All About Magic
-chapter 10- ( 1 )
by MarioBastian
Hidup penuh misteri, setuju?
Banyak hal-hal misterius yang
membuat kita bertanya-tanya, hal-hal yang nggak pernah kita ketahui
jawabannya, bahkan kadang pertanyaannya. Nggak perlu hal misterius yang
besar semacam penanggalan suku Maya atau adakah makhluk hidup tinggal di
planet di luar sana. Hal-hal kecil saja. Misalnya kenapa Bello senang
sekali berkeliaran di belakang rumah akhir-akhir ini, lalu menangis, dan
akhirnya melompat ke atap rumah untuk nongkrong di sana.
Tapi
yang menjadi misteri bagiku bukan itu. Ada misteri lain yang membuatku
penasaran. Ini lebih dari sekedar rasa ingin tahu akan kamar terlarang,
atau apa sebetulnya orientasi seksual Zaki.
Belum juga aku
mendapat jawaban penuh tentang misteri rumah ini, misteri baru terus
bermunculan di hadapan hidungku—kadang membuatku frustrasi. Seperti
misalnya siang ini, ketika aku sedang menyiapkan makan siangku sendiri
di dapur, seseorang mengetuk pintu depan rumah Granny.
“Ada yang
bisa dibantu?” Saat aku membuka pintu depan, kulihat seorang pria tinggi
besar sedang berdiri membelakangiku. Dia mengenakan jubah hitam, dengan
celana hitam mengkilat dan sepatu pantofel bertumit agak tinggi. Pria
itu berambut merah. Literally, merah. Seperti bendera Indonesia, merah. Bukan ‘merah’ yang kelihatan agak kecoklatan seperti yang dipulas Esel di rambutnya lima hari yang lalu.
Pria
itu berbalik, mengibaskan jubahnya seolah memang sengaja ingin
menunjukkan kibasan itu. Dia sedang tersenyum menyeringai. Dan jantungku
nyaris copot! Di wajahnya yang putih itu terdapat bayangan tengkorak
berwarna merah, yang kadang kulihat, kadang nggak. Seperti stiker hologram di buku-buku yang harus kita bolak-balik ke arah cahaya demi bisa melihat gambar stikernya.
Pria
itu berwajah menyeramkan. Bukan jelek, tapi menyeramkan. Alisnya tebal
dan pandangannya tajam menusuk. Ada janggut kambing di bawah dagunya,
yang juga semerah rambutnya.
Selama sepuluh detik, pria
menyeramkan itu hanya nyengir menyeringai menatap wajahku seolah dia
sedang menatap korban perkosaannya. Aku langsung berkeringat dingin.
Bisa jadi dia memang tukang perkosa di angkot-angkot yang somehow bebas dan kali ini sedang mengincarku—meskipun agak nggak masuk akal, tapi hidup penuh misteri, kan?
“Ooohhh... Dennis, ya?” desahnya kemudian, masih tetap menyeringai.
Aku menyentak tubuhku karena kaget. Kenapa orang ini bisa menganggapku Dennis?
“Sudah
besar, sekarang...” Pria itu menunjukkan senyum terlebar yang pernah
kulihat. Nyaris selebar Joker di film The Dark Night. Bahkan selintas
aku pikir dia mirip Heath Ledger. “Jadi anak manis, rupanya.”
“Saya bukan Dennis,” kataku buru-buru. “Bapak mau nyari siapa, ya?”
“Ooohhh... Bukan Dennis, ya?” Wajahnya terlihat lebih girang dari pada sebelumnya. “Jadi kamu yang satu lagi itu? Yang itu?”
“Yang itu yang mana?”
“Yang itu? Yang itu ‘itu’?” bisiknya, diiringi tawa yang keras sekali.
Napasnya bau, by the way.
Aku menahan napas kuat-kuat untuk menghindar dari bau busuk. Baunya
seperti bau bangkai, dan itu keluar dari mulutnya. Memangnya dia baru
makan apa?
Setelah sekuat tenaga menahan napas, dan pria itu
tetap tertawa terbahak-bahak di hadapanku, akhirnya aku mengangkat
tangan dan bertanya, “Jadi Bapak ada urusan apa ke sini?”
Tawanya
berhenti. “Oooh... Saya mau ketemu Allya...” Dia menyeringai lagi.
“Udah bertahun-tahun saya nggak ketemu kawan lama saya itu. Berapa, ya?
Sepuluh? Dua puluh?”
“Bu Allya-nya lagi nggak di rumah,” kataku buru-buru.
“Dulu
dia cantik,” dia sama sekali nggak mendengarkan, “rambutnya dikeriting
dan suka pake gaun selutut. Segini nih selutut.” Dia membungkuk dan
menunjuk lututnya sendiri, seolah aku ini orang tolol yang nggak tau
‘lutut’ tuh ada di mana.
“Iya, tapi Bu Allya lagi keluar—“
“Dulu Allya suka nyanyi. Dia favorit banget sama Elvis Presley. Dia punya kemeja rumbai-rumbai penuh buricak burinong di pinggirnya...”
Like I care, batinku. Kemeja rumbai-rumbai masih nothing, dibandingin koleksi mug SM*SH-nya Granny yang sekarang.
“Apalagi bibirnya seksi... aaahhh...
Setiap pria pasti noleh buat ngelihat Allya lewat. Bibirnya menggoda.
Kulitnya mulus... dan dadanya itu lho...” Pria itu meletakkan tangannya
di depan dada, dan aku langsung membayangkan payudara Granny benar-benar
sebesar itu.
Ya Tuhan, menjijikkan sekali aku membayangkan dadanya Granny. Maafkan aku, ya Granny.
“Nanti kalau bu Allya-nya pulang, saya sampein deh salamnya Bapak.” Sebisa mungkin aku harus membuat pria ini pergi, batinku. Aku sedang merebus mie, for God’s sake. Mestinya aku nggak meninggalkan dapur lebih dari dua menit!
“Ya,
yaa...” katanya, yang kukira dia ‘mendengar’ perkataanku barusan...
ternyata, “Memang sih, agak bandel, tapi saya suka, lah... gadis-gadis
macam Allya itu. Waktu masih muda dulu, dia aktif dan punya banyak ide.
Saya sama Allya pernah pergi ke Gunung Galunggung, dulu. Sebelum
meletus! Kami berdua bikin terobosan-terobosan baru.”
Jadi aku mesti bilang WAW, gitu?
“Kami berdua ini cocok!”
Aku
menyeringai nggak peduli. Dalam otakku sekarang hanyalah rebusan mie,
muka menyeramkan pria ini, rebusan mie, napas baunya, dan rebusan mie.
Aku berpikir keras bagaimana cara mengusir orang ini. Apa langsung
menutup pintu saja?
“Jadi ngomong-ngomong, di mana Allya kesayangan saya ini?”
ASTAGAAA...
Aku menarik napas. Menahan kesal. “Bu Allya-nya lagi keluar, dia nggak ada di rumah.”
“Ooohhh...
nggak ada di rumah, ya?” Dia manggut-manggut. “Sebenernya saya tau, dia
nggak di rumah. Saya cuma mau lihat-lihat ke sini aja. HAHAHAHAHA...”
Dan
napas baunya menggelegar lagi dari tawanya yang lebar itu. Kali ini aku
nggak perlu ragu untuk menutup hidungku dengan tangan.
“Kalau gitu, sampein salam saya aja...” ujarnya.
“Apa?”
“Bilang ke Allya, waktunya udah dekat. Saya tunggu dia di gerbang.”
Aku mengernyitkan alis menatap gerbang rumah Granny. “Bapak mau nunggu di situ sampe Bu Allya-nya pulang?”
Pria
itu menoleh ke gerbang, lalu ke arahku, menatapku dua detik, kemudian
tertawa keras lagi. Kali ini lebih keras daripada sebelumnya. Dan lebih
bau! Perutku langsung mual.
“HAHAHAHA... Ternyata kamu pelawak! HAHAHAHA!!”
Dan
pria itu pun langsung menyibakkan jubahnya, berbalik meninggalkanku,
masih terbahak-bahak. Bahkan dia sempat menyandarkan tangannya di
tembok, memegang perutnya sendiri, dan membungkuk tertawa. Kemudian
semenit berikutnya dia berjalan keluar dari rumah, lenyap di belokan,
dan suara tawanya semakin jauh.
Dia hilang.
Kecuali bau mulutnya. Masih di sini.
Nah, kalian menangkap apa yang membuat kedatangan tamu itu sebagai sebuah misteri?
to be continued
DISCLAIMER:
This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.
The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.
Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (1)'s All About Magic
Labels:
Kadang Cupid Tuh Tolol,
mariobastian
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Info Kesehatan
Artikel Lain :
9 Hal Seputar Kondom Pria yang Paling Sering Ditanyakan
3 comments:
pendek dan penuh misteri hhmmmm
YA awooooooh bner panjang partnya ,, tapi setiap partnya pemdek :(
gpp lah ,, dari pada tak sama sekali :)
Nemu juga nih part lanjutannya...
Gokil ni cerita, lacung 5 jempol deuh buat MarioBastian
Post a Comment