DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



The Wedding Page 4

Page 4
by GoodFriend


Esok paginya,
Mereka sarapan di taman belakang seperti biasa, rencananya hari ini mereka akan beres-beres dan mulai menata rumah tersebut, menyingkirkan barang-barang yang tidak perlu untuk disimpan di gudang, mengeluarkan barang-barang yang sekiranya diperlukan, para pria akan kerja bakti membersihkan halaman depan, sementara para wanita bertugas membersihkan bagian dalam rumah.
Gwen, Carol, Rea, dan ketiga teman Gwen tengah berada di ruang tamu, membersihkan debu, dan menata perabotan agar tampak lebih enak dilihat,
Carol menatap foto-foto keluarga Owen yang tergantung di dinding, di beberapa foto tampak Mr. dan Mrs. Owen berdiri berdampingan sambil tersenyum, keduanya tampak masih muda, kelihatannya foto ini diambil sebelum mereka mempunyai anak,
Di foto yang lain tampak mereka sedang berada di taman bersama seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahunan, yang bisa dipastikan adalah Gabriella, anak perempuan tunggal mereka.
Di foto yang lain lagi tampak sepasang balita laki-laki berambut pirang tersenyum sambil berpelukan.
“Ini pasti Kenneth dan Samuel..” kata Carol dalam hati sambil tersenyum,
Ia bertanya-tanya sendiri yang mana Kenneth dan yang mana Samuel, keduanya masih tampak sama persis, belum ada yang menggunakan kacamata, dan belum ada yang mengecat rambutnya menjadi warna cokelat.
“Yang mana pacarmu dan yang mana calon suamiku ?” tanya Gwen yang membuat Carol terkaget karena muncul tiba-tiba di sebelahnya.
“Entahlah..” jawab Carol setelah berhasil mengendalikan kekagetannya.
“Lihat betapa lucunya mereka..” kata Gwen lagi.
Carol tersenyum sambil mengangguk,
Tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa salah satu dari balita lucu ini adalah pacarnya.
Ia dan Gwen kemudian melanjutkan membersihkan ruang tamu,
Sementara itu di luar para pria sedang sibuk membersihkan halaman,
Kenneth dan Daniel tampak sedang memangkas semak-semak di pinggir halaman, sambil seperti biasa, berkelahi dan saling menggoda.
Samuel, Greg dan Aidan memotong rumput dan menyapu teras depan.
Sementara Alan dan Vincent memindah-mindahkan pot bunga agar letaknya lebih pas dan enak dilihat.
Vincent menatap Alan yang tengah sibuk menimbang-nimbang akan ditaruh di mana pot bunga yang sedang dipegangnya, ia teringat lagi perkataan Aidan padanya tadi malam, ia memang mencintai Alan, sangat mencintainya, saking cintanya ia tidak keberatan sama sekali jika dirinya ternyata memang gay.
Vincent tersenyum kecil sambil menatap Alan,
“Kenapa kau tersenyum ?” tanya Alan bingung.
“Ah.. ahh.. tidak apa-apa.. aku hanya senang sudah diundang ke pernikahan ini..” jawab Vincent sambil masih tersenyum,
“Tentu saja.. ini kan pernikahan sahabatmu, memang sudah seharusnya kau senang..” kata Alan sambil balas tersenyum,
“Iya itu juga.. “ kata Vincent, “tapi ada hal lain yang lebih membuatku senang bisa berada di sini sekarang..” sambungnya.
“Apa ?” tanya Alan.
“Aku jadi bisa bertemu dengan..”
Lanjutan perkataan Vincent terputus karena suara mobil yang tiba-tiba muncul di depan rumah.
Kenneth dan Samuel saling tatap kaget, terutama Kenneth, yang langsung memasang tampang horror.
Keduanya menghampiri mobil tersebut yang berhenti tepat di depan teras.
Seorang wanita paruh baya turun sambil tersenyum lebar ke arah keduanya.
“Ma..” sapa Kenneth dan Samuel, ketiganya kemudian berpelukan, sementara seorang pria paruh baya muncul dari arah pintu pengemudi.
“My sons..” katanya sambil menghampiri ketiga orang yang baru melepaskan pelukan mereka tersebut.
Kenneth dan Samuel bergantian memeluk pria tersebut.
“Kukira kalian baru akan datang besok lusa..” kata Samuel sambil melepaskan pelukannya.
“Ibumu sudah gatal ingin ikut mempersiapkan acara pernikahanmu..” jawab Mr. Owen, sementara istrinya tertawa.
Anak-anak yang lain berkumpul di dekat pintu masuk sambil menatap keluarga tersebut,
“Mana Gwen dan Carol ?” tanya Mrs. Owen.
“Di dalam... ayo kita masuk.. sekalian ku kenalkan kalian pada teman-temanku.” jawab Samuel sambil mempersilahkan orang tuanya berjalan menuju ke arah rumah, sementara Kenneth kembali memasang tampang horror begitu mendengar ibunya menyebut nama Carol.

€ ͢€ ͢ € ͢ €

Seluruh penghuni rumah tampak sedang makan siang di taman belakang bersama kedua orang tua Samuel.
Mrs. Owen memilih duduk diapit antara Gwen dan Carol, calon-calon menantu kesayangannya.
Semenjak kedatangan pasangan suami istri Owen, Kenneth dan Carol terus-terusan bertukar pandangan suram, mereka tidak menyangka bahwa Carol harus mulai berakting secepat dan setiba-tiba ini.
“Ma, kau harus mengajarkanku cara memasak ini.. enak sekali..” kata Gwen pada calon mertuanya, sambil menyantap makan siangnya dengan lahap.
“Kita akan punya banyak waktu untuk memasak bersama, sayang,.. kau, Carol, dan aku.. bersama-sama... sebagai keluarga..” balas Mrs. Owen, sambil menyentuh tangan kedua calon menantunya.
Kenneth dan Carol kembali bertukar pandangan suram, begitu juga dengan anak-anak lain yang mengetahui jati diri Carol.
“Jadi, sudah sejauh mana perkembangan persiapannya ?” tanya Mr. Owen dari ujung meja.
“Sudah sampai 80%, Pa.. undangan sudah diantar, baju pengantinpun sudah jadi, kue pernikahan sudah dipesan, besok bagian dekorasi akan datang untuk mulai mendekor, tinggal mengingatkan kembali bagian katering untuk urusan makanan.” jawab Samuel.
Mr. Owen mengangguk,
“Kapan rencananya kakakmu akan datang ?” tanyanya lagi.
“Gabby bilang padaku bahwa dia akan datang besok, Jordy masih harus membereskan pekerjaannya dulu sebelum bisa mengambil cuti.” kali ini Kenneth yang menjawab.
Mr. Owen mengangguk lagi.
“Aku ingin melihat baju dan kue pengantinnya..” kata Mrs. Owen, tampak penasaran.
Gwen mengangguk,
“Akan kuperlihatkan foto-fotonya setelah makan malam..” katanya.
Sisa acara makan malam ini mereka habiskan untuk saling berkenalan dan membicarakan sisa persiapan pernikahan.

€͢ € ͢ € ͢€

Esok paginya,
Para pekerja yg bertugas mendekor mulai berdatangan , begitu pula dengan barang-barang berat seperti papan-papan dan kerangka-kerangka besi untuk merakit altar, peralatan band pengiring, dan kursi-kursi untuk para tamu.
Para anak lelaki membantu para pekerja mendekor halaman belakang, sementara para wanitanya beberapa ada yang memasak makan siang bersama Mrs. Owen, yang lainnya menemani Gwen mengambil baju pengantin.
Alan tampak sedang berdiri di tengah halaman belakang, sibuk mengatur letak kursi-kursi dan dekorasi lainnya,
“Peralatan band pengiringnya di sebelah kiri altar, kursi-kursi untuk paduan suara di sebelah kanan..” katanya pada para pekerja.
Para pekerja mengikuti arahannya, sementara Vincent sedari tadi sibuk berdiri di samping Alan, mengikutinya ke manapun Alan beranjak.
“Bagaimana menurutmu ? atau paduan suara ditempatkan di sebelah band nya saja ?” tanya Alan padanya.
Vincent tersenyum,
“Begitu sudah benar kok..” jawabnya.
Alan kemudian menghitung kursi tamu yang baru saja datang,
“Kuharap bunga penghias kursi yang kupesan cukup..” katanya tampak cemas,
Vincent mengusap bahu Alan, mencoba menenangkan,
“Tak usah khawatir, Al.. pasti cukup kok..” katanya.
Alan mengangguk pelan sambil membiarkan Vincent tetap mengusap bahunya.
“Warna kursinya cocok tidak ya dengan warna bunganya ?” tanyanya lagi kemudian.
“Cocok kok.. pilihanmu sudah tepat..” jawab Vincent dengan sabar.
Alan menatap Vincent,
“Kau berkata demikian bukan karena kau tidak enak padaku, kan ?” tanyanya curiga.
Vincent tertawa,
“Tentu saja tidak.. kenapa kau bisa berpikir demikian ?” Vincent balas bertanya.
“Well, kau selalu setuju dengan pendapatku.. seakan-akan aku selalu benar.. aku merasa kau hanya sedang berusaha bersikap sopan padaku..” jawab Alan masih dengan tatapan curiga.
“Aku tidak sedang berusaha bersikap sopan.. aku hanya mengatakan yang sebenarnya, Alan..” sanggah Vincent.
Alan masih menatap curiga pada Vincent.
Sejenak kemudian ia tertawa,
“Kau seperti sedang merayuku, Vince..” katanya sambil masih tertawa.
Vince ? tanya Vincent dalam hati, apa Alan baru saja menyapanya dengan sapaan akrab ?
“Aku memang sedang merayumu, Alan.” kata Vincent kemudian dengan tatapan serius.
Ini dia saatnya, kata Vincent dalam hati, perbincangannya dengan Aidan malam itu membuatnya semakin memantapkan hatinya, bahwa ia mencintai Alan, bahwa perasaan yang ia rasakan sejak pertama kali ia melihat Alan di bangsal rumah sakit lima tahun yang lalu adalah benar-benar perasaan cinta.
Alan menatap Vincent, sambil masih tertawa,
“Kau ternyata lucu juga ya, kupikir kau orangnya tipikal serius yang sulit bercanda..” katanya.
“Aku serius, Alan.” balas Vincent dengan tatapan seriusnya.
Alan terdiam, kemudian menatap Vincent, tawanya perlahan-lahan menghilang.
Vincent memegang kedua tangan Alan,
“Aku menyukaimu, Alan..” katanya serius.
Alan menatap tangannya yang dipegang erat oleh Vincent, kemudian menatap pria di hadapannya tersebut.
“Aku sudah menyukaimu sejak pertama kali aku melihatmu..” kata Vincent lagi.
Alan masih terdiam, sebenarnya, walaupun ia tidak mau mengakuinya, Alan sudah merasakan bahwa Vincent menyimpan perasaan tertentu padanya, ia menyadari kalau selama ini Vincent selalu menatapnya diam-diam, ia sadar bahwa alasan selama ini Vincent menemaninya dan menawarkan bantuan padanya adalah karena Vincent.. menyukainya.
Tapi Alan selalu berusaha menyingkirkan pemikiran itu jauh-jauh, ia kenal Vincent baru sekitar empat hari, bisa saja ia salah mengartikan perlakuan Vincent padanya selama ini, dan juga, ia belum siap untuk membuka hatinya untuk cinta yang baru, bukan berarti ia tidak menyukai Vincent, Alan suka, Vincent orang yang baik, hanya saja, ruang hati Alan masih terisi oleh Liam sepenuhnya.
Sampai saat ini, masih Liam seorang.
“Katakan sesuatu..” kata Vincent, semakin mengeratkan pegangan tangannya ke tangan Alan.
Alan menatapnya.

Sementara itu, di dapur,
Mrs. Owen sedang memasak makan siang bersama Carol, Rea, dan Thessa.
“Begitu kau menikah dengan Kenneth nanti, aku akan mengajarkan resep rahasia turun temurun dalam keluarga Owen, aku akan menurunkannya padamu dan Gwen..” kata Mrs. owen sambil asyik mengaduk cream soup calon makan siang mereka.
Rea, Thessa dan Carol saling bertukar pandang ngeri, Mrs. owen tampaknya sudah sangat jatuh cinta pada Carol dan tak sabar untuk mengambilnya sebagai menantu,
“Kapan rencananya kau akan mengenalkan kami pada orang tuamu, sayang ?” tanya Mrs. Owen sambil membelai rambut Carol.
“Ahh.. ah.. o.. orang tuaku lumayan sibuk, tante.. u.. untuk anaknya saja kadang-kadang mereka tak ada waktu..” jawab Carol dengan terbata, ia menatap Thessa dan Rea, meminta bantuan.
“Ah ya ya.. tante mengerti, tante dan om pun lumayan sibuk, tapi itu bukan berarti bahwa orang tua-orang tua yang sibuk itu tidak menyayangi anaknya, tidak, jangan berpikiran begitu..” kata Mrs. Owen.
Carol tersenyum kaku,
“Anak-anak tante adalah harta tante yang paling berharga..” lanjut Mrs. Owen, “tante selalu mengharapkan yang terbaik untuk mereka, tante ingin mereka bahagia..”
Senyum Carol menjadi kecut,
Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila Mrs. Owen mengetahui bahwa salah satu anaknya gay, dan bahwa salah satu menantu yang ia bangga-banggakan ternyata tidak seperti harapannya.
Mrs. Owen adalah wanita yang baik, Carol tidak mau menyakiti hatinya, tapi ia mencintai Kenneth melebihi ia mencintai dirinya sendiri, ia tidak mau berpisah dengan Kenneth,
“Beritahu kami bila orang tuamu sedang tidak sibuk,” kata Mrs. Owen lagi.
“I.. iya, tante..” balas Carol, sambil berusaha membuka box susu untuk campuran cream soupnya.
“Agar kami bisa bertemu dan menentukan tanggal pernikahan kalian..” sambung Mrs. Owen.
Refleks Carol merobek box susu yang sedang dipegangnya, sehingga susunya tumpah ke bajunya, biar bagaimanapun ia adalah seorang laki-laki, secantik dan segemulai apapun tampilan luarnya, tenaganya tetaplah tenaga seorang laki-laki, tidak heran ia bisa merobek box susu saking gugupnya.
“Ahh.. ma.. maaf..” katanya sambil berusaha membersihkan susu yang mengenai bajunya,
“Tidak apa-apa..” kata Mrs. Owen.
“A.. aku ganti baju dulu..” kata Carol sambil bergegas pergi menuju kamarnya di lantai atas untuk mengganti baju.
Sesampainya di atas Carol masuk ke dalam kamar yang terpaksa harus ia tempati bersama Rea dan Thessa, ia menutup pintu dan bersender,
Mrs. Owen sudah seserius itu membicarakan hubungannya dengan Kenneth,
Bagaimana ini, pikirnya dalam hati, mau mundurpun sudah tidak bisa.
Carol menutup matanya, mencoba me-rileks-kan pikiran dan tubuhnya,
Sementara itu di dapur,
“Ahh.. aku lupa, aku beli beberapa baju untuk Gwen dan Carol dalam perjalanan ke sini kemarin, kurasa ini saat yang tepat untuk memberikannya pada Carol.. kalian tunggu di sini, aku mau menyusul Carol ke kamarnya..” kata Mrs. Owen kemudian beranjak meninggalkan dapur,
Sementara Rea dan Thessa saling tatap dengan tatapan ngeri.
Carol masih bersender di pintu kamarnya sambil masih menutup mata, ia tidak yakin apakah ia akan selamat melewati tiga hari ke depan tinggal di bawah atap yang sama dengan orang tua Kenneth.
Tok tok tok
Tiba-tiba pintu yang ia senderi diketuk dari luar,
“Col ? kau di dalam ? ini aku, Kenneth..” kata suara dari luar.
Carol cepat-cepat membuka pintu yang ia senderi, tampak Kenneth berdiri di hadapannya dengan tampang seperti baru habis berlari.
“Aku melihatmu berlari ke sini, ada apa ? apa yang terjadi ?” tanyanya khawatir sambil masuk ke dalam kamar.
Carol mendengus pelan,
“Aku menumpahkan susu di bajuku.” jawabnya sambil membuka lemari baju dan mulai mencari baju ganti.
Kenneth menghela napas lega,
“Kupikir ada apa.. aku khawatir sekali..” katanya sambil duduk di atas salah satu tempat tidur yang sedang dibelakangi oleh Carol.
“Memang ada sesuatu sebenarnya..” jawab Carol sambil masih membongkar lemari baju, “Ibumu ingin bertemu dengan orang tuaku untuk membicarakan tanggal pernikahan kita.”
“Apa ?” tanya Kenneth kaget.
“Ya. Tanggal PERNIKAHAN KITA !!” ulang Carol sambil menarik asal salah satu kaos dari tumpukan baju di dalam lemari, kemudian melepas wig-nya.
Kenneth menatap pacarnya yang kini mulai melepas kaosnya yang terkena tumpahan susu dengan terburu-buru, ia kemudian berdiri dan menghampiri Collin yang masih bertelanjang dada.
“Jangan cemas.. “ katanya sambil memegang kedua bahu Collin.
“Jangan cemas bagaimana ? Ibumu benar-benar serius ingin menikahkan kita.. bahkan kalau dia bisa, mungkin kita disuruh menikah di hari yang sama dengan Samuel dan Gwen..” kata Collin sewot.
“Kita akan mencari jalan keluarnya bersama-sama.. oke ?” kata Kenneth, berusaha menenangkan pacarnya yang tengah gelisah.
Collin terdiam, ia masih merasa gelisah.
Kenneth masih memegang kedua bahu Collin, keduanya kini saling bertatapan.
“Kau tidak sendirian, ingatlah bahwa aku selalu bersamamu.. kita akan menghadapi ini bersama.. berdua.. oke ?” kata Kenneth lagi.
Collin menatap wajah Kenneth, wajah kekasihnya, yang selama beberapa tahun ini selalu ada di sampingnya, yang menyempurnakan hidupnya, yang menjadi alasan kenapa ia mau melakukan semua ini, berdandan seperti perempuan, berpura-pura menjadi calon menantu yang baik, semata-mata ia lakukan karena besarnya rasa cintanya pada pria di hadapannya ini,
Dan ia memang tidak perlu khawatir, karena apapun yang akan ia temui di sepanjang jalan takdirnya, ia tidak akan menghadapinya sendirian, akan selalu ada seorang Kenneth yang setia menemani dan melindunginya, bagaimanapun situasi dan kondisinya.
Collin merasa lebih tenang sekarang, ia kemudian tersenyum manis pada Kenneth, yang dibalas tak kalah manisnya oleh pria tersebut.
Keduanya kemudian mendekatkan bibir mereka dan berciuman,
“Kenneth !”
Terdengar teriakan dari arah pintu, yang sontak membuat keduanya terkejut dan melihat ke arah asal suara tersebut,
Di sana, tampak Mrs. Owen tengah berdiri kaku, wajahnya tampak sangat terkejut.
“M.. Maa..” kata Kenneth terbata, wajahnya dan wajah Collin sama–sama tampak pucat.
Mrs. Owen beranjak pergi dari situ, meninggalkan Collin dan Kenneth dalam keterkejutan mereka masing-masing.
“Kejar dia..” kata Collin pelan.
Kenneth mengangguk, kemudian bergegas mengejar ibunya.
Kini tinggal Collin seorang diri di kamar tersebut, berdiri terpaku meratapi nasibnya selanjutnya.
Akhirnya yang ia takutkan terjadi juga, akhirnya tiba masanya ia dan Kenneth harus membayar konsekuensi atas pilihan mereka.
Collin kemudian memakai kaos yang ia ambil dari dalam lemari, menatap wig-nya yang teronggok di atas tempat tidur,
Sudah tidak ada gunanya lagi ia menyamar menjadi seorang wanita, pikirnya.

€ ͢ € ͢ € ͢ €

Kenneth dan kedua orang tuanya berada di dalam kamar yang ditempati Mr. dan Mrs. Owen sepanjang siang tersebut, samar-samar dari luar bisa terdengar teriakan Mrs. Owen, bisikan menenangkan Mr. Owen, dan suara memohon dari Kenneth.
Anak-anak yang lain tampak berkumpul di halaman belakang, mereka sudah tahu apa yang terjadi, dan mereka merasa kasihan pada Collin dan Kenneth, teman-teman Gwen yang baru mengetahui kebenaran tentang jati diri Collin tampak terkejut, tapi mereka turut bersimpati atas situasi yang harus dijalani oleh keduanya saat ini.
Menjelang sore ketiganya baru keluar dari kamar, Mr. dan Mrs. Owen pergi menuju halaman belakang untuk makan malam, sementara Kenneth menghampiri Collin yang sedari tadi mengurung diri di kamarnya.
“Hey..” sapa Kenneth pelan sambil melangkah perlahan ke dalam kamar, ia melihat pacarnya sedang terduduk sambil menatap keluar jendela, tampak merana dan kesepian.
Sebuah koper tampak di sebelahnya, siap untuk diseret keluar dari rumah besar tersebut.
“Hey..” balas Collin sambil tersenyum lemah,
Kenneth menghampiri Collin, kemudian berjongkok di hadapannya, ia menatap koper di sebelah Collin sejenak, kemudian menatap pacarnya,
“Bagaimana ?” tanya Collin cemas,
Kenneth tersenyum lemah,
“Begitulah..” jawabnya.
Collin menatap Kenneth, menunggu jawaban yang lebih memuaskan.
Kenneth balas menatap Collin, sesaat kemudian ia menghela napas pelan,
“Well, Ayahku bisa menerimanya dengan cukup baik..” jawab Kenneth kemudian, “Ibuku...” Kenneth terdiam sejenak, “perlu waktu sedikit lebih lama..”
Collin menatapnya dengan tatapan sedih,
“Maafkan aku.. sudah membawamu ke dalam situasi ini..” katanya.
“Bukan salahmu.. ini konsekuensi yang harus kita jalani bila kita ingin memperjuangkan kebahagiaan kita..” balas Kenneth sambil menggenggam tangan pacarnya.
“Aku akan meminta maaf pada orang tuamu, dan pergi dari sini..” kata Collin lagi.
“Jangan pernah berani memikirkan ide seperti itu !” bentak Kenneth.
Collin terdiam,
“Aku sudah berjanji padamu bahwa kau tidak akan menghadapi ini sendirian, aku sudah berjanji untuk selalu bersamamu, menghadapi apapun yang ada di ujung jalan kita..” kata Kenneth lagi, kali ini dengan nada lebih pelan.
Collin mulai terisak, tapi ia mencoba lebih tegar, dari awal ia memutuskan untuk menjalin hubungan dengan Kenneth, ia tahu bahwa saat-saat seperti ini harus ia hadapi, ia hanya tidak tahu bahwa akan secepat dan setiba-tiba ini datangnya,
“Yang harus kita lakukan adalah berjuang sedikit lagi.. Ayah dan saudara-saudaraku sudah bisa menerimanya, kita hanya tinggal meyakinkan Ibuku sedikit lagi..” yakin Kenneth.
Collin menunduk,
“Dan kau akan tetap di sini, setidaknya sampai pernikahan adikku selesai..” lanjut Kenneth.
“Tapi Ibumu..”
“Kau mau memperjuangkan hubungan kita atau tidak ?” potong Kenneth.
Collin menatap pacarnya, ada kesungguhan di mata Kenneth yang membuatnya tidak bisa mengatakan tidak, dan ia memang ingin memperjuangkan hubungan mereka, dan ia tahu bahwa ia tidak akan sendirian menghadapi semua ini,
Maka ia mengangguk,
Collin mengangguk, menyetujui bahwa ia akan berjuang bersama Kenneth, pacarnya, berjuang demi kebahagiaan mereka.
Keduanya saling tatap, kemudian tersenyum,
Sore itu keduanya semakin yakin atas pilihan hidup yang sudah mereka pilih bertahun-tahun yang lalu, pilihan yang tidak akan mudah memang, bukan jalan yang mulus tanpa hambatan dan batu kerikil memang, tapi masih bisa dihadapi, sepanjang mereka saling memiliki satu sama lain, sepanjang mereka masih berjalan berdampingan berdua, maka jalan berkerikil akan bisa dilewati, pilihan sulit akan bisa diatasi.
Kenneth menarik tangan kanan Collin,
“Ayo..” katanya.
“Ke mana ?” tanya Collin bingung.
“Makan malam, Collby.. kau bahkan belum makan siang, kan ?” Kenneth balas bertanya.
Collin menatap wajah pacarnya, kemudian terkekeh pelan, bahkan di situasi macam ini masih ada hal senormal makan malam yang bisa mereka lakukan.
Ia kemudian beranjak berdiri, diikuti Kenneth,
“Kau siap ?” tanya Kenneth.
“Mau tak mau..” jawab Collin, keduanya tersenyum lagi, kemudian bergandengan tangan pergi meninggalkan kamar tersebut menuju taman belakang untuk makan malam.
Sesampainya di taman belakang, pandangan seluruh penghuni tertuju pada mereka, tak terkecuali pasangan suami istri Owen, sesaat Collin ingin menarik tangannya yang digenggam oleh Kenneth, tapi Kenneth tampak tak mengijinkannya,
Kenneth menarik tangan Collin, sambil berjalan mendekati meja makan, pandangan seluruh penghuni masih tertuju pada mereka, pandangan yang menurut Collin adalah pandangan menuduh dan mencibir, sekarang, setelah semuanya jelas bahwa mereka adalah pasangan gay, Collin tidak merasa heran bila teman-teman mereka bereaksi sama seperti orang kebanyakan tentang hal-hal tabu seperti percintaan sesama jenis, reaksi penolakan dan penghinaan.
Kursi yang tersisa tinggal di ujung, di sebelah Aidan, keduanya kemudian menduduki kursi-kursi kosong tersebut, jauh dari tempat duduk Mr. dan Mrs. Owen.
Suasana masih hening hingga beberapa saat,
“Kau mau ayamnya, Collby ?” tanya Kenneth, tampak cuek memecah keheningan sambil mengambil sepotong ayam kemudian meletakkannya di atas piring di hadapan Collin, tanpa memperdulikan penghuni yang lain.
“Ah.. thanks... Kenny...” kata Collin ragu-ragu, sambil mengarahkan pandangannya ke sekeliling meja, sekilas tatapannya bertemu dengan tatapan Mrs. Owen yang tidak dapat terbaca apa yang sedang dipikirkannya.
Collin masih terdiam, ia masih merasa ditatap oleh tatapan menghina dan mencibir,
Sampai tiba-tiba Daniel yang duduk di seberangnya menyendokkan nasi ke piring miliknya,
“Kusendokkan agak banyak, ya.. kau belum makan siang juga, kan ?” tanya Daniel.
Collin menatap pria di hadapannya tersebut,
Daniel tersenyum padanya, senyuman yang seakan-akan mengatakan “everything’s gonna be fine, dude”.
Collin balas tersenyum,
“Coba cream soupnya juga, Collin..” kata Samuel dari ujung meja yang lain.
“Ah ya, kemarikan piringmu, biar kutuangkan..” balas Gwen sambil mengulurkan tangannya meminta piring Collin.
“Ah.. ya..” kata Collin terbata sambil dengan ragu menyodorkan piringnya pada Gwen.
“Kau juga harus mencoba saus buatanku dan Rea, Coll..” kata Thessa sambil menyodorkan mangkuk saus pada Collin.
Rea mengangguk,
Collin menatap Kenneth yang balas menatapnya sambil asyik menggigit ayam gorengnya,
Kenneth tersenyum padanya,
Anak-anak yang lainpun tersenyum padanya, senyuman yang memiliki arti yang sama dengan senyuman Daniel barusan, senyuman yang seakan-akan mengatakan bahwa kami tidak peduli dengan orientasi seksualmu, kami senang berteman denganmu, itu sudah cukup, atau bahwa kami akan selalu mendukungmu, apapun keputusanmu, atau bahwa hey, pada akhirnya, semuanya akan baik-baik saja.
Collin membalas senyuman teman-temannya dengan penuh haru, dan malam itu, di kursinya itu Collin bersyukur pada Tuhannya bahwa ia sudah diberikan teman-teman yang baik seperti mereka-mereka yang duduk di meja makan ini bersamanya sekarang ini.
“Kudengar kau ikut membantu memasak cream soupnya ya, Collin ?”
Semua penghuni di meja makan tersebut sontak menatap ke ujung meja, karena barusan itu Mr. Owen yang bertanya.
“I.. iya..” jawab Collin takut-takut, baru saja ia merasa senang atas reaksi teman-temannya yang cukup baik, kini ia harus dihadapkan dengan orang tua Kenneth.
“Enak sekali..” kata Mr. Owen lagi, sambil tersenyum.
Collin terdiam sambil menatap Mr. Owen, masih belum mempercayai apa yang baru saja dilihat dan didengarnya,
Mr. Owen baru saja tersenyum dan memujinya.
Collin menatap Kenneth yang tampangnya sama kagetnya dengan dirinya.
“Kau harus lebih sering membuatkannya untukku..” lanjut Mr. Owen lagi.
“I.. iya..” jawab Collin masih dengan terbata sambil balas tersenyum.
Collin menatap Kenneth lagi, kemudian tersenyum padanya,
Kenneth balas tersenyum,
Keduanya saling balas senyum,
Senyum yang benar-benar dapat membuat lega setelah harus menghadapi drama seharian.
Di ujung meja yang satunya Mrs. Owen menatap keduanya.


to be continued

next page

0 comments:

Post a Comment