DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 2

-chapter 2-
by MarioBastian

:hear music: Kenapa hatiku cenat cenut setiap ada kamu...
Selalu peluhku menetes tiap dekat kamu...
:hear music:

Aku sudah jutaan kali bertemu orang idiot. Aku melihatnya di teve dan bahkan adik salah satu temanku di US juga idiot. Dari pengamatanku, mereka memiliki struktur wajah yang sama. Dan berapa pun usia mereka, cara berpikirnya tetap kekanak-kanakan. Nggak pernah dewasa. Tapi aku ragu jika harus memasukkan Bang Dicky ke dalam kategori ini. First, idiot nggak bisa masak seenak itu dan nggak akan bisa menyetir mobil. Second, wajahnya terlalu “menakjubkan” untuk disebut idiot. (Saking menakjubkannya, aku yakin aku rela menjadi idiot demi wajah attractive seperti Bang Dicky.)

“Naah! Itu yang namanya Morgan, Agas! Itu!” jerit Granny kegirangan. Dia melompat dari sofanya, menyebrangi meja rendah di hadapan kami dan berhenti tepat di depan teve. “Ganteng kan, Gas? Yang ini!”

Granny tetap menunjuk artis idolanya itu kemanapun gambar sang Morgan bergerak. Aku kagum pada boyband ini. Bukan karena kegantengan atau suaranya. Tapi karena berhasil membuat nenek-nenek tetap segar bugar dan rela melompat dari sofa demi melihatnya lebih dekat.

Yes, Granny, ganteng,” sahutku, pura-pura antusias.

Kalau bukan idiot, aku menduga dia autis. Tapi begitu aku cek di Wikipedia, satupun tak ada tanda-tanda autis yang cocok dengan Bang Dicky. Cowok itu sama sekali nggak punya masalah komunikasi. Dia bisa mengutarakan pendapatnya dengan jelas dan dapat mengerti semua maksud orang-orang di sekitarnya.

:hear music: You know me so well...
Girl I need you...
Girl I love you...
:hear music:

Girl I heart yooouuu!” turut Granny, ikut bernyanyi. Suaranya melengking dan nggak peduli nada. Aku bersyukur Granny tidak ikut menari seperti cowok-cowok itu. “Oh, nenek punya liriknya! Kamu mau lihat, Agas?”

Aku tidak sempat menjawab karena Granny sudah menghilang ke kamarnya. Dengan jelas dapat kudengar suara laci terbuka, suara Granny mengaduk-aduk laci, suara keluhan “Dimana sih bukunya?”, lalu kudengar suara pintu lemari baju dibuka.

Oke, balik lagi ke Bang Dicky. Mungkin sebetulnya dia punya masalah kepribadian. Entah apa itu, benar-benar misterius. Sampai detik ini, 3 jam setelah dia rela bertelanjang dada di depan umum, aku masih penasaran akan sosoknya. Pertama, di kehidupanku sebelumnya, maksudku sebelum aku pindah ke Amerika, aku belum pernah melihat Bang Dicky di rumah Granny. Jadi aku clueless mengenai sejarah dia bisa gabung di keluarga ini. Kedua, dia nggak menunjukkan tanda-tanda “uneducated”, karena dia bisa dengan mudahnya membaca tulisan dan bahkan paham newsticker salah satu stasiun teve Indonesia (yang ada gambar elangnya itu, lho... aku lupa lagi namanya apa) sewaktu kami membahasnya sore tadi. To make it amazing, dia up-to-date dengan berita politik terkini (which of course I didn’t).

Lalu kenapa dia memanggil namanya sendiri saat berbicara seolah dia anak sepuluh tahun yang sedang mencari perhatian?

“Pasti Jeng Nunuk yang ngambil!” seru Granny sambil keluar dari kamar dengan wajah kesal. Dia lalu melanjutkan pencariannya di buffet ruang tengah. “Kadang-kadang Jeng Nunuk itu suka ngutil, lho, Gas. Kamu harus hati-hati. Dia pernah pinjem talenan Nenek dan sampe sekarang belum balik-balik juga.”

He’s absolutely so sweet. Sewaktu dia merangkulku pulang ke rumah Granny, dia begitu cemas dengan basah kuyupku. Which is odd. Tapi saat itu jantungku berdebar kencang dan yang kupedulikan hanyalah betapa gagahnya dia, betapa helpful-nya dia, betapa erat rangkulannya... dan soal perut dia yang... yah, pokoknya “unbelievable”, sampe-sampe aku nggak sadar kalau hal tersebut weird.

Baru setelah aku mengganti bajuku, menatapnya sedang menatapku cemas, aku merasa janggal.

“Kamu lihat buku tulis Nenek nggak, Gas?” Granny masih sibuk mencari catatannya. Kali ini dia sudah nungging dan menggapai-gapai ke bawah buffet. “Warna merah, buku tulis biasa. Gambar depannya Morgan.”

Bahkan untuk memastikan, Granny berlari ke depan teve, menunjuk sang Morgan lagi, “Yang ini nih Morgan,” lalu kembali lagi mencari bukunya.

“Aku nggak lihat, Granny,” jawabku.
“Oooh... Nenek mesti tanya Jeng Nunuk sama Jeng Shinta. Mana hape Nenek?” Granny bergegas duduk di sampingku dan meraih ponselnya (which is “a” smartphone). Aku kira Granny mau menelepon kawan-kawannya itu. Ternyata dia men-twit-nya. “Kamu punya twitter, Gas? Follow Nenek, ya. Apostrophe Janis line down Allya.”

Apostrophe? Line down?
Aku meraih ponsel Granny dan mengecek exact spelling dari account tersebut. Ternyata:

@Janis_allea

“Ini bukan apostrophe, Granny,” kataku menjelaskan. “Ini ‘et’.”
“Jeng Nunuk bilang ini apostrophe!” Sekarang Granny kelihatan makin kesal. “Berarti dia itu sok tahu, ya Gas? Kapan itu dia pernah bilang kalo kiper timnas Indonesia Bambang Pamungkas. Untung si Dicky ngasih tau.”

:hear music: Tak ada yang bisa memisahkan cinta...
Waktu pun takkan tega...
Kau dan aku bersama...
Selamanya...
:hear music:

Video klip Sm*sh selesai tayang di teve. Dan satu-satunya nama yang terakhir melayang di ruang tengah adalah nama Dicky. Aku menggunakan kesempatan itu untuk mengetahui lebih jauh.

“Bang Dicky itu sebenernya siapa sih, Granny?” tanyaku.
“Dia itu kakak kamu, Gas. Kakak baru kamu. Eh tunggu bentar, Jeng Shinta nge-mention.” Granny mengangkat tangannya dan dengan kilat membaca balasan twitter di ponselnya. “Ternyata Jeng Shinta nggak tahu. Pasti pelakunya Jeng Nunuk!”

“Maksud aku tuh, sebenernya Bang Dicky dateng dari mana? Apa dia punya keluarga atau apa gitu?”

“Dicky juga yatim piatu, sama seperti kamu,” jawab Granny, yang kali ini sibuk menatap ponselnya, menunggu Jeng Nunuk membalas. “Tapi kayaknya sih... Cuma Nenek satu-satunya keluarga terdekatnya sekarang. Dan juga kamu, Sayang, adik barunya Dicky,” tambah Granny buru-buru.

Somehow, I don’t really like the idea of him being my brother. I mean, we’re stranger (and surely I like him), but it just... doesn’t... quite appropriate. I don’t even know his last name. How can I be his brother?

“Apa Bang Dicky punya pacar?” tanyaku.

Granny kelihatan agak terkejut ketika aku bertanya barusan. Entah dia terkejut karena mendengar suara-suara ganjil dari dapur, atau memang topik tersebut basically sensitive. Tangan Granny tiba-tiba sibuk merapikan tepian terusannya, dan kalau tidak salah, aku melihat Granny menelan ludah.

“Ada sih, pacar,” jawab Granny, lil bit salah tingkah. “Pernah.”
“Pernah?” ulangku. “Jadi maksud Granny sekarang dia lagi single?”
“Yaaa...” pikiran Granny melayang di langit-langit, “kayaknya sih dia lagi menikmati masa mudanya.”

Something is obviously hidden here.
“Kamu punya pacar, Agas?” tanya Granny, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Aku menggeleng. Dan menambahkan, “Seiyanya ada pun, orangnya pasti di Amrik, Granny. Dan aku bukan tipe-tipe yang suka long distance relationship. But no, I don’t have one.”

Tiba-tiba saja ruangan tengah menjadi hening.

“Oh, sini, masukin alamat twitter kamu!” seru Granny, kembali riang.

-XxX-

Tidur di atas ranjang pertama kali setelah melakukan more-than-24-hours-flight adalah tidur paling nikmat. Sampai malam tadi, sampai aku mengobrol dengan Granny hingga tengah malam, kepalaku pusing nggak keruan. Ini jet lag paling hebat yang pernah kurasakan. Karena ketika aku bangun esok harinya, jam sudah menunjukkan pukul satu siang.

Hal yang pertama kulakukan setelah sadar bahwa aku ini sudah bangun adalah mengecek twitter-ku. Sebagian adalah twit dari teman-temanku di Amrik, menanyakan bagaimana perjalananku kemaren dan sudah sampaikah di Indonesia dan apakah kamu nggak kena serangan teroris Al-Qaeda dan tolong kirim kain batik dari Bali yang aku pernah lihat di Discovery Channel, please... Aku membalas satu persatu twit itu, dan agak tergelak begitu membaca obrolan twit antara Granny dan Jeng Nunuk yang entah mengapa mesti me-mention namaku.

@Jamud_noe2k b3Lum jeng Nu2k, 4g4s b3Lum b4n9un. C4p3q m9kn d pRjLn4n. @gas_oQ 5 hrs ago via Mobile Twitter

@Janis_allea 1tu n4mZ-x “Jet-Lack” jeng 4LL34. Cu2Q kLw n4iQ p5wt sk4 j3t-l4ck! @gas_oQ 5 hrs ago via Twitter for BlackBerry®


Aku turun dari ranjang dan bergegas mandi. Setelah aku selesai berpakaian, mengenakan dark outfit, seperti: jins hitam, kemeja cotton hitam, dan sweter rajut gelap yang dibelikan Mom dari obral sampel di Saks, aku keluar dan menuju ruang makan. Bang Dicky kebetulan sedang menata beberapa hidangan makan siang di atas meja, dan celemek hitam kotak-kotaknya terlihat manis.

“Makan siang, Gas?” sapanya.
“He-eh,” jawabku. Dan aku cukup kaget melihat seringainya yang antusias.

Ketika Bang Dicky hilang ke dapur, Granny tampak cantik dengan terusan biru donker yang eye-catchy. Granny bahkan menyanggul rambutnya ke atas dan membiarkan sejumput rambut jatuh di pipinya... mirip anak muda jaman sekarang aja kayak gimana.

“Eh, bener kamu udah bangun, Sayang,” Granny tampak kaget. “Berarti bener kata si Dicky barusan. Yang mandi tuh kamu. Ayo lunch siang dulu. Udah ini kita ke pemakaman, oke?”

Saat makan siang, bertiga bersama Bang Dicky, aku dikenalkan dengan banyak menu baru.
“Ini namanya dorokdok,” ujar Bang Dicky, menawariku kerupuk keemasan yang rasanya gurih. Awalnya kupikir spelling-nya “tho-rogue-dog” sampai akhirnya Bang Dicky menjelaskan cara menulis namanya dan terbuat dari apa.

Yuck. Kalau saja aku kurang ajar, sudah kumuntahkan lagi dorokdok tersebut. For God sake, kulit sapi? Dibikin kerupuk?

Tapi yang membuatku enjoy dengan makan siang tersebut adalah betapa happy-nya Granny dan Bang Dicky. Aku seolah berada dalam keluargaku sendiri. I mean, belum 24 jam kami semua berkumpul tapi kami sudah akrab seperti ini.

Atau bisa jadi dua orang itu memang akrab keterlaluan sehingga aku merasa nyaman-nyaman aja.

Nah, satu hal yang membuatku cukup heran adalah ekspresi Bang Dicky saat Granny menyelesaikan makan siangnya dan mengangkat topik soal pemakaman. “Owh, berarti kita mesti ke Tamansari dulu nanti. Beli bunga buat ke pemakaman.” Bang Dicky tidak seriang tadi. Tidak semanis saat dia tersenyum lebar di atas celemek kotak-kotaknya yang cute. Ekspresinya langsung hilang. Ibarat lampu, dari asalnya turn on, tiba-tiba switch-nya diganti jadi off dan ruangan gelap seketika.

Alisnya agak turun mendekati mata. Sebisa mungkin Bang Dicky menahan kernyitan sehingga wajahnya kelihatan kayak yang depressed abis. Jika aku pembaca aura, aku pasti tahu bahwa aura bahagianya lenyap seketika. Mungkin dari ungu sukacita menjadi hitam pekat tak bernyawa.

Aku tak sempat bertanya ada apa gerangan dengan Bang Dicky karena Granny sudah mengajakku mengobrol hal lain. “Kamu punya buku Yassin-nya, Agas? Nenek punya. Nanti Nenek pinjemin deh, ya, kalo kamu nggak punya. Terus, oh, kamu tahu nggak Julia Perez, Sayang? Tadi pagi dia ada gosip baru! Bareng Dewi Perssik! Jadi gini ceritanya...”

Bang Dicky tidak menyimak gosip yang diberikan Granny. Well, basically, gosip itu memang untukku kok. Tapi aku heran kenapa dia langsung pergi ke dapur dengan ekspresi seperti itu?

Sampai saat kami naik mobil Granny pun, Bang Dicky tidak menunjukkan tanda-tanda ceria riang gembira seperti yang dia tunjukkan sepanjang makan siang tadi. Saat Granny berseru, “Nenek dulu ya yang nyetir!” Bang Dicky mengangguk dan mempersilahkan Granny mengambil alih kemudi. Aku di jok belakang, duduk manis dengan headset di kepalaku. Sementara itu, Bang Dicky menutup pagar sampai Granny berhasil membawa mobil keluar dan menepi di trotoar depan rumah.

Bang Dicky duduk di jok depan dengan kepala menunduk sewaktu mobil mulai bergerak. Granny mulai mengoceh lagi tentang Jeng Nunuk, but I practically didn’t listen. Mataku melirik ke arah Bang Dicky yang duduk agak membungkuk, merapatkan kakinya, dan menunduk.

“Nah, ini rumah Jeng Nunuk, Gas! Kemaren kan kamu nggak sempet lewat sini!” seru Granny riang. “Jeng Nunuuuk!”

Kebetulan (entah memang sengaja ada di situ), Jeng Nunuk ada di halaman depan rumahnya sedang menatap pohon belimbing yang tumbuh rendah di situ. Begitu Granny memanggilnya, dia langsung melambai riang. Ekspresinya dibuat-buat. Seolah-olah itu hanyalah skenario. (Atau memang iya skenario?)

“Kami semua d’Jandaz senang bercocok tanam lho, Gas. Semua halaman depan pasti penuh tanaman,” kata Granny sambil susah payah mengganti gear.
I see,” jawabku.

d’Jandaz adalah nama geng Granny—kumpulan cewek-cewek janda. Nama depan twitter Granny kan “Janis”, artinya “Janda Manis”. Ja- yang lain silahkan tebak sendiri.

Ketika mobil keluar dari gerbang utama komplek, Granny langsung menepi di pinggir jalan raya. Dia membuka sabuk pengamannya dan bersiap-siap keluar.

“Ayo, Dicky. Gantian. Barusan kan udah lewat rumah Jeng Nunuk, dia udah lihat Nenek nyetir. Sekarang kamu yang nyetir,” katanya.

Aku belum sempat berkomentar karena Granny maupun Bang Dicky sama-sama sudah keluar mobil dan tukar posisi. Bang Dicky kini duduk di depan jok kemudi (masih kelabu suasana hatinya) sementara Granny duduk di sampingku di jok belakang.

Is it okay, Granny?” tanyaku cemas. Maksudku, Bang Dicky, menyetir mobil, dalam kondisi macam begitu?
Okay kok, okay,” jawab Granny. “Dicky udah punya SIM. Barusan kan Nenek nyetir biar bisa dilihat sama Jeng Nunuk aja kalo Nenek yang nyetir mobil.”
“Bukan soal itu,” bisikku, memutar bola mata. “Bang Dicky kelihatan sakit.”

Granny menatap Bang Dicky dan menelitinya sebentar. “Ah, nggak kok Sayang. Dicky sehat.” Granny lalu mengaduk tasnya dan mulai merajut.

“Tapi dia kelihatan murung,” bisikku lagi. Hanya saja kali ini Granny nggak berkomentar.

-XxX-
Sesampainya di pemakaman, Bang Dicky nggak mau turun dari mobil. Dan sialnya, dia bersikeras untuk parkir agak jauh dari pemakaman. Alasannya karena kalau masuk, nanti mobil susah memutar. Tapi yang membuatku heran adalah jemarinya bergetar dan wajahnya kelihatan cemas. Aku bahkan dapat mendengar kukunya terantuk-antuk di setir mobil.

“Beneran nih Bang Dicky nggak mau ikut?” tanyaku terakhir kalinya.
“Dicky di sini aja,” jawabnya pelan.

Kenapa sih, dia?
Phobia pemakaman, hah? Takut hantu, atau apa gitu?

Sepanjang menapaki jalan kecil berumput melewati banyak kuburan, aku mengeluarkan ponsel dan googling phobia pemakaman. Kebetulan sekali aku menemukannya. Namanya coimetrophobia. Tapi aku nggak sempat membaca definisinya karena Granny bilang kami sudah sampai di makam Mom and Dad.

Jujur saja, kunjungan ini tidak seperti yang aku bayangkan. Aku sempat berpikir bahwa "mungkin" aku akan menangis tersedu-sedu, menabur bunga sambil meratapi makam orangtuaku, dan mungkin akan mencengkeram nisannya kuat-kuat sambil pikiranku flashback ke kenangan-kenangan indah yang pernah kami bangun bertiga.

Tapi nggak. Aku sama sekali nggak melakukan itu. Ketika aku tiba, mataku melirik ke arah mobil Granny parkir dan yang ada di otakku hanyalah Bang Dicky, Bang Dicky, dan Bang Dicky. Saat Granny menawariku sekantung bunga untuk ditaburkan, aku tidak menaburkan bunga itu dengan perasaan sedih. Instead, aku bertanya-tanya, ini bunga jenis apa?

Saat aku menatap nisan batu kedua orangtuaku, aku tidak mencengkramnya dan membayangkan flashback apapun. Aku malah membandingkannya dengan kebanyakan Graveyard di Amerika, yang menurutku, di Amerika lebih bagus.

Granny membaca doa-doa. Tapi aku nggak hafal dan nggak ngerti sehingga aku hanya menatap makam Mom and Dad dengan pikiran melantur kemana-mana.

Apa Bang Dicky punya trauma dengan pemakaman? Kalau ya, kenapa dia tetap ikut ke sini? I mean, daripada menghabiskan waktu berada di tempat yang nggak disukai, aku lebih milih diam di rumah, malas-malasan atau apa gitu. Sampai sekarang, aku masih penasaran dengan sosok Bang Dicky. Di satu sisi aku ingin merengkuhnya dan memeluknya karena dia begitu manis, di sisi lain aku ingin membongkar apa saja yang ada dalam pikirannya.

Sesaat, tanpa sadar aku celingukan kanan kiri, mengawasi setiap kuburan yang ada di sekitarku. Aku yakin barusan ada yang sedang memperhatikanku.

“Aaaammiiinnnn...” seru Granny di akhir doa-doanya. “Nah, Agas, kamu mau Nenek tinggalin di sini sebentar? Kali aja kamu mau sendirian dulu bareng Ibu Bapak kamu?”

“Eh, nggak perlu,” jawabku buru-buru. “Aku nggak apa-apa kok, Granny. Yuk kita pulang.”

Aku nggak bisa membayangkan ditinggalkan di tengah-tengah pekuburan sendirian. Mana hari ini yang melayat dikit banget. Memang bukan musimnya melayat, kata Granny.

Kami berdua berjalan meninggalkan makam Mom and Dad, dan aku sesempat mungkin menggoogling lagi istilah tadi.

coimetrophobia, koimetrophobia
An excessive, or abnormal, fear of cemeteries. Those who fear cemeteries usually are also afraid of going to funerals, looking at tombstones or dead bodies, and just hearing about funerals. Some people will drive long distances out of their way to avoid going by a cemetery or walk on the other side of the street to avoid being close to one.


Jika benar Bang Dicky menderita coimetrophobia, apa gerangan yang menyebabkannya? Aku tidak yakin Bang Dicky takut hantu. I mean, rumah Granny adalah rumah paling cocok untuk syuting film horror karena segala-galanya sangatlah pas. Banyak langit-langit gelap, kurang pencahayaan, lembap, dinding-dinding yang dipenuhi foto-foto nenek moyang kami dalam pigura-pigura cantik, dan hobinya Granny memasang kain putih polos transparan sebagai tirai jendela. I mean, siapapun bisa menganggap kain itu sebagai kostumnya kuntilanak, bukan?

Nah, di rumah sehorror itu, Bang Dicky justru kelihatan cerah ceria. Layaknya saat makan siang tadi. Ketika mengungkit perihal pemakaman lah yang membuatnya menjadi mendung.

“Apa Bang Dicky takut sama kuburan?” tanyaku sambil lalu, berharap mendapat jawaban jelas dari Granny.

Agak lama Granny diam, nggak mau menjawab. Entah karena Granny sibuk memilih jalan setapak di antara kuburan atau memang merahasiakan sesuatu. “Emang kenapa mesti takut kuburan?” katanya.

Astaga, itu sih bukan jawaban.

“Aku nggak takut kuburan, Granny. Yang aku tanyain kan Bang Dicky. Kok dia kelihatan kayak yang takut...”
“Misalnya gimana, Sayang?”
“Misalnya, dia kan tadi nggak mau ikut turun dari mobil. Udah gitu wajahnya murung. Apa dia takut ngunjungin kuburan? Barusan aku ngecek di google sih, emang ada orang yang—“
“Tuh, si Dicky,” sela Granny.

Granny menunjuk seseorang yang sedang berdiri di dekat pohon kamboja besar di depan kami. Jaraknya hanya beberapa meter, tapi butuh waktu beberapa detik bagiku untuk memastikan bahwa itu Bang Dicky. Dia sedang berdiri membelakangi kami, menghadap salah satu kuburan, dan dari jauh dapat kupastikan tangannya gemetaran.

“Dicky..!!” panggil Granny.

Bang Dicky menoleh dan langsung menunduk. Dia tidak menghampiri kami—which is odd. Dia malah berlalu dan mendahului kami menuju mobil. Bang Dicky agak berlari. Kentara banget sama aku dan Granny yang jalan santai-santai seolah sedang menyusuri pantai. Tapi Granny tidak kelihatan terganggu. Seolah kejadian tersebut adalah hal yang lumrah yang selalu terjadi setiap saat.

Atau mungkin Granny menyembunyikan sesuatu?

Saat tiba di mobil, yang masih diparkir agak jauh dari pemakaman, Bang Dicky sudah duduk di jok kemudi, lengkap dengan seat belt dan posisi duduk tegak. Granny dengan riang menepuk pundak Bang Dicky yang kelihatan tegang (dan tangan yang “masih juga” gemetaran), sambil berkata, “Kita cari makan yuk, Sayang? Ke Cabe Rawit gimana? Sambil bahas tentang sekolah kamu minggu depan, Gas.”

Tring!
Seolah ada peri di sekitar kami, dan peri tersebut mengayunkan tongkatnya ke arah Bang Dicky, lalu Bang Dicky yang awalnya kelihatan murung, mendung, tegang, tiba-tiba terlihat rileks, santai, dan riang. Ya! Dalam sekejap, lho. Sampe-sampe mulutku pun menganga melihat perubahan mendadak itu! Bang Dicky tiba-tiba tersenyum lebar, dengan mata mengerut yang menunjukkan “saya benar-benar bahagia”, ditambah pundak yang turun dan jari-jari yang tidak gemetaran lagi. Benar-benar kentara dengan kondisi yang kulihat satu detik lalu. Hanya dengan satu tepukan di pundak sambil bilang, “Yuk cari makan!” dan semuanya berubah begitu saja.

Ataukah kata-kata Granny memang mantra yang diperlukan?

Ya Tuhan... Cowok ini bener-bener misterius.
Really. Literally!

-XxX-

Beberapa hal yang sudah pasti “questionable” dari rumah Granny adalah:

1. Banyaknya frames foto berukuran besar yang dihiasi foto-foto hitam putih zaman dulu (dimana si model mengenakan medieval costume dan menatap dingin ke arah kamera).
2. Adanya beberapa ruang terkunci yang agak “aneh”, dan setiap aku bertanya ke Granny, dia pasti mengalihkan pembicaraan.
3. Kain-kain putih itu! Ya. Setiap jendela di rumah Granny kelihatannya ditutupi kain putih transparan yang bahkan nggak mirip curtain sama sekali. Kalau jendela dibuka dan angin masuk, kadang-kadang kupikir aku melihat hantu melayang-layang.
4. Aku yakin aku mendengar suara deru mesin somewhere around here. Tapi hanya terjadi saat Bang Dicky menghilang dan tak kutemukan dia dimana-mana di rumah Granny.
5. Aku selalu merasa ada yang memperhatikan aku di beberapa sudut. Misalnya, saat sedang menonton teve, tiba-tiba aku melihat ke arah atas lemari. Semuanya mendadak, tanpa kurencanakan dan entah kenapa aku “tiba-tiba” menoleh ke situ. Saat aku mendadak menoleh ke sudut lampu ruang tengah, aku malah merasa ada yang memperhatikanku dari situ.
Bagian yang terakhir itu agak menakutkan. Pukul sembilan malam, saat aku memutuskan untuk tidur, aku sudah kesana kemari berkesimpulan bahwa mungkin saja ada hantu di rumah ini. Bahwa mungkin si hantu itulah yang membuatku menoleh ke beberapa sudut dan merasa sedang diperhatikan. Aku bahkan jadi nggak konsen main FSX-ku, dan setiap ruangan hening, aku selalu berpikir, bisa saja tiba-tiba muncul hantu di hadapanku, “HA!” mengagetkanku sampai mati atau lari terbirit-birit.

But, no. Sekalipun nggak ada hantu yang melakukan itu padaku.

“Met tidur, Sayang,” Granny mengecup keningku—membuatku merasa seperti bocah lima tahun. But then, Granny sudah begitu baiknya menerimaku di sini dan mau membiayai hidupku, apa salahnya dimanja macam begitu oleh nenek sendiri? “Besok kita jalan-jalan, em? Shopping-shopping, em?”

Em?

“Kalo ngunjungin sekolah baru aku, kapan Granny?”
“Lusa, Sayang. Besok kita beli-beli baju dulu, keliling Bandung. Nenek punya butik langganan. Kita beli kaus V-neck, em? Biar kayak Morgan. Kamu pasti ganteng pake baju itu! Nanti Nenek beli dua, deh. Satu buat kamu, satu buat Dicky.”

“Eh, Bang Dicky tuh masih ada di sini?”
“Nggak dong, jam sembilan pasti udah pulang. Tadi terakhir dia bantu Nenek ngebersihin karpet.”

Jika kalian juga penasaran, sama, aku juga penasaran. Sebetulnya “jabatan” Bang Dicky di rumah ini tuh apa?

“Mulai besok Agas panggilnya Abang aja. Kan Agas udah Dicky anggep adik sendiri. Oke, darling?”

Aku mengangkat alis dan mengedikkan kepala tanda “oke deh”. (Tapi lebih berharap memanggil Bang Dicky sebagai “my boo” dibandingkan “my bro”.)

Granny lalu keluar kamar dan mematikan lampu. Aku menarik selimut tebalku dan mencoba tidur. Hari ini lelah sekali. Jalan-jalan keliling Bandung, melihat kota yang begitu padat—khas Asia, mencicipi jajanan pinggir jalan yang justru jadi favorit banyak orang, dan kadang tanpa sengaja melirik-lirik cowok-cowok Bandung yang cute. Lumayan banyak juga yang worth it di sini.

Tapi sampai sepuluh menit kemudian, aku terjaga. Sama sekali nggak bisa tidur! Apa ini efek bangun terlalu siang? No. Aku yakin badanku lelah sekali. Dan aku yakin aku nggak kegerahan seperti waktu kapan itu liburan di Kolombia. Ruangan ini bersuhu normal. Nggak lebih dingin dari New Jersey tapi normal. Tapi tetep aja, mataku segar bugar dan setiap aku menutup mata, dalam tiga detik, mataku terbuka kembali.

Dan oh, lagi-lagi aku melirik ke salah satu sudut langit-langit. Di sudut itu nggak ada apa-apa, tapi aku terus saja menatap ke arah situ. Ada apa ya di situ? Ada energi apa? Aku selalu percaya, bahwa semua yang bergerak di dunia ini bermula dari energi. Aku sudah tamat baca buku Fengshui yang dipinjamkan Jessica, dan semua-muanya membahas energi. Sepertinya energi tuh—ASTAGA! Apa itu?!

Barusan aku melihat sebuah bayangan bergerak cepat di jendela. Seolah ada seseorang yang lewat di luar kamarku dan menciptakan siluet hitam yang tiba-tiba. Aku terkejut dan jantungku langsung berdegup kencang. Punggungku langsung basah oleh keringat dingin dan aku makin terjaga. Kali ini mataku jadi awas mengamati setiap sudut kamar, lebih-lebih ke arah jendela.

Deg. Deg. Deg. Deg.

Jantungku berdenyut bertalu-talu. Totally thrilling. Sebetulnya apa barusan yang lewat? Aku yakin banget, barusan ada yang lewat!

—bang, d rumah granny ada hantunya, ya? barusan aq lht ada yg lewat! Serem!—

Baiklah, entah kenapa aku tiba-tiba meraih ponsel di nakas dan meng-sms Bang Dicky. Tapi satu-satunya orang yang kupercaya saat ini hanyalah dia. Sebab kalau aku menghubungi Granny, aku yakin dia bakal langsung menertawakanku (or worse, menyembunyikan sesuatu). Jadi aku menghabiskan menit-menit menegangkan itu dengan mengetik pesan, menunggu balasan, dan berharap saat aku sedang mengetik tidak ada penampakan tiba-tiba yang membuat jantungku copot.

—Agas lihat si kunti?—

—siapa itu si kunti? Hantu, ya?—

—byk org bilang, rumah Nenek ada setannya. Tp Dicky blum prnah lihat. Agas beruntung. Tapi Agas gpp, kan?—


Beruntung? How am i considered this as “beruntung”?!

—aku takut, bang!—

Dan ya, aku benar-benar takut. Sekarang hantu tersebut ternyata punya nama. Yaitu si Kunti. Apa yang Bang Dicky maksud tuh Kuntilanak? Aku pernah nonton filmnya, direkomendasiin Adam, dan hantunya emang serem nggak ketulungan. Kakinya kaki kuda, kan? Dan rambutnya putih, pokoknya serem...

Astaga, kenapa aku jadi ngebayangin Kuntilanak itu, ya! Gimana kalau kuntilanak itulah yang barusan lewat?! Deg-deg-deg-deg. Jantungku kini berdetak makin cepat. Makin nggak keruan, malah. Dan tanpa sadar aku jadi mengecek, apakah ada kursi kosong yang menghadap ke sudut dinding? Film itu bilangnya, kan—

Kreettt...!

Suara pagar depan rumah Granny berdecit keras. Suasana komplek ini hening nggak ketulungan, sampai-sampai kalau kamu kentut, satu distrik bisa mendengarnya. Jadi ketika pagar rumah itu terbuka, aku dapat mendengar decitannya dengan jelas.

Eh, wait! Kenapa pagar depan rumah Granny terbuka, ya?

Kreeettt...! Tak!

Pagar depan rumah Granny berdecit lagi. Kali ini disertai hempasan, mungkin itu bunyi saat si pagar menutup lagi.

Siapa yang mengunjungi rumah Granny selarut ini? I mean, apa Granny yang barusan membuka pagar itu? Atau memang ada tamu jam segini? Perasaanku makin kacau. Aku masih berkeringat dingin dan jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku menarik selimutku, jaga-jaga. Tirai jendelaku entah kenapa berkibar-kibar, makin membuat suasana mencekam saja.

Dalam kondisi macam begitu, mendadak telingaku jadi bisa menangkap suara supersonic. Beragam bunyi kretek-kretek kecil, atau ketukan tuk-tuk-tuk, atau dengungan yang entah berasal dari mana, semua masuk ke telingaku. Dan juga otakku mendadak kreatif menciptakan beragam skenario. Bisa saja itu drakula, melayang melewati ruang tengah. Bisa saja itu pocong yang dibalut kain putih itu lho, yang melompat-lompat dan tiba-tiba muncul menjadi guling (sekilas, langsung cek guling!). Atau mungkin kuntilanak lah yang membuka dan menutup pagar barusan! (Meskipun ya, aku juga bingung tujuannya apa kuntilanak membuka-tutup pagar. I mean, dia bisa melayang, kan? Atau melompat, kek... kakinya kan kaki kuda.)
Aku mengecek lagi ponsel, berharap Bang Dicky sudah membalas. Tapi nggak. Ponselku mati nggak nerima pesan apapun. Padahal ini sudah... berjuta-juta menit lamanya sejak aku membalas sms Bang Dicky tadi. Apa sms-ku nggak terkirim?

Tok-tok-tok! Pintu kamarku diketuk.
“Agas?” Seseorang memanggilku dari luar kamar dan aku kenal suaranya. Tapi bukan suara Granny.

Dengan berani aku membalas. “Ya?”
“Agas nggak apa-apa? Ini Dicky.”

Bang Dicky?

Aku masih berbaring di kasur, nggak berani turun. Otakku masih trance, antara bingung dan ketakutan. Kenapa Bang Dicky ada di sini? Bukankah dia udah pulang dari tadi? Bukankah kami barusan sms-an?

“Buka aja pintunya, Sayang... nggak dikunci, kok!” Kudengar sayup-sayup suara Granny dari ruangan lain, diiringi dengan handle pintu kamarku terbuka. Dan di situ, memang benar, muncullah Bang Dicky.

“Agas nggak apa-apa?”
Kenapa dia di sini? batinku.

Bang Dicky masuk ke kamarku dan menutup pintu. Kulihat dia terengah-engah. Leher Bang Dicky mengkilat, penuh keringat. Dan matanya langsung awas menatap setiap sudut langit-langit di kamarku, seolah mencari sesuatu. Tak lama kemudian, dia menyalakan lampu kamar.

“Waktu Agas sms barusan, hhh... hhh... Dicky langsung lari ke sini,” ujarnya. Kali ini memeriksa sudut di belakang lemari.

Apa? Dia langsung berlari ke sini gara-gara aku bilang aku lagi ketakutan? Cowok macam apa dia? I mean, that’d be sooo sweet! Tapi masa sih, this kinda sweetness is even exist?

“Dicky nggak mau Agas kenapa-napa,” gumamnya—tapi aku dapat mendengarnya dengan jelas.

“Aku nggak apa-apa, kok. Aku cuma... yaah, ketakutan,” jawabku. “I mean, barusan emang bener ada yang lewat di situ. Bisa jadi itu pencuri, kan?”
“Lewat dimana?”
“Itu, di jendela. Ada bayangan orang lewat di situ, cepet banget. Tapi jelas. Aku lihat dengan jelas.”

Bang Dicky merenung dan menatap jendela. Dia bahkan langsung memeriksa setiap bagiannya. Tirai, kusen, kunci, engsel, dan bahkan membukanya dan melongokkan kepala keluar jendela, celingak-celinguk kanan kiri mengecek apakah ada sesuatu yang mencurigakan.

Dari atas ranjang, aku malah menatap sosok Bang Dicky. Betapa manisnya ada cowok yang rela lari ke sini, malam-malam begini, hanya karena khawatir akan kondisiku. Selain itu dia juga tampak manis malam ini, mengenakan celana pendek selutut warna khaki, dipadu dengan sweter longgar warna abu yang membuatnya seksi. Aku ingin punya sweter itu! Dimana ya kira-kira belinya? Besok Granny bisa tunjukin tempatnya nggak ya?

“Tapi Agas nggak apa-apa, kan?” tanyanya. Dia menutup kembali jendela kamar.
“Nggak kok, nggak apa-apa. Kan udah aku bilang, aku cuma takut ngelihat bayangan,” jawabku. “Emangnya si Kunti itu siapa sih, Bang?”

Bang Dicky nggak langsung menjawab. Dia berjalan pelan dan duduk di ujung ranjangku. Untuk terakhir kalinya, dia mengamati setiap sudut langit-langit, berharap ada sesuatu yang bisa ditemukannya.

“Dicky juga nggak tahu,” katanya. “Dicky belum pernah lihat. Tapi orang-orang di sini kayaknya udah sering lihat si Kunti.”
“Si Kunti tuh kuntilanak, ya?”

Bang Dicky mengangguk mantap sambil mengangkat alisnya. “Jeng Nunuk bilang, si Kunti seneng duduk di pohon belimbing.”

Pohon belimbing?

Kami berdua terdiam untuk beberapa saat. Bang Dicky sudah bisa mengatur napasnya, sementara aku masih panas dingin karena gembira ada Bang Dicky di kamarku. Bukannya aku mengharapkan dia atau apa ya... hanya saja...

“Agas masih takut?” tanya Bang Dicky. Dia menatapku mataku dengan serius. “Kalau iya, Dicky nginep di sini aja deh. Nemenin Agas.”

Apa?

“Ngng...” Aku harus jawab apa?

Pertama, siapa yang menolak tidur ditemani cowok kayak Bang Dicky? I mean, okelah dia agak misterius dan somehow aneh (dengan datangnya ke sini pun buatku agak odd). Tapi dia kelihatan sangat manis. Bukan hanya karena sweter itu, tapi... maksudku... pasti hanya satu atau dua orang dari 6 milyar penduduk dunia yang rela berlari menyelamatkan adik bohong-bohongannya hanya karena sang adik ketakutan (atau mungkin saja berimajinasi melihat bayangan lewat di jendela—bisa saja, kan?)

Dan kedua, kalau iya aku mempersilahkannya menginap di sini, apa yang harus kulakukan? I mean... kamu juga tahu mungkin maksudku apa...

“T-terserah, sih...” jawabku, agak takut untuk menatap matanya. Takut dia membaca pikiranku atau apa gitu.

“Ya udah, Dicky bobo di sini aja,” jawabnya. “Tapi lampunya dinyalain, ya?”
Sebetulnya aku nggak terbiasa tidur dengan lampu menyala. Tapi kan kadang ada excuse yang nggak bisa dibantah lagi. Misalnya ya ada cowok cute yang mau tidur bareng...
“Terserah Bang Dicky aja,” jawabku.

“Ya udah. Tunggu bentar.”
Bang Dicky keluar dari kamar dan sayup-sayup kudengar dia mengunci pintu depan. Dia juga mendatangi kamar Granny, berbicara sesuatu yang nggak kedengaran jelas, dan tahu-tahu sudah muncul di kamarku, membawa sebuah bantal.

“Tapi emangnya nggak apa-apa Bang Dicky nginep di sini? Nggak ngerepotin?” tanyaku buru-buru. Karena somehow, aku jadi nggak enak.
“Nggak kok, Gas. Demi Agas mah nggak akan ngerepotin,” jawabnya. Dan kata-kata itu sedikit banyak membuatku ge-er. “Agas kan udah jadi adiknya Dicky, kata Nenek juga.”

Oh.
Alasannya memang masuk akal, meskipun rada awkward dan weird juga mendengarnya. Dia itu memang lugu atau childish atau apa, sih?

Bang Dicky nggak langsung melompat ke atas ranjang dan tidur bersamaku. Dia masih berjalan mengitari ruangan, mengecek di balik lemari dan kadang di bawah meja rias (Bukan punyaku, ya! Meja rias itu sudah ada di situ sejak aku datang!).

“Bang Dicky nyari apa?”
“Nyari si Kunti. Kali aja ngumpet di sini.”

Masih? batinku.

“Dicky sekalipun belum pernah lihat si Kunti. Jadi penasaran. Padahal si Belinda aja udah pernah lihat si Kunti di atap rumah Nenek. Kok Dicky belum, ya?”

Astaga. Jadi dia ke sini nggak 100% khawatir padaku? Tapi juga karena pengen lihat si Kunti? Tau gitu aku tadi bilangnya bayangan pencuri, deh.

Aku membiarkannya mencari-cari di dalam kamar sekitar sepuluh menitan. Dia tampak serius. Dan kalau sudah serius begitu mukanya jadi manis, alisnya bertaut. Aku, dari ranjangku, menatap sosok tubuhnya dan membayangkan lagi saat-saat aku dipeluk oleh badan setengah telanjangnya menuju rumah Granny. Aku masih ingat bagaimana dekatnya kulit mulus itu di mukaku. Dan aku masih ingat bagaimana bentuk putingnya yang kecoklatan. Lalu perutnya yang datar itu... oh, Tuhan. Mestinya aku jangan membayangkan hal itu lagi. Lihat efeknya! Belum apa-apa celana dalamku sudah sempit.
“Kayaknya si Kunti ngumpet. Nggak berani muncul kalo ada Dicky,” ujarnya kemudian.

Kali ini aku no comment. Cowok, kalau sudah asyik macam begitu, bisa jadi gila.

Bang Dicky kemudian melorotkan celana pendek selututnya dan menaruhnya di atas kursi. Jantungku nyaris copot melihat aksi itu. I mean, kelihatannya seksi banget waktu Bang Dicky membungkuk, mengangkat satu kaki kirinya dan mengeluarkan tungkai bertulang besar itu dari celana warna khaki-nya. Dan ketika dia berdiri tegap, tersisalah celana boxer warna abu yang tipis yang bahkan panjangnya nggak sampe setengah pahanya.

“Dicky mau bobo aja lah,” ujarnya.
Dan dia pun membuka boxer-nya!

Deg-deg-deg-deg.
Aku terkejut dan salah tingkah. Kurang dari satu jam, jantungku sudah berdebar kencang 2 sesi. Kalau tadi berdebar karena ketakutan, sekarang karena kegirangan. Aku mencoba melempar pandanganku ke arah lain, tapi tetap saja ekor mataku dapat melihat dengan jelas bagaimana kaki Bang Dicky... hanya dibalut... celana dalam warna putih saja.

“Oh, maaf Gas,” dia tersenyum geli melihatku salah tingkah. “Dicky kalo bobo emang nggak pernah pake baju. Sebab kalo pake baju, nanti kusut. Nanti mesti nyetrika, deh.”
Astaga... alasan yang nggak masuk akal. Apa salahnya dengan nyetrika?
“Nggak apa-apa, kan?”

Dia belum tahu ya kalo aku gay?
Oh, belum. Satu-satunya orang yang tahu aku gay hanyalah Joseph, sobatku di US. Dan oh, Adam juga.
Dan tentunya semua orang yang kebetulan pernah melihatku di Manjam. Sisa 6 milyar penduduk dunia dikurangi mereka belum tahu kok kalo aku gay.

“Nggak apa-apa, sih. Tapi emangnya nggak dingin, gitu?”
“Nggak, kok,” katanya, sambil membuka sweternya!

Dug! Dug! Dug!
Jantungku bertalu-talu. Aku bahkan takut Bang Dicky bisa mendengar degup jantungku di antara suasana komplek yang hening macam begini. Aku benar-benar terkejut dan nggak bisa menguasai diri saat Bang Dicky mendadak menarik sweternya ke atas dan melepaskannya melewati kepalanya. Aku dapat melihat lengannya terangkat, dadanya mengempis, rambut-rambut di ketiaknya yang menempel dengan sempurna, dan bagaimana ekspresi lugunya saat sweter hangat itu lepas dari tubuhnya. Aku bahkan tidak menyadari bahwa di balik sweter itu, nggak ada satu baju pun yang menempel di badannya.

Aku menelan ludah, dan sebisa mungkin, tanpa kelihatan kentara, mengusap-usap “my little Jack” yang langsung berdenyut-denyut riang. Untung selimutku tebal. Untung aku pakai celana dalam. Jadi di bawah sana nggak ada bentuk “tenda” yang mencurigakan.

Bang Dicky menyampirkan sweternya di atas kursi, menumpuknya dengan yang lain. Dia berbalik, membungkuk, dan dengan jelas dapat kulihat belahan pantatnya tercetak di balik celana dalamnya. Dan oh, tato bergambar sulur-sulur dan seekor burung mungil terperangkap tercetak jelas di bawah tengkuknya. Inikah tato yang Granny bicarakan waktu aku di bandara lusa kemarin?

Dan sialnya, keberadaan tato itu malah bikin buruk suasana. Kenapa? Karena aku suka cowok bertato. Sehingga Bang Dicky benar-benar membuatku bergairah malam ini. Keringat hangat pun sudah mulai membasahi punggungku.

Bagaimana caranya agar Bang Dicky memakai sweternya lagi, ya? I mean, aku nggak mau menghabiskan malam ini dengan gundah gulana karena ada cowok telanjang (hanya dibalut celana dalam) tidur di sampingku. Aku nggak mau sekujur tubuhku gelisah. Ini demi ketenangan diriku, dan keamanan dia juga. Aku harus melakukan sesuatu.

“Sweternya padahal bagus,” kataku, “kenapa nggak di—“
“Agas mau?” selanya.
“Eh, bukan. Maksud aku tuh, kayaknya sweter itu anget gitu. Jadi kan mendingan di—“
“Iya sih, anget,” selanya lagi. Dia mengangkat sweternya, mengacungkannya, dan menatapnya dengan penasaran. “Tapi kalo Agas mau, silakan aja. Dicky masih punya dua di rumah.”
“Ih, bukan—“
“Ini Dicky gantung di sini, ya.” Dan sweter itu kini sudah menggantung ria di gantungan baju di belakang pintu.

Yaaah... makin parah!

Bang Dicky lalu menghampiri ranjangku dan sebisa mungkin aku nggak menatap tonjolan yang ada di balik celana dalamnya. Nggak! Mendingan aku... ngng... menatap bibirnya saja.

Astaga, lihat itu! Mungkin ada kali, ya, ‘itu’-nya segede kepalan tanganku?

“Jangan dimatiin, ya... Dicky mah suka parno kalo bobo gelap-gelapan.”

And yes, sekarang semua-muanya makin parah. Tidur dengan cowok tujuh per delapan telanjang dan lampu kamar menyala. Itu berarti aku bisa melihat dengan”JELAS” semua lekuk tubuhnya, kan? Semua detail mempesona itu dan bahkan bulu-bulu halusnya yang tersebar di sekujur tubuh!

“Padahal pake aja sweternya. Entar kedinginan.” Aku masih berusaha memaksa Bang Dicky mengenakan sesuatu, agar aku bisa tidur tenang.
“Nggak, ah. Itu kan udah dikasih ke Agas. Masa dipake lagi ama Dicky, sih? Kata Nenek itu namanya pabalik letah.”
“Nggak apa-apa, kok. Aku pinjemin, deh. Pake ya?”
“Entar kusut?”
“Aku yang nyetrika, deh!”

Bang Dicky mengangkat salah satu alisnya. Kelihatan nggak percaya. “Nenek bilang Agas nggak bisa nyetrika?”
Sialan, kenapa Granny bilang begitu ke orang-orang sih?! Aku pikir itu hanya rahasia di antara kami berdua aja.
“Aku pinjemin bajuku, deh! Yang udah kusut. Jadi kalo besok pagi kusut juga nggak apa-apa.”
“Ah, nanti baju Agas melar. Kan badan Dicky gede.”

Dan akhirnya... yaaah... aku harus bertahan malam itu dengan cowok menggiurkan yang tidur telanjang di sampingku.

Bang Dicky lalu naik ke atas ranjang dan menepuk-nepuk bantalnya sebelum menidurinya. Dia tersenyum lebar sebelum menutup matanya. Di jarak sedekat ini, kali ini aku bisa melihat kulitnya yang mulus, rambut-rambut ketiaknya itu saat dia langsung menyimpan tangan di bawah kepalanya... dan tentunya, sebesar apa tonjolannya dalam posisi horisontal macam begini. Dan bahkan cowok itu nggak curiga waktu aku menatap ke arah perutnya. Dia tetap tersenyum geli dan membuatku merinding.

“Met bobo, Gas,” katanya. “Nggak usah takut. Kalo si Kunti datang, Dicky ada di sini buat ngelindungin Agas.”

Yah, masalahnya, aku sama sekali nggak takut kalo sejuta Kunti datang ke kamar ini sekarang. Yang aku takutkan adalah malam yang terlalu menggairahkan ini.
--To Be Continued-- 

----------------------------------------------------------------------------------------------------------

-
 

0 comments:

Post a Comment