CHAPTER XVII
THINKING OF YOU
by Tuktuk
Riko memencet tombol yang sama pada handphone nya. Tombol dial. Dengan
satu nomor yang ia miliki. Hanya satu nomor itu saja. Nomor telepon
Danny. Setiap kali ia berusaha mendengar, selalu suara mesin penjawab
dari operator seluler itu berbuny. Pertanda nomor Danny sudah tidak
aktif lagi.
Danny telah ‘hilang’ selama 3 minggu. Dan selama 3
minggu itu Riko terus menerus mencari dan menghubungi Danny. Kost teman
Danny sudah ia sambangi. Tapi Danny tidak berada disana. Ah, ingin
sekali ia ke tempat Wildan. Bertanya kepada Wildan, apakah Danny kesana?
Apakah Danny mengatakan sesuatu kepada Wildan? Tetapi ada sesuatu yang
menahan Riko untuk sebelum melangkahkan kakinya menemui Wildan. Ia ingat
akan janjinya untuk menjaga Danny, tentu ia akan menjadi bulan-bulanan
Wildan jika tahu Danny kabur begitu saja. Tentu hubungannya dengan
Wildan akan hancur lagi.
Riko benar-benar bingung. Semangatnya yang
membubung tinggi mendadak terhempas ke tanah. Ia yang sebelumnya
berkeyakinan penuh untuk mengejar wisuda dan mendaftarkan diri di salah
satu program beasiswa kini mendadak kehilangan semua itu. Ia rusak.
“Kamu belum mau makan?” ujar Allan lirih.
Riko menggeleng.
“Yakin?”
Riko menatap Allan lekat-lekat.
“Allan, Aku ga tau apa yang kamu lakukan. Tapi tolong, beritahu aku dimana Danny? Kamu pasti tau sesuatu...”
“Rik,
kalaupun aku tau kemana bocah itu pergi... Aku juga akan kasih tau
kamu. Ngeliat kamu seperti orang bodoh setiap hari, it’s getting me
sick!”
“Then bring him back to me! I love Danny!”
“Sadar Rik! Sadar! Dia berlalu, Rik! Dia masa lalu!” teriak Allan.
Riko menundukkan kepala nya.
“Rik... Aku... Aku bener-bener minta maaf...” ujar Allan sembari menundukkan badannya.
“Untuk apa?” balas Riko.
“Maaf untuk apa yang aku lakukan dulu. Ngebohongin kamu dan menjalin affair dengan Wildan...”
“Hah... Hahhahah... You’re silly!”
“Rik, Aku ingin kita mulai lagi. Kita ulangi lagi... Aku sama kamu...”
Allan
memegangi kedua tangan Riko. Matanya kini menatap mata Riko
lekat-lekat. Apa yang Riko lihat bukanlah sepasang bola mata Allan.
Tetapi yang ia lihat adalah Danny.
“Nggak... Nggak... Ini gila!” ujar Riko.
***
“Tumben lo gak bareng sama kakak lo Dan?” ujar Doni.
“Eh, iya Don... Gw pisah kost sama dia. Cari suasana baru...”
“Kok bisa? Dia kekost gw loh kemaren...”
“Trus? Lo kasih tau gw kemana?”
“Ya nggaklah, gw aja gak tau lo dimana... Lagian lu berdua aneh banget,
kok dia bisa ga tau lo pindahan... Pindah kemana dia juga ga tau...
Kayak orang bingung...”
“Hehe, gw pindahan aja.. Biasa masalah keluarga...”
“Ohhh... Ya, gw ngerti deh...”
“Bye Don.. “
Aku
berlalu meninggalkan Doni, teman sekelasku. Yah, anak-anak kampus cuma
tau aku dan kak Riko kakak adik. Aku sih bilangnya kakak sepupu. Setiap
pulang, aku selalu mengintip dari lantai dua gedung utama. Mengintip
apakah kak Riko ada disitu. Mengintip apakah dia masih mencariku. Sudah
dua minggu ini aku pulang lewat pintu belakang. Yahh, gak lazim sih
karena jarang banget orang pake pintu ini. Meskipun jarak untuk bisa ke
terminal menjadi dua kali lipat karena aku harus memutar, aku lebih
memilih seperti ini. Lagian menyendiri itu juga menyenangkan. Terutama
untuk saat-saat seperti ini.
Drrrt... Drrrtt.... SMS masuk ahh...
Dari kak Wildan. Aku mengganti nomor handphoneku, yang tau nomor ini
hanya keluargaku dan kak Wildan.
“FROM : K’WILDAN
“HOW WAS YOUR COLLEGE? KK GA BISA PULANG SIANG INI, BARU SORE BISA PULANG. KAMU LUNCH SENDIRI YA...”
Ah,
tanpa disuruh aku pasti cari makan juga. Kantin Hasanah? Ah..Bad idea.
Oke, aku segera pulang saja. Perjalanan ke rumahku yang baru ini 1 jam.
Itu kalau tidak macet. Jauh memang, but it’s better. The far i got from
kak Riko, the better i get.
Sepanjang perjalanan pulang, aku
meraba cincin yang masih berada dijari manisku. Cincin yang dipasang
oleh kak Riko. Aku tak punya alasan selain mengakui bahwa aku masih
mencintainya. Aku belum siap meninggalkannya. Dan cincin ini yang
membuatku seolah masih terjaga dengan kak Riko. Aku tak tau bagaimana ia
melewati hari tanpa aku. Bagiku, 3 minggu belakangan adalah minggu
terburuk selama aku berada di kota ini. Andai harus berakhir begini, aku
menyesal bahwa kami pernah dipertemukan.
***
“Makan dulu, Rik...” ujar Laura.
Riko masih tak menjawab. Ia mematung dan matanya menatap kosong ke
kamar pintu Danny. Kamar yang memiliki sejuta kenangan. Kamar yang
memutar semua rekaman memori bagaimana ia bertemu Danny, bagaimana ia
menghabiskan waktu bersama Danny. Riko masih mengingat jelas semuanya,
bagaimana ia meletakkan barang-barang Danny sewaktu pindah ke kost ini.
Menaruh tumpukan baju Danny atau sekedar mengecek apakah Danny sudah
tidur atau belum.
Alasan itu kini tidak ada. Tidak untuk Riko. Ia
seperti kehilangan sayap dan baginya sudah mustahil untuk terbang
seperti dulu.
“Rik! Makan dulu ini! Aku ga mau kamu sakit!” bentak Laura.
“Aku ga laper...” jawab Riko.
“Aku tau ini berat, Rik... Apa kamu mau seperti ini terus? Danny itu
orang yang baik... Dia gak mungkin seperti ini kalau nggak ada
apa-apa...”
“Itu yang buat aku bingung, Laura! Kami tak pernah
bertengkar, kami tak pernah ada masalah sebelumnya! Itu yang buat aku
speechless!”
“Nanti kita cari Danny,kamu sudah tanya Wildan?”
“Ga usah, nanti aku sama Wildan jadi berantem. Dia pasti ngamuk kalau tau Danny kabur...”
Laura menunduk. Laura tau benar sifat Riko dan Wildan. Kedua sahabatnya
itu adalah orang yang penyayang. Ia tau betapa keduanya bertengkar
hebat sewaktu kasus Allan dulu. Ia tak mau hal yang sama terulang lagi.
“Ya sudah, kamu makan ya...”
Laura beranjak dari tempat duduknya, membuka bungkusan makanan yang ia
beli diluar tadi kemudian menyiapkannya kedalam mangkuk dan menyuapkan
suap demi suap ke Riko. Ia suka melakukan ini. Ia sering menyuapkan
bubur saat Wildan atau Riko sedang sakit atau sedang kalut. Ia suka
ketika Riko dan Wildan membutuhkan dirinya.
“Skripsi kamu gimana?” tanya nya.
“Lancar... Cuma aku belum lanjut...”
“Kerjainlah! Aku rasa Danny juga pengin kamu cepat kelar. Kamu masih
mengejar perusahaan Jerman itu kan? Ayo kejar! Recruitment nya berapa
bulan lagi lho...”
“Aku lagi ga kepingin ngapa-ngapain sekarang...”
“Nggak bisa gitu Riko! Ini bukan hal yang Orang Tua kamu inginkan,
Danny inginkan, aku dan Wildan inginkan! Kamu juga ga akan mau seperti
ini terus!”
“Terlalu berat bagi aku untuk move on sekarang! Aku ga bisa bohong Laura! Aku hancur!!!!”
Buru-buru Laura meletakkan piring makan siang Riko dengan cepat ia memeluk Riko. Tangis Laura membuncah di bahu Riko.
“Kamu bukan Riko... Bukan Riko yang aku kenal... Riko yang aku kenal ga
pernah lupa dengan impiannya. Impian kamu kerja di Jerman!”
“Jangan nangis, tolong...” ujar Riko sambil mengusap rambut Laura.
“Aku sakit, ngeliat kamu gini lagi. Kamu dan Wildan itu keluarga aku
disini. Kepergian Wildan sendiri saja sudah buat aku sedih karena kita
bertiga sudah tak bisa sesering kemarin bertemu. Sekarang? Kamu seperti
ini....” ujar Laura sambil terisak.
“Aku... aku mungkin Cuma butuh waktu Laura...”
Sekitar 5 menit keduanya terdiam sementara kepala Laura masih
menggelayuti bahu Riko. Keduanya terdiam dalam angan masing-masing. Riko
yang masih hidup didalam bayang-bayang Danny berusaha keras melupakan
wajah Danny detik demi detik. Tetapi ia gagal. Semakin ia berusaha
melupakan, semakin wajah Danny terlihat jelas dimana-mana.
Semakin
ia berusaha mengalihkan pandangannya, semakin ia ingat merah bibir
Danny, sebagaimana ia ingat aroma manis dari badan Danny yang mungil
saat ia peluk, sebagaimana ia suka mengecup belakang telinga Danny saat
ia membenamkan Danny kedalam dada nya, sebagaimana ia mengingat jarak
antara kedua bola mata Danny yang memancarkan rasa suka yang begitu
dalam. Dalam sekali.
Riko menyerah. Mungkin ia masih akan terus mencintai Danny, meskipun untuk sekarang ia tak bisa dimiliki.
“Kamu dimana sekarang, Blew? Aku kangen kamu...” ujar Riko dalam hati.
***
“Baju kamu mau ditaruh di lemari mana?” ujar Wildan pelan.
“Aku taruh disini saja dulu” ujarku sambil meletakan potongan demi potongan pakaianku di lemari.
“Aku tunggu di teras ya, mau ajak kamu makan...”
Aku
mengangguk pelan. Aku terus saja memindahkan satu demi satu pakaian itu
dari kopernya. Sampai akhirnya aku tertegun dengan sapu tangan cokelat
yang terselip diantara pakaian itu. Sapu tangan kak Riko. Sapu tangan
dengan pinggiran garis putih dan abu-abu. Sapu tangan yang masih ada
harum parfum kak Riko.
Parfum yang selalu ia pakai disela-sela dada
dan bahunya.Parfum yang membuatku menggilainya sekarang. Semua yang
menyumbat sela dada dan kerongkonganku kini membumbung keluar. Turun
deras dalam bentuk tetesan air mata. Tanpa henti. Sambil terus mengingat
kak Riko. Cuma dia.
“Kamu...” tiba-tiba kak Wildan menyelinap kembali masuk ke kamar.
Aku tercekat sambil menoleh ke arahnya.
“Kamu kangen Riko?”
Aku mengangguk.
Kak
Wildan lalu menghampiriku, menundukkan badannya lalu merengkuhku dalam
pelukannya. Aku merasa hangat. Lalu tangisku semakin membuncah. Aku
masih mengingatmu, kak. Masih.
to be continued
DISCLAIMER:
This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.
The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.
Love Under The Mistletoe Chapter 17
Labels:
Love Under The Mistletoe,
tuktuk
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Info Kesehatan
Artikel Lain :
9 Hal Seputar Kondom Pria yang Paling Sering Ditanyakan
0 comments:
Post a Comment