DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Spoiler 1

Spoiler 1
by MarioBastian

“Permintaan ketiga, ngng...” Aku memutar otak. “Permintaan ketiga nyusul. Mungkin aku kasih besok aja. Gimana?”

“Terserah, Bos,” jawabnya. Sekarang pandangannya sudah tertuju ke arah selangkanganku. “Terus kanjut Bos-nya gimana?”

Dengan jantung deg-degan, akhirnya aku keluar dari selimutku. Sekarang little jack-ku (atau yang Adam bilang “kontol” waktu kapan itu di Twitter), sudah berdiri tegak membentuk tenda dari balik celana boxer-ku. Tahu begini aku pake celana dalem, deh. Aku sama sekali nggak kebayang bahwa sleepover ini bakal berakhir seperti ini.

“Lagi ngaceng, ya Bos?” seru Zaki terpukau.

Tanpa komentar, aku lalu berlutut di atas kasur, berdiri menghadap Zaki dan melorotkan celana boxer-ku. Kontol itu memang langsung melesak keluar dan berdiri tegak seperti menara pencakar langit. Warnanya agak merah, mungkin terlalu banyak darah yang mengalir di dalamnya saking aku “girang”-nya menatap cowok seksi telanjang di hadapanku.

Tapi ternyata yang lebih terpukau adalah Zaki.

Anjiss! Badag, euy!” serunya. Kemudian terkikik geli dan berkali-kali terpukau menatap kontolku. “Edan, Bos! The best éper lah!”

Aku bukan jenis orang yang membangga-banggakan kontolku. Tapi memang sudah dari sananya seukuran ini, kok. Kalau dibaringkan di atas perut, ujung kepalanya menyentuh pusarku. Do you think that was big enough?

“Gila, Bos... si Zaenab pasti suka!” serunya. Zaki menatap lebih teliti ke arah kontolku, seolah pusakaku itu sedang diteliti oleh dokter di sebuah laboratorium. Pandangannya menusuk. Tusukan yang membuat sang kontol makin mengeras dan linu.

“Bos kok gampang ngaceng?” tanyanya.

Nah, ini dia pertanyaan yang kukhawatirkan dari tadi. Aku takut dia menganggapku gay gara-gara aku sudah ngaceng duluan, bahkan tanpa kehadiran wanita di sekitar sini.

“Kanjutku lincah, Bang,” bualku. “Kalo dilihat orang, dia langsung ngelihat balik. Langsung berdiri. Cuma bermaksud sopan...”
“Wah... keren, euy,” katanya. “Berarti kalo si Zaenab melototin kanjut ini, dia langsung bangun, gitu?”

Technically, no, but I’m not gonna say that. “Kira-kira begitu, lah.”

Lama kelamaan, setelah puas menatap kontolku, Zaki langsung mengulurkan tangannya. “Boleh dipegang, kan Bos?”

“B-boleh.”
Astaga, memangnya dia mau ngapain?

Kurasakan jemari Zaki menyentuh kulit kontolku dan entah kenapa kontol itu langsung bereaksi—berdenyut-denyut riang. Rasanya geli sekali. Lebih geli lagi melihat ekspresi penasaran Zaki. Tangan Zaki bermain di batang kontolku, membelai halus dan merasakan desiran hangat yang keluar dari balik kulitnya. Dia juga memegang kepala kontolku dan membolak-baliknya, mencari sesuatu, lalu dengan perlahan mengusap bagian leher kontolku.

“Geli nggak, Bos?”
“Ya iyalah, geli.”

Tiba-tiba dia mendekat, menempelkan hidungnya di kontolku, sempat kupikir dia mau melahapnya atau apa, tapi dia malah mengendusnya. Astaga, untuk apa juga dia mencium baunya?

“Jadi gini ya bau kanjut?” gumamnya. “Beda sama bau memek.”

Aku menutup mukaku dengan tangan. Deg-degan. Baru pertama kali ini ada orang yang begitu seriusnya memeriksa alat kelaminku sendiri. Dan orang tersebut terlalu hot untuk sekedar “memeriksa”. Oh, Tuhan. Andai aku ini Zaenab, mungkin aku nggak bakal kebingungan seperti ini. Seperti yang pernah kubilang, aku nggak punya banyak pengalaman dalam berhubungan seks. Kehidupan penuh gairahku baru dimulai akhir-akhir ini, dalam satu atau dua tahun ke belakang, sehingga aku belum punya pengalaman apa-apa. Apa yang harus kulakukan? Semua film porno yang pernah kutonton satupun nggak ada yang memulai plotnya dari seorang cowok straight seksi yang penasaran akan kanjut gede. Mungkin aku mesti—astaga, apa itu! Kenapa kontolku terasa hangat dan nyaman?

Aku membuka tanganku dan menoleh ke bawah. Pemandangan yang mengejutkan! Zaki sedang mengulum kontolku!

Apa yang dia lakukan?!

Aku nggak bisa berkutik meresponnya. Yang kulakukan hanyalah diam, menatap tak percaya pada Zaki yang dengan asyik bersusah payah memasukkan kontolku ke dalam mulutnya. Apa Zaki itu gay? Atau hanya tolol semata?

“Wah, nggak masuk ternyata!” katanya setelah berkali-kali mencoba menelan kontolku dan nyaris tersedak. “Kegedean...”

Oke. Mungkin dia hanya tolol semata.

“Kenapa Abang masukin ke mulut?” tanyaku. Dalam hati aku menjerit, KENAPA BERHENTI??!!

“Saya penasaran, Bos!” ujarnya. Lalu berdiri di hadapanku dan berkacak pinggang lagi. “Cewek-cewek saya sering ngagelom kanjut saya, rasanya enak banget. Tapi saya penasaran, sebenernya enak nggak sih ngagelom kanjut téh?”

“Terus gimana? Enak?” tanyaku hati-hati.
Zaki menggeleng mantap. “Nggak enak, ah. Kegedean kali punyanya, Bos. Rasanya kayak yang mau keselek.”

“Masa sih?” Jujur saja, aku pun belum pernah nyoba “ngagelom” kanjut manapun.
“Iya, bos. Bos mau nyobain punya saya?”

Deg-deg.
Kata-kata macam begitu tuh yang bikin jantungku copot. Kenapa dia bisa dengan entengnya menawarkan, sih? Apa dia nggak tahu, bahwa tanpa ditawari pun aku pasti mau melakukannya?

“B-boleh. A-aku juga penasaran.” Aku menelan ludah.
Ya Tuhan ya Tuhan ya Tuhan.

“Tapi si Ucok masih bobo, Bos!” katanya, menatap kontolnya sendiri dan memainkannya. “Harus dikocok dulu. Bos mau ngocokin?”

“Ngapain, ih?” kataku gengsi. Kemudian rada-rada menyesalinya. “Kalo dipijit ala Amerika biar bisa ngegedein sih, boleh-boleh aja.”
“Wah? Bos bisa, ya?” Mata Zaki kelihatan berbinar. “Pijitin dong, Bos!”

Nah, sekarang aku ragu. Haruskah aku memijatnya? I mean, dipijat macam gimana?

“Sebenernya, pijatnya biasa aja, sih. Ngng... naik turun...” Aku mencoba meraih kontol Zaki dan menggenggamnya. Hmh. Kenyal, ya. Dan geli. Ini kontol orang lain, dan aku memegangnya! “Lalu, ngng... digoyang kanan kiri...” Aku memilin dan menggerakkannya kanan kiri. Ehmagod, this is a real dick! Somebody’s dick!

“Enak ternyata ya Bos, ya?” kata Zaki sambil nyengir. Aku nggak ngerti maksudnya apa.

“Udah gitu tarik-tarik.” Aku menarik kulit kontol yang disunat itu hingga mau melewati kepalanya, lalu Zaki mendesah, “Aaahh,” dengan pelan, tapi aku bisa mendengarnya. Aku tarik lagi. Zaki mendesah pelan lagi. Lalu aku tarik lagi.

“Aaahhh...” Kali ini dia nggak malu-malu untuk mendesah.
“Abang kenapa?”
“Enak, bos!” Dia nyengir. “Lanjutin.”

“Lalu... ngng... masih tarik-tarik sih sebenernya.” Aku tarik lagi, dan dia mendesah lagi. Ehmagod, I love it! I found it cute waktu kontolnya yang mungil amat sangat ini ditarik-tarik ke depan. Satu jempol dan telunjukku mengepit batangnya yang kenyal dan layu, lalu dengan agak kuat menarik-nariknya ke depan, berusaha menarik kulit batangnya melewati si kepala. Tubuh Zaki juga agak-agak maju. Dan desahan-desahan itu nggak berhenti.

“Baru kali ini lho Bos, kontol saya dipijit dengan cara ini. Aaahhh...” gumamnya.

Memang baru kali ini kok ada kontol dipijit dengan cara ini, batinku.

Kemudian, karena aku takut dia curiga atau apa, aku mulai memilinnya. “Lalu diputer macam begini,” kataku, tapi nggak ada reaksi.

Mungkin aku mesti kembali menarik-nariknya seperti tadi.

Lama kelamaan kurasakan kontol itu mulai mengeras. Yes! Dan ketika kulihat ke atas, rupanya Zaki sedang menikmatinya.
“Nggak apa-apa kan Bos, kalo ngaceng? Masih bisa dipijitin?” tanyanya.
“Masih kok. Boleh.”

Nggak butuh waktu lama buat kontol itu berdiri tegak. Memang benar apa kata Zaki, benar-benar minimalis kontolnya. Mungkin hanya seukuran... jempolku saja? Lebih besar dikit, deh. Dalam hati aku menyadari, bahwa Tuhan Maha Adil. Cowok yang perfect body dan face-nya ini nggak punya kontol yang menawan. Semua kelebihan dan kekurangan sudah dibagi rata.

Setelah kontol itu mengeras dan berdiri tegak, aku mulai mengocoknya. Zaki rupanya heran—sambil menikmati. “B-bos, aahhh... dikocok juga ya Bos?”
“Iya. Ini salah satu teknik pemijatannya,” bualku. “Namanya... shake and boom-boom!”
“Oh.”

Dan tahu-tahu, aku jadi ingin mengulumnya. Astaga, lihat itu kontolnya Zaki! Begitu imut, dan cute, dan... adorable! Rasanya seperti sedang menggenggam... paprika mungil.

Baiklah, mengingat Zaki pun tiba-tiba mengulum kontolku tadi, jadi boleh dong aku langsung mengulum kontolnya sekarang? Aku melirik ke atas dan Zaki sedang mendongak menatap langit-langit. Aku bahkan dapat melihat matanya tertutup, mencoba menikmati kocokan, eh pijatan, dariku.

Tanpa basa-basi, aku pun mengulum kontol itu. Hmmh... rasanya... aneh. Tapi mendebarkan. Dan of course, aku menyukainya. Aku langsung melahap kontol mungil itu, menyesaknya sampai hidungku terbenam dalam jembutnya, dan menggelitiki batang bawah kontol itu menggunakan lidahku. Sesekali aku menghisapnya, merasakan efek yang terjadi (Zaki merespon dengan mendesah). Lalu kukeluarkan lagi kontol itu dari mulutku. Kumasukkan. Kulakukan hal yang persis macam tadi, dan—

“Aaaahhhh...” Zaki mendesah lebih hebat.
Badannya menggelinjang. Kontol itu tiba-tiba melesak masuk dengan sendirinya, menusuk-nusuk rahang mulutku dan membuat air liurku jatuh kemana-mana.
“Aahh, aahh, aahhh...” Desahannya berulang. Makin terasa keras.

Aku melihat Zaki masih mendongak. Kali ini selain terpejam, hidungnya mengernyit dan alisnya bertaut. Mulutnya bahkan menganga. Apakah dia—

Crot! Crot! Crot!

Astaga. Benar saja. Dia orgasme!

“Aaarrghh!!” erangnya. Lalu buru-buru mengeluarkan kontolnya dari mulutku. Tapi terlambat, sebagian dari sperma yang dia semprotkan sudah bersarang di mulutku. Aku langsung memuntahkannya ke lantai.

Sementara itu, Zaki bersusah payah memijat-mijat kontolnya, mengeluarkan sisa-sisa sperma yang belum melompat keluar. Badannya membungkuk, perutnya mengkerut ke belakang. Dia bahkan masih menutup matanya. Beberapa saat kemudian, saat dia rasa sudah selesai proses pemuntahan mani-mani itu, dia menatapku. Seluruh tubuhnya berkeringat. Dan dia... deg-degan.

Aku terduduk di atas ranjang. Sama-sama salah tingkah. Tapi kulihat muka Zaki memerah. Dengan cepat dia langsung berlutut di depan ranjang. Masih kelihatan panik, malu, dan... aku nggak punya kata-kata lagi untuk mendeskripsikannya.

“B-bos...” katanya. Agak-agak ketakutan. “Bos. Maaf bos! Ini salah saya, Bos! Maafin saya bos!”

Dari nada suaranya dia benar-benar tulus.

“Saya kelewatan!” serunya. Mata Zaki nggak berani menatap mataku. Dia menutupi kontolnya dengan malu. Bukan malu karena memperlihatkannya, malu karena kontol tersebut telah melakukan hal kurang ajar padaku. (Meski aku menyukai hal kurang ajar tersebut.) “Saya bener-bener minta maaf, Bos! Mestinya saya... saya bilang dari awal...”

“Bilang apa?” tanyaku.

Bilang bahwa dia adalah gay?

“Bahwa saya tuh... saya tuh sebenernya...” Dia ragu untuk mengatakannya. Setiap matanya bertemu pandang denganku, mukanya langsung merah. Dan tentu saja dia langsung mengalihkannya ke arah lain. Malu.

Astaga. Bilang apa sih? Pasti Zaki ini gay, yah?

“Saya tuh sebenernya...” Dia menelan ludah. “Udah tiga bulan nggak ML ama cewek-cewek saya, Bos! Maaf, bos. Dan udah dua minggu saya nggak coli gara-gara sibuk, Bos. Jadi barusan saya kelewatan, Bos. Mestinya saya bisa nahan diri. Maaf, Bos. Maaaafff...” Dia menunduk ke arahku, benar-benar merasa bersalah. “Please jangan bilang siapa-siapa, Bos. Apalagi Dicky, Bos. Dia bisa marah besar nih. Saya yang salah, Bos. Tadi keenakan. Tapi itu juga salah saya Bos, pake nikmatin sepongan bos segala. Please, Bos. Maafin. Saya tambah deh permintaannya! Jadi... tujuh permintaan!”

Astaga. Makin seru aja kehidupan seksualku!

0 comments:

Post a Comment