DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Love Under The Mistletoe Chapter 18

CHAPTER XVIII
POCKET OF SUNSHINE


by Tuktuk

“Selamat pagi” suara kak Wildan membangunkanku.
Aku mengusap mukaku dengan kedua telapak tangan, kepalaku masih terasa berat. Aku tidak bisa tidur semalaman.
“Kamu ga bisa tidur?”
“Iya” jawabku pelan.
“Aku sudah beli sarapan...”
“Hmmm... Belum lapar kak...”
“Ga mesti lapar kan buat sarapan?”
“Ga usah” jawabku.

Kak Wildan lalu mendekat ke tepi tempat tidur, menggamit kedua tanganku.
“Riko pasti sangat marah kalau tau aku menyembunyikan kamu disini... Dan akan lebih marah lagi kalau tau aku ga bisa ngerawat kamu disini, mau ya makan?”

Aku tersenyum lebar.
“Hahaha... Iya deh....”
“Gitu dong...” ujarnya sambil mengusap kepalaku.

Tangan kak Wildan besar dan hangat, tanpa sadar aku menggenggam erat tangan yang baru saja mengelus kepalaku.
“Ayo kita makan!” ujarku.

Kami lalu beranjak meninggalkan kamar dan menemui dua piring nasi goreng lengkap dengan kerupuk dan telur mata sapi.
“Kamu kuliah?”
“Nggak, kan ini sabtu...”
“Trus, ada rencana kemana?”
“Nggak tau.. nggak ada kayaknya..”
“Nggak mau kemana-mana?”
“Nggak, mau disini saja...”
“Ya sudah, aku juga nggak kemana-mana kalau gitu. Nemenin kamu aja”
“Kalo kakak ada janji, ya penuhi dong... Masa gara-gara aku batal?”
“Aku free hari ini, dek... Hari ini nemenin kamu ajalah...”

Dengan cepat aku habiskan sarapan itu, aku benar-benar tidak merasa lapar. Tetapi aku merasa harus menghabiskannya, harus. Aku hanya ingin menikmati seharian ini sendiri sebenarnya. Tetapi apa mau dikata, kalau kak Wildan merelakan waktunya untuk tidak melakukan apa-apa selain menemaniku seharian.
Aku beranjak dari meja makan, lalu bergerak dan duduk di depan TV. Ada beberapa novel tergelatak disana. Ah, aku juga suka membaca buku... Terutama kalau sedang senggang seperti ini. Kulihat lihat diantara tumpukan buku-buku itu, kupilih satu yang sudah kusam lalu berguling disofa.
“Selamat pagi...” sapa kak Wildan.
“Pagi...” jawabku sekenanya sambil mengacuhkan kak Wildan.

Ngapain sih kak Wildan bilang selamat pagi, padahal jelas-jelas dia sudah menyapaku beberapa saat yang lalu.
“Sepertinya, ada yang lagi asik baca buku nih...”
“Hmmmh...” gumamku sambil terus membaca buku.
“Saya mau tanya sesuatu boleh?”
“Apa?”
“Pilih mana, Bruno Mars atau Jason Mraz?”
“Nggak dua-duanya...”
“Jadi?”
“Boyce Avenue.”
“Oke, pilih mana Captain America atau Iron Man?”
“Iron Man”
“Sepertinya sekali ini benar, tebakanku...”
“Hah?” balasku, tetapi mataku masih tertuju ke buku yang aku baca.
“Makanya lihat sini dong”

Aku menoleh, kulihat kak Wildan sedang memegangi handycam dan memakai topeng Iron Man sambil pakai fedora ala ala Bruno Mars. Aku tertawa.

“Kamu ngapain sih?”

Diletakannya handycam itu diatas meja, lalu kak Wildan membuka topengnya.

“Pengen menghibur kamu...”
“Hahaha, konyol... Aku baca buku aja udah terhibur kok...”
“Nggak bisa gitu, kamu mesti ketawa dulu baru aku yakin...”
“Trus sampe pake handycam segala...”
“Soalnya jarang kamu bisa ketawa lepas gitu...”

Aku tersenyum tipis.

“Udah, jangan galau lagi...”
“Nggak kok... Hehe..”
“Baca buku apa?”
“Little Summer...”
“Agak berat buku itu, tapi kamu kan pinter... Pasti bisa ngerti...”
“Iya nih kak, aku agak kurang mengerti... Awal-awalnya saja sudah ribet...”
“Haha! Sebenarnya buku ini mau kakak kasih ke kamu...”
“Oya?!”
“Iya, tapi kamu waktu itu sudah keburu tidur... Hari dimana kamu ulang tahun...”
“Hmmmh...”
“Sekalian mau nembak sih rencananya dulu... Tapi kalaupun aku nembak mungkin ga bakal diterima juga kali ya...”

Aku tak menjawab.

“Danny, buku ini inspiratif sekali. Aku yang dulunya terpuruk semenjak baca buku ini perlahan timbul semangat lagi, terlebih sejak ada kamu. Aku merasa dunia semakin terang, you’re my little summer, my little pocket of sunshine...”

“Darimana emangnya?”
“Kamu yang penyabar, kamu yang baik hati, kamu yang polos. Aku rindu sosok seperti itu. Aku rindu sosok untuk disayangi seperti itu..”

Nafasku tercekat. Aku menatap kak Wildan lekat-lekat. Ia masih menatapku seperti kak Riko menatapku. Tatapan penuh kasih sayang, tatapan penuh cinta. Kak Wildan kembali menggenggam tanganku. Mukanya semakin mendekat lalu... Cup.... Bibirnya mendarat di bibirku. Aku terkejut, rasanya seperti disetrum.
Aku mendorong tubuhnya kebelakang. Aku memalingkan muka, tak berani menatapnya langsung.

“Ma... maaf dek..”

Aku menarik nafas panjang, mencoba mengatur kembali nafasku. Rasanya seperti dihipnotis, kemudian sepersekian detik aku tersadar. Ini salah.

“Ini salah kak...”
“Iya, aku tau... Aku bodoh karena belum sadar... Aku bodoh karena berpaling dari kenyataan bahwa kamu mencintai Riko”

Aku menunduk lesu merasa dunia sudah terputar balik. Mana yang benar dan mana yang salah, semua samar. Seperti sinar matahari yang menyilaukan mata. Sementara handycam itu membisu, dengan lampu merahnya menyala, tanda ia menyaksikan kami berdua dan menuangnya dalam rekaman.

****

“Kamu makin kurus” ujar Allan.
“Bukan urusanmu...” jawab Riko.
“Sejak kapan kamu ngerokok?! Jangan bodoh Rik!”
“Sejak kapan aku mesti dengerin kamu?! HAH?” balas Riko dengan nada semakin tinggi.

Riko lalu membalikkan badan sambil terus menghisap batang rokok itu. Perlahan ia menjauh, menuju teras kost. Tatapannya kosong, menantikan sesuatu yang sendirinya ia tak yakin kapan akan datang. Tatapan penuh penantian.

“Rik...” ujar Allan lirih.
“Andai kamu bisa ngeliat apa yang aku lihat,ngerasa apa yang aku rasa, kamu pasti ngerti betapa sakitnya hati ini, Rik..” sambung Allan.

Riko tak menggubris, ia terus saja menghisap rokoknya.

“Andai Rik, andai aku bisa menukar semua hal bodoh yang aku lakukan dulu... Kutukar semua yang aku punya untuk bisa balik ke kamu lagi, Rik...”

Riko menghisap lebih dalam lagi lalu menghembuskan asap rokoknya.

“Dan Allan, kalau kamu ngerasa sakit, ngerasa kosong, ngerasa ga dianggap, ngerasa terbuang? Itu yang aku rasain sekarang, bajingan!”
“Fine, Rik... Fine... Bilang aku bajingan! Bilang apapun yang kau suka! Danny itu masa lalu, sekalipun kamu ngerasa dia bagian dari kisahmu, dia tak lebih angin yang menyejukkan... Kemudian berlalu Rik... BERLALU!”

Riko lalu mendorong Allan kedalam, meremas kerah bajunya dan itu membuat Allan menatapnya dengan seringai tajam.

“APA RIK? PUKUL! PUKUL SAJA!!!”
“TAHI KAMBING!!!!! ARRGGHHHHHH!”

Riko lalu mengacak-acak rambutnya.

“Sekali lagi, kamu bilang Danny sekedar masa lalu, sekali lagi kamu bilang gitu.... Aku pastikan kamu gak akan bisa buka mulut kamu lagi!”
“Oya!? Oya??? Lantas folder di laptopmu itu apa Rik? APA??! Itu foto kita Rik! KITA!!”
“ANJING! Itu bukan aku yang simpen! Itu WILDAN semuanya! Aku sudah sejaklama mau hapus foto-foto sampah itu! Tapi Wildan yang menolak! Kalau bukan karena dia, sudah lama aku hapus foto-foto sampahmu itu!”

Allan terdiam. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Riko yang hangat, Riko yang memesona, Riko yang dulu ia cintai kini hilang. Sosok yang didepannya tak lebih seperti sosok orang dengan amarah membeludak.
Kepala Allan seperti dibenturkan ke tembok. Ia merasa bingung, kini apa yang ia perjuangkan dan rebut seakan kosong dan hancur.

“Sekarang pergilah, pergi... Aku mohon...” ujar Riko.

Allan tak menyahut. Ia terdiam.

“Ga ada yang bisa kamu peroleh disini, Allan... Ga ada... Aku gak akan pernah berpaling ke kamu... Ga akan lagi...”

Allan melangkah gontai, seluruh ototnya lemas. Ia masuk ke kamar dengan tangis membanjiri mukanya.

“Wildan, Rik... Wildan...” isaknya.

Riko menoleh, mencari tahu apa yang baru saja ia dengar.

“Hah?” ujar Riko.
“Wildan, Rik. Danny bersama Wildan...”

Semua ini menjadi masuk akal bagi Riko. Danny tak mungkin bisa jauh di kota ini, tak mungkin bisa hilang secepat kilat. Dan andai Riko lebih dahulu mencari tahu Danny di tempat Wildan, mungkin ia tak akan segila ini. Hanya tempat Wildan yang memungkinkan, dan belum ia datangi. Ia takut Wildan akan marah karena kehilangan Danny tanpa jejak. Tapi sekarang, ia sudah yakin benar kalau Danny disana.

***

“Kamu masih marah ?”
“Aku nggak marah kak...”
“Maafin kakak ya, Dan...”
“Kamu gak perlu minta maaf kak...”
“Habisnya, kamu ngediemin kakak satu jam lebih... Aku jadi ngerasa khawatir sekaligus ga enakan..”

Brmmm.. Tiba-tiba dari halaman kak Wildan terdengar suara motor berhenti. Suara yang tak asing, motor kak Riko!

“Kak! Itu sepertinya...” bisikku.
Kak Wildan mengangguk. Aku setengah berlari menuju ruang belakang dan mengunci pintu rapat-rapat. Persis seperti seseorang berselingkuh dan pasangannya datang. Aku merasa bodoh.

Tok Tok Tok!!!! Ketukan itu terasa kasar sekali.
“Tumben lu dateng nyet?”
“Danny mana?!”
“Danny?”
“Iya, Aku tau Danny pasti disini!”
“Maksud lu apa nyet?”
“Kalaupun Danny gak disini, pasti lu tau sesuatu, Wildan! Dimana dia?!”
“Aku beneran gak tau Rik aku...”

Tiba-tiba Wildan tercekat melihat Riko mengambil handycam yang tergeletak diatas meja.

“Ini nyala? Lu lagingapain?”
“Gua.. Gua...”

Aku mengintip dari sela-sela pintu, kulihat kak Riko menatap handycam itu. Seperti menyaksikan sesuatu.

“BAJINGAN KAMU WILDAN!!!!!” teriak Kak Riko.

Aku memejamkan mata. Ini tak mungkin terjadi lagi...
Diluar, matahari begitu terik... Darah segar mungkin bisa mengalir deras jika harus menetes saat ini...

to be continued




next chapter
 

0 comments:

Post a Comment