baru keluar. Dia menenteng rompi milik Cazzo.

“Agas?” panggilnya. “Kamu udah bangun, Sayank?”
Aku langsung bangkit dari sofa, agak limbung karena lemas, tapi kupaksakan untuk menghampiri Granny dan memeluknya. Oke, mungkin terdengar kekanakan, tapi aku langsung menangis di pelukan Granny. Hanya itu yang bisa kulakukan. At least, aku butuh tempat untuk mencurahkan emosiku, segala kekalutan dan ketakutanku.

“Udah-udah, Sayank, sekarang di sini udah aman.” Granny mengusap-usap kepalaku dan mendekapku lebih erat. “Kamu istirahat dulu, Sayank. Kamu pasti—“
“Maafin aku, ya Gran...” selaku sambil menangis. “Aku udah lancang ngelanggar larangan Granny.”

“Udah, Darling. Nggak apa-apa, kok. Untuk sementara semuanya udah bisa dikendalikan. Sekarang mending kamu istirahat aja di kamar.”
“Aku dihipnotis kucing, Granny... padahal dari awal aku nggak niat buka kamar itu...” Aku terus saja mencerocos mengutarakan unek-unekku, kadang membela diriku sendiri dengan bilang dihipnotis (padahal aku yakin aku nggak dihipnotis kucing manapun—akunya saja yang tolol mau nurut kucing itu). Dan semua yang kualami mengalir terus dari mulutku, membuat Granny kewalahan menyuruhku diam.

Bahkan, saking lamanya aku mencerocos sambil tersedu-sedu, Granny sudah selesai mengupas semua bawang putihnya di hadapanku. Dan entah sejak kapan, talenan beserta cabe-cabe itu sudah ada di hadapan kami.

“Kita bicarain ini nanti aja, Sayank... Nenek mau masak dinner dulu. Kamu pasti belum makan seharian.”
“Tapi Granny maafin aku, kan?”
“Manusia nggak ada yang sempurna, Darling... Nenek bukan Tuhan yang berhak nyalahin seseorang. Udah deh, kamu istirahat dulu. Cup cup.”

“Tapi Granny mau cerita kan?”
“Cerita apa?”
“Soal kamar itu. Soal pak Darmo. Soal peti mati. Semuanya.” Aku membungkuk dan agak berbisik. “Soal Bang Dicky juga. Aku udah penasaran sejak dulu, ada apa sih di rumah ini? Banyak banget hal-hal yang aku nggak tau.”

“Iya Sayank, iya. Kita bahas nanti, ya?” Dan Granny pun berlalu menuju dapur.
“Aku temenin Bang Dicky aja ya, Granny?”
Eit-eit, nggak usah. Udah kamu ke kamar aja, Sayank, temenin temen kamu itu. Bang Dicky lagi pengen sendiri. Bentar lagi juga dia siuman.”

Siuman?
Emangnya Bang Dicky sedang apa sekarang? Kerasukan?

Saat aku memasuki kamarku, kulihat Cazzo sedang duduk di atas ranjangku, asyik menikmati pancake hangat yang disiram madu. Tubuhnya hanya dibalut selimutku, sementara di dalamnya dapat kulihat dia telanjang.

“Hey, Bro! Lo udah siuman?” sapanya.
“Eh, belum. Aku lagi gentayangan.”
Cazzo seketika memukul lenganku. “Jangan bercanda gitu, ah Bro! Nggak lucu!”

Aku duduk di samping Cazzo di atas ranjang, ikut menikmati pancake madu itu.

“Ngapain bugil?”
“Ah, lo nggak tau sih pengalaman gue ama tuh setan gimana. Iiiihhh... serem abis, Bro!” Terdengar nada bangga di kalimatnya, dan Cazzo antusias sekali menceritakannya. “Gue mau diperkosa, Bro! Diperkosa!”
“Ama yang mana? Yang bapak-bapak atau yang kuntilanak?”

“Yang bapak-bapak dong, Bro!” Cazzo mencubit lenganku. “Udah deh, nggak usah nyebut-nyebut nama si Tante! Gue benci!”
“Terus gimana? Jadi? Diperkosanya?”
“Ya nggak, lah... kan nenek lo keburu dateng.”

“Emang kamu lagi sadar gitu pas kejadian itu? Bukannya kamu yang pingsan duluan.”
“Iya sih. Tapi pas hantu tukang kebun itu mindahin gue ke kamar lo, lucutin baju gue satu per satu, gue kebangunin bro...”
“Bangun karena pengen nikmatin perkosaannya?”

Cazzo langsung memukul mukaku dengan bantal—salah satu pancake jatuh ke atas lantai. “Nggak lucu, ah! Apaan sih lo, motong-motong gue nyerita aja!” Dan Cazzo terlihat cemberut. Dia kelihatan cute banget kalo udah ngambek kayak begitu. Jadi nggak heran aku selalu menggodanya. “Gue bangun karena dia manggil-manggil Dennis mulu.”

“Dan kamu ngerasa nama kamu Dennis?”

Tiba-tiba saja Cazzo membekap mulutku dan menindih tubuhku. “Berisik! Gue belum selesai nyerita!”
Dalam hati aku cekikikan. Senang sekali kalo Cazzo udah jengkel macam begitu. Hihi.

“Dasar banyak omong, lu!” Cazzo pun melanjutkan bercerita sementara tangannya masih membekap mulutku. Aku mencium bau gula dari tangannya... dan meski kurus, tulang Cazzo lumayan besar. Agak ser-seran juga darahku dibekap oleh cowok seganteng Cazzo. Apalagi sekarang selimutnya terjatuh, membuatku dapat melihat tubuh kurus khas remaja, yang berotot-otot kecil, dan masih berkulit mulus.

“Tuh setan mulai ngulum-ngulum jempol kaki gue. Hiiii...” lanjut Cazzo sambil bergidik ngeri membayangkannya. “Rasanya aneh, Bro. Dingin. Jijik. Hiii...”

“Masa?” kataku, meski masih dibekap.
“Eit-eit, nggak boleh ngomong!” Cazzo membekapku makin kuat. “Lo diem aja, nggak usah ikut campur. Nggak usah banyak nanya.”
“Iya-iya iya!” Aku mendorong tangan Cazzo dari mulutku. “Aku nggak bisa napas, Cazzo! Uhhuukk!”

“Diem!”
“Iya-iya.”

Aku dan Cazzo kembali duduk manis di atas ranjang. Cowok itu menatapku waspada, takut kalau aku mengatakan sesuatu yang bisa bikin mood berceritanya hancur. Aku pun menjejali mulutku dengan pancake biar bisa diam.

“Nenek lo datang di saat yang tepat!” kata Cazzo, melanjutkan cerita. “Pas hantu tukang kebun itu mulai jilatin betis gue, nenek lo tiba-tiba muncul, ngegebrak pintu, dan ngejerit pake bahasa Sunda. Gue nggak ngerti nenek lo ngomong apa, tapi begitu dijampi-jampiin sama nenek lo, si tukang kebun kabur keluar rumah.”

“Jadi hantunya—“
“Hey-hey-hey!” jerit Cazzo. “Kan mestinya diem!”
Aku memutar bola mata.

“Hantunya nggak langsung kabur. Dia masih ada di sekitar rumah ini,” lanjut Cazzo, sambil melahap satu lagi pancake. “Nenek lo sih langsung ngejer hantu itu, sementara gue masih diem di kamar. Yaaah, jaga-jaga kamar ini lah, kali aja hantunya masuk lagi ke sini. Kalo dia masuk lagi, kan bisa gue libas! Gimana kalo ada barang-barang lo yang dicuri, coba?” Cazzo menelan ludah, nggak berani menatap mataku.

Ha-ha. Like I will believe that part?
Bagian diem di kamar aku yakin bukan karena “ngejaga kamar”. Aku bahkan membayangkan Cazzo sedang menggigil ketakutan, muka pucat pasi, terlalu lelah untuk pingsan, dan mengompol di atas ranjangku. Dari tadi aku mencium bau pesing seliweran di kamar ini.

“Nggak taunya, bener! Tuh setan muncul lagi ke kamar lo! Dan nenek lo masuk lagi ke sini, kayak lagi kucing-kucingan!” Cazzo meneguk dulu teh yang ada di nakas. “Udah gitu, kita bertiga bertarung, ngelawan hantu tukang kebun, ciat... ciat... ciat... kayak Pirates of Carribean aja gimana. Seru, lah. Sampe akhirnya nenek lo menang karena dia berhasil nyeret tuh hantu keluar dari kamar, pergi ke belakang, nggak tau deh ngapain, pokoknya dia bilang sekarang udah aman.”

Pirates of Carribean, ledekku dalam hati. Bullshit-nya kejauhan.

“Eh, tapi yang gue heranin,” Cazzo membungkuk dan mulai berbisik, “Itu abang lo kenapa? Dia kayak yang kesurupan.”
Aku mengangkat bahu.
“Lo tau sebabnya apa?”
Aku menggeleng.

“Pas si hantu tukang kebun muncul, dia langsung gemeteran. Kayak yang ketakutan. Belum pernah lihat setan, ya? Kok bisa-bisanya ada orang yang takut lihat setan sampe gemeteran kayak begitu.”

Lah, kamu sendiri kalo lihat setan langsung pingsan!!

Aku mengangkat alis dan bahuku, definitely clueless dan sama-sama wondering soal itu. I mean, selama ini Bang Dicky paling antusias nyari sosok si Kunti. Jadi kalo Bang Dicky justru gemetaran pas lihat hantu Pak Darmo (which is bapaknya sendiri), aku juga bertanya-tanya.

Mungkin karena itu adalah bapaknya... bapak yang dibunuhnya, jadi dia takut arwah gentayangan itu balas dendam atau apa gitu.

But still, kenapa yang dicari hantu Pak Darmo adalah Dennis?
Apakah ini Dennis yang sama dengan yang disebutkan Bang Dicky beberapa minggu yang lalu?

“Kok lo ngelamun? Jawab dong!” Cazzo membuyarkan lamunanku.

Aku langsung mengangkat tangan dan menggerak-gerakkannya seperti bahasa isyarat. Membuat tanda silang, menjentik telinga, menangkupkan tangan di atas punggung tangan yang lain, menyimpan dagu di jempol, apapun random seperti bahasa isyarat.

“Yeeh, emangnya lo bisu, hah? Ngomong dong...”
“Katanya tadi nggak boleh ngomong.”
“Barusan kan gue nanya. Jadi mesti dijawab.” Alis Cazzo mengerut. Dan dia terlihat makin cute.

Aku tertawa dan kembali melahap pancake buatan Granny.
“Cazzo,” kataku, lebih santai, “Sorry ya karena aku ngelibatin kamu sama kejadian ini. Sebenernya tadi aku ngajak kamu ke sini kan mau maen keluar. Aku juga pengen pergi dari sini. Pengen lepas dari teror hantu itu. Tapi, eeehhh, kita malah keburu kena perangkapnya, deh...”

Don’t worry, Bro! Gue nggak apa-apa, kok!” Cazzo nyengir. Tiba-tiba dia memelukku dan kami berdekapan dengan erat. “Gue justru seneng bisa ketemu lo hari ini. Gue...”

Hening sebentar. Aku menunggu apa yang mau dikatakannya.

“Gue...” Cazzo mendekapku lebih erat, tak mau melepaskan pelukannya, takut aku bakal bereaksi macam-macam. “Gue kangen lo, Gas.”

Kangen?

“Lo udah berhari-hari nggak sekolah. Rasanya sepi banget, Gas.”
“Oh, please,” Aku memutar bola mata, “baru juga tiga hari aku nggak masuk.”
“Ya tapi buat gue itu kayak tiga tahun. Gue kayak yang nggak punya temen di CIS.”

“Mahobianya gimana?”
“Yaelah, kan gue udah bilang, gue udah berhenti terobsesi masuk genk itu lagi. Udah bosen, ah. Kebanyakan orang. Jadinya terlalu banyak pendapat.”

Cazzo mengelus-elus punggungku, mendekap lebih erat. “Temen gue kan sekarang cuma lo.” Dan dia membenamkan mukanya di bahuku. “Satu-satunya yang ada di hati gue.”

Ya Tuhan...

Tiga menit kemudian kami baru melepaskan pelukan itu dan kamar langsung hening tanpa obrolan. Of course, gara-gara perkataan Cazzo barusan, suasana jadi canggung. Masing-masing dari kami, nggak ada yang berani memulai pembicaraan.

Aku menghela napas. Melirik Cazzo sekali, melihat dia sedang melakuan apa. Oh. Ternyata dia juga sedang melirik sekali ke arahku. Mungkin ingin melihat aku sedang melakukan apa. Ya Tuhan, kenapa kami jadi canggung begini, ya?

“Ngomong-ngomong,” kataku akhirnya, “Granny ngomong sesuatu nggak tentang hantu itu?”
Pertanyaan itu memang sudah ingin kuajukan dari tadi, hanya saja aku belum dapat kesempatan. Aku berpikir, mungkin Cazzo diberitahu sesuatu oleh Granny, misal siapa hantu itu, sejarah kematiannya, motif gentayangannya, atau apapun itu. Bisa jadi memang Cazzo bertanya banyak hal dan Granny terpaksa memberitahu. Dalam film horor pun, selalu ada bagian di mana si tokoh diberitahu “yang sebenarnya” oleh tokoh lain. Nah, “yang sebenarnya” inilah yang sudah kutunggu-tunggu sejak tadi.

Sejak datang ke rumah ini, malah.

“Hantu tukang kebun?” tanya Cazzo balik.
“Ya, yang tukang kebun. Misal kenapa dia gentayangan, lah... atau apa gitu. Atau mungkin Granny ngasih tau tentang si Dennis itu.”
“Oh, kalo itu sih nggak.” Cazzo mengerutkan alisnya dan berpikir. “Tapi nenek lo tadi cerita sih, kalo hantu itu emang dulunya tukang kebun. Dia tukang kebun halaman belakang rumah, katanya di sana banyak tanaman produktifnya. Nggak tau deh. Emang bener, ya? Ada pohon anggur? Pohon alpuket?”

Tukang kebun?
Jadi pak Darmo memang seorang tukang kebun sebelum gentayangan di rumah ini?
Tukang kebun yang bugil?
Tukang kebun dengan anak seorang pemahat bingkai?

Dia cari siapa sih, Dennis itu? Anaknya? Apakah itu...
Tunggu.
Apakah itu anak laki-laki satu lagi di foto keluarga kamar terlarang?

“Tapi oh, nenek lo juga bilang ini,” lanjut Cazzo kemudian. “Dennis yang dia cari-cari, katanya agak mirip ama lo. Badannya sih lebih mirip gue, makanya gue tadi dibawa ama dia ke kamar ini. Tapi wajahnya, mirip lo, Bro. Nenek lo yang bilang sendiri.”

-XxX-

“Kamu nggak apa-apa, kan?”
“Aku baik-baik aja. Lihat nih, masih seksi, kan?”
“Dia tadi nggak ngelakuin sesuatu yang aneh-aneh ke kamu?”
“Oh, nggak. Justru aku yang ngelakuin sesuatu yang aneh-aneh ke dia. Kayak misalnya aku ngelemparin biji kenari ke dia. Hihihi. Nanny mesti lihat mukanya kayak gimana!”


Percakapan barusan kudengar dari kamar Granny. Percakapan antara Granny dan seseorang yang entah perempuan entah laki-laki—mungkin suaranya tengah-tengah, tapi bukan suara banci—membicarakan sesuatu yang rahasia. Jelas banget mereka berbisik-bisik, tapi entah kenapa aku justru dapat mendengarnya dari kamarku.

Sekarang sudah pukul sebelas malam. Rumah sudah hening dan sepi. Aku berbaring di ranjangku, memegang novel tapi nggak ada mood membacanya. Otakku masih bercampur aduk memikirkan kejadian selama 36 jam terakhir.

Waktu makan malam tadi, Granny bersikeras untuk menceritakan tentang hal ini besok pagi. Katanya pamali membicarakannya malam-malam. Dan itu diperparah dengan Cazzo yang setuju setengah mati untuk nggak ngebahas di balik layar fenomena-fenomena yang terjadi di rumah ini. Dia lebih senang membicarakan pertarungan Pirates of Carribean-nya tadi siang.

Aku mencoba memancing agar pembicaraan tetap di jalur yang kuinginkan dengan cara menceritakan kedatangan Jeng Nunuk tadi siang. Granny kaget. Bukan kaget karena Jeng Nunuk membeberkan rahasia “melihara kuntilanak”-nya Granny padaku. Tapi kaget karena Jeng Nunuk berani-beraninya datang ke sini dan menyusupkan cucunya ke dapur.

“Dia pasti mau nyuri Kaus Morgan punya Nenek!” sungut Granny marah. “Kaus Morgan itu udah ditandatanganin langsung sama Morgan Oey, Nenek dapetin waktu Sm*sh manggung di Gasibu. Nenek tahu, Jeng Nunuk pasti sirik! Huh! Dasar nini-nini centil!”

“Ya! Dan dia nyerita soal Nenek melihara kuntilanak!” kataku sambil tertawa palsu. “Bener nggak sih, Nek?”
“Ini nggak bisa dibiarin!” sahut Granny. “Nenek bakal bales dia lebih kejam lagi! Terang-terangan aja sekalian! Lewat facebook!”

“Eh? Bukan itu, Granny... soal kuntilanak barusan—“
“Nenek punya lho, foto Jeng Nunuk lagi ngupil! Ih, jijay banget, Sayank... Zhonk banget deh kalo di-tag di facebook!”
“Wah, bagus deh kalo gitu!” Aku menyeringai. “Terus, soal kuntilanak itu—“
“Nenek bakal upload foto Zhonk-nya si Nunuk itu, udah gitu tag ke semua orang yang kita kenal, dan kita lihat gimana reaksinya! Untung Nenek nggak punya foto Zhonk macam foto dia.”

 “Jeng Nunuk tuh neneknya Esel si banci, bukan?” Cazzo nimbrung.
“Nah iya, yang itu! Nyebelin, kan?”
“Bangeeett!” Cazzo tampak berapi-api. “Si Esel, cucunya, Iiiihhh...! Amit-amit deh... Dia pernah pura-pura jadi cewek dan ngajak gue cam! Kurang ajar!”

Dan makan malam pun berakhir sambil membicarakan Esel and the Family. Sedikitpun topik nggak pernah kembali ke bahasan kuntilanak. Apalagi soal kejadian selama 36 jam terakhir, jauuuh deh. Granny emang paling jago ganti topik. Sekaligus jago jaga rahasia.

Aku sih, kalau punya kekuatan lihat hantu dan melihara kuntilanak, aku bakal pastikan semua orang tahu tentang itu.

Cazzo sudah pulang sejak jam sembilan tadi. Dia terlihat lebih tenang sekarang berada di rumah Granny. Salut, deh. Aku pikir Cazzo menganggap rumahku ini rumah mistis, sampai ke pemilik-pemiliknya dianggap mistis. Tapi malam ini, setelah kejadian sore tadi, tiba-tiba Cazzo kehilangan rasa takutnya dengan rumah Granny. Dia bahkan bersahabat karib dengan Granny.

But of course, dia tetap nggak mau membahas apapun berbau si Tante.

Sementara itu, Bang Dicky, batang hidungnya udah lenyap sebelum aku duduk di ruang makan. Granny bilang Bang Dicky udah pulang (tanpa pamit, tanpa suara, dan tanpa kabar). Tiba-tiba hilang begitu saja tanpa kusadari. Terakhir aku lihat Bang Dicky ya sebelum aku masuk ke kamarku tadi untuk bertemu Cazzo.

Sepanjang malam, aku menghabiskannya dengan bertanya-tanya. Aku bahkan mengeluarkan notes dan menulis apa saja yang menjadi misteri bagiku, khususnya dengan rumah ini.

Pertama, jelas ada satu skenario kecil di sini: Pak Darmo, tukang kebun, bekerja di rumah Granny. Dia punya anak, bang Dicky (dan mungkin yang satu lagi itu Dennis). Bang Dicky membunuh pak Darmo, lalu hantu pak Darmo gentayangan, dan dia mencari Dennis.

Oke, agak nggak nyambung. Mungkin memang ada bagian yang hilang di tengah-tengah, yang membuat skenario tadi kedengaran nggak singkron. Tapi ada satu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam benakku:

Kemana ibunya bang Dicky?

Aku sama sekali belum mendengar kabar soal ibunya Bang Dicky. Aku ingat waktu kami mengunjungi makam orang tuaku, bang Dicky sempat kepergok berdiri di depan sebuah makam. Makam siapa itu? Makam bapaknya? Ibunya? Apa dia benar-benar yatim piatu? Atau Ibunya masih hidup?

Misteri tentang Dicky ini benar-benar menguras tenaga. Banyak sekali hal yang tidak kuketahui tentang bang Dicky, dan petunjuk-petunjuknya hanya sedikit. Tau-tau aku tahu kalau Bang Dicky membunuh bapaknya sendiri. Tau-tau aku tahu kalau Bang Dicky menyayangi seseorang yang bernama Dennis, yang juga dicari hantu pak Darmo. Sebetulnya ada apa dengan Bang Dicky? Apa rahasia yang dia simpan?

Kletak! Kletak!

Sialan. Bunyi itu lagi!

Aku mematung di atas ranjang, telingaku waspada mendengar suara-suara lain yang mungkin muncul. Mataku langsung awas. Otomatis melihat ke arah atas lemari, ke jendela, ke langit-langit, dan tentunya ke meja rias. Pembicaraan Granny sudah tidak kudengar lagi (dimana aku sempat berpikir bahwa mungkin Granny sedang mengobrol bersama kuntilanak peliharaannya—kalau memang ada). Komplek perumahan terdengar hening. Sangaaat hening.

Kletak!

Bunyi itu muncul lagi.

Itu bukan hantu pak Darmo, kan?
Granny sih sudah berkali-kali bilang padaku, urusan hantu pak Darmo sudah aman untuk sementara. Entah maksudnya apa. Tapi aku tetap berhati-hati saja, karena—

Astaga.

Aku membekap mulutku, merinding dan berkeringat dingin lagi. Jantungku berdebar. Mataku membelalak tak percaya dengan apa yang kulihat.

Dari layar monitor komputerku, tiba-tiba muncul sebuah tangan pucat keriput. Tangan itu menggapai-gapai keluar. Jemarinya menari-nari seperti sedang berolahraga. Lalu lama kelamaan, lengannya muncul. Menampilkan lengan paling buruk yang pernah kulihat. Lengan itu dibalut kain putih terawang yang kotor penuh tanah.

Di atas ranjang, aku ketakutan setengah mati. Badanku menggigil.

Kini, kepala pemilik tangan itu muncul. Dan seperti dugaanku, itu adalah kepala si Kunti! Rambutnya yang hitam gimbal... kulit wajahnya yang pucat... lingkaran hitam di sekitar matanya... semuanya perlahan-lahan keluar dari layar monitorku! mulutnya menganga mengeluarkan erangan kesakitan yang terbata-bata. Nyaris mirip kuntilanak yang keluar dari televisi di film The Ring!

Aku membeku tak bisa bergerak di atas ranjang, sementara si Kunti perlahan-lahan keluar dari monitor.

Salah satu tangannya sudah bertumpu di atas meja, tepat menindih keyboard-ku. Dan bahunya mulai keluar...

Eh...
Tunggu. Bahunya tersangkut.

Ugh! Ugh!” Kudengar si Kunti mendengus-dengus marah sambil mencoba menarik badannya keluar dari monitor. Kain putihnya tersangkut sesuatu... dan bisa juga karena badannya nggak muat keluar dari situ.

For God’s sake, that’s a 32 inch monitor! Gimana caranya dia bisa tersangkut segala?!

Uuuggh!” si Kunti menarik dengan kuat tubuhnya keluar. Dia bahkan mendorong-dorong dari dalam, “Ugh! Ugh! Ugh!” Persis kuda jantan yang lagi ngehamilin kuda betina. “Uuuuggghh...” sekuat tenaga si Kunti mencoba mengeluarkan bahunya yang tersangkut di monitor... dan akhirnya...

Buukk! Buukk!!

Si Kunti terpental keluar dan terjatuh ke atas lantai. Bunyinya nggak begitu keras—mungkin karena dia basic-nya makhluk halus. Tapi si Kunti menjerit-jerit kaget dan kesakitan. “Aw-aw-aw! Aaargh!” Dan tubuhnya sekarang tersungkur di depan lemariku.

Aku memandang dengan heran fenomena di hadapanku. Apa yang dia lakukan? Dia bercanda, ya? Dia pikir ini Scary Movie, hah?

Dan ketika si Kunti perlahan-lahan berdiri, agak limbung karena mesti pegangan ke lemari dulu (dan tangannya menekan pinggang, kelihatan banget dia agak sakit punggung)... ternyata rambutnya jatuh!

Ya! Rambut gimbal hitam itu jatuh ke atas lantai. Semuanya. Setiap helainya jatuh ke atas lantai. Seolah-olah rambut itu adalah wig... dan yang tersisa dari kepala si Kunti adalah... rambut pirang keemasan yang bersinar. Keriting. Pendek. Seperti rambut laki-laki. Dan terlihat indah.

Hihihihihihi....” Si Kunti mencoba mengembalikan harga dirinya dengan langsung cekikikan menakutkan. Tapi sungguh, aku nggak takut lagi sekarang. Aku melongo nggak percaya. “Hihihihi...” Dan mungkin sebentar lagi si Kunti mulai menyanyi.

“I-itu.” Dengan berani aku menunjuk rambut si Kunti di lantai. “R-rambutnya... j-jatoh!”
Hihihihi—apa?” Dengan terkejut si Kunti memegang kepalanya. Dia meraba-raba rambut emasnya yang indah itu dan kelihatan agak malu. Aku bisa melihatnya dari mukanya yang memerah. Ya, tepat di bawah lingkaran hitam besar di sekitar matanya itu, pipi si Kunti memerah.

Tapi karena dia sudah jatuh dari aksi “keluar dari monitornya”, lalu rambutnya juga jatuh, dia memutuskan untuk nggak kehilangan harga dirinya lebih jauh. Dia tetap mencoba menakut-nakutiku dengan berjalan ke arahku. Berjalan! Dia mengangkat kakinya! Dia nggak melayang seperti yang dia lakukan siang tadi sambil membawa teflon! Dia berjalan dan...

Disaster!

Dia menginjak gaun putih panjangnya yang kotor itu dan tersingkaplah...
Ya Tuhan...
Tubuh pria yang atletis!

What?
Kenapa di balik gaun panjang kuntilanak ada tubuh cowok yang berlekuk seperti itu?! Tubuh telanjang, hanya mengenakan cawat putih bersih di atas hamparan kulit kecoklatan yang menawan!
Tunggu. Dia sebenarnya apa??

Si Kunti kaget melihat gaunnya merosot seperti itu. Dia langsung menutupi bagian selangkangan dan dadanya, berusaha setengah mati mengambil gaunnya lagi untuk menutupi tubuhnya. Tapi terlambat. Dia sudah kepergok.

Dia bukan kuntilanak!

Karena malu... dan mungkin juga karena sebagian besar rahasianya sudah terbongkar. Akhirnya dia memutuskan untuk membuka topengnya sekalian. Dari balik wajah kuntilanak menyeramkan itu muncul lah... wajah malaikat. Wajah seorang pria yang menawan dan menggemaskan.

Wajah yang pernah kulihat sebelumnya. Wajah yang kukenal.

“Cupid?” tanyaku.
Ssst! Ssst!” Dia menyimpan telunjuk di depan bibirnya. “Jangan keras-keras, nanti Nanny tau!”

Si Cupid melompat ke atas ranjangku, tampak begitu mempesona sekaligus misterius. “Oke, maaf kalo penampilan aku malem ini jelek banget. But please, jangan bilang-bilang Nanny kalo kamu udah tau siapa aku, oke?”

“Apa?”
“Jangan bilang-bilang Nanny kalau kamu udah tau siapa si Kunti tuh sebenernya.”

Aku terdiam, menatapnya nggak percaya.

“Dan nggak usah khawatir. Sekarang aku nggak bakal mukul kepala kamu lagi kayak waktu di workshop itu!”
“Mukul kepala?”
“Ya! Waktu aku cerita soal Bang Dicky!”

Aku memicingkan mata. Bener-bener nggak ngerti maksudnya apa.

“Kamu sama sekali nggak inget?” Cupid terlihat terkejut. “Kamu nggak inget satupun yang kita bicarain di workshop waktu itu?”

Aku menggeleng.

“Bahkan soal Ibunya bang Dicky yang gila itu?”

Ibunya Bang Dicky yang gila itu?

“Kan aku udah bilang,” lanjut si Cupid, “Kepala Bang Dicky berdarah karena dipukul sama Ibunya yang gila itu. Udah gitu aku ceritain sama kamu kronologi kejadiannya, aku praktekin, dan nggak taunya kamu malah jadi korban aku. Masa sih kamu nggak inget?”


TO BE CONTINUED...

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

0 comments:

Post a Comment