DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



The Wedding Page 2

Page 2
by GoodFriend

Teman-teman sekolah Gwen terdiri dari lima orang, tiga wanita dan dua pria.


Yang pertama ada Monica, wanita berambut merah pendek ini hobi sekali bicara, suaranya keras dan pecah, dialah yang tadi berbisik keras kalau Samuel manis, sifatnya yang cuek dan blak-blakan dalam bicara membuat anak-anak yang lain menyukainya,


Yang kedua namanya Loraine, tapi si empunya nama lebih suka dipanggil Lo’, dari sekali lihat orang sudah bisa menebak kalau wanita yang satu ini tomboy, mulai dari cara berpakaian dan sikapnya menunjukan sekali sifat urakan khas laki-laki.


Wanita yang ketiga Cornelia, rambutnya pirang panjang dan lurus sempurna, teman-temannya menjulukinya Barbie, karena penampilannya memang mirip sekali dengan boneka terkenal tersebut, dari tatapannya tampak sifat angkuh khas seorang tuan putri, tapi bagi siapapun yang sudah mengenalnya dengan dekat tahu bahwa dirinya tidak seangkuh kelihatannya.


Teman Gwen yang keempat, seorang pria bernama Greg, dari wajahnya yang unik sudah dapat dipastikan bahwa pria ini adalah seseorang yang memiliki sifat humoris dan suka bercanda, ia juga banyak bicara, sama seperti Monica.


Dan yang terakhir adalah pria dengan warna mata hijau kebiruan dan berambut hitam yang tadi sempat bertatapan dengan Alan, namanya Vincent, dari sejak awal tiba ia jarang sekali terlihat bicara, hanya sesekali terlihat tersenyum, membuatnya tampak misterius.


Kelimanya kini sedang berada di taman belakang, menyantap makan malam mereka bersama anak-anak yang lain sambil mengobrol.
“Jadi, jadwal acara untuk besok sudah dibuat, rencananya kami akan fitting baju pengantin, karena kami pesan bajunya di dua tempat yang berbeda, jadi besok para perempuan akan menemaniku, sementara yang laki-laki akan menemani Sammy..” kata Gwen, sementara anak-anak yang lain mengangguk.
“Ah iya, bagaimana dengan kue pengantinnya, aku harus melihat modelnya untuk menyamakan dengan desain tempatnya nanti.” kata Alan di tengah santapannya, ia bertanggung jawab dalam mendesain area pernikahan Samuel dan Gwen.
“Lusa aku akan ke toko kue itu lagi untuk mengkonfirmasi pesanan, kau bisa ikut denganku nanti..” kata Gwen.
Alan mengangguk, sesaat ia bertemu pandang dengan Vincent yang duduk di seberangnya, ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain,
“Baiklah kalau begitu, besok jam delapan pagi kita sudah berangkat, aku mau menunjukan kamar untuk kalian, Monic, Greg, kalian ikut aku..” kata Gwen lagi sambil berdiri, diikuti Monica dan Greg yang memang sudah selesai menyantap makan malam mereka, ketiganya kemudian beranjak menuju ke dalam rumah sambil menyeret koper-koper bawaan teman-teman Gwen, sementara anak-anak yang lain melanjutkan makan malam mereka.
“Jadi, apa yang membuatmu mengubah warna rambutmu, Sammy ?” tanya Kenneth di tengah usahanya mengunyah makan malamnya, “pernikahannya kah ? agar para tamu undangan tidak keliru mengira aku sebagai mempelai prianya ?”
Anak-anak yang lain tertawa mendengar perkataan Kenneth,
“Itu salah satu alasannya..” jawab Samuel, membuat tawa anak-anak semakin keras.
“Diantara kalian siapa yang lebih tua ?” tanya Lo’.
“Aku. Sammy adikku.” jawab Kenneth.
“Bagaimana rasanya menjadi anak kembar ? pasti menyenangkan, ya.. apa kalian pernah berebut wanita ?” tanya Lo’ penasaran.
Samuel dan Kenneth saling pandang, sesaat kemudian keduanya tertawa, diikuti anak-anak yang lain.
“Tidak pernah.” jawab Samuel singkat.
“Tidak pernah sama sekali ?” tanya Lo’ tambah penasaran.
Samuel dan Kenneth menggeleng mantap.
“Tentu saja tidak, mereka kan sudah punya pacar masing-masing yang sama-sama cantik..” kata Cornelia ikutan.
“Ah iya benar..” kata Lo’.
Sebenarnya bukan itu alasannya, anak-anak yang lain tahu benar bahwa Kenneth tidak menyukai wanita, jadi tidak mungkin ia akan berebut dengan Samuel.
“Kalian sudah menikah ?” tanya Lo’ pada Kenneth dan Carol.
Keduanya saling tatap kebingungan,
“Be.. belum..” jawab Carol terbata.
“Belum ? kupikir karena kau lebih tua dari Samuel, jadi kau sudah menikah duluan.. ternyata belum, ya ?” tanya Lo’ pada Kenneth.
Kenneth hanya menggeleng sambil melanjutkan menyantap makan malamnya dengan diam.
“Jadi, kapan kalian akan menyusul ?” tanya Lo’ lagi.
Anak-anak yang lain langsung terdiam mendengar pertanyaan Lo’,
“Me.. menyusul ?” tanya Carol pura-pura bodoh.
“Ya. kapan kalian akan menikah menyusul Samuel dan Gwen ?” ulang Lo’.
Carol dan Kenneth saling tatap lagi, keduanya sama-sama tidak tahu harus menjawab apa.
“Kakakku ini seorang pecinta kerja, prinsipnya adalah mengumpulkan uang dulu baru menikah, beda denganku yang serba ingin buru-buru..” kata Samuel berusaha menyelamatkan kakaknya.
Cornelia dan Lo’ mengangguk, sementara Kenneth dan Carol menatap Samuel dengan tatapan penuh terima kasih.
“Kapan lagi kau akan pulang ke rumah Aidan, aku ingin ikut, aku mau mengunjungi paman dan bibi sekaligus memberi salam..” kata Daniel dari sisi meja yang lain, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Entahlah, mungkin lusa..” jawab Aidan.
Paman dan bibi yang Daniel maksud adalah orang tua Liam yang tinggal di sebelah rumah Aidan.
Alan menatap Daniel sambil tersenyum kecil, setidaknya dengan menatap wajah Daniel sudah bisa mengobati kerinduan Alan terhadap pacarnya, Liam, yang lima tahun lalu meninggal karena kecelakaan motor.
Tanpa Alan sadari, Vincent juga diam-diam memandangi Alan dari sebrang meja.


Esok harinya,
Seusai sarapan para wanita langsung pergi menemani Gwen untuk fitting gaun pengantin, sementara para prianya menemani Samuel di toko jahit pakaian yang lain, Collin terpaksa harus mengikuti rombongan para wanita, karena selama ia di sini hingga acara pernikahan berakhir ia mau tak mau harus terus dalam penampilan Carol.
“Bagaimana menurut kalian ?” tanya Gwen yang baru keluar dari kamar ganti, saat ini ia dan para wanita sudah berada di tempat Gwen memesan baju pengantinnya.
Para wanita menatap takjub pada Gwen yang sedang mencoba gaunnya, warna dasar gaun tersebut adalah broken white dengan sedikit hiasan berupa bunga-bunga kecil warna ungu muda di bagian pinggang dan ujung bawah gaun, di bagian dadanya terdapat hiasan manik-manik kecil yang berkilauan.
Lo’ dan Rea bertepuk tangan saking takjubnya.
“Indah sekali, Gwen..” kata Thessa.
“Gaun pernikahan tercantik yang pernah kulihat..” tambah Cornelia.
Gwen tersenyum mendengar pujian dari teman-temannya, ia berputar sekali sambil berpose.
“Kau benar-benar akan tampak sangat cantik pada hari pernikahanmu nanti, maksudku, dengan pakaian sehari-hari saja kau sudah sangat cantik, apalagi dengan menggunakan gaun ini..” kata Lo’.
“Tentu saja aku akan kelihatan cantik, itu kan hari terbesar dalam hidupku, aku harus mengusahakan yang terbaik untuk bisa jadi yang paling cantik, apalagi kan ada Carol, bisa-bisa aku dikalahkan olehnya nanti..” kata Gwen sambil melirik usil pada Carol, bahkan walaupun sudah mengetahui bahwa Carol adalah laki-laki Gwen tetap saja iri pada kecantikannya.
Carol hanya terdiam sambil cemberut, ia masih sebal karena harus berpakaian wanita selama seminggu penuh.
“Ya benar, kecantikanmu itu kelewatan, Carol.. untung aku tidak bawa pacarku ke sini, bisa-bisa dia berpaling padamu nanti..” tambah Monica, membuat anak-anak yang lain tertawa mendengarnya.
“Ya aku tahu, aku saja merasa berdosa karena bisa secantik ini..” kata Carol dengan tampang yang masih cemberut.
Thessa tertawa terpingkal-pingkal sampai mengeluarkan air mata mendengar perkataan Carol, dia tahu betul maksud tersembunyi di balik kata-kata tersebut.
“Sudah-sudah.. kita sedang menyiapkan pernikahanku, kan ? seharusnya aku yang lebih banyak dipuji..” kata Gwen yang ikut tertawa mendengar perkataan Carol barusan.
Carol masih tetap cemberut, ia benar-benar tidak nyaman dengan penampilannya saat ini, tapi ia tahu ini merupakan konsekuensi yang harus ia jalani karena hubungannya dengan Kenneth, terkadang ia merasa benci pada dunia yang selalu mempersulit orang-orang dengan orientasi seksual khusus seperti dirinya, Kenneth, Alan dan Liam.
Sementara itu di tempat lain Samuel juga sedang fitting baju pengantinnya, jas dan celana katun hitam, kemeja dengan warna yang sama dengan gaun pengantin Gwen dan rompi warna ungu muda, simpel tapi terlihat elegan.
“Lihat dirimu, Sammy.. aku tak menyangka akhirnya tiba juga hari di mana aku bisa melihatmu dengan penampilan segagah ini..” kata Kenneth.
“Biasanya aku jarang mengatakan ini pada laki-laki, tapi kau terlihat tampan..” kata Daniel.
“Terima kasih.” kata Kenneth.
“Aku tidak sedang memujimu, bodoh..” kata Daniel.
“Well, wajahku dan Sammy kan sama, jadi kalau kau memujinya tampan berarti kau juga sedang memujiku..” kata Kenneth enteng.
“Terserah kaulah.. aku tidak mengerti bagaimana cara kerja otak orang-orang bodoh sepertimu..” balas Daniel sama entengnya.
Pertemuan pertama Kenneth dan Daniel pada saat mereka masih duduk di bangku sekolah dulu memang dipenuhi dengan perkelahian dan pertengkaran karena keduanya sama-sama menyukai Carol, keduanya saling berebut untuk bisa mendapatkan hati Carol, tetapi mereka akhirnya berdamai setelah Daniel berhenti menyukai Carol ketika ia mengetahui bahwa pelayan cafe yang ia sukai tersebut sebenarnya adalah laki-laki.
Tapi biarpun sudah berdamai keduanya masih saja hobi saling mencela satu sama lain, namun begitu keduanya tampak menikmati hal tersebut.
“Tapi serius, kau memang terlihat tampan dengan jas itu Sam, aku jadi mengerti kenapa dulu Alan begitu tergila-gila padamu.”
“Apa ?” tanya Greg bingung mendengar perkataan Aidan barusan.
“Bukan apa-apa.” kata Aidan cepat begitu ia dipelototi oleh Alan.
Dulu Alan sempat suka pada Samuel sebelum keduanya akhirnya menjadi sahabat, ia bahkan sampai menyatakan perasaannya langsung pada Samuel, tapi karena Samuel adalah seorang laki-laki normal dan pada saat itu ia sudah menyukai Gwen ia akhirnya menawarkan persahabatan pada Alan sebagai gantinya.
“Kau dan Kenneth memang pria-pria paling beruntung di dunia, memiliki wajah tampan, pekerjaan bagus, pacar yang cantik.. benar-benar membuat iri saja, sebaiknya kau cepat-cepat menikahi Carol, Ken, kalau tidak mau diambil orang.. apalagi umurmu sudah cukup untuk mulai berkeluarga.” kata Greg lagi.
Kenneth hanya terdiam mendengar perkataan Greg, sebenarnya ketika pertama kali ia mendengar rencana adiknya untuk menikah ia juga jadi mulai kepikiran tentang hal tersebut, Gabriella sudah menikah, Samuel akan menyusul, yang tersisa tinggal dirinya, cepat atau lambat orang tuanya pasti akan mendesaknya untuk menyusul juga, terutama ibunya yang sudah sangat menyetujui hubungannya dengan Carol, tanpa tahu bahwa Carol sebenarnya adalah laki-laki.
Pernikahan adalah masalah utama yang dialami oleh pria-pria dengan umur dan orientasi seksual seperti Kenneth, akan muncul dilema ketika keluarga dan lingkungan mulai mendesak untuk menikah sementara hubungan yang dijalani ditentang oleh masyarakat dan kultur di sebagian besar tempat.
Kenneth tahu bahwa saat ini pasti akan tiba, tidak pernah terpikir sama sekali olehnya untuk menikah dengan seseorang, bahkan dengan Collinpun tidak, tapi jika ditanya ingin menikah dengan siapa dan kalaupun ia memang HARUS menikah, Kenneth tentu akan memilih Collin untuk menemaninya menjalani sisa hidupnya, ia mencintai Collin dengan sepenuh hatinya, kalau ia ingin mempertahankan hubungannya dengan Collin satu-satunya cara adalah dengan mengatakan yang sebenarnya pada orang tuanya, ia tak bisa selamanya menipu orang tuanya dengan penyamaran Collin, suatu saat keduanya pasti harus memberitahukan kebenarannya, tapi saat ini Kenneth belum siap untuk hal tersebut.
Kenneth menatap Alan, keduanya saling tatap suram, nasib Alan tak jauh berbeda dengan nasibnya, walaupun sepertinya Alan sudah memutuskan untuk terus menjalani hidup dalam kesendirian sampai ia mati nanti.
Alan sudah tak ambil pusing masalah pasangan hidup, ia cukup menikmati kehidupannya yang sendirian seperti sekarang, ia menikmati disibukkan oleh pekerjaannya, ia menikmati memanjakan dirinya sendiri, kalau ia kesepian ia tinggal menghubungi Samuel atau Aidan yang akan selalu siap dua puluh empat jam untuk menemaninya, ia tidak merasa membutuhkan seorang pacar saat ini, akan butuh usaha yang sangat besar untuk bisa membuatnya jatuh cinta lagi.
“Kalian tunggu saja, sebentar lagi aku dan Rea akan menyusul kalian.” kata Aidan tidak mau kalah.
“Yeah, aku dan Thessa juga..” tambah Daniel.
“Kalian ini membuat pria-pria yang masih sendiri jadi iri saja..” kata Greg.
“Kau salah satunya ?” tanya Samuel.
“Enak saja, jangan bicara sembarangan, biar tampangku pas-pasan begini tapi aku sudah punya pacar, lain lagi dengan Vincent, padahal dia tampan dan keren, tapi pacaran saja belum pernah..” kata Greg sambil nyengir ke arah Vincent yang duduk di sebelahnya, “jangan marah, kawan, aku hanya memotivasimu untuk mulai mencari..”
“Tapi sepertinya aku bukan satu-satunya pria kesepian di ruangan ini, kau bagaiamana, Alan ? aku tidak melihat pacarmu..” kata Vincent sambil menatap Alan yang duduk di hadapannya.
Anak-anak yang lain terdiam mendengar pertanyaan Vincent,
“A.. aku belum punya pacar..” jawab Alan pelan.
“Kau serius ? padahal kau juga tampan..” kata Greg dengan ekspresi kaget berlebihan.
“Yeah, tampang bukan jaminan, kan..” kata Vincent.
“Banyak yang menyukai Alan, tapi dianya saja yang tidak mau memilih..” sindir Aidan.
Alan melotot lagi pada sahabatnya tersebut,
“Jangan marah, kawan.. aku hanya memotivasimu.” sambung Aidan dengan entengnya mengulang perkataan Greg.
Sebenarnya Aidan sedikit kesal pada Alan, banyak perempuan dan juga laki-laki yang terang-terangan mengatakan bahwa mereka menyukai Alan, tapi Alan tidak pernah mau mulai membuka hatinya, Aidan kesal karena Alan terus-menerus tenggelam dalam kesedihannya atas kepergian Liam, padahal hidup harus terus berjalan, kalau ia saja bisa mulai melangkah dan tidak berlarut-larut dalam kesedihan seharusnya Alan juga bisa.
Aidan begitu menyayangi Alan, ia ingin melihat Alan bisa bahagia dengan orang lain, ia benar-benar berusaha keras untuk bisa membuat pria yang dulu pernah ia benci ini bahagia.


Sore harinya,
Sisa hari itu mereka habiskan untuk mengukur baju para best man dan maid of honor, kini mereka tengah menyantap makan malam di taman belakang, gurat kelelahan tampak di wajah mereka,
“Besok kau jadi ikut aku ke toko kue ?” tanya Gwen pada Alan.
“Jadi, sekalian aku mau ke toko bunga untuk memesan bunga untuk dekorasi..” jawab Alan.
“A.. aku boleh ikut ?” tanya Vincent tiba-tiba.
Alan menatapnya sejenak,
“Tentu saja, ada lagi yang mau ikut ?” tanya Gwen.
“Besok aku mau pulang ke rumah untuk mengambil baju-baju bersih.” kata Aidan.
“Aku dan Thessa ikut Aidan, kami mau mengunjungi paman dan bibi..” kata Daniel.
“Aku juga ikut Aidan.” tambah Rea.
“Kenneth berjanji untuk mengajakku ke danau besok..” kata Carol, sementara Kenneth mengangguk.
“Yang lain ?” tanya Gwen lagi.
“Kami berencana untuk ke mall, belanja.” jawab Monica, diikuti anggukan dari Lo’ dan Cornelia.
“Aku mau mengantar sisa undangan..” kata Samuel.
Anak-anak yang lain menatap Greg,
“Aku tidak ada rencana apa-apa sih, mungkin aku menemani Samuel mengantar undangan saja.” katanya.
Samuel mengangguk,
“Baiklah kalau begitu, usahakan kalian pulang sebelum makan malam, kita akan membicarakan urutan-urutan acara nanti..” kata Gwen akhirnya.
Jam sembilan malam mereka sudah berada di tempat tidur masing-masing saking kelelahannya, yang masih bernyawa hanya tinggal Alan yang kini tengah berada di dapur mencoret-coret desain untuk area pernikahan ditemani segelas susu coklat.
Alan mengerahkan segala kemampuan terbaiknya dalam mendekorasi taman belakang yang rencananya akan menjadi area utama pernikahan, hanya ini yang bisa ia lakukan untuk Samuel dan Gwen, orang-orang yang disayanginya.
Alan tersenyum kecil, ia baru saja menyadari sebuah fakta yang lucu, fakta bahwa orang yang dulu ia sukai dan yang dulu menyukainya akan menikah dan ia yang menjadi dekorator area pernikahannya.
Mendekorasi sebuah acara pernikahan itu bukanlah sebuah hal yang mudah, Alan cukup kerepotan mengurus mulai dari hiasan-hiasan, bunga-bunga, susunan tempat duduk, menyamakan warna dekorasi dengan gaun dan kue, dan banyak lagi yang harus ia kerjakan, ia jadi ingat terakhir kali ia sesibuk ini adalah ketika ia dipilih menjadi ketua panitia acara natal pada saat kuliah dulu, bedanya dulu ia mendapat banyak sekali bantuan dari Liam,
Alan berhenti mencoret-coret desain dihadapannya, ia termenung menatap keluar jendela dapur yang menuju taman belakang, mau tak mau ia jadi terkenang masa-masa indahnya bersama Liam dulu, ketika mereka sedang sibuk-sibuknya mengurusi acara natal kampus,
Andai saja Liam masih hidup, pasti kini ia juga akan membantu Alan mengurusi urusan dekorasi pernikahan Samuel dan Gwen.
Setetes air mata membasahi kertas desain tersebut, di saat-saat Alan sedang sendirian seperti ini ia selalu teringat akan Liam, dan bila emosinya sedang tinggi, tak jarang ia menangis,
Di tengah isakannya tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari arah ruang tengah, Alan cepat-cepat mengusap air mata dari pipinya dan pura-pura melanjutkan kesibukannya mencoret-coret desain.
“Ehm, hai..”
Alan menoleh, ternyata Vincent,
“Hai..” balas Alan.
“Aku melihat lampu dapur menyala, kupikir ada siapa, rupanya kau..” kata Vincent sambil berjalan menuju kulkas untuk mengambil susu.
Alan hanya tersenyum,
“Tidak bisa tidur juga ?” tanya Vincent.
“Tidak, aku sedang membuat desain untuk acara pernikahan nanti.” kata Alan singkat.
Vincent berjalan ke tempat Alan duduk, lalu berdiri di sebelahnya sambil menatap kertas coretan Alan.
“Bagus.. sepertinya sudah berpengalaman dalam hal dekorasi, ya ?” tanya Vincent sambil duduk di sebelah Alan.
“Terima kasih.. aku memang bekerja di bidang desain dan dekorasi.” jawab Alan.
Vincent mengangguk,
“Pantas saja..” katanya.
“Kau sendiri, apa pekerjaanmu ?” tanya Alan, mencoba memulai obrolan.
Vincent menatap Alan sejenak, tatapannya seolah-olah mengatakan bahwa seharusnya Alan sudah tahu apa pekerjaannya.
“Sama seperti Gwen, aku juga seorang perawat.” jawabnya kemudian.
“Oh.” kata Alan singkat.
Vincent masih menatap Alan dengan tatapan yang sama.
Keduanya terdiam canggung, suasana menjadi hening,
“Yang tadi siang, ehmm.. kau benar-benar belum pernah punya pacar ?” tanya Alan tiba-tiba, entah kenapa tiba-tiba pertanyaan tersebut keluar dari mulutnya.
Vincent menatapnya dengan bingung,
“Ya.” jawabnya singkat, “kenapa memangnya ?”
“Ti.. tidak apa-apa.. kupikir Greg hanya bercanda tadi..” jawab Alan sambil menggaruk kepalanya dengan pensil yang dari tadi ia pegang.
“Aneh ya ?” tanya Vincent lagi.
“Ya, aneh sih sebenarnya, memangnya kau belum pernah suka pada seseorang ya ?” tanya Alan lagi, itu pertanyaan konyol kedua yang keluar dari mulutnya malam ini, entah apa yang sedang terjadi pada otaknya sampai menanyakan hal-hal tidak penting seperti itu pada orang yang baru dikenalnya.
“Pernah.” jawab Vincent singkat.
“Lalu, kau tidak pernah mencoba untuk menyatakan padanya ?”
Itu pertanyaan konyol yang ketiga.
Vincent menunduk sejenak sebelum menjawab,
“Setiap aku menyukai seseorang, selalu berakhir dengan cinta bertepuk sebelah tangan..” jawabnya.
Alan terkejut mendengar jawaban Vincent, ia jadi bertanya-tanya sendiri wanita mana yang tidak menyukai Vincent, wajahnya tampan, badannya bagus, orangnya baik dan sopan, ia tidak bisa membayangkan pria seperti ini bisa mengalami kesulitan dalam hal percintaan.
“Kau sendiri, sudah pernah punya pacar ?” tanya Vincent, berusaha mengubah subjek pembicaraan.
Alan tersenyum kecil,
“Pernah, sekali.” jawabnya.
“Kapan ?” tanya Vincent lagi.
“Sudah lama sekali, ketika aku masih kuliah dulu..” jawab Alan.
“Lalu, di mana dia sekarang ?”
Alan terdiam sejenak,
“Dia meninggal dalam kecelakaan sebulan setelah kami resmi berpacaran..” jawabnya.
Vincet ikut terdiam, entah kenapa ia tidak terkejut mendengar jawaban Alan.
“Maaf.” katanya pelan.
Alan menggeleng sambil berusaha tersenyum,
“Tidak apa-apa..” katanya.
“Apa kau merindukannya ?” tanya Vincent lagi.
“Selalu.” jawab Alan.
“Apa kau tidak mau mencoba mencari, kau tahu.. pacar baru ?” tanya Vincent ragu-ragu.
Alan menghela napas,
“Aidan selalu mendorongku untuk mencoba berpacaran dengan seseorang yang lain, tapi entahlah.. sepertinya aku masih belum siap membuka hati untuk orang lain.” jawabnya.
Vincent terdiam sejenak,
“Aku setuju dengan Aidan, maaf sebelumnya kalau aku ikut campur urusanmu, tapi memangnya kau mau sendirian sampai tua ?” tanyanya kemudian.
“Aku tak tahu..” jawab Alan.
“Lalu kapan kau akan siap untuk mulai membuka hati ?” tanya Vincent lagi.
“Kalau aku bertemu dengan seseorang yang bisa membuatku melupakan kesedihanku, mungkin..” jawab Alan ragu.
Vincent terdiam lagi, ia melihat guratan kesedihan di wajah Alan, gurat kesedihan yang sama seperti yang pernah ia lihat lima tahun yang lalu, ketika Vincent melihat Alan untuk pertama kalinya.

to be continued




3 comments:

Adit said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

halo min slm kenal ya :)
kok tumben sih the wedding sama trey lama sambungannya. Ditunggu banget ya, ceritanya bagus. Gak sabar mau baca :))

Dazz said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

@Adit

Hi Adit
Salam kenal juga

Hehe
Maaf beberapa waktu ini ga sempat update

Adit said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

wah akhirnya update juga. Thanks ya min udah sempet update :)) N buat penulisnya makin semangat nulis ya. Good story! Keep writing and keep updating!! :)

Post a Comment