DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Spoiler 2

by MarioBastian

Aku pikir tolol ada batasnya. Dan aku pikir, semua orang yang usianya lebih tua dariku, mestinya lebih dewasa dariku. Mestinya mereka lebih punya banyak pengalaman sehingga nggak tertipu oleh hal-hal konyol yang dibuat oleh orang yang lebih muda usianya.

“Udah ngegedein belum bos?” tanya Zaki, terkagum-kagum.
“Mana bisa diukur...” Aku memutar bola mata. “Itunya aja masih lemes begitu.”
“Oh?” Zaki terpana, menyadari bahwa kata-kataku betul juga.

Dia melihat lagi ke arah kontolnya, memutar otak, dan belum menemukan jawaban. Aku, satu setengah meter dari tubuhnya, masih kebingungan antara menghampiri Zaki (tapi takut seseorang tiba-tiba memergoki kami dan menyangka yang bukan-bukan) atau menjauhi Zaki demi jarak aman (which is impossible, karena melewatkan kesempatan memandang kontol Zaki adalah haram, sama saja membuang untung).

“Tapi kok kanjut bos belum bangun udah gede tuh,” tukas Zaki. “Apa saya anggurnya kurang?”
“Ini bukan soal anggurnya.”
“Jenis anggurnya?”
“Udah dibilangin, bukan anggurnya.”

Zaki manggut-manggut. “Berarti pijatannya?”

Berhubung bualan ini rasanya sudah terlalu jauh, dan dari pada aku pusing mengarang alasan-alasan baru, untuk yang satu ini aku mengangguk saja deh. “Bisa jadi.”

“Terus buat apa dong anggurnya?”

Oh, sialan. Sekali berbohong tentang sesuatu, bakal muncul kebohongan-kebohongan lain. “Anggurnya buat... ngng... nutrisi. Kayak bengkoang itu lho, kan bengkoang bagus buat kulit. Anggur juga fungsinya sama.”

Zaki mengernyit heran. Masih belum menerima—mungkin—bahwa buah anggur bisa membantu memperbesar alat kelamin. Well, memang non-sense, kok. Memang kibulan semata.

“Padahal saya udah pake anggur yang tumbuh di rumah Nenek, bos. Kata Nenek itu kualitas top! Dari Australia.”

Australia penghasil anggur?
Eh, maksudku, Zaki pake anggur punya Granny? Pantas saja lusa kemarin aku melihat Zaki mengendap-endap di kebun belakang, memetik beberapa buah anggur yang masih hijau, lalu bersembunyi di belakang workshop. Ya Tuhan... Dia nggak memeras anggur-anggur itu, lalu membalurnya ke kontolnya, kemudian dipijat-pijat, dan berharap kontolnya membesar, kan?

“Seperti yang aku bilang, ini bukan soal anggur.” Aku menelan ludah, melirik ke arah lain supaya nggak kentara banget merhatiin kontolnya Zaki dari tadi.

Zaki kelihatan kecewa. “Pasti pijatan saya masih salah...”
Aku benci melihat cowok ganteng terlihat kecewa begitu. Rasa ibaku muncul begitu melihat kelopak mata itu turun dan air mukanya berubah muram. “Well, namanya juga baru mulai. Butuh banyak latihan. I mean, bayi nggak langsung berjalan dalam dua tiga kali percobaan, kan? Mungkin Abang juga mesti... ngng, latihan dulu puluhan kali... atau seratus... sampe akhirnya hasilnya terlihat.”

Which is quite impossible, batinku. Setahuku, penis berhenti tumbuh di usia remaja. Si Zaki ini twenty something, kan?

“Iya, tau...” tukas Zaki. Dia terduduk di atas meja penuh serbuk kayu. Dan satu-satunya yang ada dalam otakku adalah pantat Zaki yang telanjang ditempeli serbuk-serbuk itu...

“Emang kenapa sih sampe murung begitu?” tanyaku, mencoba membantunya semangat lagi.
“Biasa bos... Si Zaenab.” Zaki terlihat sedih. “Dia ngetawain si Udin semalem. Katanya si Udin saya ini nggak lebih gede dari Udinnya satpam komplek.”

Udin? Aku pikir namanya Ucok!

Well she’s kind of a bitch if she compared you by a dick,” gumamku.
“Bos ngomong apa?”
Aku menggeleng.

Tiga puluh detik kami terdiam. Aku memandangi semua frames yang ada di dalam workshop sementara Zaki memain-mainkan kontolnya—mungkin setengah berharap ada keajaiban yang datang.

“Menurut bos...” Zaki memecah keheningan, “kontol gede itu penting nggak sih?”

Aku menoleh dan menatapnya. “Buat aku sih nggak,” jawabku. “Ada hal-hal penting lain yang lebih penting.”

Misalnya kegantengan, body yang wow, romantic senses... apalagi, ya?
Dalam hidupku, kalau misal aku ketemu cowok ganteng, body bagus, menggemaskan, dan kalau bisa romantis, tapi ternyata kontolnya mungil, I don’t care... as long as I own that guy!
“Iya lah.. orang bosnya aja udah ganteng, pinter, tititnya gede... bos pasti nggak pusing lagi kalo mau ewean ama siapapun juga.”

Absolutely, aku nggak setuju sama pernyataan itu. All guys that I want to fuck is basically having no interest at all to me, no matter I’m gorgeous, big dick, or even romantic. Kadang-kadang aku malah pengen jadi Zaenab karena dia bisa hook-up dengan Zaki kapanpun dia mau.

“Nggak juga, kok,” bantahku. “Aku juga punya masalah-masalah lain yang bikin pusing.”
Seperti misalnya deg-degan nggak keruan karena ada malaikat telanjang nan menggemaskan di hadapanku saat ini—dan sialnya aku harus berpura-pura biasa aja, tanpa sedikit pun menunjukkan rasa antusias atau dia bakal curiga aku gay.

“Tapi tetep aja...” kata Zaki. “Saya pengen banget jadi kayak bos.”

“Jangan pengen jadi aku, Bang,” candaku. “Entar banyak cewek yang ngejer!”
Zaki tergelak kecil.

“Eh, bos,” seru Zaki—agak berbisik—tapi kelihatan lebih cerah dibandingkan semenit lalu, “pijitin lagi dong, Bos, si Udinnya... kali aja pijetan bos lebih mantap dari Mak Erot! Hehehe...”

“Nggak, ah! Kan kemaren udah...”

Tiga hari yang lalu, Zaki sempat menculikku ke rumahnya (sembunyi-sembunyi, of course, karena nggak mau ketahuan Bang Dicky). Aku pikir mau apa, ternyata dia minta kontolnya dipijitin. Dan meski aku menolak dengan berbagai alasan, dia tetap keukeuh minta dipijitin. Aku nggak tahu maksudnya apa. Baru kali ini aku ketemu straight yang terobsesi dengan kontol besar hingga rela alat kelaminnya dipijat orang lain demi memperbesarnya. Zaki malah bilang itu trend. Dia berkali-kali menyebut nama Mak Erot seperti barusan.

Nah, kan. Aku harus mengingatkan diriku lagi untuk meng-google nama Mak Erot.

“Biarin, Bos! Itu mah kan kemaren. Sekarang ya beda lagi. Hehe...” Zaki nyengir dan tiba-tiba saja mencolekku. “Ayo, Bos... mumpung udah siap sedia, nih.”

No way.” Aku beringsut dari tempat dudukku dan dengan gugup berjalan ke arah frames berjudul Coffin Me Tightly. (Heeey... serem amat ini bingkai! Kenapa aku baru lihat, ya?)

“Yaaah, bos... nggak solider nih...”
“Kok nyambung ke solider sih?” Aku memutar bola mata.

Hanya di Indonesia mungkin, nggak membantu memijat alat kelamin teman dianggap nggak solider. I really wonder about this thing.

“Ayo lah Bos.” Zaki turun dari meja, membiarkan serbuk-serbuk di pantat telanjangnya berjatuhan ke bawah, dan kontolnya berayun riang sambil menghampiriku. “Mumpung si Udin lagi riang gembira nih.”

Aku mengernyit. “Kalo riang gembira, nggak akan layu kayak begitu.” Aku pun membelakanginya dan nggak berani menatap kulit tubuhnya dari dekat.

Sial. Sekarang napasnya menggelitiki tengkukku.

“Bisa kok dibangunin juga,” ujar Zaki.
“Ya udah. Bangunin aja sendiri. Udah gitu pijet sendiri. Beres kan?”

“Haahhhh... si Bos...” Zaki mendesah kecewa. Ketika aku menoleh dan menatap wajahnya, dia sedang manyun, ngambek.

“Kenapa sih, mesti sama aku?”
“Karena cuma ampuh kalo sama Bos!” katanya yakin. “Saya pernah minta si Nanang, sodara saya, buat mijitin titit saya. Yang ada malah si Nanang jijik dan nggak mau ketemu saya lagi. Cuma bos yang kayaknya bisa bantuin saya. Kan bos baik hati!”

Aku benci kalo Zaki sudah mengangkat kedua alisnya dan merayu macam begitu.
Dia terlalu menggemaskan untuk dilewatkan.

“Justru karena aku baik hati, aku nggak mau ngebiarin Bang Zaki terus bergantung sama—“

Tiba-tiba saja tangan Zaki menyambar tanganku, dan tanganku langsung diletakkannya di kontol lemas yang menggantung itu. Aku sempat tersentak kaget. Tapi begitu aku meremas kontol kenyal yang mungil itu... aku nggak bisa berkutik lagi...

“Nah, gitu bos...” kata Zaki.
Dia langsung menarikku mendekati meja terdekat, duduk di atas meja, dan aku dibiarkannya berdiri dengan tolol di hadapannya, dengan satu tangan sedang meremas kontolnya.

“Ngapain sih ini?” Aku memicingkan mata.
“Pijit bos...” sahut Zaki.

Butuh sekitar sepuluh detik untuk menimang-nimang sampai akhirnya aku meremas kontol itu tapi berusaha untuk kelihatan nggak peduli. “Well, abang ini aneh, ya. Mau-maunya kanjutnya dipegang-pegang orang lain.”

“Ah, biasa aja,” timpal Zaki. “Udah sering, kok.” Dan dia nyengir.
“Ih, nggak tau malu, yah.”
“Nggak bos. Yang penting enak! Hehe...”
“Emang dipegang sama aku enak?”
“Enak bos!”

Aku terpana.

“Gimana kalo aku mau berbuat jahat, hayo?” Lalu aku memutar otak. “Misal aku potong kanjutnya gitu...”
“Yakin bos mau ‘berbuat jahat’?”
Dan lagi-lagi dia nyengir! Sambil menatap tepat ke mataku. Astaga, kenapa di saat-saat seperti ini dia mesti menggodaku, sih?

Kontol Zaki sudah mengeras. Of course, kontol itu nggak muncul meski aku menggenggamnya dari pangkalnya. Aku merasakan geli di buku-buku jariku saat tanganku meremas kepala kontolnya yang keras dan saat pangkal kuku-kukuku bersentuhan dengan jembutnya. Hal-hal macam begini suka bikin perasaan nggak keruan.

Aku memijat-mijat pangkal kontolnya yang dipenuhi jembut menggunakan tekanan jempol dan jepitan telunjukku. Cowok ganteng sialan itu malah berbaring di atas meja, meletakkan tangannya di bawah kepala, dan memejamkan mata. Apa-apaan coba?

Aku meremas kontolnya dengan kuat. Kesal. Tapi dia malah mendesah.
“Abang ngapain, sih?”
“Eh?” Kepalanya mendongak. “Nggak ngapa-ngapain bos. Emang kenapa?” Sambil menunjukkan wajah polos.

“Jangan macem-macem ah, Bang! Entar aku gigit lho kanjutnya!”

Zaki malah berseri-seri. “Ide bagus tuh!” Dan dia malah berbaring lagi, siap menikmati gigitanku. Tapi karena aku malah diam melongo, menatap nggak percaya sama cowok ganteng sialan yang mesum ini, kepala Zaki mendongak lagi. “Lho? Bos? Kok diem? Katanya mau ngigit?”

Benar-benar, deh.
Untung dia ganteng rupawan! Kalo jelek sih aku cabut kontolnya dari selangkangannya!
Sambil kesal, aku malah mengulum kontol itu. Aku tahu kok, maksud si Zaki tuh sebenernya pengen dikulum. Bahkan mungkin dari awal dia di sini, memergokiku ada di workshop, lalu tiba-tiba mengunci pintu workshop, telanjang, dan curhat soal pijatan anggurnya, sebetulnya dia pengen aku mengulum kontolnya.

At least begitulah kesimpulan yang kudapat tiga hari yang lalu waktu dia meminta hal yang sama. (Yang akhirnya kuberi juga, karena nggak mungkin aku menolaknya. Kalau aku menolak mengulum kontol Zaki, aku ini seolah-olah pindah agama.)

Hmmmhh...
Sebetulnya sih, ada untungnya ngulum kontol sekecil ini. Semua bagian kontol masuk, sampai hidungku menyesak jembutnya, dan aku dapat menghirup aroma kontol yang khas. Dari dekat aku bahkan dapat melihat bahwa jembut ini nggak selebat yang aku kira. Dan perasaan saat kepala kontol itu menggelitik rahang atasku, seperti aku sedang mengulum lolipop.

Tanpa sadar aku meraba-raba testis Zaki, menarik-narik kulit bijinya yang agak kendur. Lalu tanpa sadar pula jariku menekan-nekan selangkangan Zaki, antara pelir dan lubang pantatnya. Dan saat itulah aku merasakan mulutku penuh dan hangat. Dan becek.

Sialan. Dia sudah orgasme!
Secepat itu?!

0 comments:

Post a Comment