DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (6)'s All About Magic

All About Magic -chapter 10- ( 6 )
by MarioBastian


Kurasakan jantungku berdebar makin kencang. Jemariku menyelusup ke sela-sela jemari Bang Dicky yang ada di atas tanganku, lalu kuremas dengan kuat. Kemudian aku menutup mataku, merasakan hembusan napas Bang Dicky semakin dekat... dan tinggal beberapa saat lagi sampai Bang Dicky akan menciumku... beberapa saat lagi...

Dan...
Astaga, aku gugup. Detak jantungku nggak keruan dan napasku sudah berhenti.
Beberapa saat lagi...

“Ya ampun, ternyata bibir Agas kering!” sahut Bang Dicky, melepaskan rangkulannya dan berjalan keluar dari dapur. “Tunggu bentar, Dicky ambilin lipbalm punya Nenek.”

Dan cowok itu pun lenyap dari dapur, menyisakan keheningan, meninggalkan aku yang masih dalam posisi sama, memejamkan mata... dengan bibir sudah maju sekitar bersenti-senti... sendirian.

Dan aku...

-XxX-

Konyol memang, kalau aku berharap Bang Dicky bakal menciumku. Itu salah satu mimpi yang terlalu... berangan-angan. Maksudku, ada beberapa mimpi impossible yang dapat diraih, dan beberapa yang tetap menjadi impossible. Dan dicium Bang Dicky dengan romantis seperti tadi adalah beberapa yang tetap menjadi impossible.

Aku menghabiskan petang itu dengan bete. Jenis-jenis bete yang nggak bisa kujelaskan karena aku membuat-buatnya sendiri. Dengan kesal memainkan Flight Simulator-ku dan setiap aku teringat “kejadian itu” aku langsung menghantamkan pesawatku ke tanah. Aku sebel sama kejadian itu. Very much sebel. Dan aku nggak bisa menyalahkan Bang Dicky. Aku bahkan nggak bisa menuntutnya terang-terangan dengan bilang, “We were supposed to kiss!” karena bisa jadi Bang Dicky malah shock. Bahkan mungkin dia bakal mengigil lagi dan kabur lagi berjuta tahun lamanya kalau tahu aku ini gay.

Mestinya aku nggak kege-eran. Mestinya aku nggak berpikir sejauh itu.

“Dicky pulang jam sepuluhan. Tenang aja, Dicky pasti nginep di sini, kok.” Bang Dicky sedang mengikat tali sepatunya saat mengatakan itu. Dia bilang padaku ada proyek bingkai dengan perusahaan besar, dan mereka mengundang Bang Dicky dalam informal meeting malam ini, YES, ON SATURDAY NIGHT! jadi aku diminta nunggu beberapa jam di rumah, menghabiskan sisa makanan yang berlimpah bekas jamuan siang tadi, dan nggak perlu ragu buat tidur duluan.

I mean, perusahaan macam apa yang mengadakan meeting di malam minggu? Aku benci perusahaan itu! Dan perusahaan apa emangnya yang membutuhkan “proyek bingkai” sampai-sampai mengadakan meeting segala? Aku sih, kalau aku CEO perusahaan multimilliondollar profit, dan aku membutuhkan sejuta bingkai cantik, aku akan datang ke sini, melihat-lihat desain Bang Dicky di workshop, lalu bikin deal membeli sejuta bingkai tersebut. Nggak perlu dinamai proyek bingkai dan mengadakan meeting segala.

“Dicky pulang secepat mungkin, kok. Dicky usahain,” tambah Bang Dicky sambil membereskan ranselnya—seolah dia tahu kecemasanku. “Agas jangan murung, ya?”
“Siapa yang murung?”
“Agas yang murung. Dicky bisa tahu dari matanya.”

Kemudian tanpa banyak basa-basi, Bang Dicky tiba-tiba mengecup keningku dengan hangat dan berbalik pergi. “Jangan lupa kunci pintu belakang kalo mau tidur duluan. Puding leci yang tadi siang ada di kulkas bagian belakang, kali aja Agas nyari-nyari.”

Aku nggak menjawab kata-kata terakhir Bang Dicky malam itu. Aku masih terguncang dengan kecupan Bang Dicky di keningku. Masih dapat kurasakan bibir hangatnya menyentuh kulitku, dan aroma tubuhnya yang sejuk merebak ke hidungku. Dia melakukannya cepat sekali, tapi aku dibuatnya mematung dan terpukau. Napasku tercekat... antara senang, maupun bingung.

Beberapa minggu yang lalu, Bang Dicky mengusirku dari rumahnya di Cimahi. Malam ini, dia mengecup keningku. Mungkin sebetulnya dialah the biggest mystery of all time.
Aku berdiri di teras sambil tersenyum-senyum nggak jelas. Kuperhatikan sosok Bang Dicky masuk ke mobil Granny, keluar menuju jalan, dan menghilang dari pandangan. Aku bahkan nggak mau berkedip dan kehilangan sepersekian detik saja menatap Bang Dicky.

Ya Tuhan...
Kelihatannya aku makin jatuh cinta sama Bang Dicky.
Nggak peduli dia tampak begitu misterius, punya banyak keanehan, keganjilan, dan jujur saja aku cukup eneg mendengar dia memanggil namanya sendiri atau nama orang-orang kalau bicara, dan aku masih ingat dengan jelas dia mengusirku serta memukul sahabatnya sendiri... dan ibunya marah-marah... tapi aku malah makin menggebu-gebu saat dia ada di sampingku dan tersenyum.

Benarkah ini yang dinamakan cinta?

Pssst! Pssst!
Tiba-tiba kudengar suara desisan dari seseorang, yang dari nadanya kuanggap sedang memanggilku.
Psssst!

“Bello?” panggilku, sambil celingukan berkeliling mencari sosok cupidnya. “Kamu di mana? Ada apa panggil-panggil?”

“Bello?” Tiba-tiba Zaki muncul dari balik semak-semak dan berjalan ke arahku sambil mengerutkan keningnya. “Siapa Bello?”
“Oh!” Aku terkesiap kaget. “Bang Zaki! Ngapain di sini?”
“Tadi saya mau... nyari Bos. Tapi masih ada si Dicky, jadinya saya ngumpet dulu di situ, Bos. Takut dimarahin lagi sama si Dicky.”

“Bang Dicky nggak galak kok sekarang. Dia tuh sekarang—“
“Bello tuh siapa, Bos?”
“Bello? Bello tuh, ngng... kucing.”

Zaki agak nggak terima dengan jawabanku, tapi kemudian dia memutuskan untuk nggak peduli. Aku membawanya masuk dan membiarkannya menyantap makan siang mewah yang sebagian besar sudah aku simpan di lemari makan. Entah memang Zaki tahu di sini ada makanan enak, entah hanya kebetulan semata.

Zaki nggak membahas maksud kedatangannya selama makan, jadi aku membiarkannya sendirian di ruang makan, sementara aku mengecek foto ketiga tadi di kamar. Kebetulan sejak cuci piring tadi aku nggak sempet ngecek memory camdi. Aku kan lagi bete karena kejadian ciuman gagal. Namun kebetulan, Jeng Imas barusan nge-twit supaya aku buru-buru ngeupload foto-foto yang ada di camdi-ku.

Amazingly, gambar pria misterius itu nggak ada. Ketiga foto The Jandaz yang ada di camdy-ku semuanya bersih dari sosok pria berambut merah itu. Aku men-zoom beberapa kali setiap foto, khususnya yang ketiga, barangkali sosok itu menyusut atau apa gitu... atau tiba-tiba muncul mengagetkanku di layar monitor, seperti gambar-gambar kuntilanak bikin kaget itu... Tetapi, tetap saja tak kutemukan gambar pria itu.

Setelah Zaki selesai makan, kami berjalan menuju halaman belakang dan duduk-duduk di ayunan rusak yang karatan. Zaki duduk di kursi dekat pohon jambu sambil menyilakan kakinya.

“Saya ke sini mau nanyain soal pernikahan, Bos,” ujarnya sambil malu-malu.
“Kok nanya ke aku? Aku kan belum pernah nikah.”
“Yaaa... kali aja bos tahu jawabannya. Bos kan pinter.”

Aku memutar bola mata.

“Kalo mau nanya soal pernikahan tuh sama orang yang udah pernah nikah dong Bang, jangan sama anak SMA kayak aku.”
“Tenang aja, Bos, pertanyaannya gampang, kok...”
“Emangnya ujian, pake pertanyaan segala?”

“Saya mau ngomongin soal baju, Bos. Kata Bos, baju warna pink bagus, nggak? Terlalu banci nggak? Bos pengennya baju warna apa?”
“Baju buat apa?”
“Baju nikahnya, Bos. Kan saya nyewa, Bos, di desainer terkenal. Nah, si Zaenab pengennya yang sepasang warna pink.”

“Bajunya kayak gimana?”
“Ya biasa, lah... baju nikah aja gimana. Tapi warnanya pink. Kalo Bos pengennya baju warna apa?”
“Kepengenku?” Aku memutar otak. “Nggak tahu. Lagian yang kayak gitu nggak bisa ditentuin dalam lima detik di saat-saat kayak begini. Kalo iya aku mau nikah, aku bakal mikirin ini baik-baik dalam tempo yang lama.”
“Oooh, gitu ya?” Zaki manggut-manggut.

Aku mengayun-ayunkan diriku dengan santai sambil menatap langit yang dipenuhi awan. Zaki mencuri pandang sesekali ke arahku, seolah kami ini tidak saling mengenal. Kenapa sih, dia?

“Kalo makanannya, Bos?” Zaki mendongak. “Bos pengennya apa?”
“Kok nanya pengennya aku, sih? Pengennya Bang Zaki apa?”
“Yaaa... kali aja Bos pengen request, gitu...”
“Ya itu sih terserah Bang Zaki, dong, mau nyajiin apa. Lagian kenapa sih, Bang Zaki tiba-tiba dateng malem-malem begini bahas begituan? Katanya kemarin kita perpisahan...”

Zaki menggaruk-garuk kepalanya, bingung dengan tingkahnya sendiri. Di wajahnya tertulis, “Oh iya, ya...” Dia kemudian melemparkan pandangannya ke arah lain, memutar otak, dan tahu-tahu dengan riangnya menoleh lagi ke arahku. “Ooooh, saya juga mau nanya soal cinderamata, Bos!” serunya, terlalu bersemangat.

Aku jadi curiga, sebenarnya apa maksud kedatangan Zaki ke sini?

“Cinderamata apa?”
“Cinderamata itu Bos, yang suka dikasih-kasih sama pagar ayu. Bos pengennya apa?”

Aku menggeleng. Jujur saja aku nggak tahu. I mean, pagar ayu itu apa? Dan kenapa ada cinderamata? Is it wedding gift? Yang kutahu, pengantin boleh menentukan mau menerima apa di pernikahan mereka dari para tamu. Mereka membuat list-nya dan menyebarkannya ke undangan, supaya para tamu undangan tahu mau memberi apa.

“Aku nggak tahu Bang Zaki,” kataku seraya mendesah, “Lagian kenapa Bang Zaki masih nanya kepengenku, sih? Ini kan pernikahan Bang Zaki. You have someone out there waiting for you to share ideas with. Tanya Mbak Zaenab-nya dong, this is your wedding. Not mine.”
“Artinya apa, Bos?”
Aku menggeram kesal.


“Artinyaaa...”—eeerrrgghhh, batinku—“pernikahan itu terdiri dari dua orang, which means, ada satu orang lagi di sana yang jelas-jelas bisa Bang Zaki ajak buat berdiskusi soal pernikahan Bang Zaki, dan itu adalah calon istri Bang Zaki. Bukan orang lain, Bang. Apalagi nanya kepengen orang lain. Nonsense!”

Zaki terpana mendengar kata-kataku. Dia lalu merunduk merasa bersalah. “Yaaa, kan... saya mah cuma... yaaah...” Zaki memutar-mutar tangannya, mencoba mencari kata-kata. “Saya cuma pengen tau pendapat Bos aja.”
You didnt ask my opinion! You were asking what I want!

Ragu-ragu, Zaki melirik ke arahku. Bingung apakah dia harus bertanya yang barusan artinya apa, atau dia pura-pura mengerti saja. Kulihat dia sempat membuka mulutnya, tapi kemudian menutupnya lagi.

“Lagian, aku kirain Bang Zaki udah nggak mau ketemu aku lagi selamanya, gara-gara kemaren bikin acara farewell segala.” Aku merenggut ngambek.
“Yah, Bos. Ya nggak selamanya juga, atuh...”
“Terus ngapain pake goodbye-goodbye-an segala kemarin?”
“Ya... itu mah...” Zaki menggaruk-garuk kepalanya, sama-sama bingung. “Maksudnya... kita nggak akan deket kayak gini lagi, kalo saya udah nikah. Maksudnya... supaya Bos tau, gitu...”

“Aku tahu, kok. Tapi tetep aja, buat aku sih nggak penting. Emangnya jadi sebuah larangan ya, kalo Bang Zaki udah nikah dan kita nggak boleh ketemu lagi?” Aku mendengus. “Emangnya ada apa di antara kita?”

Zaki menatapku dalam gelap dan menarik napasnya dalam-dalam. “Nggak ada apa-apa di antara kita, tapi ada apa-apa di sayanya. Saya takut saya lebih cinta sama Bos dari pada sama istri saya nanti.”

DEG!
Cinta?
Benarkah yang kudengar barusan itu?

Aku menoleh perlahan dan menemukan tatapan cowok itu serius tertuju ke arahku. Zaki menelan ludah, mukanya memerah tapi dengan beraninya dia ungkapkan itu. Ini jelas bukan yang pertama kalinya dia menyatakan cinta. Surat yang dia kirim balik kapan itu juga jelas pernyataan cinta. Tapi baru sekarang dia mengatakannya seserius ini. I mean, ketika beberapa hari lagi dia bakal jadi suami orang lain.

Jantungku berdegup kencang dan aku bingung harus melakukan apa. “Te-terus... kepengen Bang Zaki... sebenernya apa? Kenapa Bang Zaki datang ke sini?”

“Saya kangen, Bos. Saya kangen pengen berduaan lagi sama Bos.”

Giliranku menelan ludah. Perutku penuh kupu-kupu dan mendadak tubuhku menggigil, bukan karena dingin. Aku memainkan jemariku untuk mengalihkan perhatian, sepenuhnya bingung harus merespon apa lagi pada Zaki.

“Iyalah, saya ngaku,” lanjutnya kemudian. “Saya ke sini bukan buat nanyain soal pernikahan. Saya cuma pengen ketemu Bos.”
Aku mengangguk-angguk tanpa suara.
“Dan saya mau nikmatin masa-masa terakhir ini—“
Hush!” aku memotongnya. “Jangan pernah sebutin ‘masa-masa terakhir’ kecuali Bang Zaki emang mau mati. Aku nggak suka, tau. Kayak yang kita langsung stop ketemuan aja. Berapa kali sih aku mesti bilang soal ini?”

“Iya-iya...” Zaki menunduk dan mengusap tengkuknya dengan malu. Dia melirik sesekali padaku, memastikan aku nggak ngambek atau apa gitu.

Kemudian saat aku kesengsem melihat Zaki yang polos dan malu-malu-kucing menatapku—I mean, gini-gini juga aku suka Zaki, kok—tiba-tiba kudengar suara orang memanggil nama Bang Dicky. Awalnya aku nggak ngeh karena tubuhku sibuk merinding menatap cowok di depanku yang gagah ini terlihat lugu. Namun kemudian, aku mendengar panggilan-panggilan itu dengan jelas.

“Dicky! Dicky! Ini Dicky!! Diiii... ckyyy!”

Suara residual energy itu.
Lagi.

Aku menoleh ke sumber suara... which is nowhere, karena setelah jutaan kali mendengarnya, aku masih belum menemukan di mana posisi suara itu. Dari semua residual energy yang muncul sekitar tiga minggu lalu, hanya residual energy yang inilah yang bertahan sampai sekarang. Memang sih, frekuensinya nggak sesering dulu. Paling aku mendengarnya dua atau tiga hari sekali, dan kadang-kadang itupun hanya sayup-sayup saja.

“Dicky... Dickyyy...” Suara itu sekarang terdengar menangis. Seperti biasa.

Aku menoleh ke sana kemari, sekali lagi mencoba mencari tahu dari mana suara itu berasal, kemudian setelah bosan aku menoleh kembali ke arah Zaki. Aku terkejut mendapati cowok itu sedang menunduk dan bahunya berguncang. Zaki tampak sedang... menangis.

“Bang Zaki?”

Zaki langsung memalingkan mukanya menjauhiku dan sebisa mungkin mengelap airmata yang jatuh di pipinya. Dia setengah mati menutup-nutupinya tapi aku sudah terlanjur tahu kalau dia menangis. Aku menunggu dia reda sendiri. Menunggu kepalanya kembali ke arahku dan merasa lebih baik.

Astaga... aku nggak tahu kalau Zaki sekangen itu padaku.

“Dickyyy!!” Suara itu muncul lagi.

Dan bahu Zaki terguncang lagi.
Astaga... dia kangen lagi.

“Dickkyy!”

Tunggu.
Tunggu, tunggu.
Kenapa Zaki terlihat makin terguncang setiap nama Dicky itu muncul?
Kenapa dia makin terlihat tak kuasa saat rentetan suara “Dicky” itu muncul lagi dan lagi?

Aku duduk tegak dan mengamati Zaki lebih seksama. Ini hanya dugaanku saja, sih. Tapi siapa tahu ini benar. Zaki bereaksi pada setiap teriakan nama Dicky yang diucap ulang sedari tadi. Zaki menangis dan terguncang... seolah dia...
Seolah dia juga mendengar suara residual energy itu.

Zaki mendongak dan menatap ke mataku. Kali ini dia nggak repot-repot lagi memalingkan muka sambil mengelap airmatanya. Kali ini dia menunjukkan wajah sedih itu, wajah yang penuh airmata dan rasa luka yang dalam. Zaki mencoba menahan tubuhnya yang terguncang sambil setengah mati berbicara padaku.

“B-bos...” Zaki menahan senggukannya. “Bos dengar suara itu?”

Benar. Ternyata Zaki juga mendengarnya.
Maksudku, tentu saja dia tahu soal kejadian itu. Dialah yang exactly berada di sana pada timeline kejadian itu. Dialah yang mengalami banyak kejadian buruk di masa lalu di sini. Hanya saja baru sekarang aku share dengan orang lain bahwa ada residual energy berlangsung akhir-akhir ini.

Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan Zaki.

“Dan pastinya... Bos juga udah lihat...” Kepala Zaki bergerak-gerak, bingung menjelaskannya.
“Ya, aku lihat, Bang,” jawabku langsung sebelum Zaki menyelesaikan kalimatnya. “Aku lihat semua kejadian di sini.”

Zaki terguncang lagi. Dia terisak-isak kecil. Suaranya perih sekali. Seolah aku bisa merasakan rasa sakit yang juga dirasakan Zaki saat itu. Seolah semua perasaan Zaki dapat tergambar jelas dari bahunya yang gemetar. Zaki sempat memalingkan mukanya ke arah lain, menenangkan diri. Sementara suara teriakan “Dicky” itu terus menerus menggema di halaman belakang.

to be continued





0 comments:

Post a Comment