DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 3

-chapter 3-
by MarioBastian

Waktu Mom bilang bahwa perjuangan terberat dalam hidup adalah melawan diri sendiri, I think she’s right and I think I know now what was that all about. Aku sering mendapat petuah dari orang-orang bijak (yang kudapat dari google tentunya—yang itupun nggak sengaja ke-click) bahwa perang terbesar di dunia bukanlah World War I & World War II. Bukan juga perang Israel dan Palestina, maupun perang Korea Utara with the rest of the world. Perang paling besar adalah perang melawan diri sendiri. Perang melawan nafsu.

Aku sudah menyadari aku gay sejak aku kecil. Pada usia enam tahun, aku ngefans berat dengan Enrique Iglesias dan selalu stand-by di depan teve, menunggu video klip “Hero” ditayangkan di MTV. Bahkan, kalau dipikir-pikir, aku mirip Granny waktu itu. Aku bisa melompat dari lantai dua kalau Mom kebetulan mengganti channel dan lagu Hero muncul.

Yang aku suka dari Enrique Iglesias of course bukan lagunya—tapi orangnya. Buatku dia seksi. Dan kalau ada liputan di teve yang menayangkan Enrique shirtless (at least menunjukkan lengannya deh) aku bisa merinding geli dan pergi ke kamar, memeluk guling, lalu membayangkan yang bukan-bukan.

Dan berhubung internet sudah ada saat itu, (di tengah krisis curiosity tentang “kenapa aku seneng lihat cowok telanjang?”) akhirnya aku menyadari bahwa aku ini gay.

Masa-masa gay-ku nggak begitu dominan. Mungkin aku bukan tipe-tipe yang sex-addict. Aku lebih senang menghabiskan waktuku dengan melakukan beragam hobi dan agak-agak nerd soal dapetin cowok. Hanya saja, akhir-akhir ini, saat jerawat kadang muncul dan semua rambut-rambut di tubuhku sudah tumbuh, aku mulai tertarik lagi pada makhluk bernama “cowok”. Aku mulai hobi membuka filestube untuk mencari video porno dan sering mondar-mandir di manjam meskipun aku nggak pernah ketemuan. Aku chat dengan banyak gay around the world dan pernah satu kali sex-cam dengan orang India. But that’s it, my gay journey nggak pernah bertualang lebih jauh dari itu—meski aku ingin.

Semuanya keburu ditutup sama kematian Mom and Dad yang 100% mengalihkan perhatianku. Bahkan saat aku memutuskan pindah ke Indonesia, aku bertekad bahwa aku bakal berhenti jadi gay—even though I have no idea how to stop it. Aku bertekad akan menyelesaikan studiku, melupakan tetek bengek cinta monyet dan menjadi orang sukses di Indonesia.

Sayangnya, itu bukan perkara mudah.

Malam kedua aku ada di Indonesia, seorang cowok manis benar-benar menggoda imanku. Dia tidur bertelanjang dada—bukan, dia tidur nyaris telanjang, hanya ditutupi celana dalam saja, dan aku sudah “suka” dia dari hari pertama. Beban banget, kan?

Malam itu, seperti dugaanku, aku diserang insomnia. Apa yang dinyanyikan Craig David 100% bullshit. I can’t sleep till you’re next to me benar-benar kebalikan dari yang aku alami. Aku justru insomnia because you’re sleeping next to me!

Aku dapat mencium aroma tubuhnya yang hangat sepanjang malam. Jenis-jenis aroma tubuh yang dapat membuat little jack manapun berdiri tegak. Setiap kulitku tanpa sengaja bersentuhan dengan kulitnya, badanku langsung merinding geli. Mirip saat pertama kali aku nonton video porno. Perutku mulas kegirangan dan makin dilawan makin ingin aku memeluknya.

Aku bolak balik membelakanginya beberapa kali, tapi kemudian terpaksa berbalik lagi dan “aroused” lagi. Untung saja Tuhan masih sayang padaku. Entah jam berapa, mungkin lewat tengah malam atau mendekati subuh, aku akhirnya tertidur pulas dan nggak memimpikan apapun. Sama sekali. Tahu-tahu aku terbangun, tirai terbuka, sinar mentari masuk ke dalam, dan Bang Dicky udah nggak ada di sampingku.

-XxX-


“Sekarang jam berapa, Granny?” Aku berjalan terseok-seok ke ruang tengah, sebagian besar nyawaku masih melayang-layang dan bahkan morning erection-ku belum berakhir. Aku mengucek-ngucek mata dan menemukan rambutku acak-acakan di depan cermin ruang tengah (yang memiliki frames paling indah yang pernah kulihat).

“Jaaammm...” Granny menoleh ke salah satu dinding, “jam sembilan sayank. Kamu breakfast pagi dulu, gih. Si Dicky spesial bikinin kamu corn cream soup. Ibu kamu bilang kamu suka corn cream soup, kan? Makan sendiri ya... Nenek tanggung nih. Lagi nonton Dahsyat.”

Ketika aku pergi ke ruang makan, tempat itu disulap bagai ruang makan kerajaan. Meja makan Granny ditutupi taplak putih besar dan tersedia beragam sajian dalam ceramic tableware yang putih bersih. Di tengah meja ada vas bunga... dengan bunga mencuat dari dalamnya... sebentar, aku cek dulu... astaga, bunga asli! Di meja makan!

Baiklah, mungkin bagi Bang Dicky, batas antara awesome dan berlebihan itu agak blur. I mean, this is seriously cool! Sendok dan garpu peraknya ditata dengan rapi. Tapi somehow, ini berlebihan juga. Ini kan hanya “breakfast”. Regular breakfast. Bukan sarapan kerajaan dengan folded napkin dan ada roti sobek nikmat dan... apa itu? Cranberry?

Jujur saja, aku belum pernah mendapat sarapan macam begini seumur hidup—kecuali waktu kapan itu aku menginap di Hilton.

Aku menyadari bahwa breakfast set ini belum tersentuh sedikit pun. Sudah dihidangkan dengan nikmat tapi tak satupun sudah menggunakan sendok-sendok perak itu atau mangkuk-mangkuk keramik yang indah itu. Aku akhirnya memutuskan mencari Bang Dicky ke sekeliling rumah. Kalau Granny asyik dengan acara paginya itu, mungkin aku bisa mengajak Bang Dicky sarapan bareng denganku.

Aku mengecek ke teras depan, nggak ada siapa-siapa. Dapur dan kamar mandi kosong. Lalu ruangan menyeramkan yang ada kursi goyang dan piano tua pun kosong melompong (at least ada hantunya deh). Kemudian aku teringat teras belakang. Aku baru ke sini beberapa kali, selewat saja, hanya untuk “tahu” bahwa Granny punya halaman belakang di sini. Tapi di sana juga nggak ada. Yang kulihat hanyalah kebun yang rimbun, dengan pepohonan tinggi dan pagar-pagar dibelit tanaman merambat (aku menduga itu anggur), dan kelihatannya masih ada halaman berumput jauh ke belakang, yang urung kuhampiri karena harus mengenakan sandal ke sana.

Ting-Tong!

Ada yang datang.

Dari teras belakang aku mendengar sayup-sayup Granny bicara dengan seseorang di pintu depan. Aku masuk lagi ke dalam untuk melihat siapa yang bertamu. Ketika aku berjalan menuju ruang depan, memang ada suara seorang cowok sedang berbicara akrab dengan Granny.

“Eeeeh... kalem, Nek! Nunggu jodoh dulu! Hehehe...” kata cowok itu diiringi gelak tawa.
“Ah, playboy macam kamu pasti lama kawinnya,” balas Granny, lalu tiba-tiba menyanyi, “Nggak, nggak, nggak kuat... nggak, nggak, nggak kuat...

???
Granny nyanyi apa?

“Mumpung masih muda, Nek.. bertualang dulu! Hahaha...” sambung si cowok.
“Kalo udah selesai bertualang, mampir-mampir yaa... Nenek single lho!”

Astaga.

Aku tiba di ruang depan... dan agak takjub, melihat Granny berbicara dengan seorang cowok yang masih muda. Kamu boleh bilang dia ganteng. Semua gay di dunia pasti setuju dia cute dan menggemaskan. Dia mirip... Shia LaBeouf... tentunya versi Indonesia.

Dia Shia LaBeouf dengan kulit putih Asia, dengan mata yang lebih sipit tapi tetap sayu dan mengundang. Potongan rambutnya pun pendek, mirip si Sam Witwicky di Transformer. (Atau jangan-jangan dia memang operasi plastik biar mirip Sam Witwicky?) Tingginya nggak beda jauh dariku. Dia mengenakan kaus sleeveless yang menunjukkan betapa kokoh dan berototnya lengan yang dia miliki. Bahunya lebar, tapi di bahu kiri kausnya menempel noda-noda berwarna coklat (serbuk kayu?).

“Oh, ini kenalin cucu Nenek yang dari Amerika!” seru Granny saat menyadari aku muncul. “Ini lho, Agas itu! Dia bisa bahasa Inggris! Agas sini!”
“Waah... mirip orang Indonesia ya Nek!” katanya sambil tersenyum lebar.

Astaga, situ pikir kalau aku tinggal di Amerika balik-balik ke Tanah Air aku bakal jadi caucasian? My parent is purely Indonesian, dude.

“Saya Zakila,” kata cowok itu, menjabat tanganku, “panggilnya Zaki aja, bos!”
“Aku Agas.”
“Wah, berarti saya bisa belajar bahasa Inggris sama Agas dong, Nek?” katanya ke Granny.
“Ya bisa dong, Ganteng... Apalagi cucu Nenek ini Inggrisnya British Amerika. Hebat, kan? Jeng Nunuk bilang, British Amerika itu paling susah.”
Zakila ternyata lebih ganteng dari dekat. Aku kagum dengan kulitnya yang mulus dan alisnya yang agak tebal. Dan keringat mengilat yang samar-samar kulihat dari lehernya itu membuat dia terlihat... seksi.

“Oh iya, si Dicky ada di workshop kok! Kamu ke sana aja, Zaki,” ujar Granny. “Kamu ajak Agas maen ke sana. Kamu belum ke workshop kan, Gas?”
Workshop apa Granny?”
Workshop tempat Bang Dicky bikin pigura. Ke sana, gih. Lihat-lihat. Bagus, lho!”

Aku baru tahu ternyata Bang Dicky ada di workshop. Eh, bukan. Aku baru tahu bahwa Bang Dicky bikin pigura.

“Tunggu bentar, saya ambil kayunya dulu.” Zaki pun berlalu dengan senyum manis dan gigi rata yang membuatku iri. (Kadang aku berharap senyumku bisa semanis itu.)
“Pake sandal Nenek, Gas. Tuh, yang itu aja. Yang ijo daun.”

Aku mengamati Zaki yang bergegas keluar halaman rumah Granny. Dia menuju sebuah minibus kap terbuka dengan tumpukan-tumpukan kayu berwarna coklat. Kayu-kayu tersebut sudah dipotong membentuk balok-balok panjang. Ketika Zaki kembali lagi ke teras depan dan memanggul balok-balok kayu tersebut di bahu kirinya, aku akhirnya tahu dari mana noda coklat itu berasal.

“Yuk, Gas!” katanya, tapi dia tidak masuk ke teras dan ke dalam rumah. Instead, dia berjalan mengitari rumah, melewati gang sempit di pinggir rumah yang penuh bunga-bunga ungu kecil, dan tembus di halaman belakang. Aku mengikutinya dengan penasaran.

Workshop? Pigura? Kayu-kayu?
Ini merupakan satu hal baru yang kuketahui dari Bang Dicky.

Aku membuntuti Zaki melewati halaman belakang. Kami melewati pepohonan besar itu, pagar-pagar dengan tanaman merambat, dan bahkan menapaki jalan setapak di antara halaman berumput yang teduh tertutup pohon besar. (Aku bahkan heran di komplek seperti ini masih ada kebun belakang macam begini.)

Di ujung jalan setapak, aku dapat melihat gubuk kayu yang cukup besar, yang kelihatan sangat-sangat tropis. Pintunya sangat besar... terbuka. Kulihat Bang Dicky sedang ada di dalamnya, mengukir sesuatu di atas frames besar yang tebal.

“Dick!” panggil Zaki. “Nih, stock baru.”
Bang Dicky menoleh dan kelihatan sedikit gembira.

Hatiku juga gembira, batinku. I mean, semalam aku tidur bersamanya, kan? Melihatnya begitu bersinar pagi ini, membuatku... kangen.

Bang Dicky mengenakan baju terusan tebal yang sering kita lihat di bengkel-bengkel. Terusan itu warna coklat keabu-abuan, mirip baju militer udara. Ritsleting yang memanjang dari leher ke selangkangan hanya tertutup setengahnya, membuatku dapat melihat kulit mulus Bang Dicky dari dada hingga diafragmanya.

Dia nggak pake T-shirt lagi ya di dalamnya?

“Simpen di sana aja, Ki!” suruh Bang Dicky menunjuk entah kemana di dalam workshop lalu mulai mengamatiku. “Agas udah sarapan belum?” tanyanya penuh perhatian.

Aku menggeleng. “Belum, Bang. Nggak ada temen.”
Bang Dicky mengernyit. “Padahal sendirian aja... nggak usah nungguin Dicky.”
“Nggak enak ah, makan sendirian.”

Telepon di dalam workshop berdering. Aku melirik dan melihat telepon tua (dengan nomor-nomor yang diputar—bukan ditekan) bertengger di salah satu meja kayu kecil. Bang Dicky dengan santai menghampirinya, mengangkat gagangnya dan berbicara dengan seseorang. Kedengarannya sih Granny.

“Bentar, Nek. Iya. Dicky ke sana.” Dia menutupnya dan bergegas ke arahku. “Dicky mau ke Nenek dulu. Agas kalo mau lihat-lihat, bareng Zaki aja.”

Bang Dicky pun menghilang ke dalam rumah sementara Zaki baru muncul setelah menyimpan kayu di tempat yang ditunjuk Bang Dicky tadi. Telapak tangannya ditepuk di bokongnya, membersihkan serbuk-serbuk kayu yang menempel.

“Ini workshop buat apa sih?” tanyaku, sambil berkeliling melihat-lihat.

Pandangan mata Zaki mengikutiku, dan dia kelihatan ingin membuatku terkesan. “Ini workshop buat bikin pigura. Si Dicky seneng bikin pigura, dan saya bertugas jadi kurirnya. Ngirim material sama ngirim hasil karyanya buat dijual. Yang ini namanya The Butterfly-butterfly. Artinya, kupu-kupu.”

Zaki menunjuk sebuah frames berukuran sedang, yang tepiannya dipahat banyak sekali bentuk kupu-kupu. Mulai dari besar, hingga kecil. Mulai dari bercorak, hingga polos. Di bawah frames ada sticker putih dengan tulisan, “The Butterflies.”

“Jadi pigura ini dijual?” tanyaku, penasaran harganya berapa.
“Oh, nggak. Kalo piguranya ada di sini, berarti nggak dijual. Yang dijual tuh yang nggak ada di sini. Nah, yang ini namanya The Virgo The Virgin.”

Astaga, padahal di situ ada tulisan “The Virgin Virgo” kenapa Zaki tetep sok tau, ya?

“Jadi ini tuh... semacam... produk gagal, ya? I mean, kalo yang di sini nggak dijual, berarti yang dijual lebih keren dari ini dong?”
Zaki mulai mengangkat dagunya dan kelihatan sok pintar. (In some case, lucu juga kalo cowok udah seperti itu. Seolah menguasai segala sesuatunya—padahal sok tau.)

“Justru yang dijual nggak lebih bagus dari ini. Dicky cuma ngejual pigura yang dia nggak suka. Sementara yang dia suka, dia simpan di workshop atau kalau Nenek minta, Dicky pasti langsung ngasih cuma-Cuma.”

Okay. So now it all answered the mystery of why Granny has million of frames.

Aku keliling workshop menatap karya-karya menakjubkan yang menggantung di sepanjang dinding. Benar-benar deh. Mestinya karya macam begini buatan mesin, bukan tangan. Too perfect. Lihat ini, pahatan batik di frames ini kelihatan detail!

“Agas sukanya yang mana?” tanya Zaki.

Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Mundur beberapa langkah dan melakukan quick-scan. Ada satu pigura yang menarik perhatianku. Beberapa kali aku menoleh ke arah lain, tapi mataku selalu berakhir menoleh ke pigura yang satu ini.

“Aku suka yang ini!” sahutku sambil menunjuk The Cupid.
“Oh, yang ini namanya The Choo-Pit. Kesukaan si Dicky juga. Favorit, nih!”
“Masa?”

Pigura itu justru polos di pinggiran bawah, kanan, dan kirinya. Di atasnya ada banyak sekali awan-awan mungil yang detail dan menakjubkan, lalu di tengahnya ada pahatan bocah cupid yang imut. Bocah cupid itu, layaknya cupid dalam film kartun, hanya mengenakan kain yang membalut tubuh mungilnya. Ada sayap malaikat di belakangnya dan ia sedang memainkan harpa mungil. Aku suka ekspresi wajahnya. Begitu bahagia.

“Sebetulnya. Ini karya pertama si Dicky lho... Lihat nih, pinggirannya polos, kan? Sementara yang lain pada full ukiran,” ujar Zaki.

Kami lalu berjalan-jalan lagi di seluruh workshop dan akhirnya duduk di bangku taman di luar. Dedaunan rontok ke atas halaman berumput. Zaki membersihkan sebuah bangku dari beton yang ditutupi daun dan mempersilakanku duduk di situ.

Kulihat cowok itu gugup. Entah untuk alasan apa. Dari tadi padahal dia sok tau, seolah ingin membuatku terkesan. Kali ini dia sesekali melirikku... seperti... seperti ada yang mau ditanyakan tapi malu untuk menanyakannya.
“Jadi...” mulainya—nah, kan, benar dugaanku, “Agas tuh orang Amerika, ya?”
“Kemarin sih iya,” jawabku.
“Berarti bule dong?” tanyanya lagi.

???

Aku memilih untuk nggak menjawab. Geli juga melihat banyak orang Indonesia yang begitu memuja orang-orang luar negeri. I mean, we’re not that great, People. Aku masih orang Asia biasa yang kebetulan pernah tinggal di US, tapi bukan berarti aku levelnya lebih tinggi daripada orang Indonesia. Bahkan menurutku, Amerika dan Indonesia sama aja. Hanya beda lokasi dan warna kulit aja.

“Berarti Agas kanjutnya gede, dong? Kan orang Amerika mah kanjutnya gede-gede,” sahutnya kemudian, agak malu dan memerah.

Kanjut?
Apa itu kanjut?

Tapi karena aku juga gengsi, I mean, aku sudah dipuja-puja seperti itu, aku juga berlagak sok tau. Persis Zaki waktu di workshop barusan deh.

“Oh, iya dong. Kanjut aku gede!” jawabku, dengan nada bangga.

Nanti begitu Zaki pergi, aku bakal langsung ngetwit Adam, menanyakan kanjut tuh apa? Beberapa Bahasa Indonesia belum benar-benar kuketahui. Seperti kapan itu aku pikir Prikitiw adalah merek keripik kentang, ternyata hanya slang yang diciptakan komedian Indonesia—Adam waktu itu tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Zaki kelihatan terpukau. Matanya berbinar dan dengan kagum di melihat ke arah perutku, lalu ke wajahku.

“Gimana rasanya punya kanjut gede?”

Nah, lho. Aku mesti jawab apa?

“Asyik... Enak...” Otakku berputar lagi. “Hangat.”
Untuk sementara, aku anggap kanjut adalah... sweter. Mungkin karena foningnya dekat dengan kata “rajut”. (Bisa jadi kanjut adalah bahasa sundanya rajut—who knows. Aku kan nggak hafal bahasa daerah di sini.) Dan memang, di Amerika, sweter-nya besar-besar. Kadang aku rasa seksi banget kalo cowok pake sweter besar.

“Wah, jadi pengen juga nih,” kata Zaki sambil tertawa geli.
“Tinggal beli, kok,” jawabku. “Di Manhattan banyak yang bagus dan gede-gede.”

Zaki kelihatan agak bingung. Tapi kemudian dia terpukau lagi.

“Bisa dibikin gede ya di Amerika?”
“Ya bisa, dong. Why not?” I mean, kalo sempit kan nggak bisa dipake.
“Bisa ngegedein nggak?”
Of course!” Sweter mana sih yang setelah dipake justru mengecil?

Ini benar-benar sweter, kan? Atau aku harus stop pembicaraan di sini karena takutnya apa yang kami bicarakan ini beda objek?

Zaki menelan ludah. Dia geleng-geleng kepala tapi kelihatan terpukau. Tiga detik kemudian dia menoleh kanan-kiri, mengecek apakah ada orang yang melihat kami, lalu dengan hati-hati bertanya padaku.

“Bos...” katanya, gugup, tapi memberanikan diri, “Saya boleh lihat nggak kanjut bos?” Dia pun menunduk. Entah melihat selangkanganku entah malu sudah bertanya barusan. “Penasaran banget, bos! Dari dulu pengen lihat kanjutnya orang Amerika kayak gimana...”

Oke. Kayaknya aku mesti klarifikasi dulu, kanjut tuh sebenernya apa?
Kemungkinan besar kanjut bukan sweter.

“Boleh, tapi nanti, ya,” janjiku—sebab aku mau memastikan dulu definisi sebenarnya apa.

“Gas!” panggil Bang Dicky kemudian. Dia sudah muncul di teras belakang sambil membawa handuk, “Kata Nenek kita ke sekolah Agas hari ini aja, besok Nenek nggak bisa. Mau ke konferensi. Terus belanjanya entar malem aja, pulang dari supermarket. Dicky mandi dulu ya, entar udah Dicky mandi, kita berangkat bareng. Eh, Zaki! Kenapa masih di situ?”

-XxX-

Aku ragu.

Apakah harus menanyakan soal Kanjut tersebut pada Granny? At least pada Bang Dicky, deh? Sebab Adam belum membalas twit-ku soal kanjut. Dan yang jelas, aku nggak bisa membuka topik tersebut di dalam mobil karena ternyata si Zaki juga ikut ke sekolah baruku.

“Kita makan di Iga Bakar, yuk?” sahut Granny mengeluarkan ide—dari tadi kami memang sedang mencari ide di mana akan melakukan makan siang. “Kamu suka iga kan Gas?”

Iga? Tulang, kan?

“Yang depan Taman Pramuka, ya?” ujar Bang Dicky monolog.
“Wah, asyik nih!” sahut Zaki. “Iga Bakar makanan orang Amerika!”

Baiklah, aku nggak perlu menceritakan dengan detail soal sekolahku, kan? Intinya, nama sekolahku yang baru adalah Caralho International School. Sekolah khusus untuk expat, keturunan alumni dari sekolah tersebut, dan tentunya orang-orang yang sebelumnya sekolah di luar negeri lalu berencana sekolah di Indonesia. Aku nggak diterima di semua sekolah negeri dan swasta Indonesia karena kurikulumku yang sebelumnya nggak sesuai. Jadi akhirnya aku terdampar di CIS.

CIS tempatnya oke. Besar berlantai-lantai, dan awalnya aku pikir ini mall. Ada lift di dalam gedung (satu hal yang jarang kutemukan di sekolah-sekolah Amerika). Aku sudah berkeliling seharian dan menemukan tempat ini fully-facilitated. Sebagian siswanya caucasian, indian, chinese (dominan), dan kalo nggak salah ada beberapa orang Afrika di sana.

Aku hanya berkeliling dua jam saja di sana—Granny langsung mengajakku pulang dan makan siang. Dan selama berkeliling tersebut, si Zaki ternyata mengekor di belakangku dan kelihatan lebih takjub saat menemukan bahwa di kotanya sendiri ada sekolah macam begitu.

Begini, sebetulnya sex appeal Zaki lebih memancar. Kalau Bang Dicky dijejerkan dengan Zaki, dan kalian disuruh memilih salah satu, aku bertaruh kalian bakal memilih Zaki. Mata agak sipitnya yang sayu membuatnya kelihatan ganteng. Dan ngomong-ngomong soal badannya... wah, to die for, deh.

Hanya saja, Zaki berusaha terlalu keras untuk membuatku terkesan. Seolah dia ingin meyakinkanku bahwa dia worth it untuk menjadi BFF-ku, dan bahwa dia cool, dan mungkin berusaha mengajakku ke dunia “gaul”-nya di sini. Aku sih fine-fine aja. I mean, aku datang ke sini tanpa teman sedikit pun, kan? Kalau ada orang yang berusaha keras ingin menjadi temanku, kenapa aku harus menolaknya? Mungkin aku bisa melihat satu atau dua minggu ke depan, se-annoying apakah dia orangnya? (Atau se-hot apa—hihi.) Yang pasti, dia bener-bener ngefans sama apapun yang berlabel: Amerika.

“Nanti kita makan bakso ya, Gas!” katanya suatu kali, “Obama juga suka bakso!”

“Nah, udah nyampe, Gas! Yuk, turun,” kata Granny.

Iga Bakar ternyata bukan hanya nama makanannya, tetapi nama tempatnya juga. Lumayan cozy, sih. Kami kebagian meja di area yang agak private. Di sebuah ruangan mungil yang hanya terdiri dari dua set meja. Pilihan makanannya nggak begitu beragam, andalan mereka katanya Iga Bakar dan Iga Penyet. Aku pilih Iga Bakar (Zaki juga—karena mungkin dia pikir Iga Bakar adalah pilihan orang-orang Amerika) dan jus markisa (Zaki juga).

Sebetulnya aku pilih Iga Bakar karena aku nggak tahu Iga Penyet tuh apaan. I mean, what is “penyet” anyway? Harus mulai kucatat nih beberapa kosakata: kanjut, penyet, dan kalo nggak salah tadi Zaki bilang “ewean” waktu kami masih di rumah Granny.
“Nenek mau ke toilet dulu, ya!” sahut Granny sambil membereskan tasnya. “Ada yang mau ikut?”
“Dicky, Nek!” kata Bang Dicky sambil ikut berdiri.
“Agas nggak? Zaki nggak? Tunggu di sini, ya?” kata Granny. Dan mereka berdua pun menghilang ke toilet.

Zaki, yang asalnya duduk di seberangku, tiba-tiba pindah ke kursi di dekatku. Astaga, dia pasti mau membicarakan tentang Amerika lagi, ya?

“Agas suka fuck you-fuck you-an, kan?” tanyanya, agak berbisik dan celingak-celinguk, khawatir meja sebelah mendengarnya.
What?” balasku. Maksudnya apa?
“Ini nih!” katanya, lalu mengangkat telunjuk tangan kanannya, kemudian tangan kirinya membentuk O menggunakan telunjuk dan jempol, kemudian si telunjuk tangan kanan itu masuk ke lubang O, dan si telunjuk digerakkan maju mundur...

“Oh,” kataku, setelah paham. “Sex?”
“Nah, itu!” bisik Zaki agak berbinar. “Agas pernah?”

Aku menggeleng. “Belum dong. Aku kan masih kecil!”
“Tapi kan kanjutnya gede. Masa nggak dipake?”

Okay, sekarang aku dapat petunjuk baru. Si kanjut ini pasti berhubungan dengan seks.

“Orang-orang amerika, pasti seneng fuck you-fuck you-an, kan?” tanyanya.
Aku merenung. Setahuku, semua orang di dunia, di negara mana pun, pasti seneng “fuck you-fuck you”-an.
“Ngng... ya,” jawabku. Sebetulnya masih agak bingung, kemana dia mau membawa pembicaraan ini.

“Saya juga, bos!” serunya, bersemangat. “Bos mau lihat videonya?”
“Apa?”

Zaki dengan kilat merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Tipe N73 music edition yang kukira sudah punah. Cowok itu memastikan meja sebelah nggak mengintipnya memainkan ponsel dan dia juga celingak-celinguk, barangkali di ruangan ini ada CCTV atau apa gitu.

“Nih, bos!” katanya, memberiku ponselnya. “Ini sama si Lidya.”

Zaki menunjukkan sebuah video buram, di sebuah ruangan yang agak remang (entah memang kualitas kameranya jelek atau karena settingnya malam hari sehingga pencahayaan hanya dari lampu pijar kecil). Video itu berisi seorang cowok (which I assume as Zaki) dan cewek (si Lidya) yang sedang woo-hoo di atas kasur tipis.

“Si Lidya tuh cantik, bos! Susunya gede!” bisik Zaki, masih berhati-hati supaya meja sebelah nggak mendengarnya. “Kalau bos mau, entar saya bawain si Lidya buat bos! Dia suka yang kanjutnya gede-gede—yang saya mah kecil, dia bilang kayak cengek. Kurang ajar! Bos pasti mau lah sama dia...”

No thanks, batinku. Kalau harus milih salah satu orang di video ini, aku pasti pilih si cowoknya!

Video itu, mungkin karena buram, nggak bisa aku nikmati. Yang jelas Zaki dalam video itu sedang “fucking-offlittle jack-nya ke dalam Miss V-nya si Lidya. Tapi si little-jack-nya nggak kelihatan kok. Yang kelihatan cuma bagian pinggir tubuh Zaki, lekukan pantatnya, dan bagaimana tungkainya begitu kokoh menggerakkan selangkangannya maju mundur ke dalam tubuh Lidya.

But still, my little jack has aroused. Karena meski buram, tetap saja video ini seksi mengingat si bintang utamanya adalah Zaki, yang sex appeal-nya memancar nggak ketulungan. Bahkan, sebisa mungkin aku nggak membayangkan bahwa si Lidya ini adalah aku.

“Terus aku juga pernah sama si Neneng,” katanya, merebut ponselnya cepat-cepat dan mengganti video. Ketika dia memberikannya lagi padaku, kulihat Zaki kali ini hook up bersama cewek di dalam sebuah lavatory. “Dia mah masih keset, bos! Dia juga katanya suka yang kanjutnya gede.”

Aku nggak berkomentar. Aku malah asyik menonton video itu, berharap si Zaki melepaskan little-jack-nya lalu dengan sengaja menunjukkannya ke kamera. Tapi sejauh ini aku cukup puas, melihat badannya yang telanjang, otot-ototnya yang menggiurkan, dan lihat perutnya itu! Apa dia gabung di gym atau apa gitu?

Dalam beberapa menit berikutnya, Zaki telah menunjukkan sekitar enam (entah tujuh) videonya bersama cewek-cewek yang berbeda. (Dan satupun nggak ada yang meng-capture ‘itu’-nya si Zaki—too bad.) Aku menduga dia berusaha keras kelihatan keren di hadapanku. Mungkin dia mengira orang Amerika adalah dewanya seks.

“Kalau lihat video bokep, banyak banget video bokep orang Amerika. Terus di film juga banyak banget adegan fuck you-fuck you-annya. Asyik kayaknya tinggal di sana, bisa aha-aha setiap hari,” bisiknya, saat dia menunjukkan videonya bersama Tuti.

Aku nggak berkomentar. Jelas masih asyik menonton video si Zaki ini.

“Kadang saya mah penasaran, bos,” gumam Zaki lagi, “gimana sih rasanya dimasukin kanjut gede? Cewek-cewek ini téh meni ngareeep banget bisa dapet kanjut gede. Saya mah bener bos, penasaran!”

Astaga, lihat itu! Seksi banget perut si Zaki! Andai aku menjadi Tuti... atau Shinta—yang tadi videonya lagi hook-up dengan Zaki di bawah pohon jambu.

“Lagi lihat apa, Gas?”
Tiba-tiba Bang Dicky muncul di depan kami dan mengagetkan kami berdua. Zaki langsung merebut ponselnya dan menyembunyikannya.

“Ini Ki, ngng... foto-foto waktu kita ke Pangandaran bareng Nenek!” sahut Zaki, menyembunyikan the truth. “Ya kan Gas?”

Aku hanya tersenyum. Nggak mau ikut-ikutan membual. Lagi pula, kenapa mesti disembunyikan, ya? Memangnya Zaki nggak menunjukkan video itu sama Bang Dicky, hmh?

Bang Dicky mengernyit, kelihatan banget nggak percaya dengan kata-kata Zaki. Tapi dia belum sempat berkomentar karena Granny keburu datang. “Aduh, penuhnya itu WC. Eh, makanannya belum datang, ya?”

-XxX-

Sepanjang menyantap menu kami, Zaki sama sekali nggak menyinggung soal videonya lagi. Lagi pula, Granny telanjur bersemangat menceritakan sekolah baruku.

“Salah satu cucunya Jeng Nunuk ada yang sekolah di CIS juga, lho! Namanya Esel. Tadi dia ngesms Nenek, katanya mau mampir ke rumah jam empat sore. Kamu bisa temenan sama dia, Gas. Jadi best friend!”

“Yang sering colek-colek itu, ya?” kata Zaki. “Iiiihhh...”
“Esel suka sama Zaki, kali!” canda Bang Dicky sambil tergelak.
“Amit-amit!” Zaki bergidik. “Dia kan sukanya sama elu, Dick!”

Hush-hush-hush, udah, jangan ngejek-ngejek terus si Esel! Entar kalo Jeng Nunuk bisa telepati dan ngedengerin obrolan kalian, gimana, hayo?” Granny, meski agak geli, mencoba menutup mulut kedua cowok itu. “Ngomong-ngomong, kalian percaya nggak kalo Jeng Nunuk lagi belajar telepati?”

“Hipnotis kali, Nek?” sahut Zaki.
“Bukan, ah. Telepati. Dia lagi berguru sama guru telepati! Gurunya dari Namibia.”

“Jeng Nunuk kan suka lebay, Nek,” ujar Bang Dicky, sambil menyuapi mulutnya dengan potongan Iga Penyet, “Terakhir Jeng Nunuk bilang lagi belajar sulap kan ternyata dia—“

Tring-tring-tong!!

Ucapan Bang Dicky terpotong. Aku, dan yang lainnya, kaget. Sendok perak yang sedang dalam perjalanan menuju mulutnya tiba-tiba terjatuh dan mengeluarkan suara berisik logam-ketemu-keramik. Ekspresi Bang Dicky terlihat lebih shock dibandingkan kami bertiga. Matanya membelalak seolah melihat hantu. Dia menatap ke satu ruang, ke satu sudut... ke satu meja.
“Kenapa, Dicky?” tanya Granny. Dia langsung celingukan ke arah yang dilihat Bang Dicky dan penasaran apa yang sebenernya terjadi. “Ada siapa, sih?”

Bang Dicky kelihatan gemetar. Gemetar yang sama seperti yang terjadi waktu kami tiba di pemakaman kemarin. Astaga, apa ada kuburan di sekitar sini?

“Heh, Dicky! Ada setan, ya? Si Kunti, ya?” tanya Zaki agak cemas. Tapi Bang Dicky nggak menjawab.

Aku mencoba memegang lengannya yang gemetaran dan mengelusnya, berusaha sebisa mungkin menenangkannya. Granny, yang kelihatannya lebih “tahu” soal Bang Dicky, akhirnya menemukan jawabannya. Setelah Granny celingukan sebentar, dia membuat kesimpulan.

“Dicky, kamu tunggu di mobil aja, ya?” kata Granny. “Sini Nenek antar. Agas sama Zaki tunggu di sini, oke?”

Granny lalu menarik Bang Dicky berdiri dan berusaha membawanya keluar restoran. Agak sulit juga kelihatannya. Karena makin sini rahang Bang Dicky makin mengeras. Ini bukan tipe gemetaran “ketakutan” yang kulihat kemarin ternyata. Ini tipe gemetaran “amarah”. Aku dapat melihat dengan jelas urat-urat lengannya. Juga alisnya yang bertaut tidak senang. Dan sorot matanya yang penuh... dendam.

Tapi Bang Dicky sudah berlalu keluar dari restoran. Meninggalkan aku dan Zaki yang masih celingukan. Beberapa detik kemudian, Zaki pun akhirnya tahu.

“Ooohhh... itu!” sahut Zaki, lega karena tahu. “Si Lita ternyata!”
“Lita?” tanyaku.
“Itu tuh yang itu!”

Zaki menunjuk sebuah meja yang penuh orang. Meja itu berisi sekitar delapan orang, lima cowok, tiga cewek. Yang cowok mengenakan setelan jas, dan yang cewek mengenakan blazer. Specifically, Zaki menunjuk cewek dengan blazer putih garis-garis hitam, yang kelihatan cantiiiik banget. Dengan rambut diikat kuncir kuda, tipe-tipe wajah Eropa-Asia, dan postur Beauty Queen.

“Si Lita tuh mantannya Dicky,” kata Zaki. “Sempet mau nikah, tapi dibatalin.”
“Lho, kenapa?”
Zaki mengangkat bahunya. “Nggak tahu, tuh. Tapi sejak mereka putus, si Dicky suka rada-rada kesetanan tiap ketemu si Lita di jalan. Kata Jeng Nunuk sih ini namanya trauma disorder. Entah trauma psikologis—saya lupa lagi. Yang pasti, Dicky suka berubah kalo dia ngelihat si Lita.”

Jadi... Bang Dicky pernah nyaris menikah dengan seorang perempuan?

“Nah, mumpung nggak ada orang,” kata Zaki kemudian, sambil mengeluarkan lagi ponselnya, “Mau lihat video saya sama si Neni nggak bos?”

Astaga, video lagi?

“Kirim aja deh, ke handphone aku. Entar aku tonton di rumah!”

Jadi ini sebabnya Bang Dicky kelihatan agak “berbeda” waktu aku membicarakan soal pacar dua hari yang lalu? Tapi masa sih segitunya? I mean, hubungan cinta kan nggak bisa diprediksi. Suatu hari bisa saja berakhir.

“Sini bos, hapenya!”
“Tunggu bentar.” Aku mengeluarkan ponsel, tapi sebelum menyerahkannya pada Zaki, aku mengecek dulu twitter-ku.

Kira-kira, Bang Dicky dan Lita putus gara-gara apa, ya? Kenapa bisa sampe “trauma” macam begitu? Apa si Lita ini jalang yang punya jutaan cowok di luar sana dan nipu Bang Dicky lalu bermaksud mengambil harta Bang—Oh, ada balesan dari Adam!

@gas_oQ jorok lu bahas2 kanjut d twitter! LOL! Kanjut tuh ini nih: <==8 got it? Lo mw tw jg artinya ngentot? Atau coli? 7 mins ago via UberSocial for BlackBerry

Pantas.

-XxX-

Efeknya ternyata dahsyat, lho!

Sepulang dari Iga Bakar, Bang Dicky kelihatan uneasy. Zaki yang menyetir mobil Granny (tentunya ketika lewat depan rumah Jeng Nunuk, gantian Granny yang menyetir). Tapi cowok kurir kayu itu langsung pamit pulang dan Bang Dicky bergegas menuju workshopnya untuk membuat frames lagi. Aku membuntutinya ke sana. Dan dalam tempo yang singkat, Bang Dicky memahat pinggiran frames membentuk duri-duri tajam yang mengerikan.

Aku benar-benar penasaran, mereka putus gara-gara apa sih sampe Bang Dicky gemetaran macam begitu?

“Agas, tuh Esel udah datang!” seru Granny memanggilku dari teras belakang. “Kalian ngobrol berdua aja, ya. Nenek mau ke supermarket bareng Jeng Nunuk.”

Aku dan Granny lalu bergegas ke ruang depan dan aku menemukan Jeng Nunuk (mengenakan T-shirt DKNY, celana jins, dan belt bergambar bendera Amerika) bersama seorang cowok kurus dengan kaus dan jins ketat yang memanjangkan rambutnya mirip orang-orang Korea.

“Gas... baju Kakak ini beli di Amerika, lho! Bagus, kan?” seru Jeng Nunuk pertama kali. “Oh, ini cucu Kakak, namanya Esel, dia juga sekolah di CIS. Ayo sana, darling. Main sama Agas.”

“Nenek ke supermarket dulu, ya!” kata Granny lalu menggiring Jeng Nunuk keluar. “Jeng masih punya mayones? Saya kayaknya mau beli Thousand Island sekarang.”

“Hai,” sapa Esel. “Good Afternoon!”

Dari tiga kata pertamanya, jelas sekali si Esel ini banci. Dia mengedikkan kepalanya seperti perempuan, seolah-olah dia punya poni paling panjang di dunia. Posturnya yang kurus dan cara berpakaiannya yang agak-agak girlie (kaus pink dengan gambar mahkota dan payet-payet berlian, lalu celana jins ketat, kardigan mungil yang sempat kukira bolero—saking kecilnya, dan apakah bibirnya itu dipoles lipgloss?) membuatnya kelihatan gaaaayyy banget.

“Sore juga.”

Aku mulai benci dengan orang-orang yang sok western. For God sake, I’m purely Indonesian! Use Indonesian please, and talk about Indonesia...

“Ke kamar aja yuk!” katanya, lalu berjalan mendahuluiku seperti supermodel. Dagunya diangkat ke atas, menunjukkan kesombongannya. “You pasti butuh info-info soal CIS, em? Aku punya list-nya.”

Tapi begitu kami berdua tiba di kamarku, dia tiba-tiba berubah. Seolah sudah memendam ini sejak lama, ingin mengatakan ini dari tadi. Esel langsung mengunci pintu dan mengecek, kalau-kalau pintunya berlubang atau seseorang sedang menempelkan kupingnya dari luar. Matanya pun awas menatap jendela, memastikan nggak ada yang nguping dari sana.

“Kamu anak manjam, kan?” tembaknya langsung. “I know!”

What?

“Tadi I lagi di kelas sosiologi—you know sosiologi, kan? I lihat you jali-jali di koridor. Bareng Nanny. Terus I jadi inget kalo you yang ada di manjam.”

“Maksudnya apa nih?”
“Maksudnya... kamu gay!” pekiknya. Kemudian menutup mulutnya, takut seseorang dari luar mendengarnya. “Kamu gay,” ulangnya lagi, berbisik.
Esel lalu duduk di sampingku di atas ranjang, dan kali ini kelihatan lebih santai, meskipun binar-binar sombongnya nggak hilang. “Ternyata cucu Nanny gay juga, em? Aku udah lihat kamu dari duluuuu.”

Aku menyipitkan mata dan belum berani merespon apa-apa. Sebetulnya apa maksud dia? Eh, bukan. Gimana dia bisa menemukanku di manjam?

“Aku nggak ngerti maksud kamu,” kataku.
“Oooh, ya ampun, nggak usah pura-pura deh,” ujarnya sambil memutar mata dan menunjukkan ekspresi angkuh, “username kamu howiroll kan?”

Astaga, bagaimana dia bisa tahu?

“BFF aku, si Jarot, ngeceng you. Katanya dia nemu kamu di friendlist-nya friendlist temennya. Detseu lalu nunjukin profile kamu ke I, dan menurut I... lembayung sih,” wajahnya seolah malas-malasan waktu mengatakan ‘lembayung’ barusan, “tapi I inget banget muka you kayak gimana. Pas you tadi ada di CIS buat jali-jali, I langsung inget you! I langsung buka manjam dan searching profile you. Dan malahan, baju kamu tuh sama dengan yang kamu pake di manjam! Ha!”

Betul juga. Di foto profile-ku, aku mengenakan kaus ungu Thai Airways (hadiah waktu jalan-jalan ke Bangkok tahun lalu) dan aku mengenakannya lagi tadi, meski sudah kututup kemeja kotak-kotak warna ungu-putih. In fact, aku masih mengenakannya sekarang.

Agak lama aku nggak berkomentar. Aku menatap wajahnya, meneliti maksud dia dari membongkar identitas manjamku itu apa. Apa dia mau mengenalkanku pada si Jarot-nya? Atau blackmailing aku?

“Terus?” tanyaku akhirnya.

“Berarti kita bisa jadi bestfriend!” serunya bahagia. Dia lalu turun dari ranjang dan mulai memeriksa meja riasku. “Kamu punya lipgloss? Bibir aku kering. Aku bawa sih. Tapi kali aja kamu bawa yang asli dari Maybeline New York.”

“Aku nggak pake lipgloss.”
“Ah, that’s impossible,” katanya, mengaduk-aduk laci meja rias. “Kok kosong, ya? Oh, mungkin masih di koper kamu, ya? Kamu punya blush Covergirl, kan?”

Aku mengernyit menatapnya. “Aku nggak pake blush on.” For God sake, is gay required to have a blush or a lipgloss?!

“Masa sih?” Dia mengernyit heran. “Payah.”

Esel lalu mengitari ruangan dan meneliti satu persatu koperku. “Terus meja rias itu buat apa?” tanyanya.

“Itu udah ada di sana sejak aku datang. Bukan aku yang minta.”

“Kenapa sweter Bang Dicky ada di sini?!” serunya, tiba-tiba mencabut sweter itu dari gantungan dan mengacungkannya padaku, seolah dia baru saja menemukan kumpulan barang-barang hasil curianku dan mengacungkannya padaku dengan marah.

“Oh...” Aku harus bilang apa? “Semalem Bang Dicky ke sini dan nyimpen sweter itu di situ.”
“Dan kamu nggak ngembaliin ini ke Bang Dicky?!”
“Kenapa kamu marah-marah, sih?”

Esel memutar bola mata seolah aku ini tolol atau apa. “Ya ampuuun... Bang Dicky tuh cinta sejatiku! Kamu nggak boleh ngerebut dia!”

Apa?

“Kamu pacarnya Bang Dicky?” tanyaku.
“YA!” pekiknya. Lalu buru-buru meralat. “Nyaris... Hampir... Ya pokoknya, di dunia gay, dia itu milik aku. Dan kamu mesti tahu hal tersebut. Okelah, untuk kali ini aku maklum, karena kamu belum tahu. Tapi lain kali jangan, ya?”

“Aku nggak ada perasaan apa-apa sama Bang Dicky,” bualku.
“Bagus, deh!”

Oke, kurasa orang ini bener-bener annoying.

“Dan si Zaki juga jangan diganggu, oke? Dia my prince charming!” Esel lalu keluar dari kamar. “Aku haus, mau ngambil minum dulu.”

Kesimpulan awalku tentang Esel: dia orang yang nyebelin. Aku yakin kalian juga setuju. Ini bukan soal dia jatuh cinta dengan Bang Dicky ya—itu haknya dia. Tapi dengan berteriak-teriak macam begitu, atau membicarakan soal manjamku, rasanya dia udah kelewat batas. I mean, gara-gara sweter aja dia langsung sewot begitu?

Huh. Capek deh.

Aku bergegas keluar dari kamar menuju kamar mandi. Tapi begitu sampai di lorong terakhir sebelum kamar mandi, kulihat sekelebat sosok bergerak cepat menuju kamar mandi. Siapa itu? Ketika aku tiba, pintu itu baru saja ditutup. Ceklek. Ditutup rapat. Lalu ada suara air mengalir dan...

Mungkin Esel sedang pipis.

Aku menunggu di depan pintu kamar mandi sambil meneliti kukuku. Sebetulnya aku masih penasaran, gimana caranya Esel bisa “mengingat” wajahku di manjam dan tahu bahwa akulah si orang tersebut di dunia maya? I mean, aku sudah jutaan kali melihat profil banyak orang di manjam, tapi satupun nggak ada yang kuingat. Kecuali Adam, of course. Dan cowok cute dari Philippines itu, yang waktu itu pernah YM-an denganku. Tapi sisanya kan hanya kuingat tiga detik saja... tiga detik setelah aku pergi dari profile-nya.

Tapi lucu juga ya, ternyata Esel jatuh cinta sama Bang Dicky. Malah menjadikan Zaki prince charming-nya. Kalau aku bilang ke dia bahwa Bang Dicky itu kakakku sekarang, dia bakal bereaksi gimana ya? Apa marah? Apa senang karena dia pikir saingannya berkurang? Well, sebetulnya, aku juga bakal—

“Ngapain kamu di sini?” Esel tiba-tiba mengagetkanku dengan menepuk pundakku dari belakang.

Aku terkejut. Nyaris melompat dan menabrak salah satu guci antik dekat kamar mandi. Kulihat Esel sedang berdiri penasaran di depanku, tangan kirinya menggenggam segelas air putih.

“Kamu aneh, ya,” ujarnya. “Cakep-cakep tapi aneh.”

Tunggu. Kalau Esel ada di depanku, lalu siapa yang ada di dalam kamar mandi?

Aku mendekati pintu dan udah nggak mendengar suara air mengalir lagi. Bahkan untuk memastikan, aku memutar kenop pintu, dan... ceklek! Nggak terkunci. Sekarang aku bimbang, pintunya dibuka jangan, ya? Bisa jadi Bang Dicky sedang buang air besar dan lupa mengunci, dan tiba-tiba aku membuka pintu, membuatnya malu...

“Kamu kenapa sih? Ada siapa di kamar mandi?” tanyanya.

“Halo? Ada orang di dalem?” seruku ke kamar mandi. Tapi nggak ada jawaban. “Halo?”

Karena nggak sabar, Esel lalu mendorong pintu kamar mandi dan menggebraknya hingga terbuka lebar. Dan ternyata di dalamnya... kosong. Betul-betul kosong. Aku bahkan melihat langit-langit kamar mandi, semuanya kosong (aku sempat berpikir bahwa mungkin saja Bang Dicky sedang menempel di langit-langit layaknya Spiderman).

“Kamu cari siapa sih?” tanya Esel.

Impossible! Aku yakin banget tadi ada sesosok orang masuk ke kamar mandi, menutup pintu dengan rapat, mengeluarkan suara air mengalir... lalu...

Astaga. Jadi dari tadi aku menunggu siapa di depan kamar mandi?
Si Kunti?
TO BE CONTINUED...

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

0 comments:

Post a Comment