DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (4)'s All About Magic

All About Magic
-chapter 10- ( 4 )
by MarioBastian



Beberapa saat kemudian Zaki menoleh ke arahku. Menunjukkan mimik campuran antara senang dan sedih, yang tak bisa aku ungkapkan. Lalu dia berkata, “Saya ngajak Bos ke sini karena saya mau say good-bye sama Bos. Seperti yang saya bilang barusan, Bos. Cita-cita saya harus berhenti. Termasuk,” Zaki menelan ludah dan melemparkan pandangan ke arah matahari terbenam, “bahagia bareng Bos.”

-XxX-

Bahagia?
Apa maksudnya bahagia?

Aku menghabiskan sepanjang pagi dan siang ini dengan murung, melewatkan kelas Matematika dengan melamun, dan hanya mengaduk-aduk salad menjadi tumpukan sayuran menjijikkan saat istirahat. Pikiranku sedang diisi momen-momen terakhir bersama Zaki kemarin sore. Momen perpisahan terakhir...

As though we’re not going to meet again, for God’s sake. Memangnya kami benar-benar berpisah?

Karena masih clueless soal maksud Zaki mengatakan “bahagia bersamaku”, aku malah membayangkan diriku menikahi Zaki. Mungkin maksudnya, dia lebih ingin menikah denganku... atau apa gitu. Dan mungkin maksudnya kami hidup bersama, mengumpulkan kayu dan setiap hari berendam dalam jacuzzi di daerah Ciater.

Meski jujur saja, sebetulnya sampai sekarang aku masih menganggap Zaki itu straight. At least, Bi, deh. Dan menurutku, Bi yang betul-betul Bi mestinya menikahi perempuan.

Aku sedang membayangkan hari perkawinanku dengan Zaki (ha-ha, tapi yes, aku benar-benar membayangkannya), ketika Mahobia kebetulan masuk ke kantin. Derry berjalan paling depan, berlagak seperti ketua geng berandalan. Di belakangnya mengekor lima anggota Mahobia yang sok cool dan keren, dengan ujung baju dikeluarkan, celana agak melorot dan ketat di bagian betisnya, juga rambut kusam kemerahan ditambah wajah lelah.

Makin nggak nafsu makan siang, deh. Aku lalu meletakkan sendok saladku, mengumpulkan dompet dan ponselku dan bersiap untuk pergi. Tapi Mahobia keburu menangkap sosokku. Tanpa basa-basi lagi Derry langsung membelokkan langkahnya ke arahku, melemparkan senyum ramah yang palsu, dan antek-antek di belakangnya saling menyikut sambil menunjukkan wajah wah-ada-mangsa-nih.

Hello, Baby,” sapa Derry dengan nada menyindir. Dia langsung duduk di sampingku, merangkulku, dan tatapannya itu bisa berarti jutaan hal. “Mau ke mana? Kok udah pergi lagi? Kan makannya belum selesai.” Semua Mahobia sisanya cekikikan sambil mengelilingiku.

Oh, God, now they made different approach. Baru kali ini Derry berani merangkulkan tangannya di tubuhku. Biasanya, aku dianggap penyakit mematikan yang kalau disentuh pasti bakal terinfeksi.

“Yaaahh... makanannya makanan kambing,” sahut Derry sambil tertawa. Dia mencomot salah satu selada dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Setetes mayones jatuh ke atas meja membuat beberapa dari mereka menyeringai jijik. “Dimakannya pake ingus kambing, pula...”

“Mau ngapain lagi, sih?” tanyaku, sambil deg-degan. Hal pertama yang terlintas dalam otakku sekarang adalah... pasti salad ini bakal ditumpahkan ke mukaku... dan aku bakal kebingungan membersihkannya nanti pakai apa.

Lagi pula, kenapa mereka tiba-tiba menggangguku lagi, sih? Seminggu terakhir mereka nggak pernah menyentuhku. Ya kecuali ejekan-ejekan di koridor kalau kami kebetulan berpapasan. Tapi baru sekarang mereka benar-benar mengelilingiku lagi.

Easy, Baby... kok jadi sewot gitu, sih?” Derry menggantungkan tubuhnya di bahuku dan berlagak seolah kami ini teman dekat.

“Jangan lupa pake KB, bos,” seru salah satu Mahobia. “Entar hamil. Repot deh ngelahirinnya...”
Mereka semua tertawa. Termasuk Derry. Salah satu dari mereka malah langsung mempraktekkan muka orang yang sedang buang air besar.

Well, sebetulnya Derry bukan orang yang jelek. Yang jelas bukan ganteng juga. Dia punya tubuh tegap yang bongsor, tipe-tipe tukang ngelabrak di sekolah yang paling senang menindas yang lemah. Wangi tubuhnya juga maskulin, bisa bikin cewek dan semua gay kleper-kleper. Kalau dia banyak yang ngedeketin, itu karena aura penguasanya yang dominan. I mean, pada dasarnya semua cewek dan gay pengen berada di bawah perlindungan cowok yang gagah, bukan?

“Kali-kali main bareng kita dooong,” rengek Derry manja-manjaan, which of course dengan nada menyindir. “Kita-kita nggak ada hiburan nih.”

Aku berkeringat dingin sekaligus kesal. Tapi setiap aku mencoba melepaskan diri dari Derry, cowok itu merangkulku lebih erat supaya aku diam. Aku sedang berpikir untuk menumpahkan saladku ini ke muka Derry, lalu ketika dia terkesiap kaget, aku bisa kabur. Namun, aku baru menyadari, di sampingku yang lain ada Mahobia cungkring menyebalkan itu! Fuck!

“Oh, akyu punya buku bagus lho, buat kamyu... kamyu suka baca khaaan...?” Derry cekikikan. Beberapa Mahobia tertawa-tawa sambil memegang perut mendengar kalimat Derry barusan. “Judulnya... Di Antara Wanita Dan Pria Ada Aku. Cucok, bo. Yuuuk...”

Dan mereka semua tertawa terbahak-bahak lagi.
Mukaku merah karena malu dan marah. Tanganku gemetar dan tiba-tiba aku kedinginan. Yang paling aku sebal dari diriku adalah, nggak ada satupun kata-kata bagus untuk kulontarkan melawan Derry di saat-saat seperti ini. Tapi begitu mereka hilang, selalu saja aku teringat, “Oooh, mestinya aku bilang kalimat ini barusan!” Eeeerrgh.

“Eh, Elpiji,”—panggilan Derry padaku akhir-akhir ini, gara-gara setiap orang memanggilku “GAS” jadi dia memilih memanggilku “ELPIJI”—“gue mau minta bantuan dong. Boleh nggak?”

Dia menatapku serius, seolah benar-benar serius minta bantuan. Tapi begitu aku menoleh ke arah Mahobia yang lain, mereka semua menahan cekikikan. This must be another joke!
Tetapi tololnya, aku malah bertanya balik, “Bantuan apa?” sambil menelan ludah.

“Pensil gue tumpul, tolong serut dong... pake pantat lo.”

Lalu mereka tertawa lebih keras lagi sekarang. Satu Mahobia memukul-mukul meja sebelah sambil berurai airmata karena menganggap lelucon tadi lucu sekali. Aku hanya bisa menggeram dan gemetar di tempatku. Sedang bimbang untuk berdiri melawan atau membiarkan saja mereka mengejekku. I mean, aku yakin sekali kalau aku berdiri melawan, mereka bakal makin tertawa riang gembira.

Aku menggeliat dan berusaha lepas dari rangkulan Derry. Tubuh cowok itu sedang bergetar karena cekikikan. Tapi tetap saja rangkulannya kuat. Tangannya yang merangkul bahuku kali ini asyik memainkan putingku dan aku sekuat tenaga menjauhkannya. Dan ketika aku benar-benar berontak, Derry malah menarik salah satu tanganku ke arah selangkangannya.

“Mau ke mana Darling? Sini dooong... kita senang-senang dulu... Abang belum puas, nih.” Derry mendengus cekikikan di samping leherku.

Sekilas aku horny. Maksudku, bukannya aku ingin have sex dengan Derry atau apa.

Atau mungkin, memang selintas pengen have sex dengannya, in terms of curiosity. I mean, dia kan cowok gagah, who doesn’t want him, though? That would be silly! Dan cengkeraman lengannya yang besar itu, otot-otot bisepnya di bahuku, lalu dadanya yang besar menempel di lenganku...

Tapi bukan berarti aku berfantasi hook-up ama dia.

Maksudku, sekali-sekali sih pernah, sebagai gay normal yang naluri seksualnya pasti terpacu melihat sosok Derry yang macho.

“Awas Bos, jangan terlalu puas,” sahut salah satu Mahobia. “Entar pacarnya ngamuk, kita-kita masuk got lagi Bos!” Lalu mereka tertawa lagi.

“Oh, iya...” Derry cekikikan mengingat-ingat kejadian itu, kepalanya menempel di kepalaku dan aku menelan ludah menatap wajah Derry dari dekat. Kulit wajahnya yang mulus itu... “Abang-abang tukang kayu itu, yang—“

“Lagi pada ngapain, nih?”
Tiba-tiba seseorang muncul di antara kami dan memotong kalimat Derry. Semua menoleh, termasuk aku. Tawa setiap Mahobia itu mereda sementara aku tersentak kaget.

Cazzo?

“Heeey, Bro!” sapa Derry. Perlahan-lahan Derry melepaskan rangkulannya di bahuku dan dia terlihat salah tingkah. “K-katanya lo lagi nyari buku di perpus.”
“Udah selesai,” jawab Cazzo dingin.

Cazzo menatap Derry tanpa ekspresi. Dua orang Mahobia saling menyikut sementara Derry menelan ludah.

“Kita lagi ngobrol nih, ama si Agas.” Derry menepuk-nepuk bahuku tapi secara perlahan menggeser tempat duduknya beberapa senti menjauhiku. “Ya kan, Gas? Kita lagi bahas...”
“Lo katanya mau main futsal?” potong Cazzo sambil mengangkat salah satu alisnya.
“Oh, iya, bener!”

Derry langsung bangkit dan mengedikkan kepalanya ke arah Mahobia yang lain. Mereka lalu berjalan meninggalkan mejaku dalam diam, 180 derajat berbeda dengan semenit lalu di mana mereka tertawa terbahak-bahak sampai berderai airmata.

Cazzo giliran menatapku selama sekitar lima detik. Tatapannya tanpa ekspresi dan tak bisa dijelaskan. Gerbang hatinya tak bisa dibaca melalui matanya. Kemudian dengan gerakan dingin, dia berbalik dan meninggalkan mejaku juga, bergabung bersama Mahobia dalam diam.

Oooookkkaaayyyy...
Tunggu dulu.
Tunggu!

ADA APA INI?

Ke mana salad yang mestinya ditumpahkan di atas kepalaku sebelum mereka pergi?
Ke mana hinaan-hinaan menyakitkan hati yang diiringi tawa keras seantero CIS?
Ke mana lelucon-lelucon homoseksual yang selalu—aku ulangi: SELALU—mereka lontarkan di depan hidungku?

Kenapa malah muncul Cazzo dan tiba-tiba semuanya berubah total?
TOTAL!


Aku menahan napasku sambil menatap Cazzo dan Mahobia menghilang di ujung koridor kantin. Aku terpaku kebingungan dan kaget. Kejadian apa yang barusan terjadi? Mimpi? Drama sekolah? Bagaimana caranya Cazzo bisa muncul dan menguasai Mahobia semudah menjentikkan jari?

For God’s sake, hari kemarin aku masih melihat mereka bermusuhan. Well, technically, aku memang nggak pernah melihat mereka terlibat kontak fisik atau apa gitu, tapi aku yakin banget mereka musuhan. Derry nggak pernah absen ngejelek-jelekin Cazzo saat dia menindasku, seolah menghina Cazzo adalah additional feature dalam labrakan-labrakannya.

Dan tiba-tiba saja, Cazzo dengan dinginnya membubarkan gerombolan Mahobia yang mengelilingiku. Bahkan aku melihat Derry ketakutan saat Cazzo datang. Seolah Cazzo pemimpin Mahobia whatsoever...

Ini... ini... nggak masuk di akal.
Aku rasa... mungkin... pokoknya...

Astaga. Sudah kubilang, kan, hidup ini penuh misteri?
Ini jelas misteri baru yang menghantui pikiranku.

-XxX-

“Udah datang semua?” Bang Dicky menuangkan sewajan gulai sapi yang nampak lezat ke dalam mangkuk besar dari keramik. Aroma bumbunya yang kuat membuat rahangku mengeras. “Tolong ambilin sendok itu.”

“Udah. Udah semua. Bahkan yang nggak diundang pun udah hadir.” Aku memberikan sendok yang diminta Bang Dicky sambil lanjut menuangkan punch ke dalam gelas-gelas. Bang Dicky tertawa kecil mendengar jawabanku.

“Udah nemu tempat sembunyi?”
“Udah. Katanya kamar aku jadi tempat persembunyian.”

Hari ini adalah giliran latihan Sweet Strawberry di rumah Granny. Dan seperti yang sudah kuduga, ketika orang-orang tahu Bang Dicky sudah kembali ke rumah Granny, semua The Jandaz mendadak bersemangat datang ke sini. Dan ya, termasuk semua anggota Itchy Bitchy kecuali Jeng Nunuk dan Esel.

Pagi-pagi sekali aku dibombardir dengan banyak pesan di inbox facebook-ku. Semuanya berasal dari anggota Itchy Bitchy. Mereka bertanya, apa mereka bisa ikut gabung dalam latihan? Mereka nggak akan ngintip latihan Sweet Strawberry sebenarnya, yang mereka inginkan adalah dijamu sama Bang Dicky dan mencicipi makanannya yang lezat itu. Aku bertanya pada Bang Dicky dan dia hanya mengangkat bahu. Baginya, nggak masalah semua The Jandaz itu datang untuk menghabiskan makanannya, toh Granny nggak akan tahu.

Kenapa?
Karena Granny menghilang selama beberapa hari terakhir ini. Another mystery, yes. Aku bilang menghilang karena Sweet Strawberry lapor kalau Granny nggak ikut latihan di rumah Jeng Imas dan Jeng Dedeh. Mereka kira Granny sakit atau apa gitu. Jeng Novi bahkan sudah mendaftarkan Granny ke TvOne untuk segmen orang hilang, tapi masih terbelit masalah foto mana yang mau ditampilkan: yang pake dress kembang-kembang atau gaun desainer warna ungu nylon itu?

Aku sih jujur aja nggak secemas itu. Aku yakin Granny baik-baik saja di luar sana. Terlebih lagi Bello bilang Granny nggak dalam kondisi bahaya, kok. Bello bilang, Granny sedang ada “bisnis”. Mungkin bisnis dengan pria dan wanita misterius yang datang ke rumah ini beberapa hari yang lalu.

“Nah, Jeng Wati masuk ke bawah ini aja, kan badannya kecil tuh?” Jeng Dedeh membuka laci paling bawah bufet di ruang makan yang kebetulan kosong. Dia langsung mengira-ngira seseorang bisa masuk ke sana dalam tempo lima detik. Aku baru saja tiba sambil menyajikan punch di atas meja.

“Di dapur masih bisa sembunyi nggak, Gas?” tanya Jeng Dedeh. “Jeng Laras belum kebagian tempat sembunyi, nih.”
“Pokoknya tempatku mesti bisa selonjoran, ya!” tambah Jeng Laras.
“Di deket mesin cuci di belakang, gimana?”
“Ada kue juga nggak di sana?”

Ruang makan ramai sekali. Terisi semua anggota Sweet Strawberry dan Itchy Bitchy, minus Granny dan Jeng Nunuk tentunya. Aku nggak melihat sedikit pun persaingan di antara wanita-wanita tua ini. Mereka kelihatan seperti... segerombolan sahabat baik yang sedang bersemangat dijamu makan. Seperti yang kuduga, girlband fight ini hanyalah dendam kesumat antara Granny dan Jeng Nunuk, bukan antara orang-orang ini.

Kyaaaa... Nak Dicky muncul!” pekik beberapa nenek seolah baru saja melihat Justin Bieber turun dari pesawat. Bang Dicky nyengir dan langsung menyajikan semua masakan yang dia masak sepagian, lalu melakukan curtsy untuk penghormatan, dan The Jandaz berteriak-teriak lagi, “Kyaaa! Kyaaa! Kidnap me!

Aku geleng-geleng kepala sambil tertawa menatap riuhnya ruang makan ini. Kurapikan beberapa piring dan mempersilakan The Jandaz untuk menikmati makan siangnya. Setelah semua mendapat kursi masing-masing (which is strange, karena jumlah kursi meja makan ini ada banyak dan semua anggota The Jandaz termasuk aku dan Bang Dicky mendapatkan kursi) kami akhirnya menyantap jamuan makan nan lezat itu.

“Mestinya ada yang melukis kita pas lagi makan begini,” usul Jeng Imas. “Kayak lukisan Da Vinci Code itu!”

Da Vinci Code?
“The Last Supper?” tanyaku.

“Nah, itu! Seratus!” pekik Jeng Imas. “Cucunya Allya ini emang hebring, ya. Dia tahu banyak hal. Mulai tahun depan, cucuku juga mau dikirim ke Amrik, biar pinter bahasa Inggris. Udah gitu pas SMA-nya disuruh pulang, dan sekolah di CIS.”

Aku memutar bola mata.

“Gimana kalo aku fotoin aja?” usulku.
“Ide bagus, tuh!” sahut beberapa The Jandaz. “Tapi tunggu bentar, Sisca, siniin tas saya. Ada lipgloss warna maroon kan di situ?”

Aku bangkit dari kursiku dan berjalan menuju kamar untuk mengambil camera digital. Sebagian The Jandaz juga bangkit dari kursinya, masing-masing mengambil tas dan segera merapikan make-up-nya.

“Pokoknya nanti aku difoto deket nak Dicky, ya?”
“Siaaappp!” Bang Dicky cekikikan.

Aku masuk kamar dan mengaduk-aduk tasku mencari camera digital. Ketika aku mengecek batere camera, tanpa sengaja aku mengklik gallery dan menemukan foto diriku dan Cazzo waktu di Yogyakarta. Dalam foto itu hanya ada kami berdua, Cazzo yang memotretnya. Cazzo menunjukkan mimik konyol sementara aku tersenyum semanis-manisnya... macam alay yang suka foto imut-imutan dari atas kepalanya.

Selama sepuluh detik aku menatap Cazzo di foto itu, ingatan kembali ke kejadian dua hari lalu di kantin sekolah. Apa yang terjadi dengan Cazzo, sebenarnya? Apa yang terjadi dengan Mahobia? Cazzo, jujur saja, dari segi kepribadian, juga berubah total. Dia jadi dingin sekarang, tatapan matanya sulit diartikan. Dan dia juga jadi sering mengunjungi perpustakaan—suatu hal yang benar-benar impossible.

Setiap kami berpapasan di koridor, Cazzo selalu menatap ke arah mataku. Bahkan meski jarak kami masih bermeter-meter jauhnya. Begitu jarak kami hanya sekitar satu meter, dia baru memalingkan matanya ke arah depan. Dia juga jadi hobi memasukkan tangan ke dalam saku celana lalu berlagak cool, seolah dia paling ganteng sejagat raya.

Well, memang ganteng, sih. Tapi kan biasanya dia nggak pernah gitu.

to be continued





3 comments:

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

yess akhirnya release juga tapi kenapa bersambung selalu di bagian terbaiknya?ga sabar nunggu lanjutanya...
#2bulan kemudian

Dazz said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

udah baca lengkapkah? ^_^
baru page 4 loh

jangan lupa ikuti kontribusinya
tapi login dulu ya komentnya

baang said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

page 4 ...... biasa sih Page ini hahaha

Post a Comment