DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



The Wedding Page 3

Page 3
by GoodFriend

Esok harinya,

Kenneth dan Collin meregangkan tubuh sambil menghirup udara pagi, keduanya kini sudah berada di pinggir danau, sementara anak-anak yang lain sudah pergi.

Cahaya matahari terpantul di permukaan danau, tampak berkilauan menambah indahnya pemandangan sekitar.

“Kau suka ?” tanya Kenneth.

Collin mengangguk sambil tersenyum senang,

“Indah sekali.. udaranya juga segar.. aku suka..” jawabnya.

Kenneth ikut tersenyum melihat pacarnya senang, ia kemudian duduk di rumput di pinggir danau, menatap Collin yang sedang mencelupkan tangannya ke air,

Kenneth jadi teringat lagi dengan masalah yang kemarin mengganggu pikirannya, mau dibawa ke mana hubungan mereka ini ?

Kenneth menunduk sambil termenung,

“Ken.. kau kenapa ?” tanya Collin tampak khawatir sambil berjalan menghampiri pacarnya tersebut,

Kenneth menatap Collin dengan tatapan sedih,

“Ada apa Kenny ?” tanya Collin lagi sambil duduk di sebelah Kenneth.

“Tidak ada apa-apa..” jawab Kenneth pelan.

“Jangan bohong, aku pacaran denganmu bukan baru sehari dua hari, aku tahu jelas bila kau sedang berbohong Kenneth..” kata Collin.

Kenneth terdiam lagi, ia mengelus rambut Collin dengan penuh sayang,

“Aku mencintaimu Collin.. aku sangat mencintaimu.. aku tidak tahu harus hidup bagaimana tanpamu.” katanya.

“Kau sedang memikirkan apa sih ?” tanya Collin semakin khawatir.

“Aku sedang memikirkan masa depan hubungan kita, Collby..” jawab Kenneth akhirnya.

Collin terdiam sambil menatap Kenneth, ia mengerti apa yang dimaksud pacarnya tersebut, sudah lama hal ini mengganggu pikirannya, tapi Collin terlalu takut untuk memikirkannya.

Diantara saudara-saudaranya hanya tinggal Kenneth yang belum pernah sama sekali membicarakan tentang pernikahan, cepat atau lambat pasti orang tua Kenneth akan mendesaknya, begitu juga dengan orang tua Collin,

“Aku tahu ibumu cepat atau lambat akan mulai mendesakmu untuk menikah juga..” kata Collin.

Kenneth terdiam sambil menatapnya,

“Mungkin sudah saatnya kau mulai mencari seorang pacar.. wanita.. Kenneth..” kata Collin lagi,

Sebenarnya sudah lama Collin memikirkan ide ini, bila saatnya tiba ketika pernikahan dipertanyakan, maka ia akan memprioritaskan Kenneth terlebih dahulu di atas dirinya, ia akan melakukan apa saja asalkan Kenneth bisa menjalani hidupnya senormal mungkin, meskipun bila itu artinya Collin harus menghilang selamanya dari hidup Kenneth.

“Apa maksudmu ??” tanya Kenneth bingung,

“Well, aku tidak bisa selamanya menyamar menjadi Carol, Ken.. kau harus mencari wanita sungguhan untuk kau nikahi..” jelas Collin sambil menunduk,

“Jangan bicara yang aneh-aneh, kau tahu aku tidak akan mungkin melakukan hal itu..” kata Kenneth.

“Mau tak mau kau harus melakukannya.. kau tidak mau mengecewakan ibumu, kan ?” tanya Collin.

“Aku.. aku..” Kenneth terbata, tak tahu harus bicara apa.

“Aku akan mengikhlaskanmu, asal kau bahagia..” lanjut Collin.

“Aku hanya bisa bahagia bila denganmu !” sergah Kenneth sedikit membentak.

“Tapi kita tidak bisa bersama selamanya..” balas Collin sambil menunduk, air mata tampak membasahi pipinya,

“Kata siapa kita tidak bisa bersama selamanya ??” tanya Kenneth, suaranya semakin kencang,

Collin masih menunduk terdiam,

“Kau dan aku sama-sama tahu sejak awal kita berpacaran bahwa hubungan kita tidak akan bertahan selamanya kan, Kenneth ??” tanya Collin kemudian,

Kenneth hanya bisa terdiam memandangi wajah pacarnya yang sudah dibasahi air mata,

“Seandainyapun aku akhirnya menikah dengan seorang wanita, lalu bagaimana denganmu ?? apa kau juga akan mencari seorang wanita untuk kau nikahi ??” bentak Kenneth kemudian.

“Aku tidak akan pernah menikah dengan orang lain selain kau, tidak dengan pria ataupun wanita.. masalah bagaimana hidupku jadinya nanti.. itu akan menjadi misteri yang harus kucari jawabannya seorang diri..” jawab Collin.

“Aku tidak mau begitu !! aku ingin terus bersama denganmu !! sekarang sebaiknya kau buang jauh-jauh ide bodohmu itu dan berjanji padaku untuk tidak akan pernah memikirkan ide-ide seperti itu lagi !!!” bentak Kenneth lagi.

“Tapi, bagaimana dengan ibumu ?”

“Masalah itu akan kita cari pemecahannya bersama-sama.. sekarang kita jalani saja dulu seperti ini..” kata Kenneth.

Collin menatap Kenneth, ada sedikit keraguan di matanya,

Kenneth mengusap air mata dari pipi Collin dengan lembut,

“Aku mencintaimu Collin, aku ingin menghabiskan sisa hidupku denganmu, bahkan bila aku harus meninggalkan keluargakupun akan kulakukan..” kata Kenneth lagi,

Collin tersenyum haru mendengar perkataan Kenneth.

Padahal yang mereka inginkan hanya untuk bisa saling mencintai, tapi kenapa takdir begitu kejam sehingga mempersulit hal tersebut, kenapa Tuhan sama-sama menciptakan mereka dalam sosok laki-laki ?

Keduanya kemudian berpelukan erat, seakan tak ingin berpisah.


Siang harinya,

Gwen, Alan dan Vincent tampak keluar dari toko kue, mereka baru saja menyelesaikan urusan mereka di situ,

“Sepertinya aku tidak bisa mengantarmu ke toko bunga, Al.. toko tempat aku menjahit gaun pengantin tadi meneleponku, aku harus ke sana lagi untuk menyocokan ukuran..” kata Gwen.

Alan mengangkat bahunya,

“Tidak apa-apa, aku bisa pergi sendiri kok, yang penting aku sudah lihat model dan warna kuenya, jadi bisa kusesuaikan dengan bunga untuk dekorasinya..” katanya,

“Aku akan menemanimu..” kata Vincent, ia bertatapan dengan Alan.

“Ya, sebaiknya Vincent menemanimu dengan mobil, biar aku naik bus saja ke tempat jahit.” kata Gwen.

“Baiklah kalau begitu..” kata Alan kemudian, “tapi sebaiknya kau saja yang memakai mobilnya, toko bunganya tidak jauh dari sini kok, kami bisa berjalan kaki..”

“Kau yakin ?” tanya Gwen.

“Ya.” jawab Alan.

“Baiklah, sampai bertemu nanti sore kalau begitu..” kata Gwen kemudian masuk ke dalam mobil sedan berwarna biru muda metalik miliknya, kemudian pergi meninggalkan Alan dan Vincent yang masih berdiri di pinggir jalan berdua saja.

Keduanya kemudian bertatapan canggung,

“A.. ayo kalau begitu..” ajak Alan kemudian mulai berjalan.

“I.. iya..” balas Vincent sambil ikut berjalan di sebelah Alan.

Keduanya berjalan dalam diam, sama-sama canggung tidak tahu harus mengobrol apa.

“Ti.. tidak apa-apa nih kau menemaniku ? kau tidak ada urusan lain ?” tanya Alan.

“Tidak apa-apa kok, aku memang tidak ada kerjaan lain untuk dilakukan, lagipula aku senang bisa bersama denganmu..” Vincent cepat-cepat menunduk karena malu dengan perkataannya barusan.

“Apa ?” tanya Alan.

“Ti.. tidak.. bukan apa-apa..” kata Vincent cepat sambil memalingkan wajahnya yang sudah sangat merah dari Alan.

Alan menatap Vincent dengan tatapan bingung sejenak sambil masih terus berjalan,

Keduanya kembali terdiam,

“Ehhmm.. Alan..” kata Vincent tiba-tiba,

“Ya ?” tanya Alan.

“Menurutmu aku bagaimana ?” tanya Vincent, entah dapat keberanian dari mana hingga ia bisa menanyakan pertanyaan bodoh itu.

Alan menghentikan langkahnya, kemudian menatap Vincent lagi,

“Maksudmu ?” tanyanya bingung.

“Ahh.. be.. begini.. a.. aku sedang menyukai seseorang, aku ingin tahu bagaimana orang lain menilai diriku, apa aku ini baik atau tidak, si.. siapa tahu di.. dia juga berpikiran sama seperti orang kebanyakan tentangku..” jawab Vincent terbata, keringat dingin membasahi wajah dan lehernya,

“Kau baik.” jawab Alan sambil kembali meneruskan langkahnya, “kau juga ramah dan sopan, walau awalnya kau terlihat sedikit misterius dan agak pendiam..”

“Me.. menurutmu aku begitu ?” tanya Vincent lagi, senyum simpul tampak menghiasi wajahnya sejenak,

“Aku baru mengenalmu selama dua hari, dan well, sejauh ini itu yang kupikirkan tentangmu..” jawab Alan enteng.

“Te.. terima kasih..” kata Vincent kemudian.

Alan mengangguk,

“Memangnya siapa yang sedang kau sukai ?” tanyanya.

“Ah.. di.. dia kenalanku..” jawab Vincent sambil terbata.

Alan mengangguk lagi sambil meneruskan berjalan.

Vincent merendengi Alan di sebelahnya sambil sesekali menatap ke arah pemuda tersebut,

Wajahnya tak banyak berubah sejak pertama kali Vincent melihatnya, siapa yang menyangka bahwa setelah lima tahun akhirnya Vincent bisa bertemu lagi dengan laki-laki yang dulu pernah menggetarkan hatinya, ini pasti takdir, pikirnya, Tuhan sudah memberikan kesempatan pada Vincent untuk bertemu lagi dengan Alan, maka ia tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan tersebut.

Tak sampai 10 menit keduanya sudah tiba di depan sebuah toko bunga,

“Ayo.” ajak Alan kemudian mendahului Vincent masuk ke dalam toko, Vincentpun mengikutinya.

Alan kemudian mulai melihat-lihat aneka jenis bunga yang dipajang di dalam toko tersebut, ia tentu harus mencari bunga yang berwarna ungu dan putih untuk menyesuaikan dekorasi dengan kue dan gaun pengantinnya, sementara Vincent dengan setia mengikuti Alan mengelilingi toko bunga tersebut,

“Ka.. kau suka bunga ?” tanya Vincent basa basi pada Alan yang sedang sibuk menciumi aroma bunga di hadapannya.

“Tidak.” jawab Alan, “Laki-laki tidak sewajarnya menyukai bunga.”

Vincent terdiam sambil masih terus mengikuti Alan di sampingnya,

“Lalu apa yang kau suka ?” tanyanya lagi.

Alan terdiam tampak sedang berpikir,

Satu-satunya yang ia sukai di dunia ini adalah Liam, tak ada orang lain ataupun benda yang bisa menyaingi kesukaannya pada pacarnya tersebut.

“Tidak ada.” jawabnya kemudian.

“Ti.. tidak ada ?” tanya Vincent sedikit terkejut.

“Tidak ada.” ulang Alan.

Vincent terdiam di tempatnya berdiri, tadinya ia berniat untuk memberikan hadiah barang kesukaan Alan, tapi bila begini ceritanya, ia jadi harus memutar otaknya lebih keras untuk bisa membuat Alan terkesan, ternyata memang benar bahwa tidak akan mudah untuk bisa membuat Alan jatuh cinta lagi.


Setelah kira-kira sejam mereka berada di dalam toko bunga akhirnya Alan memutuskan untuk memesan berbuket-buket mawar putih dan lavender.

Keduanya tampak keluar dari dalam toko bunga, dengan tampang puas menghiasi wajah Alan.

“Ke mana lagi kita sekarang ?” tanya Vincent.

Alan mengangkat bahu,

“Pulang ?” tanyanya.

“Pulang ?” ulang Vincent, ia melirik jam tangannya,

Jam 3 sore,

Masih terlalu sore untuk pulang, masih ada beberapa jam lagi sebelum makan malam, dan Vincent ingin memanfaatkan beberapa jam tersebut untuk dihabiskan bersama Alan.

“Kau sudah makan ?” tanyanya sambil menatap Alan.

Alan balas menatap Vincent, refleks tangannya mengelus perut, gara-gara sibuk mengurus keperluan pernikahan Samuel dan Gwen ia sampai lupa kalau ia belum makan dari tadi, makanan terakhir yang masuk ke dalam perutnya adalah telur dadar sarapannya tadi pagi.

Alan menggeleng.

“Ayo kita cari makan dulu kalau begitu..” ajak Vincent.

Alan kemudian mengangguk.

15 menit kemudian keduanya sudah berada di dalam sebuah restoran.

Vincent menatap Alan yang tengah menyantap makanannya dengan rakus,

“Kau lapar sekali ya ?” tanya Vincent sambil menahan senyum karena melihat tingkah Alan.

Alan mengangguk sambil masih menyantap makanannya, sesaat kemudian ia tersadar dengan kelakuannya dan menunduk malu, tak berani menatap Vincent.

“Kau pasti lelah sekali mengurus pernikahan Samuel dan Gwen, maksudku, dekorasi dan segala macamnya..” lanjut Vincent.

Alan mengangguk lagi,

“Tapi aku cukup menikmatinya.. hanya itu yang bisa kulakukan untuk mereka..” jawabnya.

Vincent memandang Alan lagi sambil tersenyum, ia jadi semakin menyukai pria di hadapannya tersebut, Vincent kagum karena Alan berusaha keras untuk membuat sahabat-sahabatnya bahagia sekalipun dirinya sendiri masih tenggelam dalam sedih dan duka.

“Mulai sekarang aku akan menjadi asistenmu.” kata Vincent kemudian.

“Ap.. apa ?” tanya Alan bingung.

“Aku akan membantumu mengurus keperluan pernikahan Samuel dan Gwen, apapun yang kau kerjakan, kau akan mengerjakannya berdua denganku.” kata Vincent mantap.

Alan terdiam lagi, bertahun-tahun yang lalu pernah ada seorang laki-laki yang menawarkan tawaran yang sama padanya saat ia tengah sibuk-sibuknya mengurusi urusan acara natal kampus,

“A.. aku tidak mau merepotkanmu..” katanya kemudian,

Vincent tertawa kecil,

“Bicara apa kau.. aku tidak merasa direpotkan, lagipula ini pernikahan sahabatku juga, jadi aku akan sangat senang membantumu..” katanya.

Alan hanya terdiam sambil masih menatap Vincent,

“Dan juga,” lanjut Vincent, “aku senang menghabiskan waktu denganmu..”

Wajahnya tiba-tiba langsung memerah, sementara Alan makin kebingungan.

“Mak.. maksudku.. kau teman ngobrol yang menyenangkan, aku merasa cocok denganmu.. se.. sebagai teman..” tambah Vincent dengan terbata.

Alan tersenyum, ia menghargai kebaikan hati Vincent, dan harus Alan akui, iapun sebenarnya menikmati menghabiskan waktu dengan Vincent, sudah lama ia tidak seakrab ini dengan seorang pria, selain Samuel dan Aidan tentu saja.


Malam harinya,

Gwen, Samuel dan para pendamping tengah menikmati makan malam mereka di taman belakang, Gwen terpaksa harus memesan makanan cepat saji karena ia tidak sempat memasak.

“Sammy, kau sudah menyiapkan kamar untuk Gabby dan keluarganya ? kau ingat, kan.. mereka akan tiba lusa..” kata Kenneth pada adiknya di tengah-tengah celotehan anak-anak yang lain.

Samuel mengangguk,

“Tenang saja, aku sudah menyiapkan sekalian untuk ayah dan ibu, untuk orang tua Gwen juga..” jawabnya.

Kenneth dan Collin saling pandang suram,

“Al, paman dan bibi menitipkan salam untukmu, kalau kau ada waktu mampirlah ke sana..” sahut Aidan dari sisi meja yang lain,

Alan mengangguk sambil masih menyantap makan malamnya, ia sudah beberapa kali menerima undangan makan malam dari orang tua Liam, yang ditolaknya dengan berbagai alasan, bukannya ia tidak mau bertemu dengan orang tua Liam, mereka sangat baik pada Alan, mereka sudah tahu tentang kondisi Liam dan hubungannya dengan Alan, dan mereka bisa menerimanya dengan baik, hanya saja, Alan tidak kuat bila harus datang ke tempat di mana begitu banyak hal tentang Liam mengelilinginya, ia tidak siap untuk menghadapi kenangan-kenangan tentang Liam yang pasti akan muncul begitu ia datang ke rumah laki-laki yang sangat ia cintai tersebut.

Di sisi lain Vincent, seperi biasa, menatapnya dengan pandangan yang tidak dapat diartikan.

Sisa malam itu dihabiskan dengan memantapkan kembali rencana-rencana seputar pernikahan, beberapa anak yang lain mulai membereskan meja makan, karena malam itu mereka memesan makanan cepat saji, tidak banyak piring yang mereka gunakan, Vincent kemudian menawarkan diri untuk mencuci piring-piring yang hanya sedikit tersebut.

Vincent meletakkan piring-piring kotor tersebut di atas westafel kemudian mulai mencucinya ketika tiba-tiba Aidan muncul di dapur dan berjalan menuju kulkas untuk mengambil air minum.

Aidan kemudian berdiri di sebelah kulkas sambil meminum air minum tersebut, ia menengok kiri kanan untuk memastikan apakah ada orang lain atau tidak, anak-anak yang lain masih tampak asyik mengobrol di taman belakang.

Setelah yakin bahwa mereka hanya berdua saja Aidan kemudian memandang Vincent yang masih sibuk mencuci piring,

“Well, hanya ada kita berdua di sini, kau boleh mengatakannya padaku sekarang.” katanya.

Vincent menghentikan kegiatannya sejenak kemudian menatap bingung pada Aidan,

“Mengatakan apa ?” tanyanya.

“Alasan kenapa kau selalu menatap Alan diam-diam.” jawab Aidan enteng.

Vincent terdiam di tempatnya, wajahnya langsung memerah padam,

“Ka.. kau menyadarinya ?” tanyanya tergagap.

Aidan mengangguk,

Aidan selalu menaruh perhatian penuh bukan hanya pada Alan tapi pada lingkungan di sekitar Alan juga, ia mengamati gerak-gerik orang-orang yang berada di sekitar Alan, apakah mereka punya niat tertentu pada pria tersebut atau tidak, apakah ada yang diam-diam mencibirnya dari belakang, atau dalam kasus ini, menatapnya sambil tersenyum-senyum sendiri.

“Aku terbuka untuk segala alasan, baik yang wajar, ataupun yang agak di luar batas kewajaran..” kata Aidan lagi sementara Vincent masih terdiam.

“A.. aku..” gagap Vincent.

“Kau menyukainya ?” tanya Aidan to the point dengan entengnya.

Wajah Vincent semakin memerah mendengar perkataan Aidan, ia masih terdiam tidak tahu harus bicara apa.

“Tidak usah kau jawab, aku sudah tahu jawabannya dari ekspresi wajahmu..” kata Aidan lagi.

Vincent menatap Aidan dengan terkejut,

“Me.. memangnya kelihatan jelas, ya ?” tanyanya.

“Jadi benar ?” tanya Aidan tidak menghiraukan pertanyaan Vincent.

Vincent mengangguk perlahan dengan ragu,

Aidan menatapnya, tampak sedang menimbang-nimbang,

“Kau serius dengannya ?” tanyanya kemudian.

“Ap.. apa ?” tanya Vincent bingung.

“Aku ingin Alan memulai hubungan yang baru dengan orang yang memang benar-benar mencintainya, bukan hanya sekedar ingin main-main saja..” kata Aidan tegas.

“A.. aku..” Vincent tidak menyangka bahwa ia akan diinterogasi seperti ini, ia tidak menyiapkan diri sebelumnya,

“Kau gay ?” tanya Aidan lagi, tak memberikan kesempatan pada Vincent untuk berpikir,

Itulah pertanyaan yang terus berputar-putar dalam otak Vincent selama beberapa hari ini, tidak, sebetulnya pertanyaan itu sudah muncul sejak kali pertama ia melihat Alan bertahun-tahun yang lalu.

“Entahlah..” jawabnya pelan sambil menunduk,

Aidan terdiam mendengar jawaban Vincent, tampak sedikit kemarahan di matanya, jawaban Vincent barusan terdengar seperti ia sedang main-main dengan Alan,

“Bagaimana mungkin kau bisa menyukai Alan kalau kau sendiri belum yakin kalau kau gay ?” tanyanya tajam.

Bahkan walaupun ia sudah bersahabat cukup lama dengan Alan, Aidan masih belum bisa mengendalikan emosinya yang suka meledak-ledak seperti saat ia kuliah dulu.

Vincent masih terdiam, ia memang belum yakin apakah ia gay atau tidak, ia tidak menyukai laki-laki lain selain Alan, tapi perasaannya pada Alan bukanlah main-main, ia sungguh-sungguh menyukai Alan, tapi apakah dengan begitu berarti ia seorang gay ?

“Aku tidak tahu bagaimana ceritanya hingga kau bisa menyukai Alan, tapi sebaiknya kau pastikan dulu orientasi seksualmu, kalau kau sudah yakin bahwa kau gay, baru dekati dia lagi.” kata Aidan dengan bijak, ia kemudian berjalan hendak kembali ke taman belakang,

“Kau tahu,” kata Vincent tiba-tiba, membuat Aidan menghentikan langkahnya,

“Sebetulnya kita sudah pernah bertemu sebelum ini,” lanjut Vincent.

Aidan mengernyitkan dahinya, tampak kebingungan.

“Kapan ?” tanyanya,

“Bertahun-tahun yang lalu di rumah sakit, ketika kecelakaan yang menewaskan pacar Alan sekaligus sahabatmu itu terjadi.” jawab Vincent,

Aidan memicingkan matanya sambil menatap Vincent, mencoba mengingat-ingat kembali apakah ia pernah melihat wajah tersebut atau tidak.

“Kau pasti tidak begitu memperhatikan karena pikiranmu saat itu sedang terfokus pada sahabatmu..” lanjut Vincent,

Aidan masih terdiam sambil menatap Vincent,

“Aku merupakan salah satu perawat yang membopong jenasah sahabatmu untuk dibersihkan, well, saat itu aku baru mahasiswa perawat yang sedang praktek.” kata Vincent.

“Saat itu jugalah untuk pertama kalinya aku melihat Alan, dan entah kenapa.. saat aku melihatnya menangis karena ditinggal pacarnya itu, hatiku juga ikut merasa sakit, timbul hasrat dalam diriku untuk menghiburnya, saat itu juga rasanya ingin sekali aku berjalan ke arahnya yang sedang terduduk di lantai dan membiarkannya menangis dalam pelukanku, saat itulah aku menyadari kalau aku..” Vincent menatap Aidan dengan tegas, ”mencintainya.”

Vincent terdiam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya,

“Aku tahu kedengarannya aneh, tapi bahkan biarpun sudah bertahun-tahun berlalu aku masih belum bisa melupakan wajah sedihnya tersebut, hingga akhirnya aku bertemu lagi dengannya di sini..” kata Vincent.

Aidan masih terdiam sambil menatap Vincent, ekspresinya tidak dapat dibaca.

“Aku belum tahu aku gay atau tidak, tapi aku sudah menyukai Alan sejak pertama kali aku melihatnya, aku ingin melindunginya, membuatnya bahagia lagi.. aku ingin selalu berada di sisinya.. aku..” Vincent menunduk, “aku mencintainya.”

“Well, you’re gay.” kata Aidan singkat sambil melanjutkan berjalan menuju taman belakang.

“Ap.. apaa ??” tanya Vincent bingung,

“Kau dapat ijin dariku..” kata Aidan sambil lalu, sementara Vincent hanya bisa terbengong-bengong sendiri di dapur.


to be continued



1 comments:

Adit said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

ditunggu banget nih kelanjutannya :)

Post a Comment