All About Magic
-chapter 10- ( 5 )
by MarioBastian
“Sebetulnya, Allya mulai beda sejak nginep di Jeng Novi kemaren itu,”
ujar Jeng Odah sambil memulas bibirnya dengan lipstik. “Saya sih udah
curiga itu semua gara-gara itu.”
Jeng Novi memutar bola mata. “Allya kan nelepon cucunya, Jeng... dia nelepon Agas. Betul, kan Gas?”
“Mungkin sebetulnya telepon kamu disadap, atau apa gitu?”
“Kalau
kata saya, sih,” Jeng Susie mendongak dari memakai bedak, “Jeng Odah
ada benernya juga. Allya jadi beda, kan, sejak nerima telepon?”
“Ya. Betul. Dia sempet tiga kali salah lirik pas kita ngulang-ngulang lagu.”
“Mungkin
dia sibuk,” ungkap Jeng Novi. “Si Zaki itu kan mau kawin, kalian udah
dapet undangannya, kan? Mungkin dia lagi sibuk nyiapin pesta pernikahan
buat si Zaki.”
“Emangnya Allya ikut campur juga, ya, di perencanaan pesta?” tanya Jeng Yanti. “Dia sekarang jadi wedding organizer?”
“Bisa jadi. Si Allya itu kan semangatnya tinggi. Sama kayak si Nunuk.”
Jeng Sisca tertawa. “Ember, jeng. Apa lagi sekarang si Nunuk lagi semangat-semangatnya pas tahu Allya hilang.”
“Dia ngapain lagi emang?”
“Nggak tahu, deh. Tapi yang pasti dia lagi ngerencanain sesuatu. Kadang-kadang si Nunuk juga bolos latihan Itchy Bitchy.”
“Emang dari dulu juga Allya sama Nunuk tuh agak-agak nggak beres. Maksud saya, friendship relationship-nya.”
“Okay, girls, udah siap belum?” seruku sambil berjalan ke arah sofa untuk mengambil angle meja makan. “Aku foto dari sini, ya?”
“Uh-oh, tunggu bentar.”
“Foto bareng piringnya, sini piring saya! Itu yang ada udang baladonya!”
“Yanti, geser! Saya yang deket Dicky!”
“Novi, kamu ngehalangin muka saya!”
“Kamu yang geser sebelah sana, Jeng Imas. Saya kan emang duduk di sini dari tadi!”
Aku
melihat Bang Dicky cuma bisa nyengir melihat belasan nenek-nenek ini
mengerubunginya sambil membawa piring mereka masing-masing. Setiap
anggota The Jandaz itu menampilkan senyum terlebar mereka, memamerkan
gigi-gigi palsu mereka yang cantik.
“Waduuuh, masa The Last
Supper kayak begini, sih? Yang natural dong. Ceritanya kalian lagi makan
biasa aja, gitu. Kayak lagi ngerumpi sambil makan atau apa, gitu?”
usulku.
Tak ada yang bergerak. Mereka masih berada dalam pose yang sama dan hanya melirik kanan kiri menunggu seseorang untuk bicara.
“Yah...
tapi, kan...” Jeng Imas angkat bicara, “nggak harus sama banget sama Da
Vinci Code. Yang penting semua kumpul. Betul? Yang penting semua pegang
piring.”
“Betul, betul.” The Jandaz manggut-manggut tanda setuju.
Aku mengangkat bahu dan memilih untuk nurut saja. Yang penting foto bareng Bang Dicky, batinku. Itu kan, tujuan mereka makan siang di sini.
“Oke siap. Satu... Dua...” Klik!
“Lagiii!” sahut Jeng Odah, bahkan sebelum aku menurunkan tanganku.
“Oke sip, bentar,” kataku, sekilas mengecek hasil foto barusan. “Jeng Novi agak geser ke kanan, dikit. Nutupin Jeng Imas, nih.”
“Tuh, kan. Apa saya bilang!”
“Lagi, ya? Satu... Dua...” Klik!
“Saya pasti merem! Lagi doooong!”
Astaga.
Aku mengecek hasil jepretan dan menemukan nggak ada satu pun yang merem.
“Oke,
sekali lagi. Yang asyik ya posenya. Jeng Novi coba geser lagi, jangan
terlalu deket Bang Dicky. Nah, gitu. Eh, bukan. Ke sini... ya, di situ.
Sip. Siaaapp... Satu... Dua...”
Klik!
“Ganti posisi dong!” teriak Jeng Dedeh dari belakang.
Aku geleng-geleng kepala sambil mengecek hasil foto terakhir, yang—DEG!
SHIT!
BRAK!
Aku menjatuhkan camera digital-ku
dan melompat ke belakang sampai terjatuh ke atas sofa. Jantungku
langsung berdegup kencang karena kaget. Tubuhku mendadak bergetar dan
berkeringat dingin.
“Agas! Agas kenapa?” seru Bang Dicky.
Jeng Sisca memekik cemas. “Mungkin dia kepeleset!”
Aku
berdiri di depan sofa dan napasku memburu. Kutatap meja makan itu dan
mataku menyusuri setiap sudut ruang makan. Bahkan dengan cepat kuteliti
setiap anggota The Jandaz termasuk Bang Dicky. Jantungku masih berdegup
kencang karena terkejut.
“Agas?” Bang Dicky mengambil camera digital dan menghampiriku. “Agas kenapa?”
Mataku membelalak karena shock. Punggungku mendadak berkeringat dingin.
Aku melihat sesuatu di foto itu.
Seseorang.
Tanganku
kembali bergetar dan tanpa henti aku menatap sekeliling ruang makan
dengan ketakutan. Pikiranku kembali ke foto ketiga yang kulihat di
kamera tadi.
Tepat di depan kumpulan The Jandaz itu berdiri
seorang pria berjubah hitam, berambut merah. Dia menutupi Bang Dicky dan
berjarak hanya satu meter saja dari tempatku memotret. Pria berambut
merah itu menyeringai jahat. Salah satu tangannya terulur...
... tepat ke arah jantungku.
Dia adalah pria misterius itu.
-XxX-
“Agas nggak apa-apa?”
Bang
Dicky membereskan piring-piring yang kucuci dan memasukkannya ke dalam
rak di laci paling bawah. Matanya tetap awas menatap ke arahku, takut
kalau aku tiba-tiba jatuh lagi seperti tadi.
“Aku nggak apa-apa. Beneran, Bang. Tadi aku cuma... kepeleset.”
“Agas nggak kepeleset. Dicky tahu itu.”
Aku menghela napas dan melanjutkan mencuci piring. Pikiranku kembali ke kejadian saat makan siang tadi.
Well,
benar, aku memang nggak kepeleset. Kalian juga tahu itu. Aku mendadak
melihat foto pria misterius bau naga itu muncul di dalam kamera digital.
Karena posisinya sedang menyeringai ke arahku, lalu tangannya menjulur
ke dadaku, aku kaget bukan main. Tapi aku berusaha menyembunyikan hal
tersebut dari yang lain, takut terjadi kehebohan atau apa gitu. Termasuk
dari Bang Dicky.
Kameraku langsung rusak saat itu juga karena
terbanting ke atas lantai. Jadi, satu pun dari mereka belum ada yang
melihat foto menyeramkan itu. Jeng Imas langsung menyodorkanku kamera
digitalnya. Which means: adegan hebohku tersebut hanya
berlangsung semenit saja. Begitu ada kamera baru, kami semua kembali
haha-hihi foto-fotoan—termasuk aku. Jeng Dedeh malah membuat lelucon
tentang jatuhnya diriku itu, “Kamu pasti silau dengan pesona The Jandaz,
ya, sampe jatuh segala?”
Aku berusaha menjadi orang normal
sepanjang siang itu meski nyatanya aku ketakutan. Pikiranku terus
menerus membayangkan sosok misterius itu. Kenapa dia bisa ada dalam
foto? Kenapa dia tiba-tiba muncul? Apa dia hantu?
Mataku tak
henti-hentinya menatap ruang makan dan setengah berharap bisa melihat
penampakannya lagi. Bukan berarti aku ingin melihatnya lagi. Aku hanya
mau memastikan bahwa aku berkhayal saja barusan. Bahwa bisa jadi itu
hanya ilusi.
Baiklah, sesudah mencuci piring ini, aku bakal lihat fotonya melalui komputer.
“Jadi Bang Dicky nggak percaya sama aku?”
“Nggak. Dicky nggak percaya. Sebab Agas-nya jadi murung seudah jatoh. Pasti ada apa-apa.”
Sebetulnya sejak tadi aku sedang bimbang, apakah harus kukatakan yang sebenarnya, atau nggak? I mean,
terakhir ada kejadian hantu pak Darmo di rumah ini, Bang Dicky langsung
menggigil dan hilang berminggu-minggu. Aku nggak mau kejadian itu
terjadi lagi. Aku nggak mau Bang Dicky pergi lagi dan aku sendirian lagi
di sini. Apa lagi sekarang Granny sedang “hilang”. Bagaimana kalau pria
itu lebih parah dari Pak Darmo?
Aku tahu aku naif, tapi saat ini
aku sedang butuh seseorang di rumah ini. Aku butuh Bang Dicky ada di
sini, semenyebalkan apapun Bang Dicky beberapa minggu yang lalu, aku
tetap butuh Bang Dicky. Bahkan saat tahu Bang Dicky membiarkan Zaki
dipenjara untuk kesalahan yang dibuatnya, aku tetap kangen sosoknya ada
di sampingku. Yes, I hate him. But I missed him.
Dia
memang nggak seganteng Zaki dan nggak membuat nafsu seksualku naik turun
hanya dengan menatap wajahnya. Dia juga bukan Cazzo yang menggemaskan
yang membuatku ingin mencubit pipinya terus. Tapi dia cowok pertama di
negeri ini yang kukenal, yang memberikan tatapan menyenangkan dan
senyuman tulus sepanjang waktu.
So, should I take a risk of losing him again?
“Terserah Bang Dicky aja kalo nggak mau percaya.”
Bang
Dicky kembali ke wastafel dan menatapku yang sedang mencuci piring. Dia
diam. Tapi dari mata dan alisnya aku bisa melihat dia berharap aku
jujur. Aku jadi nggak tega kalo udah begitu. Tapi aku harus
melakukannya. At least, sampe aku ngobrol sama Granny, deh. Aku
ingin memastikan dulu bahwa pria misterius itu aman untuk dibicarakan
bareng Bang Dicky.
“Bang Dicky tahu nggak sebenernya ke mana Granny pergi?” tanyaku, mengubah topik.
Bang Dicky menggeleng. Dia masih menatapku penuh harap.
“Granny nggak mungkin hilang, kan? Seperti apa yang dicemasin Jeng Novi?” tanyaku lagi.
“Nggak mungkin. Pasti Nenek baik-baik aja. Paling dia lupa buat ngasih kabar ke kita.”
Memang betul, Granny baik-baik aja. Bello berkali-kali bilang begitu padaku.
Aku menoleh ke arah Bang Dicky, dia sedang menaikkan alisnya, masih saja berharap aku jujur soal kejadian siang tadi.
“Agas boong. Dicky nggak percaya.” Dia merenggut—which somehow looks cute. “Masa orang lagi berdiri tiba-tiba kepeleset?”
“Jadi Bang Dicky udah nggak percaya aku lagi?”
“Ya untuk kasus—“
“Intinya Bang Dicky udah nggak percaya aku lagi, kan?”
“Dicky percaya kok sama Agas, tapi—“
“Bang Dicky udah nggak percaya sama aku lagi,” tegasku. “Okay, fine. Terserah Bang Dicky aja. Aku nggak peduli.” Aku menghentikan mencuci piring dan berkacak pinggang. I know I am overreacting, tapi aku harus. Aku kan sedari tadi sudah punya tekad untuk nggak ngasih tau soal pria misterius itu sama Bang Dicky. Bukannya aku sok dewasa atau sok bijak, aku hanya sedang belajar untuk memahami bahwa sometimes shut up is way better.
Kami bertatapan selama sekitar sepuluh detik. Kulihat mata Bang Dicky bergerak meneliti mataku mencoba mencari celah untuk membuatku mengaku. Tapi kemudian mata sayunya kembali normal, dan Bang Dicky cekikikan kecil.
“Oke-oke, Dicky nyerah.” Dia mengangkat kedua tangan dan alisnya. “Agas emang cuma kepeleset tadi, Dicky nggak akan nanya-nanya lagi. Asal Agas jangan ngambek.”
“Aku nggak ngambek!” gerutuku.
“Lho, itu suaranya kayak yang ngambek.”
“Aku nggak ngambek. Udah ah, aku mau beresin dulu ini, dikit lagi. Tanggung.”
Bang Dicky cekikikan lagi melihat tingkahku. “Dicky bantuin, ya?”
“Dari tadi, kek!”
“Yeee... marah mulu.”
Kupikir Bang Dicky akan berdiri di sampingku, mengambil spons, lalu membantuku menyelesaikan cuci piring ini berdua. Tapi nyatanya tidak. Dia malah berdiri di belakangku, mengulurkan tangannya di atas tanganku, meremas tanganku yang sedang memegang spons, dan meletakkan dagunya di bahu kananku.
Dia merangkulku.
Deg.
Tiba-tiba saja jantungku berdebar kencang... napasku berhenti... perutku dipenuhi kupu-kupu.
Bahkan saat kusadari tangan kiri Bang Dicky juga meremas tangan kiriku, dan dadanya yang besar itu menempel di punggungku, aku yakin sekali aku sedang dipeluk Bang Dicky dari belakang.
“B-bang Dicky... Ng-ngapain?” tanyaku gugup.
“Cuci piring,” jawabnya santai—seolah merangkul orang dari belakang lalu cuci piring bersama adalah hal biasa. Kalau dia melakukan ini pada Esel, banci itu pasti langsung hamil.
“M-maksud aku... kenapa berdiri di belakang aku segala...?”
“Sebab spons-nya cuma satu,” jawabnya. “Jadi, yaa... berdua aja.”
Aku melirik mangkuk spons. Memang benar, satu-satunya spons cuci piring di wastafel itu hanya satu. Dan itu pun sedang kupakai. Jadi memang wajar kalo Bang Dicky memelukku dari belakang dan menggunakan spons ini bersama. Bukan berarti dia mau mesum atau sok-sok romantisan atau gimana...
Kecuali, sebetulnya aku tahu, bahwa di rak sebelah sana, di yang paling bawah, deket deterjen dan botol-botol pewangi, ada selusin spons cuci piring yang kubeli dua minggu lalu saat Granny memintaku belanja di Carrefour. Tapi aku nggak perlu memberitahunya, betul? Maksudku, pakai yang ini saja. Pakai berdua saja. Aku oke-oke aja kok kalo posisinya begini. Bukannya aku sengaja memanfaatkan momen ini dan nggak bilang soal spons baru di belakang sana... tapi, kan.... yah... lihat nih, piring kotornya tinggal sedikit lagi, kok.
Tanggung.
“Kok jadi ngelamun, Gas?” Aku dapat merasakan hembusan napas Bang Dicky yang hangat menggelitiki leherku. Tubuhku merinding karena senang. Apalagi yang ngegantung di selangkanganku, tiba-tiba naik dan pengen ikut cuci piring. Pengen ikut dicuciin.
“Nggak, kok. Aku nggak ngelamun.” Aku menelan ludah, setengah mati berusaha biasa saja.
Tangan Bang Dicky membimbingku mencuci piring itu satu per satu. Entah memang sengaja, entah aku terlalu menikmati ini, tapi aku merasa bahwa kami berdua menyabuni piring ini terlalu lambat. Seperti slow motion saja. Dan bahkan menurutku, terlalu banyak disabuni. Dari tadi kami usap-usap terus sampai busanya melimpah.
Asyik sekali jadi piring itu, diusap-usap seperti itu.
Andai piring itu adalah...
...
Nggak.
Aku nggak boleh mikirin itu, for God’s sake.
“Ambil busanya lagi, Gas.” Tangan Bang Dicky membawa tanganku ke mangkuk spons dan kami meremas-remas lagi mengambil busa. Dia lalu menarik satu piring lagi dan kami berdua mengusapnya lagi.
Hanya saja... kali ini... aku merasakan tubuh Bang Dicky semakin mendekat. Pahanya terasa lebih rapat menempel di pahaku. Which means... tonjolan lembut yang kurasakan di belakangku itu... memang sih, bisa jadi itu ikat pinggang... atau mungkin hapenya Bang Dicky yang ada di saku celana...
Astaga, baru saja kulihat hapenya Bang Dicky tergeletak di atas konter. Beberapa meter dari sini. Dan seingatku... Bang Dicky pake celana pendek tanpa ikat pinggang. Yang berarti... tonjolan yang mengganjal itu...
adalah...
Aku harus berpikir positif.
Mungkin itu remote teve.
Jantungku makin berdebar kencang, meski yang kubayangkan adalah remote teve. Mendadak tubuhku lemas, pikiranku ke sana kemari membayangkan ganjalan-ganjalan yang terjadi di belakang sana... tepat di belahan pantatku. Napasku jadi memburu, dan kadang berhenti karena aku sibuk bergairah. Kemudian...
“Kok jadi hening, Gas? Ngelamunin apa?” Napas Bang Dicky yang hangat itu kembali menggelitiki leherku. Kali ini aku nggak mampu menjawab.
Aku menoleh perlahan ke kanan, ke arah kepala Bang Dicky yang sedari tadi berusaha bertengger di bahuku. Pipi kami beradu dan Bang Dicky tertawa geli mendapatinya. Dia nyengir, tapi entah kenapa tetap saja konsen mencuci piring. Sementara kepalaku, tak mampu bergerak. Aku terpesona dengan wajah Bang Dicky yang berada sangat dekat dengan wajahku. Kulihat dengan jelas kedua matanya yang sayu itu... yang ternyata agak kecokelatan kalau dilihat sedekat ini. Dan aku merasa... rangkulannya makin rapat.
Mendadak Bang Dicky berhenti mencuci piring dan menoleh ke arahku. Dia menatapku keheranan, mungkin penasaran kenapa sedari tadi aku malah terpukau menatapnya, bukannya ikut mencuci piring. Dunia terasa hening. Yang kudengar hanyalah suara detak jantungku sendiri.
Kedua bola mata itu meneliti mataku lagi. Bergerak beberapa mili ke kanan dan kiri. Kemudian setelah berdetik-detik lamanya, aku melihat pandangan Bang Dicky jatuh ke bibirku. Bibirku yang tanpa kusadari sudah menganga kecil.
Astaga. Dia akan menciumku!
Dia akan menciumku!
Aku menatap penuh harap ke mata Bang Dicky yang kini menatap mulutku tanpa henti. Aku juga merasakan kepala Bang Dicky mendekat... entah kepalaku... pokoknya jarak kami benar-benar tinggal beberapa senti lagi sekarang.
to be continued
2 comments:
i vote zaki.. T_T
Bagian terbaik dari chap1-sekarang dr mario bastian web ini, itu dan lainnya adalah.... every sentences ended up with ....,betul? Or ....,em?. I get it so funny. Dan aneh nya aku ngelatah dengan nambahin itu di dunia nyata. ��
Post a Comment