DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (2)'s All About Magic

All About Magic
-chapter 10- ( 2 )
by MarioBastian



Pertama, dia kelihatan berumur di bawah 30 tahun. Manusia berumur 30 tahun mana yang sudah kenal Granny sejak dulu dan menjelaskannya seolah sudah ketemu Granny sejak usia Granny 20.

Kedua, apa maksudnya waktunya sudah dekat?

Dan ketiga, ketika aku kembali ke dapur untuk mematikan kompor, aku melihat Bello sedang galau di depan workshop. Aku menghampirinya dan dia langsung melayang pergi melihat kedatanganku. Tapi sebelum dia menyadari kehadiranku, aku sempat mendengar kata-kata terakhirnya.

Waktunya sudah dekat... Waktunya sudah dekat...” Diulang-ulang seterusnya sampai dia benar-benar lenyap.

Jelas, “waktunya sudah dekat” pria itu ada hubungannya dengan “waktunya sudah dekat” Bello. Ini sebuah misteri, bukan?

-XxX-

Nggak perlu waktu lama bagiku untuk bertemu misteri berikutnya. Saat itu aku sedang menghabiskan mie rebusku—mie mengembang karena kelamaan direbus—ketika pintu depan kembali diketuk.

Kali ini aku mengintip dari jendela, waspada kalau-kalau pria menyeramkan tadi datang lagi. Namun, ternyata ada seorang wanita cantik di depan teras. Wanita itu mengenakan gaun putih polos yang dililit-lilitkan di sekujur tubuhnya, mirip gaun wanita Yunani. Bahkan wajahnya pun agak-agak mediterania, dengan rambut bergelombang, bulu mata lentik, dan tatapan mata wanita latin.

“Ya? Ada yang bisa dibantu?” sapaku saat membuka pintu.

Wanita itu mendongak dengan anggun dan langsung meneliti wajahku. Kedua bola matanya bergerak menatap satu persatu lekuk di wajahku. “Oh, Dennis?”

Dennis lagi.

“Bukan, saya bukan Dennis.”
Wanita itu mendesah lega. Seolah jika benar aku Dennis, maka dunia sudah kiamat.
“Saya kirain kamu Dennis. Penampilan kamu... beda.”
“Emangnya mbak tahu di mana Dennis?”

“Tahu.” Dia mengangguk-angguk mantap. “Begini, saya nggak punya waktu banyak. Saya lagi nyari Allya sebetulnya, tapi saya tahu Allya lagi nggak ada di rumah ini. Boleh saya titip pesan?”

Jujur saja aku agak nggak mendengarkan ucapan wanita itu barusan. Otakku langsung berhenti saat dia bilang “tahu”, karena jantungku langsung berdebar dan hatiku dipenuhi berbagai macam harapan.

“Mbak tahu di mana Dennis? Di mana?” tanyaku bersemangat.

Sudah dua minggu aku mencari-cari Dennis. Sejak residual energy terakhir itu, aku mati-matian melacak keberadaan Dennis. Which is quite a bullshit, karena petunjuk segede tahi lalat pun nggak kutemukan.

Berhari-hari aku berharap aku bisa melihat residual energy baru yang menunjukkan ke mana Dennis terakhir menghilang. Tapi kejadian di workshop itu adalah residual energy terakhir yang kulihat. Aku sempat pergi ke Cisarua Lembang, mengintip kediaman ibunya Bang Dicky dan berharap ada sesosok remaja yang dinamakan Dennis sedang berkeliaran di situ. Tapi tidak. Bahkan batang hidung Bang Dicky pun nggak nampak selama aku mengintip tersebut.

Aku juga akhir-akhir ini terobsesi mencari pemuda-pemuda yang wajahnya mirip Dennis. I mean, aku kan tahu rupa Dennis saat dia masih anak kecil. Wajahnya saat dewasa pasti nggak jauh beda. Aku hanya tinggal membayangkan badannya lebih besar... mungkin alisnya lebih tebal, seperti Bang Dicky... dan mata sendunya yang nggak bisa dilupakan itu... dan kadang aku berharap dia mengenaliku di tengah jalan, lalu menghambur ke arahku, memelukku dan berteriak, “Agas! Its been a long time...” atau apapun itu dalam bahasa Indonesia yang lebih enak didengar.

Tapi sampai hari ini, aku belum bertemu juga dengan sosok Dennis tersebut. Pernah ada beberapa pemuda di Bandung Indah Plaza aku stop karena aku rasa dia mirip Dennis. Tapi tak satupun yang mengaku bernama Dennis. Malah, waktu aku istirahat di KFC seberang BIP, seorang bapak-bapak berkumis tebal, mengenakan batik dan kacamata hitam menghampiriku, “Cari Dennis, ya? Saya Dennis,” katanya.

As if, batinku. Where on earth seorang adik kelihatan sangat lebih tua dibanding kakaknya. Dan kumisnya itu tebal banget.

“Dennis yang saya cari masih muda, Om.”
“Lho, saya lihat kamu nyari-nyari Dennis seharian ini di BIP. Yang kamu cari pasti saya. Apa bedanya? Toh sama-sama Dennis?”

Ya Tuhan...

“Saya ada tempat,” katanya. “Kita lanjutin di tempat saya aja.”

Which, of course, nggak aku turutin karena aku langsung kabur dari KFC. Hal terakhir yang ingin kulakukan di dunia adalah pergi dengan seorang stranger berkumis dan di dahinya jelas-jelas tertulis PERVERT pake spidol merah. Bahkan, aku mending mati daripada melakukan itu.

Bello juga membantuku mencari Dennis selama dua minggu ini. Nggak ngasih progres signifikan, tapi at least dia rela membantu. Bello berkeliling komplek mencari seseorang dengan wajah mirip Dennis. Kadang dia melayang di sekitar daerah rumah Zaki dan Bang Dicky di Cihampelas. Kadang juga kusuruh dia pergi ke manapun di Bandung mencari Dennis dan dia mengaku sudah pergi ke seluruh tempat tapi nggak ada hasil. Kami berdua bahkan berkunjung ke TransStudio, mengira Dennis bakal suka arena permainan itu, tapi malah berakhir dengan diriku mencoba semua wahana, tanpa sedikit pun ingat mencari Dennis.

Wanita di hadapanku mengerutkan alisnya. Bingung. “Emang Dennis ke mana?”
“Lho? Katanya mbak tahu di mana Dennis?”
“Iya, saya tahu, tapi emangnya Dennis lagi di mana sampe ditanyain segala?”
“Saya nggak tahu dia ada di mana, makanya saya nanyain juga.”

Wanita itu menatapku tak percaya. Tapi kemudian dia menggeleng kecil dan melupakan pertanyaanku. “Waktu saya cuma sebentar, jadi tolong sampaikan ini ke bu Allya...”
“Tapi—“
Dia mengangkat tangannya, memotongku. “Waktunya sudah dekat,” katanya. “Tempo perjanjian sebentar lagi habis. Ada konsekuensi yang harus dipatuhi pada saatnya. Allya harus siap kali ini. Nggak bisa dimundur-mundur lagi.”

Perjanjian?
Konsekuensi?

“Demi kebaikan Allya, lebih baik sekarang dia menyerah,” lanjutnya. “Membuat janji baru setiap janji lama jatuh tempo, bukan jawaban terbaik.”

Aku masih bingung dengan kata-kata wanita itu. Aku sama sekali nggak tahu, perjanjian apa yang sedang dibicarakannya. Memangnya Granny bikin janji apa? Apakah “waktunya sudah dekat” wanita ini sama dengan “waktunya sudah dekat” pria tadi maupun Bello?

Waktu apa yang sudah dekat?

“Bisa tolong sampaikan pesan saya, kan?” tanyanya.
Aku mengangguk pelan. Pikiranku nggak sepenuhnya fokus karena sebagiannya dipenuhi dengan berjuta pertanyaan soal misteri baru ini.
“Bagus,” ujar wanita itu, kemudian berbalik dengan anggun dan menuruni tangga. “Dan, oh, kamu.”

Dia tersenyum padaku. “Selalu percaya sama apa yang ada di hatimu, bukan apa yang nampaknya benar.”
Dan wanita itu pun pergi. Melangkah melewati gerbang rumah Granny, membuka payung transparan entah dari mana—for God’s sake, aku bahkan nggak ngelihat dia bawa-bawa payung sedari tadi.

Aku mematung di pintu depan selama beberapa menit. Pikiranku mengelana ke sana kemari, memikirkan beragam kemungkinan soal kejadian-kejadian yang terjadi akhir-akhir ini. Apakah semua itu ada kaitannya? Apakah ini memang sudah direncanakan? Di manakah Dennis?

Aku berbalik perlahan dan berjalan tanpa semangat melewati ruang tamu. Belum juga aku melintasi ruangan itu, kulihat Bello sedang duduk di sofa, menatap keluar jendela, ke arah wanita itu menghilang tadi.

Dari matanya kulihat ada airmata mengalir.

-XxX-

Aku punya kebiasaan baru sekarang: mengunjungi workshop, duduk-duduk di tumpukan kayu di depannya, dan menatap pintu yang tertutup itu. Dalam otakku ada bayangan Bang Dicky sedang memahat bingkai, mungkin dengan kaus kebesarannya yang nampak seksi dan alisnya yang bertaut serius saat dia mengoreh-ngoreh kayu untuk membuat detail ornamen. Aku masih ingat, kadang bibirnya menganga sedikit saat dia serius seperti itu. Dan kapan itu ada serpihan kayu masuk ke mulutnya lalu dia tersedak, dan kami tertawa-tawa.

Astaga, rasanya sudah lama sekali aku nggak melihat Bang Dicky memahat kayu lagi di workshop.

Namun, rupanya hari ini menjadi hari yang berbeda. Setelah setiap hari aku melamun sepulang sekolah di depan workshop untuk mengenang Bang Dicky, kali ini aku cukup terkejut melihat pintu workshop terbuka lebar.

Aku baru pulang dari sekolah, sekitar jam lima sore. Sepanjang perjalanan menuju rumah aku memikirkan pria dan wanita misterius kemarin siang, kemudian memutuskan untuk melupakannya sejenak dan menghabiskan lembayung sore yang cerah ini sambil membawa majalah dan duduk-duduk di depan workshop. (Seperti biasa.) Lagi pula aku belum bertemu Granny sejak kemarin. Gara-gara girlband fight sialan itu, Granny jadi sering pergi keluar, kadang menginap di rumah Jeng Novi dan hanya muncul untuk memberiku uang saku sekolah saja.

Tetapi, ketika aku tiba di dapur, aku melihat pintu workshop itu terbuka lebar. Aku sempat berpikir, mungkin itu pencuri. Meskipun agak nonsense juga pencuri merampas kumpulan bingkai di sebuah workshop dibandingkan merampas televisi plasma di ruang tengah atau mungkin komputer iCore-ku yang baru. Aku juga sempat berpikir mungkin itu Zaki, sedang mengantarkan kayu atau mungkin hook-up dengan seorang gadis jalang lain (atau bahkan mungkin Zaenab), tapi kemudian aku menepis pemikiran itu, karena sejak dia mengumumkan rencana pernikahannya dengan Zaenab, dia nggak pernah mengunjungi rumah ini lagi.

Sekali pun.

Bahkan, aku sudah kangen dengan Zaki. Kangen dengan wajah gantengnya, dengan tubuhnya yang mempesona... dan beberapa kali dalam dua minggu terakhir aku onani sambil membayangkan Zaki—padahal biasanya aku nggak pernah onani sambil mikirin dia.

Aku berjalan menyusuri halaman belakang, agak bersemangat menghampiri workshop yang terbuka itu. Kemudian aku mendengar suara dengungan mesin. Dengungan yang sering kudengar waktu pertama kali pindah ke sini.

Ya Tuhan, memangnya ada yang sedang menghaluskan permukaan kayu di workshop itu? Memangnya ada Bang Dicky di situ? Memangnya di situ—

Belum juga pertanyaanku selesai, aku sudah melihat jawabannya. Ya. Ternyata ada Bang Dicky di situ. Jantungku langsung berhenti berdetak saat melihat siluet Bang Dicky muncul dari dalam workshop, mengenakan baju kodoknya tapi membuka bagian atasnya, membiarkan bagian itu jatuh di bokongnya. Bang Dicky bertelanjang dada. Bagian atas tubuhnya dipenuhi serbuk-serbuk kayu dan dia mengenakan kacamata plastik besar berwarna biru.

Semoga bukan mimpi. Semoga bukan mimpi.

Perutku langsung dipenuhi kupu-kupu. Badanku merinding karena senang. Dengan mantap aku menjejakkan kaki lagi ke arah workshop dan berhenti di pintu depan, menatap Bang Dicky yang sedang sibuk mencari sesuatu di toolbox-nya.

Dia belum menyadari kehadiranku. Tak apalah. Aku bisa membiarkan beberapa menit ini berlalu sambil menatap Bang Dicky yang asyik dengan pekerjaannya.

Begini, aku tahu Bang Dicky was such a jerk karena menghajar Zaki beberapa minggu yang lalu. Aku juga sebal sama dia, karena aku sudah susah-susah datang menghampirinya, ingin tahu keberadaannya, tapi dia malah mengusirku. Menyebalkan, bukan? Belum lagi soal dia menghilang selama lebih dari tiga minggu, tanpa alasan yang jelas dan terkesan tertutup. Dan aku selalu bete kalau dia sudah bertingkah aneh, tapi aku nggak tahu alasannya apa.

Tapi setelah dua minggu terakhir hidupku hampa, maksudku, aku nggak berteman dengan Cazzo lagi, Zaki menghilang karena mau menikahi zaenab, I kinda missed Bang Dicky. Aku kangen kehadirannya di rumah Granny, memasakkan makanan-makanan lezat, mondar-mandir dengan badan bongsornya itu, dan somehow so romantic, meski aku tahu dia nggak bermaksud romantis—akunya saja yang menganggap itu romantis.

Lagi pula, hari-hari pertama aku pindah ke sini, Bang Dicky lah yang selalu ada untukku, betul? Cazzo dan Zaki justru nggak ada. Dan sekarang, ketika Cazzo dan Zaki kembali nggak ada di hidupku, Bang Dicky juga nggak ada. Aku bener-bener kehilangan selama dua minggu terakhir. Aku kesepian.

Aku teringat lagi momen pertama kali melihat Bang Dicky. Airport, 4645, dan dia begitu charming. Kemudian saat dia berlari ke kamarku, tidur denganku untuk menjagaku, dan dia memberikan sweter itu...

Tiba-tiba saja semua kekesalanku pada Bang Dicky menguap. Tiba-tiba saja justru aku ingin memeluk Bang Dicky sekarang juga. Apalagi dia ada di depan mataku sekarang, sedang asyik dengan perkakasnya dan—

“Agas?” Bang Dicky menoleh dan tersenyum.

Jantungku serasa ditarik keluar melihat senyumnya yang menghangatkan itu. Aku bahkan lupa ada lesung pipi di senyum Bang Dicky. Atau itu hanyalah oli?

“Bang...” kataku, dengan suara bergetar. Entah kenapa aku jadi emosional seperti ini. Mungkin terlalu kangen atau apa...

“Agas udah pulang?”

Biasanya, kalau Granny yang bertanya seperti itu, aku pasti menjawab, “Belum, masih di jalan! Jelas-jelas ini udah pulang, di depan mata!” Tapi aku justru membalas senyumnya dan dengan manis menjawab. “Iya, udah... baru nyampe, kok.”

“Udah makan?” Dengan charming-nya Bang Dicky berjalan menghampiriku, dada telanjangnya terlihat lebih berisi sekarang. Atau itu cuma perasaanku aja? I mean, terakhir aku ngelihat dada telanjang Bang Dicky adalah saat...

“Belum, aku belum makan.”

Alis Bang Dicky bertaut. Ketika jaraknya hanya tinggal satu meter dariku—dengan pemandangan kulitnya yang menawan penuh serbuk kayu itu—aku dapat mencium aroma tubuhnya yang dulu. Aroma yang kurindukan. Begitu maskulin dan menggoda. Seolah wangi tubuhnya bisa menghangatkan suasana.

Ya Tuhan, aku ingin sekali jatuh ke pelukan tubuh itu.

“Yaah, kok belum makan?” Bang Dicky kelihatan cemas, seolah aku-belum-makan sama dengan kamu-ke-mana-aja-sih?-Seharian-ini-aku-nyariin-kamu!
“Aku tadi langsung pulang, Bang. Capek.”

Bang Dicky mendesah dan meletakkan pisau pahatnya di atas meja, membersihkan badannya dengan sapu kecil dan handuk di atas meja, lalu menarikku keluar. Dia menduluiku pergi ke dapur dan tanpa bicara apa-apa langsung mengeluarkan beberapa bahan makanan dari dalam lemari es. Aku masih terpukau dengan tubuh “nyata”-nya di depan hidungku, menggeliat dari tempat kumpulan pisau menuju counter untuk mengiris. Aku menatap punggung lebarnya, yang agak berkeringat dan kelihatan hangat. Selintas bibirku tersenyum karena aku bisa melihat lagi Bang Dicky di sini.

“Nenek lagi latihan, katanya.”
“Aku tahu.”
“Dan nggak akan pulang.”
“Iya, udah sering, kok.”
“Jadi Dicky nginep di sini malem ini.”

Jantungku berdebar mendengarnya. I mean, bukannya aku jadi kege-eran atau berpikiran macam-macam ya, tapi setelah berminggu-minggu nggak melihat Bang Dicky di sini, ditambah dua minggu terakhir tak ada yang menemaniku kecuali cupid usil yang suka nakut-nakutin tukang nasi goreng depan komplek, rasanya mendebarkan sekali mendengar Bang Dicky bakal menginap malam ini.

Aku nggak bakal munafik. Aku kangen, seperti yang kubilang. Aku memang sebal sepenuh mati sama Bang Dicky beberapa hari yang lalu, tapi hari ini aku kangen. Aku ingin Bang Dicky ada di sini bersamaku, bersikap seperti seorang Dicky yang kutemui saat pertama kali ke sini, tanpa mesti terpengaruh isu-isu scandalious whatsoever semacam Pak Darmo, atau Dennis, atau... yah, semacam itu.

Ya Tuhan, Bang Dicky membuatkanku sesuatu dengan bahan tuna cincang.
Aku bahkan nggak tahu di dalam kulkas ada sekotak tuna cincang.
Setiap aku masuk dapur untuk mencari makan, aku membungkuk ke bawah counter, mengaduk-aduk kardus mie instant, dan mendapati dilema mau masak mie rebus atau mie goreng.

Mungkin ini salah satu faktor aku kangen Bang Dicky. Dia selalu tahu mau masak apa, jadi aku nggak pernah khawatir dengan menu makan malamku.

“Abang bakal stay terus di sini?” tanyaku, seraya duduk di atas konter kosong dan memperhatikan wajahnya yang asyik mengiris bawang bombay. “Bakal mulai tinggal di Babakan Siliwangi lagi?”
“Dicky kan emang tinggal di Babakan Siliwangi.”
“Terus kenapa kemaren mesti tinggal di Cimahi segala?”

Bang Dicky nggak menjawab. Dia nggak menunjukkan tanda-tanda kesal karena ditanya seperti itu, tapi dia nggak menjawab. Well, aku sudah menunggunya cukup lama. Mungkin dua puluh atau tiga puluh detik, tapi Bang Dicky hanya melanjutkan aktifitas memasaknya. Membuat campuran saus ke dalam sebuah mangkuk kecil. Seolah aku sama sekali nggak melontarkan pertanyaan barusan.


to be continued




Post a Comment