DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (3)'s All About Magic

All About Magic
-chapter 10- ( 3 )
by MarioBastian





“Bang?” panggilku.
“Ya?” Dia mendongak, tersenyum manis dan kembali meramu sausnya.
“Jadi kenapa kemarin mesti tinggal di Cimahi berminggu-minggu, hah?”

Tidak dijawab lagi. Bang Dicky kembali ke aktivitasnya, tanpa perubahan ekspresi wajah, tanpa perubahan gesture menjadi kesal atau marah. Mulutnya tetap diam seribu bahasa untuk pertanyaan yang satu ini. Seolah setiap aku mengajukan pertanyaan itu, dunia menjadi hening untuknya. Dia benar-benar nggak mau jawab.

Aku menunggu sekitar lima menit. Sampai Bang Dicky menyalakan kompor, bersiap memanggang tuna cincang, dan mengolesi panggangan dengan mentega. Dia bahkan memintaku mengambilkan merica di rak dekat kepalaku, dan nyengir menggemaskan, tapi sama sekali nggak membahas ‘topik’ itu.

Jelas, dia nggak mau membahas itu.

Aku sedikit kecewa melihatnya. Bagaimanapun juga kan aku butuh alasan. Apa lagi aku sudah mengesampingkan tindakan-tindakan menyebalkannya kemarin dan lebih memilih kangen saat melihat dia di workshop tadi. Mestinya aku dihargai dengan diberikan penjelasan jelas untuk pertanyaanku itu. Aku kan nggak minta lebih.

“Dicky kangen bikinin makan malam buat Agas.” Bang Dicky meninggalkan panggangan dan menghampiriku. Dia naik ke atas konter, duduk di sampingku, dan merangkulku ke pelukannya. “Yang Dicky bikin sekarang, spesial.”

“Emang bang Dicky bikin apa?”
“Tuna saus stroganoff.”
“Emangnya ada? Stroganoff kan ditumis, bukan dipanggang. Dan stroganoff tuh daging sapi.”
“Ah, siapa bilang mesti ditumis dan mesti daging sapi?” Bang Dicky mencubit hidungku. “Terserah chef-nya dong, mau dipanggang atau mau dibikin dari ikan.”

Aku menikmati saat jemari bang Dicky yang bercampur antara bau kayu dan bawang itu mencubit hidungku. Sedikit pun aku nggak ilfeel sama bau bawangnya. I mean, bau bawangnya kan karena memang sedang memasak.
Lagi pula, aku malah melebih menikmati saat Bang Dicky tanpa sadar menarikku lebih dekat ke pelukannya barusan.

Ini nih yang aku inginkan tadi. Bersandar di bahunya yang lebar, mencium aroma tubuhnya yang khas... menatap detail kulitnya, dan...

“Terus apa yang spesial?”
Bang Dicky tergelak dan turun dari counter. Dia mengecek panggangannya lalu nyengir manis ke arahku.
“Spesial karena Dicky bikin ini buat Agas,” jawabnya, sambil menepuk-nepuk dada bagian kirinya. “Dari sini.”

-XxX-

Dan ya... ini memang spesial.

Meskipun nggak nyambung. I mean, aku pernah makan Beef Stroganoff asli. Dari Rusia. Maksudku, ada orang Rusia pindah ke New Jersey, dan di welcome party-nya dia menyajikan Beef Stroganooff. Orangnya asyik, dengan mata besar dan kulit seputih salju. Mungkin bersaing lah dengan Bella Swan, tapi orang Rusia ini better karena kulitnya merona saat terkena sinar mentari New Jersey.

Aku nggak ingat namanya. Semua nama orang Rusia nggak bisa aku ingat dengan baik. Kecuali Vladimir Putin, mungkin. Dan Anna Kovakovakova... pemain tenis itu, pokoknya. Nah, seingatku, sauce stroganoff nggak seperti yang dimasak Bang Dicky ini.

But then, who cares?
Tuna Stroganoff ini tetap spesial!

Bang Dicky duduk di ujung meja makan. Sudah mandi, sudah berpakaian, wangi sabun dan tampak bersih. Sedikitpun nggak kelihatan seperti orang yang memukul sahabatnya sendiri dan akhirnya sang Ibu memukulnya, dan semua orang sebal padanya, dan dia nggak mau jawab pertanyaanku.

Astaga, Agas. Lupakan.
Lupakan obsesi untuk tahu segalanya tentang masalah yang sedang terjadi.
Bukankah dengan dia ada di sini dan bersikap manis sudah sangat cukup?

“Spesial?” tanyanya, menatapku penuh senyum dan bahagia melihatku menghabiskan masakannya itu.

“Indeed,” jawabku. “Dan kenapa aku nggak ngerasain makanan seenak ini selama berminggu-minggu terakhir, ya?”

Seperti dugaanku, Bang Dicky nggak menjawab. Sekeras apapun aku berusaha membelokkan topik ke arah “sana”.

Weekend ini Dicky mau ke Ciroyom,” katanya kemudian, “beli bahan makanan yang banyak, karena Nenek bilang, Sweet Strawberry-nya latihan di sini. Nenek pengen dibikinin banyak makanan buat disuguhin. Agas mau request masakan apa?”

“Ngng.. apa, ya?” Aku meletakkan sendokku sambil memutar otak. Makananku sudah habis sih sebetulnya, dari tadi aku hanya menjilat-jilati saus yang masih tersisa di piringku. “Aku nggak tau mau—Oh, mungkin bang Dicky bisa bikin sesuatu yang ada hubungannya sama Strawberry? Nama grupnya kan Sweet Strawberry.”

Dan saat menyebutkan nama grup band itu, lagi-lagi aku teringat untuk memaksa Granny mengubah nama girlband-nya.

Cake strawberry?” tanya Bang Dicky. “Smoothie strawberry?”
“Ya, ya, asal jangan Strawberry Stroganoff.”
Kami berdua lalu tertawa dengan hangat. Layaknya sepasang sahabat yang sedang makan malam bersama.

Aku sih melihatnya kami seperti sepasang kekasih. I mean, kalian tahu kalau meja makan ini sebetulnya dihiasi vas bunga dan lilin-lilin putih? Dan ada banyak serbet juga segelas jus buah naga.

Telepon rumah tiba-tiba berdering.
“Oh, aku aja yang ngangkat,” kataku.
“Sip!” Bang Dicky juga ikutan bangkit sambil membereskan bekas makanku. “Dicky beresin dulu meja, nanti Agas tunggu di ruang tengah aja.”
“Okee...”

Aku selalu suka telepon rumah Granny. Apa lagi yang di ruang tengah. Modelnya model lama, dengan tombol telepon diputar-putar dan warna klasik hijau pucat.

“Hallo?” sapaku.
Hallo... Dicky?” Itu suara Granny.
“Agas. Bang Dicky lagi di dapur. Kenapa, Granny?”
Oh, Darling... udah pulang ya? Udah makan, kamu?

“Udah dari tadi. Dimasakin sama Bang Dicky.”
Sip, sip, bagus. Dicky udah bilang kalo Nenek nggak akan pulang malem ini?
“Udah, Gran...”
Oke. Kalo gitu tolong titip pesen buat Dicky, Jeng Dedeh pesen Bebek Panggang Asam Manis, terus Jeng Imas pengen Beef Steak Bumbu Balado, terus Jeng Odah... tadi pesen apa, seus?

Astaga, memangnya ini hotline restoran?
Kadang aku selalu bertanya-tanya, jadi host sih jadi host, tapi apakah “setiap” tamu bisa merequest makanan mewah masing-masing? Memangnya budget Granny berapa untuk acara latihan ini?

Malah seringnya aku bertanya-tanya, dari mana sih Granny dapet duit sebanyak ini? Sebesar itukah gaji pensiunan pilot?

Oh, Jeng Odah pesen Kakap Presto Cabe Hijau, tulangnya dikeluarin dulu semua. Bisa diapalin, Darling?
“Bentar, aku tulis dulu.”

Selesai menulis semua permintaan silly itu, aku kembali ke telepon. “Bebek Panggang Asam Manis, Beef Steak Bumbu Balado, sama Kakap Presto Cabe Hijau. Udah, itu aja?”
Ya. Itu aja.
“Mau sekalian pesan minumnya, Bu? Atau kerupuk? Kami ada paket hemat untuk berdua lho, di sini.”
Granny tertawa mendengar candaanku.

Kamu ini... bandel, ya!” Dan tertawa lagi.
“Oh, Granny!” Tiba-tiba aku teringat. “Kemarin ada tamu ke sini nyariin Granny.”
Siapa?” Tawa Granny mulai mereda.
“Nggak tau namanya siapa. Ada dua tamu. Satu cowok, satu cewek. Mereka bilang ‘waktunya sudah dekat’. Maksudnya itu apa, Gran?”

Tak ada suara muncul dari seberang sana. Granny terpaku di ujung telepon. Desahan napasnya masih dapat kudengar, tapi jelas dia diam di sana.

“Granny?”
Ya?” Granny terdengar agak lemas.
“Granny kenapa?”
Nggak. Nenek nggak apa-apa...

Kemudian hening lagi.

Tapi kamu nggak apa-apa, kan, Sayank?
“Aku nggak apa-apa,” jawabku. “Terus mereka itu siapa, Gran?”
Mereka itu... ngng... mereka itu...” Granny mendesah-desah cemas. Suara napasnya sampai terdengar di telepon. “Mereka itu tamu.
Of course!” Aku memutar bola mata. “Tapi maksud mereka apa pake bilang ‘waktunya sudah dekat’? Dan kenapa Bel—eh, ya pokoknya maksudnya apa itu?”

Nyaris saja aku keceplosan bilang Bello. Sampai saat ini kan aku belum officially bilang aku tahu Bello. Meski aku yakin, Granny sudah tahu soal Bello dan aku.

Maksud mereka tuh, ngng...” Granny terdengar salah tingkah. “Maksudnya tuh, waktunya sudah dekat... dekat kayak... sebentar lagi pemilihan Gubernur Jawa Barat... semacam itu, lah...
“Ngapain mereka ke sini cuma buat ngomongin Pilkada. Emangnya mereka siapa, sih?”
Mereka itu... sensus penduduk! Udah ya... Nenek mau—
“Salah satu dari mereka juga ngomongin soal perjanjian,” potongku.

Hening sebentar di sana.
Setelah kutunggu beberapa lama, Granny malah pamit. “Darling, Nenek mau latihan lagi. Nanti dimarahin Jeng Novi. Udah dulu, yaaa...
“Halo? Halo?”
Sudah diputus teleponnya.

Aku menutup telepon dan makin penasaran. Ada apa sih sebenarnya dengan rumah ini?

-XxX-


Esok sorenya di sekolah, aku cukup kaget mendapati mobil pick-up Zaki ada di depan sekolah. Aku bisa tahu karena Derry tiba-tiba mendelik sinis padaku di koridor dan antek-anteknya menatap tidak suka. Saat aku melewati gerbang sekolah, pulang tepat waktu seperti dua minggu terakhir, kutemukan mobil Zaki sedang parkir dekat kios kecil.

Ngapain Zaki di sini?

Selama dua minggu terakhir, aku selalu naik angkot setiap pergi dan pulang sekolah. Aku bahkan sudah terbiasa dengan itu, sampai-sampai rasanya aneh waktu Bang Dicky mengantarku ke sekolah pagi tadi, dan Zaki tiba-tiba muncul sore ini.

“Bang Zaki?” sapaku. “Ngapain di sini?”
Zaki sedang terduduk di depan kemudi, tatapannya kosong dan pikirannya berkelana. Ketika aku datang, dia tersentak kaget dan langsung melemparkan senyum lemah.

“Saya nungguin Bos pulang. Pengen ngomong berdua aja.” Zaki terlihat lelah.
“Bang Zaki disuruh Bang Dicky, ke sini?”
Zaki menggeleng. “Dicky nggak tau saya ke sini, Bos. Kalo bisa juga jangan kasih tau.”

Zaki kemudian membawaku pergi dari CIS. Sepanjang perjalanan, dia sama sekali nggak bicara apa pun. Matanya agak kosong saat menyetir, aku sempat khawatir kami bakal menabrak mobil di depan atau apa gitu.

“Gimana kabar Zaenab?” tanyaku basa-basi.
“Baik.”
“Jadi, kapan nikahnya?”
“Bulan depan.”

Secepat itu? batinku. Sengebet apa sih Zaenab pengen kawin sama Zaki?

“Udah nyampe mana persiapannya?”
“Nyampe situ.”
“Situ di mana?”
Zaki nggak menjawab.

Ini bukan Zaki, pikirku dalam hati. Zaki nggak semurung ini. Biasanya dia selalu ceria, apa pun yang terjadi. Si Zaenab Zialan itu udah nyuci otak Zaki atau apa, sih?

Aku menatap ke arah Zaki yang mengenakan sleeveless khas-nya, dan celana jins robek-robek. Tampilannya benar-benar mirip tukang kayu. Dengan topi yang diputar ke belakang dan kalung rantai menggantung di lehernya, buatku dia terlalu ganteng untuk end up sebagai kurir kayu. Mestinya dia jadi model. Atau DJ.

Lima belas menit kemudian, kami tiba di panggung spotting Bandara Hussein Sastranegara. Lokasinya ada di dekat runway 29. Jika kita masuk dari jalan Pajajaran menuju bandara, kita bukan melaju lurus ke arah bandara, melainkan belok kanan dan tembus di jalan melingkar yang panjang mengelilingi landasan pacu pesawat. Di ujung lingkaran tersebut ada sebuah spot bekas gudang-gudang tua yang karatan, yang diteduhi pohon besar, dan diramaikan oleh pedagang-pedagang makanan, serta orang-orang yang ingin menonton pesawat terbang lebih dekat.

Zaki memarkirkan mobilnya di dekat pedagang tahu gejrot tapi kemudian mengajakku duduk di atas bak mobilnya, menghadap runway, dan kebetulan sekali ada pesawat Airbus A319 milik maskapai Silk Air tujuan Singapura yang sedang bergerak menuju ujung runway. Untuk sesaat, Zaki terdiam menatap pesawat itu bergerak perlahan, melakukan backtrack (berputar), dan berada pada posisi hold-short (ancang-ancang).

“Saya pengen jadi pilot, Bos,” gumamnya.
Aku menoleh dan tersenyum, kemudian ikut menikmati Airbus A319 itu mengerlip-ngerlipkan lampu di ujung sayapnya.
“Tapi saya nggak akan pernah jadi pilot.”

Hush!” Aku mengibaskan tangan. “Nggak ada yang bilang bang Zaki nggak bisa jadi pilot.”
“Saya mah kan nggak pinter kayak Bos—“
“Ya belajar, dooong... emangnya manusia tuh ujug-ujug pinter begitu dikeluarin dari rahim ibunya?”
“Iya, tapi otak Bos mah encer, gampang pinternya. Saya mah kan nggak.”

“Sekolah pilot tuh nggak kenal usia, lho,” ujarku. “Usia berapapun bisa aja jadi pilot. Nggak perlu pilot pesawat gede kayak gitu. Pilot pesawat odong-odong aja, kayak Cessna yang waktu itu pernah dimainin di FSX aku.”

Mesin jet Airbus A319 Silk Air langsung menderu bising, dan dalam dua detik pesawat itu bergerak perlahan-lahan, makin cepat, hilang di ujung runway satunya lagi, dan tahu-tahu sudah mengudara di angkasa. Kami berdua menatap pesawat narrowbody itu mengangkasa di atas kota Cimahi, makin lama makin kecil, mendaki menuju matahari yang akan terbenam. Kebetulan sekali cuaca cerah. Aku merasa bahagia bisa menatap sunset yang disertai setitik pesawat sedang terbang ke angkasa.

“Tapi tetep nggak mungkin, Bos.” Zaki mendesah dan melemparkan pandangannya ke arah lain, menjauhi wajahku. “Saya kan nggak punya duit buat sekolah.”
“Yeee... urusan finansial mah urusan belakangan. Minta aja ke Granny. Meski kita nggak pernah tahu kerjaannya apa, tapi duitnya banyak mulu,” kataku diiringi tawa.

Zaki tersenyum sebelah mendengarnya. Kemudian murung lagi.

“Masih nggak bisa, Bos,” ujarnya lagi. “Mulai bulan depan di kehidupan saya ada Zaenab. Saya mesti berhenti bercita-cita.”

Aku menoleh dan menyipitkan mata. “Nggak ada hubungannya, Bang.”
“Ada, kok.” Zaki balas menoleh. Wajahnya berupa siluet gelap yang tidak terkena sinar matahari. Pendar oranye dan kuning di langit di latar belakang Zaki terlihat hangat dan tenteram. Meski pandanganku silau, aku masih bisa melihat senyum Zaki.

“Kalau saya udah nikah sama Zaenab,” kata Zaki. “Berarti saya punya tanggungan. Saya nggak boleh egois lagi. Saya nggak bisa mikirin diri sendiri lagi. Ada orang, di rumah saya, yang setiap hari bakal nungguin saya pulang dari kerja. Orang yang hidupnya ada di tangan saya. Jadi saya nggak mungkin bercita-cita lagi. Saya mesti bertanggung jawab.”

Ya, dan aku benci tanggung jawab sialannya itu. Pikiranku langsung berkelana ke residual energy terakhir tempo hari. Saat Zaki mengemban tanggung jawab orang lain, dan bersikap seolah itu hal yang biasa. Aku benci itu.

“Dunia nggak berhenti meski abang udah menikah,” kataku. “Aku sih selalu percaya, nggak ada satu hal pun yang bisa menghentikan seseorang untuk mengejar cita-citanya. Bahkan seorang istri sekalipun.”

Zaki menggeleng. Tetap nggak setuju.
“Dunia Bos sama dunia saya beda. Saya nggak bisa ngikutin prinsip Bos barusan. Apa yang bos dan saya alamin, atau bakal kita alamin, itu beda. Jadi buat saya, dunia saya sebentar lagi berhenti.”

Aku mendengus kesal. Lagi-lagi benci dengan prinsip hidup Zaki. Dia itu memang menawan, dengan segala kemachoan, kegantengan, badan to-die-for macam begitu, tapi dia tetap orang yang tolol.

Tolol banget!

“Terus ngapain Bang Zaki ngajak aku ke sini?”
Sebuah pesawat Airbus A320 AirAsia mendarat di runway 29 dan untuk sejenak membuat sekitar kami bising karena dengungan jet. Aku melihat Zaki dengan asyik mengamati pesawat itu mendarat, hilang di ujung runway satunya lagi, dan muncul untuk kemudian parkir di apron.



to be continued





1 comments:

baang said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

“Spesial karena Dicky bikin ini buat Agas,” jawabnya, sambil menepuk-nepuk dada bagian kirinya. “Dari sini.”

speciaaaalll

Post a Comment