DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



The Wedding Page 5

Page 5
by GoodFriend


Esok harinya,
H-2 sebelum hari pernikahan Samuel dan Gwen,
Sekitar pukul delapan pagi Gabriella, kakak perempuan Samuel dan Kenneth tiba bersama suaminya, Jordy, dan kedua anak kembar mereka yang baru berumur satu tahun, Lilas dan Lucas.
Gabriella cukup terkejut setelah diceritakan tentang drama yang terjadi pada adiknya, Kenneth sepanjang hari kemarin, dan seperti reaksi anak-anak yang lain, Gabby pun ikut memberi semangat dan menguatkan Collin dan Kenneth.
Sama seperti kemarin, hari ini pun acaranya masih mendekorasi taman belakang yang akan menjadi area utama pernikahan,
Para pria membantu para pekerja melanjutkan merakit altar yang baru setengah jadi, beberapa menata meja-meja tempat meletakkan makanan, yang lain lagi memasang kain pelapis warna broken white, senada dengan warna baju dan kue pengantinnya, sementara para wanita menemani Lilas dan Lucas bermain.
Alan masih sibuk mengatur letak properti, agar sesuai dengan rencananya, sementara Vincent masih setia berada di sampingnya ke manapun Alan pergi, walaupun begitu, hari ini keduanya tampak canggung, tak seperti biasanya,
Kemarin, setelah Vincent mengutarakan perasaannya pada Alan, Alan berlari meninggalkannya, malam harinyapun mereka belum sempat berbicara karena seisi rumah sedang dihebohkan oleh drama Collin dan Kenneth.
Alan tahu tidak seharusnya ia meninggalkan Vincent, tepat setelah pria tersebut menyatakan perasaannya pada Alan, tapi ia tidak tahu harus berespon bagaimana dengan perasaan Vincent padanya itu, ia menyukai Vincent, ia senang Vincent berada di sampingnya, ia senang menghabiskan waktu bersama pria tersebut, tapi di sisi lain ia belum mau memulai kisah cinta baru dengan orang lain, iapun takut, bila ia melakukan hal tersebut, ia akan mengkhianati kisahnya bersama Liam.
Dan Vincent pun tampaknya mengerti akan hal itu, ia tidak memaksa Alan untuk segera menjawab perasaannya, ia memberikan kebebasan pada Alan kapanpun ia sudah merasa yakin dengan perasaannya sendiri.
“Ka.. kau sudah menghubungi lagi paduan suaranya ?” tanya Alan canggung.
“Sudah kulakukan kemarin, tapi akan kukonfirmasi lagi besok.” jawab Vincent.
“Ahh.. i.. iya.. ba baiklah..” balas Alan dengan tetap canggung,
Keduanya terdiam, membuat suasana semakin canggung,
“Ba.. bagaimana dengan ba..”
“Dengar, Alan..” potong Vincent, sementara yang dipotong terkejut, kemudian menatap Vincent takut-takut,
“Aku minta maaf, gara-gara aku, suasana di antara kita menjadi canggung seperti ini, tapi aku harus mengungkapkan perasaanku padamu, aku tidak bisa menahannya lebih lama lagi, aku benar-benar menyukaimu, Alan...” Vincent menatap Alan lekat-lekat, sementara Alan terdiam tidak tahu harus berbuat apa,
“Tapi bila perasaanku membuatmu risih,” Vincent masih menatap Alan, tampak guratan kesedihan di wajahnya, ”maka lebih baik kau lupakan saja apa yang kukatakan padamu kemarin.”, sambungnya kemudian beranjak pergi, meninggalkan Alan yang tampak terkejut.
“Vi.. Vincent..” panggilnya, tapi yang dipanggil tak kunjung menoleh, malah menghilang ke arah dalam rumah.
Alan masih terdiam sambil menatap ke arah Vincent menghilang, ia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa, tapi melihat guratan kesedihan dan kekecewaan di wajah Vincent membuat dadanya sesak.
Alan harus meminta saran dari seseorang, ia kemudian memandang ke sekeliling taman, kemudian melihat Samuel sedang berbicara dengan salah seorang pekerja, sambil menunjuk-nunjuk altar yang masih setengah jadi,
Ia kemudian menghampiri pria tersebut,
“Sammy, kau ada waktu ?” tanyanya setelah ia tiba di tempat Samuel berdiri.
“Ada apa ?” tanya Samuel.
“Ada yang ingin kubicarakan denganmu..” jawab Alan.
“Ada apa ? apa ada masalah ?” tanya Samuel tampak khawatir.
Alan menggeleng sambil tersenyum lemah,
“Bukan masalah, hanya sesuatu yang ingin kuceritakan padamu..” jawabnya, “tapi kalau kau sedang sibuk, nanti saja aku datangi kau lagi,” sambungnya.
“Aku tidak sedang sibuk, bahkan kalaupun iya, aku akan tetap mendengarkan ceritamu.. ayo kita cari tempat yang tenang..” kata Samuel.
Alanpun mengangguk, keduanya lalu beranjak menuju teras depan rumah, kemudian memilih untuk duduk di ayunan kayu yang terletak di sudut kanan teras.
“Ada apa ?” tanya Samuel, begitu keduanya sudah duduk dengan nyaman, masih terdengar sedikit kekhawatiran di suaranya.
Alan menatapnya, Samuel menjadi sahabatnya bukan baru sehari dua hari, tapi sudah bertahun-tahun, kalaupun ada yang harus dimintai pendapat tentang masalah percintaan Alan, pria di hadapannya inilah orangnya.
Alanpun kemudian menceritakan tentang kegalauannya, tentang perasaan Vincent padanya, tentang perasaannya pada Vincent, tentang segala hal yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya.
Alan menceritakan segala keluh kesahnya pada Samuel seperti yang selama bertahun-tahun ini ia lakukan,
“Aku sudah tahu kalau Vincent menyimpan perasaan padamu..” kata Samuel di akhir cerita Alan.
“Ka.. kau tahu ?” tanya Alan sedikit terkejut.
Samuel tersenyum padanya,
“Aku sahabatmu, Alan.. aku menaruh perhatian penuh pada segala hal di sekelilingmu, aku tahu Vincent sering menatapmu diam-diam, aku tahu bahkan sebelum Aidan mengajakku mendiskusikan tentang hal ini..” jawabnya.
“A.. Aidan juga tahu tentang hal ini ?” Alan kembali bertanya dengan nada terkejut.
“Aidan juga sahabatmu, sama sepertiku, ia pun selalu mengawasi segala hal di sekelilingmu..” jawab Samuel lagi.
Alan terdiam sejenak,
“La.. lalu.. bagaimana menurutmu ?” tanyanya kemudian.
“Well,” Samuel menatap Alan lekat-lekat, “kau menyukainya ?” tanyanya serius.
Alan menunduk, tak berani menatap mata Samuel,
“A.. aku tak tahu..” jawabnya terbata.
“Apa yang kau rasakan bila sedang bersamanya ?” tanya Samuel lagi.
Alan terdiam sejenak, membayangkan kembali momen-momen kebersamaannya dengan Vincent,
Ketika Vincent menemaninya ke toko bunga, ketika mereka bersama-sama mempersiapkan pernikahan Samuel dan Gwen, ketika malam itu mereka berdua mengobrol tentang banyak hal, ketika untuk pertama kalinya ia menatap mata Vincent.
Tanpa Alan sadari ia tersenyum,
“A.. aku merasa senang..” jawabnya sambil masih tersenyum.
Samuel pun ikut tersenyum melihatnya, sudah bertahun-tahun rasanya sejak terakhir kali ia melihat sahabatnya ini tersenyum sebahagia ini.
“Kau menyukainya ?” tanyanya kemudian,
“A.. aku..” Alan kembali terbata,
“Kau menyukainya, akuilah..” potong Samuel.
Alan kembali menatap Samuel,
“Kau menyukainya, walaupun kau belum menyadarinya, tapi ya, Alan, kau menyukainya.” ulang Samuel.
“Bagaimana kau bisa yakin ?” tanya Alan.
“Karena kau tersenyum sama seperti aku tersenyum saat aku mengenang kembali kebersamaanku dengan Gwen,” jawab Samuel dengan yakin, ”dan denganmu..” sambungnya.
Alan kembali terdiam,
“Ta.. tapi bila aku menyukainya, berarti aku mengkhianati kebersamaanku dengan Liam..” katanya pelan.
Samuel tersenyum sambil menatap sahabatnya,
“Jatuh cinta pada orang lain bukan berarti kau mengkhianati kebersamaanmu dengan Liam,” katanya sambil melingkarkan lengannya di bahu Alan, ”sampai kapanpun Liam akan selalu memiliki tempat khusus di hatimu, yakinlah dengan hal itu, tak ada apapun yang bisa menggantikan tempatnya.”
Alan menatap Samuel,
“Dan aku yakin, Liam akan setuju apapun keputusanmu, karena yang terpenting baginya adalah kebahagiaanmu, bila bersama Vincent membuatmu bahagia, maka yakinlah bahwa restu Liam sudah ada di tanganmu.” sambung Samuel akhirnya.
Alan terdiam,
“La.. lalu.. apa menurutmu aku bisa bahagia bersama Vincent ?” tanyanya kemudian.
“Well, sebetulnya, tanpa ada yang tahu, beberapa hari terakhir ini aku dan Aidan sibuk mengawasi dan memperhatikan Vincent, kami ingin tahu apakah ia memang pantas untukmu atau tidak.. Aidan bahkan sudah bicara langsung dengan Vincent untuk memastikan bagaimana perasaannya yang sesungguhnya padamu, dan setelah banyak pertimbangan yang kami lakukan, kami kemudian tiba di kesimpulan,” Samuel menghela napas sejenak, “bahwa ia memang pantas untukmu.”
Alan mengangkat alisnya,
“Vincent adalah pria kedua setelah Liam yang menurutku memang pantas untukmu..” kata Samuel.
Alan kembali menatap Samuel, keyakinan tampak jelas di wajahnya, keyakinan yang sama dengan yang bertahun-tahun lalu pernah ia lihat ketika Samuel mengatakan bahwa Liam adalah pria yang bisa membahagiakannya.
Alan kemudian tersenyum,
“Raihlah kebahagiaan yang hidup tawarkan padamu, sahabatku..” kata Samuel akhirnya.
Alan menatapnya dengan haru,
Sampai detik ini pun ia tak pernah lupa mengucap syukur karena Samuel sudah hadir di tengah-tengah hidupnya, Samuel, sahabat kesayangannya inilah yang selalu ada di ketika Alan membutuhkan sesuatu, Samuel selalu ada di sisinya di tengah–tengah saat terberatnya, pun di saat paling bahagia dalam hidupnya, Samuel juga lah yang setia berada di sampingnya pasca kepergian Liam, menghiburnya, dan bersedia melakukan apapun untuk bisa membuatnya tersenyum kembali.
Saat inipun, Samuel juga lah yang sudah membuatnya semakin yakin atas perasaannya pada Vincent.
“Thanks, dude..” kata Alan,
“Anytime, buddy..” balas Samuel.
Keduanya kemudian saling tersenyum,
“Kau tahu..” kata Alan kemudian,
“Apa ?” tanya Samuel bingung,
“Hari di mana aku menyatakan perasaanku padamu di atap sekolah bertahun-tahun yang lalu,” Alan menghela napas sejenak, “adalah hari paling beruntung dalam hidupku.”
Tanpa aba-aba dan keraguan Samuel menarik Alan ke dalam pelukannya,
“Aku bersyukur... sangat sangat bersyukur karena kau sudah mau mampir ke hidupku..” kata Alan pelan di dalam pelukan Samuel,
“Aku tahu, sobat..” Samuel mengeratkan pelukannya, “aku tahu.”

€ ͢€ ͢ € ͢ €

Sementara itu, di sisi lain taman Collin dan Kenneth tampak sedang membantu para pekerja menata meja-meja untuk para tamu undangan duduk menyantap makanan setelah pemberkatan nikah,
Keduanya tampak menikmati kegiatan tersebut, terutama Collin, terlepas dari fakta bahwa Mrs. Owen masih belum mau menerimanya, kini ia bisa lega, karena, setidaknya ia tidak harus berpura-pura lagi, kini ia bisa menghabiskan waktu bersama Kenneth dengan menjadi dirinya sendiri, ia bisa dengan bebas menggenggam tangan Kenneth dan tertawa bersama pacarnya tersebut,
Kenneth tersenyum melihat pria di hadapannya,
“Sudah lama aku tidak melihat senyum manismu itu..” katanya,
Wajah Collin mendadak bersemu merah,
“Diam kau..” katanya sambil menunduk, sementara Kenneth tertawa terbahak-bahak.
Keduanya melanjutkan menata meja, sementara Kenneth masih tetap tertawa,
Masalah ibu Kenneth memang masih mengganjal di hatinya, tapi itu tidak menjadi penghambat kebahagiaannya saat ini, baginya yang terpenting saat ini adalah menghabiskan waktu bersama Kenneth selagi masih bisa,
Diam-diam Collin menatap wajah Kenneth, ia kemudian tersenyum simpul,
“Kenapa kau menatapku sambil tersenyum-senyum begitu ?” tanya Kenneth yang ternyata menyadari kelakuan Collin.
Collin tertawa kecil,
“Tidak.. tidak apa-apa..” jawabnya sambil masih tersenyum,
Kenneth mengangkat sebelah alisnya sambil menatap Collin,
“Haha.. oke.. oke.. aku hanya sedang mengagumi pacarku, puas ?” tanyanya.
“PUAS !!” kata Kenneth,
Keduanya kemudian tertawa terbahak-bahak,
“Aku pasti akan sangat merindukannya..” kata Kenneth tiba-tiba setelah berhenti tertawa,
“Merindukan siapa ?” tanya Collin, terdengar sedikit nada kecemburuan di suaranya.
Kenneth menatap Collin, wajahnya tampak sedih,
“Merindukan siapa, Kenny ??” ulang Collin.
Kenneth terdengar mengisak,
“Kenneth ?” desak Collin.
“Aku akan sangat sangat sangatt merindukan si cantik Caroline..”
“KENNETHHHH !!!!!” jerit Collin, sementara Kenneth tertawa semakin keras dan puas, Collin pun karena melihat tawa Kenneth, pelan-pelan akhirnya jadi ikut tertawa juga, Kenneth memang benar, pikirnya, mereka tidak akan pernah lagi melihat Caroline, untuk selama-lamanya.
Sementara itu, tanpa mereka sadari, Mrs. Owen tampak sedang mengamati mereka dari jendela kamar di lantai dua,
Mrs. Owen memandang Kenneth, entah kapan terakhir kali ia melihat anaknya ini tampak sebahagia ini, setetes air mata tampak mengalir di pipinya,
Ia masih tidak bisa percaya dan masih tidak bisa menerima fakta bahwa anak laki-lakinya, yang ia sayangi sama seperti ia menyayangi anak-anaknya yang lain, ternyata adalah seorang gay.
Kennethnya, anak tengahnya,
Kemarin untuk pertama kalinya ia membentak Kenneth, ia memarahinya habis-habisan,
Ia seharusnya sudah curiga dari dulu,
Samuel sudah beberapa kali mengenalkan pacar perempuannya padanya, sementara itu, Kenneth sama sekali belum pernah, kalau ia tidak memaksa, Kenneth pun pasti tidak akan mengajak Carol ke rumah beberapa tahun yang lalu,
Seharusnya ia sadar ketika Kenneth dan Carol tak juga membicarakan tentang pernikahan,
Ya, Carol,
Mrs. Owen ganti memandangi Collin yang masih sibuk menata meja, yang selama ini ia bangga-banggakan sebagai calon menantunya, yang ia kagumi kecantikan, keramahan serta kebaikan hatinya,
Impiannya selama ini adalah memiliki menantu-menantu yang cantik, ramah dan baik hati, dan Carol benar-benar masuk dalam kategori tersebut, jika ditanya apa ia kecewa ? iya, tentu saja ia kecewa, benar-benar kecewa.. ia sudah terlanjur jatuh hati pada Carol.
Mrs. Owen masih memandangi Collin dan Kenneth, yang kini masih tertawa-tawa, tampak sangat bahagia,
Tanpa ia sadari, air mata sudah mengalir lumayan deras di wajahnya,
“Apa yang harus kulakukan, Tuhan ?” tanyanya pelan,
Tok tok..
Mrs. Owen terkejut mendengar suara ketukan pintu di belakangnya,
“Ma ?” tanya Samuel yang sudah berdiri di pintu bersama Gabriella,
“Boleh kami masuk ?” tanya Gabriella,
Mrs. Owen cepat-cepat mengelap air matanya, kemudian mengangguk,
Samuel dan Gabriella berjalan mendekati ibu mereka, keduanya lalu berdiri di kiri kanan Mrs. Owen sambil ikut memandang ke bawah, ke arah Collin dan Kenneth.
“Kalian sudah lama tahu tentang ini, kan ?” tanya Mrs. Owen sambil tetap memandang Collin dan Kenneth.
“Ya.” jawab Samuel singkat,
“Maafkan kami, karena menutupinya darimu selama ini..” sambung Gabriella,
Mrs. Owen terdiam,
“Kami ingin Kenny sendiri yang memberitahu kalian..” kata Gabriella lagi,
Kenneth tertawa terbahak-bahak lagi di taman belakang,
“Apa menurut kalian ini benar ?” tanya Mrs. Owen kemudian,
Gabriella dan Samuel terdiam,
“Dia seharusnya tertawa dengan seorang perempuan, bukan dengan seorang laki-laki..” sambung Mrs. Owen, nada suaranya sedikit meninggi.
“Apa menurut Mama ini salah ?” tanya Samuel,
“Tentu saja ini salah !!” jawab Mrs. Owen dengan mantap.
“Lalu siapa menurutmu yang harus disalahkan di sini ? Kenneth ? Collin ?” tanya Samuel lagi, nada suaranyapun sedikit meninggi,
Sementara Gabriella hanya terdiam, menatap adik dan ibunya saling aduk argumen,
“Tentu saja ini salah mereka.. tidak seharusnya mereka saling jatuh cinta..” jawab Mrs. Owen, “seharusnya Kenneth sekarang sudah menikahi seorang perempuan, dan bukannya bermesraan dengan seorang laki-laki !!”
Samuel menatap ibunya, kemarahan tampak jelas di wajahnya,
“Yang mereka lakukan hanya saling mencintai.. apa itu salah ?” balasnya,
“Menurutmu apa yang akan orang-orang katakan tentang hal ini ? di mata masyarakat hal ini salah, Samuel !” Mrs. Owen tampak tak mau kalah,
Samuel terkekeh pelan,
“Aku tidak peduli apa kata orang-orang.. aku tidak peduli bila masyarakat memandang ini sebagai sesuatu yang salah..,” Samuel menatap ibunya dengan serius, “yang aku pedulikan hanyalah kebahagiaan kakakku..” sambungnya kemudian beranjak pergi, meninggalkan kakak dan ibunya yang terdiam tampak syok.
Air mata kembali membasahi pipinya, sementara Gabriella menatapnya dengan iba,
“Apa kau juga mau menceramahiku ? seperti yang adikmu lakukan ?” tanya Mrs. Owen, sambil menatap anak perempuannya,
Gabriella menggeleng pelan,
“Aku tidak akan menceramahimu..” katanya, ”aku hanya ingin kau tetap di sini, pandangi anakmu di bawah sana itu, dan pikirkan, kali ini gunakan hatimu, pikirkan mana yang menurutmu lebih penting, pendapat orang lain... atau kebahagiaan anakmu..”
Mrs. Owen terdiam, ia kembali menatap Kenneth yang masih saja tertawa bersama Collin,
“Kau lah yang sudah mengajarkan kami tentang mana yang benar dan mana yang salah,” Gabriella kembali berbicara, “sekarang giliran kami yang mengingatkanmu apa yang sudah kau ajarkan pada kami..” sambungnya.

€ ͢ € ͢ € ͢ €

Makan malam berlangsung seperti biasa, Collin dan Kenneth masih memilih tempat duduk yang paling jauh dari suami istri Owen, Samuel masih tampak cemberut, Mrs. Owen tetap diam seperti biasa, yang berbeda pada makan malam kali ini hanyalah bahwa mereka harus menambah meja dan kursi untuk Gabriella, Jordy dan kedua anak kembar mereka.
“Besok hari terakhir persiapan sebelum acara hari sabtu nanti.. apa rencana untuk besok, Sammy ?” tanya Mr. Owen.
“Well, besok aku dan Gwen akan ke bandara untuk menjemput orang tuanya, Kenneth akan ke gereja untuk mengonfirmasi kembali waktu pemberkatan dengan pastur, yang lain akan membantu menata bunga-bunga yang akan datang besok siang, sisanya tinggal menelepon katering, kue pernikahan, paduan suara, dan pemain band untuk konfirmasi.” jelas Samuel.
Mr. Owen mengangguk,
Bisa dibilang persiapannya sudah mencapai 90%,
Sesekali Alan mencuri pandang ke arah Vincent yang malam ini memilih untuk duduk cukup jauh darinya,
Tinggal satu hal lagi yang harus ia lakukan untuk benar-benar memantapkan perasaannya.
“Vincent..” panggilnya,
“Ya ?” jawab Vincent dingin,
“Besok pagi aku mau pergi sebentar, bisa gantikan aku mengurus persiapan pernikahannya sampai aku kembali ?” tanya Alan, tampak tidak perduli dengan tanggapan dingin dari Vincent,
Sementara yang ditanya tampak terdiam,
“Bagaimana ?” ulang Alan.
“Ba.. baiklah..” jawab Vincent akhirnya.
“Terima kasih..” kata Alan sambil tersenyum, sementara yang disenyumi hanya terdiam.
Alan kemudian menatap Aidan yang duduk di hadapannya,
“Kau sibuk besok ?” tanyanya,
“Kenapa ?” Aidan balas bertanya,
“Aku mau memintamu menemaniku..” jawab Alan.
“Ke mana ?” tanya Aidan lagi,
“Ke tempat kau mengirimkan surat-suratmu tiap tahun..” jawab Alan lagi, sambil tersenyum.
Aidan terdiam, tampak malu, ternyata Alan menyadarinya selama ini, pikirnya,
“Ba.. baiklah..” jawabnya kemudian,
“Terima kasih.. “ balas Alan akhirnya, sementara di ujung meja yang lain Samuel tersenyum.
Jam sembilan tepat mereka menyelesaikan acara makan malam, Gabriella pamit ke kamar duluan untuk menidurkan anak-anaknya, sementara yang lain satu per satu meninggalkan meja makan dan mulai sibuk dengan urusan masing-masing.
Mrs. Owen beranjak menuju dapur untuk mulai mencuci piring-piring kotor,
Ia sedang membuang sisa-sisa makanan ke tempat sampah ketika Kenneth muncul di dapur,
Hanya ada mereka berdua di situ,
Kenneth berdiri canggung di pintu yang menghubungkan dapur dengan taman belakang,
“Bi.. biar aku saja yang mencuci, Ma..” katanya takut-takut.
“Tidak usah.” jawab ibunya dingin tanpa menatapnya.
Sementara itu, di ruang tamu, tak jauh dari situ tampak Collin tengah berdiri, mendengarkan.
“Tidak apa-apa... biar aku saja..” kata Kenneth lagi, sambil berusaha tersenyum.
Mrs. Owen terdiam sambil masih meneruskan membuang sisa makanan.
Kenneth berjalan mendekat secara perlahan, kemudian berhenti tepat di sebelah ibunya.
“Ma..” bisiknya,
Mrs. Owen masih tidak menggubrisnya,
“Ma.. kumohon..” kata Kenneth, kali ini dengan suara yang lebih keras.
Mrs. Owen akhirnya menghentikan aktivitasnya, ia terdiam sejenak, kemudian menatap Kenneth,
“Terserah kau saja..” katanya, lalu melempar piring yang baru setengah ia bersihkan ke westafel, kemudian beranjak pergi, meninggalkan Kenneth yang hanya bisa berdiri sambil menunduk di sebelah westafel.
Kenneth kemudian mengambil piring yang tadi dilempar ibunya kemudian mulai mencucinya dalam diam,
Sepanjang umurnya, baru tadi Ibunya membanting barang di hadapannya, dan kemarin itu adalah pertama kalinya juga ia dimarahi habis-habisan sampai dibentak oleh wanita yang ia sayangi itu, air mata menetes ke atas piring yang sedang dicucinya, ia merasa sudah gagal menjadi seorang anak yang patut dibanggakan, ia merasa benar-benar sudah mengecewakan ibunya, betapa susah bagi orang-orang sepertinya untuk bisa bahagia.
Sementara itu di ruang tamu Collin hanya bisa menatap pacarnya dalam diam, guratan kesedihan yang tadi siang sempat absen kembali terlihat di wajahnya, masalah dengan ibu Kenneth yang sempat ia lupakan mau tak mau kembali memenuhi pikirannya.

Pemakaman itu tampak sepi,
Hanya ada Alan dan Aidan, tengah berdiri di depan makam yang bertuliskan William Ferdinand Chen.
Pagi-pagi sekali keduanya sudah berangkat dari rumah keluarga Owen, dan sekarang di sinilah mereka, di hadapan makam pacar dan juga sahabat yang rajin mereka datangi setiap ada kesempatan.
Alan tersenyum lemah,
“Hey..” katanya pelan, sambil menatap nisan di hadapannya,
Suasana tampak hening,
Alan kemudian berjongkok sambil mengeratkan jaketnya, udara pagi di bulan ini memang sangat dingin, apalagi di lahan terbuka seperti pemakaman.
“Apa kabar ?” tanyanya pelan.
Aidan masih berdiri diam sambil ikut mengeratkan jaketnya,
“Kau pasti kaget karena kami datang bersama..,” lanjut Alan, “biasanya kan kami datang sendiri-sendiri..”
Alan menghela napas sejenak,
“Aku ingin melakukan ini di depan sahabatmu, seperti sore itu, ketika untuk pertama kalinya kita bertiga ngobrol bersama-sama, saat kau sedang di rumah sakit..”
Alan tersenyum sejenak,
“Kau pasti sudah tahu maksud kedatangan kami ke sini, kan..” katanya lagi.
Alan menatap batu nisan yang bertuliskan nama pacarnya tersebut, ia kemudian mengelusnya pelan,
“Aku tidak tahu harus mulai dari mana..” katanya sambil menunduk, “aku bahkan tidak tahu apa yang kulakukan ini benar..” katanya lagi,
Nisan Liam menancap kokoh dalam diam, sementara Aidan masih tetap berdiri, tampak memperhatikan,
Alan menatap nisan di hadapannya itu cukup lama, ia sedang berusaha memantapkan hatinya untuk yang terakhir kali, Alan ingin melakukannya dengan benar,
“Aku menyukainya, Liam..” kata Alan akhirnya, “Aku menyukai Vincent..” sambungnya.
Alan masih menatap nisan Liam seolah-olah ia sedang bicara berhadap-hadapan dengan pacarnya itu,
Alan tersenyum kecil,
“Ketika bersamanya, aku merasa seperti sedang bersamamu..” katanya, sambil kembali mengelus nisan Liam,
“Kau tahu, kan.. aku sedang sibuk mengurus pernikahan Sammy dan Gwen ? well, Vincent lah yang selama ini banyak membantuku, sama seperti dulu kau membantuku mengurusi acara natal..” lanjut Alan.
Aidan kemudian ikut berjongkok di sebelah Alan,
“Aku merasakan sesuatu yang berbeda padanya, tidak seperti yang lain yang selama ini mencoba mendekatiku..”
Alan terdiam sejenak,
“Dia mirip sekali denganmu, Li.. andai saja kau sempat bertemu dengannya, kalian pasti akan cocok satu sama lain..” katanya sambil tersenyum,
Alan kemudian terdiam lagi, senyumannya perlahan-lahan memudar.
“Aku tahu ini terdengar egois..” Alan melanjutkan lagi, ia menghela napas sejenak, berusaha mengumpulkan kekuatan sebanyak mungkin,
“tapi ijinkanlah aku memulai kisah bersamanya..”
Air mata mulai mengalir di pipinya secara perlahan,
“A.. aku mencintainya, Liam.. aku mencintainya sebesar aku mencintaimu..” lanjut Alan di tengah isakannya,
Nisan Liam diam tak bergeming,
Aidan mengusap bahu Alan perlahan, mencoba menenangkan,
Kini gantian ia yang menatap nisan di hadapannya tersebut,
“Well, kau sudah mendengarnya kan, kawan ?” katanya sambil ikut mengusap nisan Liam dengan lembut,
“Alan meminta ijin padamu untuk bisa menyambut kebahagiaannya..” lanjut Aidan sambil tersenyum,
“Kau juga menyadarinya, kan, kalau ia sudah terlalu lama terpuruk dalam kesedihan atas kepergianmu.. sudah terlalu lama ia menyiksa dirinya sendiri demi menjaga agar hatinya tetap milikmu seutuhnya,” senyuman di wajah Aidan perlahan-lahan menghilang,
“Kini ia akhirnya bisa bangkit dan mulai mencoba untuk meraih kebahagiaan baru..” Aidan menatap nisan Liam lekat-lekat,
“Ikhlaskanlah Alan untuk bisa bebas meraih kebahagiaannya, kawan..” katanya akhirnya,
Alan masih terisak di sebelahnya, sambil tetap menatap nisan Liam,
“Kalau kau masih ragu apakah Alan bisa bahagia bersama Vincent atau tidak, kau tidak usah khawatir,” lanjut Aidan lagi, “aku yang akan menjamin bahwa mereka akan bahagia.”
“Kau bisa pegang kata-kataku..” kata Aidan akhirnya, sementara Alan tersenyum kecil di sampingnya,
“Kau juga tidak usah khawatir Alan akan melupakanmu,” Aidan terdiam sejenak, “karna ia tidak akan pernah.. akan selalu ada tempat khusus di hatinya untukmu..”
Alan mengangguk kecil,
Keduanya kemudian terdiam sambil masih menatap nisan di hadapan mereka, mencoba merasakan kehadiran Liam,
Udara pagi kembali membelai Alan dan Aidan, membuat keduanya semakin mengeratkan jaket yang mereka gunakan, sementara nisan Liam masih menancap kokoh tak bergeming, seolah-olah sedang menatap kedua pria di hadapannya,
Aidan lalu menatap Alan,
“Bagaimana ?” tanyanya,
Alan balas menatap pria di sebelahnya itu, ia kemudian tersenyum, lalu mengangguk,
Tujuan utamanya ke sini untuk meminta restu pada Liam sudah tercapai, ia yakin, walaupun Liam tidak bicara langsung padanya, Alan yakin sepenuhnya bahwa Liam sudah merestuinya, karena, seperti yang dikatakan Samuel padanya kemarin, yang terpenting bagi Liam adalah kebahagiaan Alan, apapun dan siapapun yang ada di sampingnya, kini ia sudah benar-benar yakin dengan perasaannya pada Vincent.
Keduanya kemudian kembali menatap nisan Liam,
“Well, kami harus pamit sekarang, Li.. hari ini hari terakhir persiapan sebelum acara pernikahan Samuel dan Gwen besok.. masih banyak yang harus kami persiapkan.. doakan semoga acaranya bisa berjalan dengan lancar tanpa hambatan..” kata Aidan akhirnya, ia dan Alan kemudian bangkit berdiri,
“Sampai jumpa lagi, Liam.. di kesempatan berikutnya aku akan mengajak Vincent ke sini, agar kau bisa menilai sendiri, apa dia pantas untukku atau tidak..” kata Alan sambil tersenyum.
Keduanya menatap nisan Liam untuk yang terakhir kalinya, sebelum akhirnya mereka berbalik dan meninggalkan nisan tersebut.

€ ͢ €͢ € ͢ €

Sementara itu di rumah keluarga Owen,
Collin tampak sedang berdiri sendirian di beranda kamarnya,
Ia menatap kosong ke arah taman belakang yang kini dipenuhi para pekerja dan anak-anak yang lain yang sedang sibuk menyematkan lavender dan mawar putih di mana-mana, di kursi para tamu, di meja makan, di altar, di mana-mana.
Ia menghela napas tampak lelah, ia teringat kembali pada kejadian tadi malam, apa ia masih pantas berada di sini, tanyanya dalam hati, tinggal masalah waktu sampai ibu Kenneth mengusirnya dan melarangnya menghadiri pernikahan Samuel dan Gwen.
Ia menutup matanya, ia harus siap jika kemungkinan itu terjadi, bahkan, ia baru saja menyadari kemungkinan yang lebih buruk dari itu, bagaimana jika Kenneth ikut diusir dari rumah ?
TIDAK ! itu tidak boleh terjadi, jangan hanya karena hubungan mereka Kenneth jadi harus pergi dari rumahnya, ia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi, ia tahu bahwa Kenneth sangat menyayangi keluarganya, terutama ibunya, Kenneth pasti akan sangat menderita bila harus pergi meninggalkan rumahnya,
Collin menghela napas sejenak, kini sudah tiba saat baginya untuk mulai bertindak, ia harus bicara dengan ibu Kenneth, berdua, Collin akan mencoba meyakinkan Mrs. Owen akan hubungannya dengan Kenneth, ia akan berusaha semaksimal mungkin meminta restu dari ibu Kenneth, kalaupun seandainya tidak berhasil, setidaknya ia akan berusaha agar Kenneth tidak sampai diusir dari rumah.
Collin sudah berbalik untuk mendatangi Mrs. Owen ketika langkahnya terhenti, ia terpaku di tempatnya karena orang yang mau ia datangi sudah berdiri di hadapannya.
Keduanya saling tatap sejenak, Collin terdiam, tidak bisa membaca ekspresi wajah wanita di hadapannya tersebut.
“Tan… tante.. “ sapanya canggung, sambil berusaha tersenyum, sementara yang disapa tetap diam, tekad yang tadi sudah bulat kini menghilang entah ke mana,
“Kau sibuk ?” tanya Mrs. Owen.
“Ap.. aku.. ti.. tidak, tante..” jawab Collin terbata.
“Ikut aku sebentar..” kata Mrs. Owen, dengan nada sedikit memerintah, sambil berjalan tanpa menunggu Collin.
Collin mengangguk pelan kemudian mengikuti Mrs. Owen dari belakang dengan takut-takut.
Ada apa ini, tanyanya dalam hati, tiba-tiba saja Mrs. Owen mengajaknya bicara,
Mrs. Owen berjalan masuk ke dalam kamar tamu yang ia tempati bersama suaminya, sementara Collin mengikuti dari belakang, ia berhenti di pintu, sementara wanita tersebut berjalan menuju lemari baju kemudian membukanya.
Collin masih terdiam, tidak berani angkat suara, hanya memandangi wanita di hadapannya yang mengeluarkan sebuah jas dari dalam lemari, memandang jas tersebut sejenak sambil tersenyum singkat, kemudian berjalan mendekati Collin sambil menenteng jas itu,
Mrs. Owen menatap Collin, tampak seperti sedang menilai, sementara yang ditatap hanya bisa menunduk takut,
“Kutebak, mereka memberimu gaun untuk acara pernikahan Sammy..” katanya,
Collin tersenyum takut-takut sambil mengangguk pelan.
Rencana awalnya memang ia akan datang sebagai Carol, jadi Samuel dan Gwen menyiapkan gaun untuknya, bukannya jas.
Mrs. Owen memandangi jas di tangannya lagi sambil kembali tersenyum,
“Ini jas yang digunakan ayah Kenneth saat ia menikahiku dulu,” katanya pelan, “tadinya aku ingin kalau tidak Samuel, Kenneth yang menggunakan jas ini..”
Collin menatap jas di tangan Mrs. Owen, kalau mendengar ceritanya barusan, umur jas ini pastilah sudah cukup tua, walau begitu warnanya masih tetap hitam sempurna, tidak terlihat kusam, terlihat sekali kalau jas ini dirawat dengan baik.
“Jas yang bagus.. pasti akan co.. cocok jika dipakai Kenneth.” katanya sambil masih takut-takut.
Mrs. Owen kembali menatapnya,
“Aku ingin kau memakai jas ini di pernikahan Samuel.” katanya.
“Ap.. apa ?” tanya Collin tidak percaya.
Mrs. Owen menyodorkan jas tersebut pada Collin.
“Selamat datang di keluarga kami.” katanya sambil tersenyum.

€ ͢ € ͢ € ͢ €

Menjelang sore taman belakang baru benar-benar selesai didekor, altar sudah terpasang sempurna, kursi-kursi tamu undangan, meja-meja untuk makanan, peralatan band, serta tempat untuk paduan suara semuanya sudah ditempatkan di tempatnya yang sesuai, lengkap dengan hiasan bunga lavender dan mawar putih di mana-mana,
Sementara orang tua Gwen baru tiba sejam sebelum makan malam, terjadi keterlambatan penerbangan pesawat alasan mereka, keduanya adalah tipikal orang tua yang kurang lebih sama seperti Mr. dan Mrs. Owen, begitu bertemu keempatnya langsung akrab satu sama lain.
Dan yang terakhir pulang hari itu adalah Kenneth, ia baru tiba beberapa saat setelah makan malam beres, para penghuni sudah bubar dan sibuk dengan urusannya masing-masing,
Kenneth menemukan Daniel dan Thessa di dapur, keduanya kebagian jadwal cuci piring malam itu,
“So late ?” tanya Daniel begitu ia melihat Kenneth muncul di dapur,
Kenneth mengangguk sambil duduk di salah satu kursi makan, tampak kelelahan,
“Pastur Leo sedang tidak ada di gereja tadi, jadi aku terpaksa harus menunggunya sampai ia kembali..” jawabnya.
“Sudah makan malam ?” tanya Thessa.
“Pastur memintaku menemaninya makan malam tadi, karena memang belum makan dari siang ya kuterima saja ajakannya..” jawab Kenneth.
Thessa mengangguk sambil kembali meneruskan kegiatannya membantu Daniel mengeringkan piring-piring yang sudah dicuci.
“Collin mana ?” tanya Kenneth sambil menengok kiri kanan, mencari pacarnya,
“Sedang istirahat di kamarnya sepertinya..” jawab Thessa.
Kenneth mengangkat kedua alisnya, tampak heran,
“Tumben sekali ia tidur cepat..” katanya, masih dengan nada heran.
“Mungkin ia kelelahan..” jawab Daniel, “setelah seharian menemani Ibumu jalan-jalan..” sambung Daniel sambil menoleh ke arah Kenneth.
“Menemani siapa jalan-jalan ???” tanya Kenneth kaget.
“Ibumu.” jawab Daniel, ia dan Thessa menatap Kenneth.
“Collin dan Ibuku ?” tanya Kenneth lagi, tidak percaya.
Daniel dan Thessa mengangguk,
Sontak Kenneth langsung berdiri dan berlari meninggalkan dapur menuju ke lantai atas, meninggalkan Daniel dan Thessa saling bertukar pandang dalam diam.
Collin bersama dengan ibunya ? tanya Kenneth dalam hati, masih bingung.
Ia tiba di depan kamar Collin, sambil mengatur napasnya ia membuka pintu kamar tersebut perlahan,
Kenneth melihat Collin sedang tertidur pulas di tempat tidurnya, Ia memandanginya selama beberapa saat, mencoba memastikan bahwa pacarnya itu baik-baik saja.
Kenneth menghela napas lega, setelah yakin bahwa Collin benar-benar baik-baik saja,
Ia terdiam sejenak di depan kamar Collin, masih mencoba mencerna berita bahwa Collin baru saja menghabiskan waktu seharian bersama ibunya.
Kenneth lalu menutup pintu kamar perlahan, kemudian beranjak pergi mencari ibunya tersebut,
Kenneth menemukan ibunya di beranda atas, tengah berdiri sambil menghadap ke arah taman belakang, membelakangi dirinya.
Kenneth mengatur napasnya sebentar, meneraturkan iramanya yang berantakan setelah berlari.
Ia kemudian berjalan perlahan mendekati ibunya yang masih belum menyadari kehadirannya,
“Ma..” sapanya pelan.
Wanita di hadapannya tidak bergeming sama sekali, masih tetap berdiri membelakangi dirinya.
Kenneth akhirnya tiba di sebelah ibunya, ia menatap wanita paruh baya yang ia sayangi tersebut dengan takut-takut.
“Collin..” bisik Kenneth pelan.
“Apa dia sudah tidur ?” tanya ibunya akhirnya, dengan masih tidak menatap Kenneth.
Kenneth sedikit terkejut ditanya demikian,
“Ahh.. i.. iya.. sudah..” jawabnya terbata.
“Dia pasti kelelahan sekali setelah seharian menemaniku jalan-jalan..” kata Mrs. Owen lagi.
“Ma..” ulang Kenneth, kembali dengan nada takut.
Mrs. Owen kembali terdiam, masih belum menatap anaknya, sesaat Kenneth tampak ragu, tapi kemudian ia memantapkan hatinya, inilah saatnya ia memperjuangkan cintanya.
“A.. aku.. aku mau minta maaf..” kata Kenneth akhirnya.
Wanita di sebelahnya itu masih tetap diam,
“Maaf sudah mengecewakanmu… “ Kenneth masih menatap ibunya,
“Maaf tidak bisa mengikuti kehendakmu…
maaf tidak bisa menjadi anak yang pantas kau banggakan…
maaf…”
Kenneth terdiam sejenak,
“atas pilihan hidup yang sudah kubuat.”
Kenneth menatap ibunya dengan serius, jantungnya berdebar kencang, belum pernah ia merasa segugup ini dalam hidupnya.
Keheningan menyeruak cukup lama, Kenneth masih terus menatap ibunya, menunggu respon,
“Kau tahu..” Mrs. Owen akhirnya bersuara, masih belum menatap anaknya tersebut,
“Selama ini aku dan Ayahmu bekerja keras demi memenuhi semua kebutuhanmu dan saudara-saudaramu…” ia terdiam sejenak, “kami berusaha semampu kami untuk bisa menjamin kesejahteraan kalian, apa yang kalian butuhkan, apa yang kalian inginkan, sepanjang kami bisa, kami pasti akan memenuhinya..”
Kenneth masih terdiam sambil tetap menatap ibunya, matanya mulai berair tanpa ia sadari,
“Semua kerja keras dan pengorbanan kami, semata-mata hanya agar kalian bisa bahagia..” lanjut ibunya lagi,
Air mata semakin deras mengalir di pipi Kenneth,
Wanita tersebut akhirnya berpaling menatap anaknya yang sudah bersimbah air mata,
“Apa kau bahagia bersamanya ?” tanyanya sambil mengelus pipi anak laki-lakinya tersebut,
Kenneth mengangguk sambil masih terisak,
Ya. Satu-satunya sumber kebahagiaannya di dunia ini adalah kebersamaannya dengan Collin.
“Jika Gabriella dan Samuel diijinkan untuk bisa bahagia dengan pilihan hidup mereka..” Ibu Kenneth mulai ikut terisak, tak ada seorangpun Ibu yang tidak ikut menangis bila melihat anaknya menangis, “maka kaupun pantas untuk mendapatkan kebahagiaan yang sama.”
Kenneth mendekap tangan ibunya yang masih mengelus pipinya, keduanya kemudian berpelukan sambil menangis bersama.


to be continued

next page

0 comments:

Post a Comment