DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (7)'s All About Magic

All About Magic
-chapter 10- ( 7 )
by MarioBastian



Zaki mengusap lagi airmata di pipinya kemudian berdiri. Dia mengedikkan kepalanya ke arah workshop dan kami berdua pun berjalan ke arah sana. Untuk sesaat, Zaki terdiam. Tapi kemudian dia mendongak dan mengatakan sesuatu padaku.

“Saya udah curiga Bos tahu soal ini, tapi Bos nggak bilang sama saya,” katanya lirih. “Bos jadi aneh kemarin-kemarin... kayak Bos tuh, ngng, tau... banyak hal.”
Zaki berhenti di dekat sebuah pohon dan aku ikut berhenti. Dia menghela napas panjang, kemudian menatapku—meneliti mataku—dan berbalik mengarah ke arah rumah.

“Dicky! Dicky!”

Astaga, suara itu lebih jelas sekarang. Tepat di sini, kedengaran sangat jelas. Aku merasa gembira sekali karena berhasil menemukan di mana sumber suara itu. Tapi begitu aku menoleh ke arah Zaki, nyaris memeluknya sambil berteriak, “Ternyata di sini!!” gairahku langsung berhenti.

Zaki sedang terpana menatap ke arah rumah, pandangannya tertuju pada sesuatu.
Aku mengikuti arah pandangannya, dan menemukan...
Granny...

... dan Kila.
Sedang berlari ke arah kami.

“Di sini, Nek! Di sini! Kedengaran nggak?” Kila berteriak-teriak, berlari mendahului Granny sambil mengacungkan sekop besar. Awalnya aku pikir dia mau melemparkannya ke arahku, sampai kemudian aku teringat mereka hanyalah residual energy.

“Di mana, Kila?” Granny tergopoh-gopoh sambil juga membawa sekop berkebun. Dia mengenakan dress Tersanjungnya dan memakai sandal rumah berpita bunga matahari. Granny terlihat sangat panik. Rambutnya kusut dan dari gelap dapat kulihat wajahnya pucat. “Di mana Dicky?”

“Di sini!” Kila tiba-tiba menunjuk ke arah dekat kakiku. Aku mundur beberapa langkah, ikut menoleh ke arah yang ditunjuknya. Di duniaku kini, di situ hanya ada tanah berumput kosong yang banyak terdapat jambu-jambu hijau kecil berjatuhan. Tapi di masa lalu, kelihatannya ada semacam gundukan tanah yang memanjang seperti kuburan. Bentuknya kurang jelas, aku bahkan nggak akan menyadarinya kalau Kila nggak menunjuk ke situ.

Aku menoleh ke arah Zaki, ingin bertanya yang ada di situ itu apa. Tapi Zaki sedang serius menatap gundukan itu. Tangannya dilipat di depan dada dan matanya berair.

“Dicky!!” panggil Granny cemas sambil mulai menyekop gundukan tanah itu. Kila tanpa banyak bicara langsung menggunakan sekopnya dengan susah payah, menggali sembarangan ke sana kemari.”Dicky!! Kamu di dalam, naaak?!”

“Iyaaa!! Ini Dicky!! Ini Dickkyyy!!”

Granny menangis tersedu-sedu sambil tetap menggali gundukan tanah itu dengan sekop berkebunnya. Gaun Tersanjungnya dipenuhi tanah, dan salah satu pita bunga matahari di sandalnya lepas karena beberapa kali nyangkut saat Granny merangkak-rangkak menggali tanah.

Kila nampak terengah-engah, keringat membanjiri tubuhnya, tetapi matanya tetap fokus. Mereka berdua terus menggali dan menggali, meraba-raba, mencakar tanah dengan tangannya, menyekop segumpal tanah sesedikit apapun itu, dan melemparkannya ke sana kemari. Andai aku bisa ikut membantu...

Hujan tiba-tiba turun ke bumi, tapi aku nggak merasakannya. Sedikit pun tubuhku nggak ada yang basah.
For God’s sake, hujan pun bisa menjadi residual energy?!

Aku kembali menatap Granny dan Kila yang kini basah kuyup dan terus menggali. Selama sekitar setengah jam aku melihat mereka berjuang keras sampai akhirnya, DUK! sekop Kila membentur sesuatu.

“Di sini!”
Granny melompat ke arah Kila dan langsung menggali di bagian tersebut. Aku maju untuk melihat apa yang sedang mereka gali, hingga akhirnya aku menemukan...

... sebuah peti.

Sebuah peti besar yang dikubur sekitar setengah meter dari permukaan tanah. Dan bahkan aku ingat sekali peti itu...

... itu peti yang ada di Kamar Terlarang.

“Dicky! Kamu masih hidup?!” pekik Granny sambil mengetuk-ngetuk peti.
Ada ketukan lemah membalas dari dalam peti. Kemudian sayup-sayup kudengar suara itu lagi. “Dicky! Ini Dicky!”

Ya Tuhan.
Jadi Bang Dicky ada di dalam peti itu?!
Dikubur?!

Aku terguncang dan membelalak ketika melihat Kila berhasil menguak peti itu dari dalam tanah. Kini tak ada tanah yang menimbun peti itu, Granny sudah menyingkirkannya. Mereka berdua mulai berkeliling mencari kenop pembuka peti dan sesekali menggali lagi untuk memastikan peti ini nggak digembok. Tapi nihil, mereka tidak menemukannya.

“Dicky! Kamu bertahan dulu! Nenek cari alat buat buka peti ini!” Granny berlari ke dalam rumah sementara Kila masih berkeliling mencari bagian untuk membuka peti. Bahunya berguncang dan sesekali menangis, tapi Kila tetap tegar menarik-narik pinggiran peti, berusaha membukanya.

Sreeet!
Oh, terbuka!
Kila berhasil mendorong peti ke depan, bergesar sedikit dan dapat kulihat ruang gelap di dalam sana.

Granny datang lagi sambil membawa kapak, tapi begitu melihat Kila berhasil membukanya sedikit, dia langsung menjatuhkan kapaknya dan ikut mendorong penutup peti. Aku menonton dengan cemas adegan itu. Sesekali aku menggapai tanganku, berusaha membantu, tapi apa daya... tanganku selalu menembus objek apapun di residual energy.
Butuh bermenit-menit lagi sampai akhirnya peti itu terkuak lagi. Dan ketika seperempatnya sudah terbuka, aku melongok untuk melihat apa yang ada di dalam.

Oh.. Tu.. han...

Aku melihat Bang Dicky yang masih remaja... terbujur kedinginan mendekap tubuhnya sendiri dan memeluk lututnya... dia telanjang... dipenuhi air hujan... di lengannya terdapat banyak memar merah dan bekas luka goresan... Bang Dicky nyaris saja tenggelam... wajahnya putih seperti mayat...

Tubuh Bang Dicky menggigil kencang. Satu-satunya kata yang diucapkannya berulang-ulang sejak peti itu dibuka adalah, “Dicky... Dicky... Dicky... Dicky...”

-XxX-

“Pernah bertanya-tanya, nggak, kenapa si Dicky selalu nyebut namanya sendiri kalo ngomong?” tanya Zaki sambil mengayun-ayunkan kakinya ke bawah.

Kami berdua kini berada di atap rumah, duduk berdua memandang langit yang dipenuhi awan, dan aku baru tahu kita bisa melihat jutaan titik lampu kota Bandung dari atap rumah Granny. Aku juga baru tahu bahwa ada pijakan-pijakan tangga rahasia yang bisa kita gunakan untuk memanjat dan Granny nggak bakal pernah memergokinya, karena pijakan ini tersembunyi. Dan sekarang aku mengerti kenapa Bello selalu duduk di sini semalaman, menakuti orang dengan bentuk kuntilanaknya atau menyendiri saat galau. Ternyata pemandangannya menakjubkan. Gold.

“Itu selalu jadi misteri buat aku,” jawabku.

Sudah satu jam sejak residual energy yang mengguncangkan itu. Aku menonton hingga Bang Dicky diselamatkan, dibawa masuk ke dalam rumah, lalu residual energy itu pun selesai. Zaki nggak bisa kuajak bicara beberapa saat, karena dia masih larut dalam emosinya, mengenang saat-saat menyedihkan yang dia tonton lagi melalui residual energy.

“Itu misteri semua orang. Si Zaenab juga suka nanya ama saya,” kata Zaki lagi sambil memasukkan kedua tangan ke dalam jaketnya. “Tapi sayang... meski saya tahu jawabannya, saya nggak pernah bisa ngejelasinnya.”

Aku terdiam dan mengangguk mengerti. Seorang pedagang nasi goreng nampak lewat di depan rumah Granny, mendorong gerobak nasi gorengnya dan menatap awas ke arah kami. Sejak dia berjalan dari ujung sana, sebelum melewati rumah Granny, dia berteriak, “Nasi goreng! Nasi goreng! Nasi goreng!” Tetapi, begitu lewat di depan rumah Granny, dia pause dulu teriakan-teriakannya dan dengan tergesa-gesa mendorong gerobaknya. Setelah lewat rumah Granny, “Nasi Goreng! Nasi Goreng! Nasi Goreng!” teriakannya membahana lagi.

Astaga, seburuk itukah efek kuntilanaknya Bello? Besok-besok aku mau beli nasi goreng itu ah, just for the sake of feeling guilty.

“Pernah suatu hari...” Zaki mulai bercerita, memandang ke atas langit dan mengumpulkan memorinya, “si Dicky hilang, nggak ditemukan di mana-mana. Suasana lagi genting waktu itu, banyak masalah terjadi di rumah ini. Yah, seperti yang Bos udah lihat dari hantu-hantu rekaman itu.”

Sebelum kami naik ke atap rumah, aku sudah menceritakan pada Zaki residual energy apa saja yang kulihat tiga minggu yang lalu. Zaki hanya bisa mengiyakan pasrah, bahwa semua kejadian itu memang terjadi. Hanya saja Zaki menolak menyebut penampakan-penampakan itu sebagai residual energy. Dia lebih senang menyebutnya Hantu-hantu rekaman.

“Nggak lama, sih. Paling tiga hari, lah. Tapi semua orang di sini jadi panik. Ya, kecuali pak Darmo, sih. Dia mah biasa-biasa aja kelihatannya...

“Apa lagi setelah diketahui bahwa... ayahnya sendiri yang ngubur Dicky hidup-hidup,” tenggorokan Zaki tercekat sesaat, “hanya karena Dicky nggak mau lagi ngelayanin nafsu bejat bapaknya.”

Zaki menunduk dan menarik napas sejenak. Dia melemparkan pandangannya ke arah lain dan mulai bercerita lagi. “Intinya, sih... Dicky dikubur hidup-hidup selama tiga hari. Telanjang dan tanpa makanan. Satu-satunya hal yang nyelamatin dia cuma air yang merembes masuk ke dalam petinya, dia minum air itu meskipun kotor. Setiap hari, Dicky bilang, selalu ada orang yang datang ke petinya, nanya, ‘Siapa di sana?’ dan Dicky selalu ngejawab, ‘Dicky! Tolong aku! Ini Dicky!’ Tapi yang bertanya itu malah ketawa-tawa lalu pergi tanpa nolongin Dicky. Dicky bilang, orang ini datang tiap beberapa jam sekali, dan cuma nanya ‘Siapa di sana?’ tanpa sedikit pun ngasih bantuan.

“Sampai akhirnya... Yah...” Zaki mengedikkan kepalanya, “saya sama Nenek akhirnya datang dan nyelamatin Dicky yang udah sekarat. Sejak saat itu, Dicky jadi aneh. Nenek ngebawa Dicky ke seorang fisikologi, untuk dicek mentalnya. Kata fisikolog-nya, dia mengidap katrophobia. Takut sama yang gelap-gelap dan sempit-sempit.”

Claustrophobia, ralatku dalam hati. Dan psikolog! For God’s sake... tapi aku nggak meralatnya, karena aku nggak mau merusak momen.

Mendengar kata claustrophobia, ingatanku langsung tertuju pada pertama kali Dicky datang ke kamarku, tidur bareng, dan dia request supaya lampunya dinyalakan. It all comes with a reason, now. It’s all obvious.

“Dicky juga jadi takut sama kuburan dan peti...”

Pemakaman itu. Saat Bang Dicky ketakutan diajak mengunjungi pemakanan orangtuaku...

“Dia juga takut... yah... agak aneh sih, tapi katanya dia takut sama gitu-gituan, Bos... sama aha-aha...” Zaki mempraktekkan orang yang sedang menggenjot-genjot... “Ewean,” bisiknya.
Oh, maksudnya Bang Dicky phobia sex?

Well, itu menjelaskan kenapa dia putus sama Lita, tunangannya. Kenapa dia nggak mau nelanjangin Lita. Kenapa Lita bilang Bang Dicky punya banyak phobia.

“Dan salah satunya ya itu,” lanjut Zaki, “dia juga punya ketakutan orang-orang nggak denger namanya dengan jelas, jadi setiap dia ngomong, dia selalu nyebut namanya sendiri... juga nama orang yang diajaknya ngobrol. Cuma demi memastikan ke orang-orang bahwa namanya adalah Dicky.”

Zaki mendesah dan menggeleng-geleng. “Bener kata orang, nggak ada manusia yang sempurna. Mau dia ganteng, pinter, bisa bikin bingkai bagus-bagus, tapi tetep aja ada kekurangannya. Apa lagi saya ya, Bos? Hahahaha...”
Zaki tertawa miris.

Meski Zaki sudah menguak beberapa misteri tentang Bang Dicky, tetap saja bermunculan pertanyaan-pertanyaan lainnya di kepalaku. Seperti misalnya, Bang Dicky dan Zaki sama-sama dilecehkan secara seksual oleh Pak Dharmo, tapi kenapa Bang Dicky jadi phobia sex sementara Zaki jadi machine of sex?

Input-nya sama, tapi output-nya beda.

“Sebelum si Dicky dikubur hidup-hidup itu, si Dicky diperkosa dulu, Bos, sama bapaknya,” ujar Zaki, seolah menjawab pertanyaanku barusan. “Gara-gara itulah dia agak takut sama aha-aha. Bahkan dia benci ngelihat aku yang sering ewean sama cewek-cewek. Kadang dia bilang, dia benci sama apapun berbau mesum. Misalnya... ciuman.”

Oh.
Sekarang kejadian cuci piring itu menjadi jelas.

-XxX-

Demam homophobia tidak hanya terjadi di kalangan siswa, namun juga di guru-guru. Khususnya CIS. Tak perlu lagi kuceritakan soal betapa semangatnya mereka mengubahku menjadi straight selama ini. Sampai-sampai seorang guru dengan “sengaja” mengirimkan gambar-gambar Miyabi ke emailku, semua demi mengubahku menjadi lebih baik—kata mereka.

Aku sudah muak, tentu saja. Tetapi, dari pada aku terus menerus terjerumus dalam depresi memikirkan itu semua, dan pindah sekolah rasanya bukan solusi tepat karena itu nggak akan mengubah keadaanku, aku memilih untuk membiarkannya saja. Aku hanya akan menunggu umurku cukup untuk lepas dari Granny dan memulai hidup baru yang lebih toleratif di Amerika sana.

Hanya saja guru yang satu ini benar-benar menyebalkan. Setiap hari, dia selalu menyindirku dengan bicara di depan kelas, “Kalian tahu, yang namanya kutub magnet tuh ada positif dan negatif. Kalau positif ketemu positif, mereka akan saling tolak menolak. Bahkan yang negatif juga menolak ketemu negatif. Itu artinya, kita nggak bisa saling melengkapi kalo elemen kita sama. Kita harus saling melengkapi dengan lawan jenis. Saya ulangi lagi, Anak-anak, lawan jenis,” dan ketika mengatakan “lawan jenis” tersebut, matanya terpaku ke arahku—begitu juga seisi kelas.

Selain itu, dia juga selalu mengurangi grade-ku satu level hanya karena aku ini homosexual. Misal aku mendapat nilai A di salah satu test, maka yang tertulis adalah B, dengan keterangan di bawahnya, “Attitude & interest masih bermasalah. Minus satu grade.” Atau saat dibagi kelompok belajar, aku selalu nggak kebagian kelompok belajar karena aku dianggap bermasalah. Kalau dimasukkan ke kelompok cewek, takutnya aku makin berpikiran kayak cewek. Kalau dimasukkan ke kelompok cowok, takutnya aku bakal memperkosa mereka, lalu memutilasi mereka di halaman belakang rumahku. Jadi aku nggak pernah mendapat kelompok belajar di pelajaran ini.

Pelajaran Fisika. Dengan Mrs. Asshole Fuckyou Motherfucker.
(Atau nama aslinya, Mrs. Ashar Fakih Madaniar.)

Salah satu ulahnya adalah hari ini. Mrs Asshole Fuckyou Motherfucker memintaku membawakan alat-alat peraga di gudang belakang sekolah. Dia memberiku list alat-alat tersebut sekaligus menambahkan P.S “Demi Kebaikanmu”.

FOR GOD’S SAKE, MOTHERFUCKER! Eeeeerrrggghhh...


Kelas Fisika hari ini ada setelah istirahat makan siang. Aku diwajibkan membawa alat-alat peraga itu sebelum kelas dimulai. Dengan lunglai aku menyusuri lapangan basket di belakang sekolah, melewati koridor-koridor kecil menyeramkan, dan tiba di sebuah gudang besar yang penuh debu.

Ketika aku masuk, pintu gudang sudah terbuka. Biasanya selalu ada penjaga sekolah yang sedang diminta membawakan alat peraga oleh para guru, atau ada anak-anak yang merokok sembunyi-sembunyi di dalam. Benar saja, aku mendengar obrolan anak SMA di salah satu sudut di gudang besar ini. Perlahan-lahan aku masuk ke dalam gudang dan tak mengacuhkan mereka.

Tapi, tunggu. Aku seperti mengenal suara itu.

You aja, deh. I lagi sibuk sama girlband fight.
Esel?
“Yeee... jangan gue, dong! Lo aja, Tante...”
Derry?
Tinta, ah. Malaysia—males! You lebih jago tuh kayaknya..”
“Gawat dong kalo gue yang lakuin. Bisa rusak lagi deh, hubungan gue!”

Aku mengernyitkan alis dan perlahan-lahan mendekati sumber suara. Kakiku berjinjit, sebisa mungkin melompati tumpukan kayu itu dan tidak mengeluarkan suara. Arah suaranya berasal dari balik lemari buku di sudut sana. Dan aku bisa melihat kepulan asap rokok yang menyesakkan menyeruak dari sudut tersebut.

“Terus, you yang enak-enakan lagi? Tinta!”
“Lo tuh, ya! Eeeerrrggghhh... nyebelin! Gue sodomi, lo!”
“Dengan senang hati. Nih, pantat I nungguin.”

Kemudian mereka berdua tertawa. Eh, bukan. Ada lebih dari dua orang yang tertawa di situ. Ada beberapa orang. Aku mengintip di salah satu sudut dan menemukan...

... Jelitaz dan Mahobia sedang berkumpul. Duduk-duduk di atas sofa dan semuanya merokok. Ada Syarifudin, ada Akbar, ada Mahobia cungkring itu... tentunya ada Esel dan Derry yang duduk berdekatan dan sedang mengisap rokoknya kuat-kuat...

Lho? Ngapain mereka? Kenapa mereka bisa duduk bersama dan ngobrol bareng?
Bukankah mestinya mereka itu musuh-musuhan?

to be continued




Post a Comment