DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (1)'s All About Magic

All About Magic
-chapter 10- ( 1 )
by MarioBastian


Hidup penuh misteri, setuju?

Banyak hal-hal misterius yang membuat kita bertanya-tanya, hal-hal yang nggak pernah kita ketahui jawabannya, bahkan kadang pertanyaannya. Nggak perlu hal misterius yang besar semacam penanggalan suku Maya atau adakah makhluk hidup tinggal di planet di luar sana. Hal-hal kecil saja. Misalnya kenapa Bello senang sekali berkeliaran di belakang rumah akhir-akhir ini, lalu menangis, dan akhirnya melompat ke atap rumah untuk nongkrong di sana.

Tapi yang menjadi misteri bagiku bukan itu. Ada misteri lain yang membuatku penasaran. Ini lebih dari sekedar rasa ingin tahu akan kamar terlarang, atau apa sebetulnya orientasi seksual Zaki.

Belum juga aku mendapat jawaban penuh tentang misteri rumah ini, misteri baru terus bermunculan di hadapan hidungku—kadang membuatku frustrasi. Seperti misalnya siang ini, ketika aku sedang menyiapkan makan siangku sendiri di dapur, seseorang mengetuk pintu depan rumah Granny.

“Ada yang bisa dibantu?” Saat aku membuka pintu depan, kulihat seorang pria tinggi besar sedang berdiri membelakangiku. Dia mengenakan jubah hitam, dengan celana hitam mengkilat dan sepatu pantofel bertumit agak tinggi. Pria itu berambut merah. Literally, merah. Seperti bendera Indonesia, merah. Bukan ‘merah’ yang kelihatan agak kecoklatan seperti yang dipulas Esel di rambutnya lima hari yang lalu.

Pria itu berbalik, mengibaskan jubahnya seolah memang sengaja ingin menunjukkan kibasan itu. Dia sedang tersenyum menyeringai. Dan jantungku nyaris copot! Di wajahnya yang putih itu terdapat bayangan tengkorak berwarna merah, yang kadang kulihat, kadang nggak. Seperti stiker hologram di buku-buku yang harus kita bolak-balik ke arah cahaya demi bisa melihat gambar stikernya.

Pria itu berwajah menyeramkan. Bukan jelek, tapi menyeramkan. Alisnya tebal dan pandangannya tajam menusuk. Ada janggut kambing di bawah dagunya, yang juga semerah rambutnya.

Selama sepuluh detik, pria menyeramkan itu hanya nyengir menyeringai menatap wajahku seolah dia sedang menatap korban perkosaannya. Aku langsung berkeringat dingin. Bisa jadi dia memang tukang perkosa di angkot-angkot yang somehow bebas dan kali ini sedang mengincarku—meskipun agak nggak masuk akal, tapi hidup penuh misteri, kan?

“Ooohhh... Dennis, ya?” desahnya kemudian, masih tetap menyeringai.

Aku menyentak tubuhku karena kaget. Kenapa orang ini bisa menganggapku Dennis?

“Sudah besar, sekarang...” Pria itu menunjukkan senyum terlebar yang pernah kulihat. Nyaris selebar Joker di film The Dark Night. Bahkan selintas aku pikir dia mirip Heath Ledger. “Jadi anak manis, rupanya.”

“Saya bukan Dennis,” kataku buru-buru. “Bapak mau nyari siapa, ya?”
“Ooohhh... Bukan Dennis, ya?” Wajahnya terlihat lebih girang dari pada sebelumnya. “Jadi kamu yang satu lagi itu? Yang itu?”
“Yang itu yang mana?”

“Yang itu? Yang itu ‘itu’?” bisiknya, diiringi tawa yang keras sekali.

Napasnya bau, by the way. Aku menahan napas kuat-kuat untuk menghindar dari bau busuk. Baunya seperti bau bangkai, dan itu keluar dari mulutnya. Memangnya dia baru makan apa?

Setelah sekuat tenaga menahan napas, dan pria itu tetap tertawa terbahak-bahak di hadapanku, akhirnya aku mengangkat tangan dan bertanya, “Jadi Bapak ada urusan apa ke sini?”

Tawanya berhenti. “Oooh... Saya mau ketemu Allya...” Dia menyeringai lagi. “Udah bertahun-tahun saya nggak ketemu kawan lama saya itu. Berapa, ya? Sepuluh? Dua puluh?”
“Bu Allya-nya lagi nggak di rumah,” kataku buru-buru.
“Dulu dia cantik,” dia sama sekali nggak mendengarkan, “rambutnya dikeriting dan suka pake gaun selutut. Segini nih selutut.” Dia membungkuk dan menunjuk lututnya sendiri, seolah aku ini orang tolol yang nggak tau ‘lutut’ tuh ada di mana.

“Iya, tapi Bu Allya lagi keluar—“
“Dulu Allya suka nyanyi. Dia favorit banget sama Elvis Presley. Dia punya kemeja rumbai-rumbai penuh buricak burinong di pinggirnya...”

Like I care, batinku. Kemeja rumbai-rumbai masih nothing, dibandingin koleksi mug SM*SH-nya Granny yang sekarang.

“Apalagi bibirnya seksi... aaahhh... Setiap pria pasti noleh buat ngelihat Allya lewat. Bibirnya menggoda. Kulitnya mulus... dan dadanya itu lho...” Pria itu meletakkan tangannya di depan dada, dan aku langsung membayangkan payudara Granny benar-benar sebesar itu.

Ya Tuhan, menjijikkan sekali aku membayangkan dadanya Granny. Maafkan aku, ya Granny.

“Nanti kalau bu Allya-nya pulang, saya sampein deh salamnya Bapak.” Sebisa mungkin aku harus membuat pria ini pergi, batinku. Aku sedang merebus mie, for God’s sake. Mestinya aku nggak meninggalkan dapur lebih dari dua menit!

“Ya, yaa...” katanya, yang kukira dia ‘mendengar’ perkataanku barusan... ternyata, “Memang sih, agak bandel, tapi saya suka, lah... gadis-gadis macam Allya itu. Waktu masih muda dulu, dia aktif dan punya banyak ide. Saya sama Allya pernah pergi ke Gunung Galunggung, dulu. Sebelum meletus! Kami berdua bikin terobosan-terobosan baru.”

Jadi aku mesti bilang WAW, gitu?

“Kami berdua ini cocok!”
Aku menyeringai nggak peduli. Dalam otakku sekarang hanyalah rebusan mie, muka menyeramkan pria ini, rebusan mie, napas baunya, dan rebusan mie. Aku berpikir keras bagaimana cara mengusir orang ini. Apa langsung menutup pintu saja?

“Jadi ngomong-ngomong, di mana Allya kesayangan saya ini?”

ASTAGAAA...

Aku menarik napas. Menahan kesal. “Bu Allya-nya lagi keluar, dia nggak ada di rumah.”
“Ooohhh... nggak ada di rumah, ya?” Dia manggut-manggut. “Sebenernya saya tau, dia nggak di rumah. Saya cuma mau lihat-lihat ke sini aja. HAHAHAHAHA...”

Dan napas baunya menggelegar lagi dari tawanya yang lebar itu. Kali ini aku nggak perlu ragu untuk menutup hidungku dengan tangan.

“Kalau gitu, sampein salam saya aja...” ujarnya.
“Apa?”
“Bilang ke Allya, waktunya udah dekat. Saya tunggu dia di gerbang.”

Aku mengernyitkan alis menatap gerbang rumah Granny. “Bapak mau nunggu di situ sampe Bu Allya-nya pulang?”
Pria itu menoleh ke gerbang, lalu ke arahku, menatapku dua detik, kemudian tertawa keras lagi. Kali ini lebih keras daripada sebelumnya. Dan lebih bau! Perutku langsung mual.

“HAHAHAHA... Ternyata kamu pelawak! HAHAHAHA!!”
Dan pria itu pun langsung menyibakkan jubahnya, berbalik meninggalkanku, masih terbahak-bahak. Bahkan dia sempat menyandarkan tangannya di tembok, memegang perutnya sendiri, dan membungkuk tertawa. Kemudian semenit berikutnya dia berjalan keluar dari rumah, lenyap di belokan, dan suara tawanya semakin jauh.

Dia hilang.
Kecuali bau mulutnya. Masih di sini.

Nah, kalian menangkap apa yang membuat kedatangan tamu itu sebagai sebuah misteri?




to be continued




3 comments:

baang said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

pendek dan penuh misteri hhmmmm

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

YA awooooooh bner panjang partnya ,, tapi setiap partnya pemdek :(
gpp lah ,, dari pada tak sama sekali :)

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Nemu juga nih part lanjutannya...
Gokil ni cerita, lacung 5 jempol deuh buat MarioBastian

Post a Comment