DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



The Wedding Page 1

Page 1
by GoodFriend

Samuel menatap pantulan dirinya di cermin, ia menatap bayangan seorang pria yang beberapa hari lagi akan memasuki tahap baru dalam hidupnya, dua puluh lima adalah usia yang cukup untuk memulai sebuah keluarga, dengan pekerjaan yang menjanjikan masa depan, dan pacar yang cantik, Samuel siap untuk menjadi seorang suami.
Samuel tersenyum kecil, rasa-rasanya baru kemarin ia meminta Gwen untuk menjadi pacarnya, tapi sekarang ia berdiri di depan cermin di dalam sebuah toko kue bersama pacarnya,
“Sammy.. bagaimana menurutmu ?” pertanyaan Gwen membuyarkan lamunannya.
Samuel menatap brosur yang disodorkan Gwen padanya,
Brosur kue-kue pernikahan.
“Yang mana yang kau suka ?” Samuel balas bertanya.
“Aku suka yang ungu-putih ini, dengan hiasan bunga-bunga kecil di pinggirnya, simpel dan manis.” kata Gwen sambil tersenyum,
Di usianya yang menginjak umur dua puluh lima Gwen tumbuh menjadi seorang wanita yang cantik, rambutnya masih panjang seperti saat ia kuliah dulu, walaupun tidak selurus dulu lagi karena pekerjaannya sebagai perawat mengharuskan ia menggulung rambutnya selama bekerja.
Gwen manatap calon suaminya sambil menunggu pendapatnya,
Samuel sendiri sudah tumbuh menjadi seorang pria gagah dan tampan, ia masih tetap menggunakan kaca mata, Samuel menolak untuk menggunakan kontak lens karena ia merasa tidak nyaman, satu-satunya yang berubah dari dirinya adalah warna rambutnya yang tidak lagi pirang, Samuel memutuskan untuk mengecat rambutnya menjadi warna coklat muda dengan alasan agar orang-orang bisa membedakannya dengan Kenneth, saudara kembarnya.
Bulan lalu Samuel melamar Gwen di sebuah jamuan makan malam yang romantis, dengan beberapa bunga lavender kesukaan Gwen, beberapa lilin dan sebuah cincin yang indah dan mahal, Gwen menerima lamaran Samuel, dan atas persetujuan dari kedua keluarga, maka minggu depan mereka akan menyelenggarakan pernikahan mereka, undangan-undangan sudah dikirim, gaun pengantin sudah dipesan, dan saat ini keduanya tengah memesan kue pernikahannya.
“Aku juga suka yang itu..” katanya.
“Bagus..” kata Gwen, senyumnya semakin lebar.
“Jadi, kalian akan mengambil yang ini ?” tanya si pemilik toko yang tengah berdiri di depan keduanya, menunggu keputusan kue pernikahan mana yang akan mereka pesan.
“Iya.” kata Gwen dan Samuel dengan mantap.
“Baiklah.. kapan hari besarnya ?” tanya si pemilik toko lagi dengan senyum yang indah.
“Minggu depan.” jawab Gwen lagi.
“Kalau begitu tinggalkan alamatnya dan kami akan mengirimkan kuenya pada pagi hari.”
“Oke.” kata Samuel.
Samuel kemudian mengurus administrasi dan pembayarannya sementara Gwen mengangkat handphonenya yang baru saja berbunyi,
“Sam, Kenny dan teman-temannya sudah tiba di halte..” kata Gwen setelah selesai bicara lewat handphone.
“Oke, aku sudah selesai, ayo kita jemput mereka sekarang..” kata Samuel, keduanya kemudian beranjak meninggalkan toko kue tersebut dan menuju mobil Samuel untuk menjemput Kenneth di halte bus.

Tampilan fisik Kenneth tak jauh berbeda dengan Samuel, tak mengherankan karena keduanya adalah saudara kembar, yang berbeda hanyalah bahwa Kenneth tidak menggunakan kaca mata seperti Samuel dan rambutnya tetap pirang, dan bahwa Kenneth menyukai laki-laki, selebihnya keduanya benar-benar mirip, mulai dari sifat, watak, dan perilaku.
Kenneth menatap wanita di sebelahnya, atau lebih tepatnya, seorang pria yang berpenampilan wanita, dia adalah Collin, pacarnya sejak di bangku sekolah.
Sebenarnya baik Kenneth maupun Collin sendiri lumayan terkejut mendapati fakta bahwa walau umurnya sudah menginjak dua puluh lima tahun tapi Collin masih tetap pantas berpenampilan seperti perempuan, sepertinya paras manis yang ia miliki akan terus bertahan sampai Collin tua nanti, entah ia harus senang atau sedih, tapi yang pasti saat ini ia dan Kenneth sangat bersyukur akan hal itu, karena biar bagaimanapun orang tua Kenneth tahunya pacar Kenneth adalah seorang perempuan cantik bernama Caroline, akan aneh bila Kenneth menghadiri pernikahan saudaranya dengan menggandeng Collin dalam penampilan laki-lakinya.
“Gerombolan laki-laki yang di sebelah sana sepertinya sedang menatapmu dengan tatapan lapar, Collby..” kata seorang laki-laki yang berdiri di sebelahnya dan Kenneth.
Dia adalah Daniel, pemuda keturunan chinese yang dulu pernah menyukai Carol.
“Diam kau..” kata Collin pelan, sementara Daniel dan pacarnya, Thessa tertawa terbahak-bahak.
Saat ini keempatnya sedang berdiri di depan halte bus, menunggu dijemput oleh Samuel.
“Aku jadi kerepotan sendiri punya pacar sebegini cantiknya, banyak yang mengincar..” kata Kenneth.
“Kau jangan ikut-ikutan, Kenny.. kalau bukan karena pernikahan adikmu, aku tidak akan mau berpenampilan begini lagi..” kata Collin sambil merengut.
“Iya.. iya.. maaf, aku hanya bercanda.. Daniel yang duluan..” kata Kenneth sambil berusaha berhenti tertawa.
“Jangan marah Collby, aku tidak tahan untuk tidak menggodamu, kau terlalu cantik sih.. bahkan perempuan aslipun kalah cantiknya bila dibandingkan denganmu..” kata Daniel sambil ikut berusaha menghentikan tawanya.
“Ingat laki-laki bodoh mana yang pernah tertipu dan menyukaiku ?” tanya Collin sambil masih merengut.
Daniel terdiam malu, wajahnya memerah, sementara Thessa, pacarnya tertawa semakin keras.
Padahal kejadiannya sudah bertahun-tahun yang lalu, saat pertama kali Collin harus berpenampilan seperti perempuan untuk bisa bekerja di cafe milik ayah Thessa, tapi kejadian tersebut membawa kenangan tersendiri bagi keempatnya.
Kini Kenneth, Collin, Daniel dan Thessa sudah tumbuh menjadi orang-orang dewasa yang bertanggung jawab, siap untuk mulai menata kehidupan masing-masing dengan pekerjaan yang menjanjikan masa depan yang cerah.
Kenneth dan Collin bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan besar, Daniel bekerja sebagai pembawa berita di salah satu stasiun televisi ternama di kotanya sambil meneruskan kuliahnya, sementara Thessa membantu kakaknya, Tobi meneruskan usaha cafe milik ayah mereka.
Keempatnya sengaja mengambil cuti selama dua minggu karena diminta khusus oleh Samuel untuk menjadi best man dan maid of honor pada pernikahannya.
“Heyy..” panggil sebuah suara dari kejauhan.
Kenneth melihat kembarannya bersama calon istrinya sedang berjalan menuju tempat mereka berdiri.
“Heyy..” balas Kenneth setelah keduanya sampai di tempat mereka berempat.
“Maaf kami sedikit lama, tadi kami mengurus kue pernikahannya dulu..” kata Gwen.
“Tidak apa-apa.. tidak terlalu lama, kok..” balas Collin.
Samuel dan Gwen sempat terkejut melihatnya berpenampilan perempuan, mereka lupa kalau Collin memang HARUS berpenampilan perempuan pada pernikahan mereka.
Keduanya masih saja takjub melihat penampilan Carol yang amat sangat cantik, sekalipun keduanya sudah mengetahui bahwa wanita cantik bak malaikat yang berdiri di hadapan mereka ini sebenarnya adalah seorang laki-laki.
“Ini Daniel dan Thessa, teman-temanku..” kata Kenneth, membuyarkan keterkejutan Samuel dan Gwen.
Keduanya beralih menatap dua orang lainnya yang berada di situ, Samuel dan Gwen kembali terkejut melihat Daniel.
Mungkin karena sama-sama keturunan chinese, Samuel dan Gwen merasa kalau Daniel mirip seseorang, seorang anak laki-laki yang amat sangat mereka rindukan,
Liam.
Keduanya saling tatap sejenak,
“Kalian kenapa ?” tanya Kenneth.
“Ahh.. ti.. tidak apa-apa.. terima kasih sudah mau datang ke acara pernikahan kami..” kata Samuel sambil menjabat tangan Daniel dan Thessa, begitu pula Gwen.
Daniel dan Thessa tersenyum,
“Terima kasih juga karena sudah mau mengundang kami..” balas Daniel.
“Ngobrolnya nanti saja, ayo kita kembali ke rumah, Rea sedang menjemput teman-temanku ke stasiun, mungkin mereka sudah sampai sekarang..” kata Gwen.
“Baiklah, ayo..” ajak Samuel, keenamnya kemudian beranjak meninggalkan halte bus menuju mobil Samuel di lapangan parkir.
“Kita ke mana ?” tanya Kenneth ketika Samuel menjalankan mobilnya tidak ke arah rumah mereka.
“Ke rumah kita yang di atas bukit, sama seperti Gabby, kami juga akan menyelenggarakan pernikahan di situ, para best man dan maid of honor akan menginap di sana selama persiapan pernikahan.” jawab Samuel.
“Oh baguslah, aku suka rumah kita yang di atas bukit, sudah lama juga aku tidak ke situ.. kalian pasti akan menyukainya, udaranya masih segar, dan ada danau juga di dekat rumahnya, kita bisa bermain-main di situ di waktu senggang..” kata Kenneth.
Rumah keluarga Owen yang di atas bukit tersebut memang dibangun khusus untuk liburan atau acara-acara besar, karena selain bangunannya luas dan kamarnya banyak serta dilengkapi dengan taman belakang yang juga luas dan cantik, letaknya yang di tengah hutan juga membuat udara di sekitarnya segar dan sejuk, serta tambahan danau bersih yang berada di samping rumah membuat rumah tersebut menjadi tempat yang cocok untuk mengadakan sebuah pernikahan, Gabriella, kakak perempuan Kenneth dan Samuel juga menyelenggarakan pernikahannya di situ dua tahun yang lalu.
“Alan dan Aidan juga sudah ada di sana, tinggal menunggu teman-teman sekolah Gwen dan lengkaplah semua best man dan maid of honor-nya.” kata Samuel.

Setelah perjalanan kurang lebih satu jam keluar dari daerah perkotaan dan memasuki daerah pedesaan serta melewati hutan kecil akhirnya mereka tiba di sebuah rumah yang letaknya sedikit terpisah dari perumahan penduduk desa, rumahnya besar dan tampak tua dari luar, tapi dengan kesan yang manis dan elegan, beberapa balkon di bagian atas menunjukan bahwa rumah tersebut memang memiliki banyak kamar, di sebelah kanan rumah, sedikit di bawah bukit tampak sebuah danau yang lumayan luas dengan air yang jernih.
Begitu mereka turun dari mobil udara segar pedesaan langsung membelai kulit mereka,
Thessa menghirup udara banyak-banyak,
“Aku suka aroma pedesaan..” katanya sambil tersenyum,
“Ayo kita masuk..” ajak Gwen.
Keenamnya kemudian berjalan masuk sambil menyeret koper-koper mereka.
Ruang depan rumah tersebut cukup luas, berhubungan langsung dengan ruang tengah dan dapur tanpa disekat oleh dinding, di kiri dan kanan tampak tangga spiral yang besar menuju ke lantai atas, di belakang dapur langsung terlihat taman belakang.
“Sammy, Gwen.. kalian sudah pulang.. baguslah.. tadi tukang kebunnya datang untuk membicara..” Alan menghentikan kata-katanya ketika ia melihat Daniel.
Alan terdiam sambil menatap Daniel, sejenak ia hampir akan berlari memeluk Daniel seandainya Aidan tidak menyahut tiba-tiba di sampingnya,
“Daniel ?” tanya Aidan.
“Aidan ?” balas Daniel.
Anak-anak yang lain memandang keduanya bergantian dengan pandangan bingung sekaligus penasaran.
“Kalian saling kenal ?” tanya Samuel memecah keheningan.
“Dia..” Aidan menatap Alan, “dia sepupu Liam.”
“Pantas saja..” kata Samuel dan Gwen dalam hati.
“Ohh..” kata Alan pelan.
Setelah ia perhatikan baik-baik itu memang bukan Liam, sekilas keduanya memang tampak mirip, tapi keduanya adalah orang yang berbeda.
“Kebetulan sekali ya..” kata Kenneth.
“Ya..” kata Samuel.
Sekilas pandangan Daniel dan Alan bertemu, keduanya kemudian tersenyum.
“Lebih baik kalian istirahat saja dulu, ngobrolnya nanti saja setelah istirahat dan mandi, ayo kutunjukan kamar kalian..” kata Gwen sambil membawa koper Carol menuju ke lantai atas, diikuti tamu-tamu yang baru datang tersebut,
“Nanti kita ngobrol, ya..” kata Aidan.
“Ya.” balas Daniel.
“Ah, ya Aidan, Rea belum pulang ?” tanya Gwen yang kini sudah berada di lantai atas.
Aidan menggeleng,
“Belum.” katanya.
“Baiklah..” kata Gwen kemudian melanjutkan menunjukkan kamar pada Kenneth dan kawan-kawan.
Aidan menatap Alan,
Pria dihadapannya ini masih persis sama seperti saat pertama kali ia lihat 5 tahun yang lalu, wajahnya yang polos dan ramah, yang sudah membuat Gwen dan Liam jatuh hati, tetap bertahan seakan tak habis termakan waktu, hanya sedikit guratan kedewasaan bertambah di beberapa bagian wajah tersebut.
“Kau pasti tadi salah mengira kalau itu dia, kan ?” tanyanya.
Alan mengangguk kecil,
Aidan mengusap rambut Alan dengan iba, bahkan walaupun bertahun-tahun sudah berlalu sejak kepergian Liam, Alan masih belum bisa membuka hati untuk orang lain, bahkan bisa dibilang ia sudah menikmati kesendiriannya sekarang ini.
“Sampai kapan kau akan terus menangisi kepergiannya, Alan ?” tanya Aidan .
Alan menggeleng,
“Entahlah..” katanya sambil berlalu.
Aidan masih terdiam di tempatnya, ia juga merasakan apa yang selama ini Alan rasakan, perasaan kesepian dan duka karena kehilangan orang yang disayangi, Liam adalah sahabat satu-satunya yang ia miliki selama 15 tahun usianya, Liam juga merupakan satu-satunya orang yang masih setia menemani Aidan ketika seluruh dunia membenci dan menjauhinya, tahun-tahun pasca kepergian Liam merupakan tahun-tahun terberat dalam hidupnya.
Walaupun kini Aidan sudah tidak lagi merasa kesepian karena kehadiran Alan, Rea dan anak-anak yang lain, tapi baginya Liam selalu memiliki tempat khusus di hatinya.
⃰©⃰©⃰©⃰©⃰
Sore harinya,
Gwen dengan bantuan dari Thessa dan Carol menyiapkan makan malam bagi mereka,
Di rumah tersebut hanya ada mereka saja, orang tua Samuel masih tinggal di rumah mereka yang ada di kota karena urusan pekerjaan, sementara keluarga Gwen baru akan datang dua hari sebelum acara pernikahan.
Mereka menyantap makan malam di taman belakang sambil asyik mengobrol mengenai rencana pernikahan Samuel dan Gwen, sementara Aidan dan Daniel mengobrol di dapur sambil menatap teman-teman mereka yang berada di taman belakang.
“Sudah berapa tahun kita tidak bertemu ya ?” tanya Aidan sambil menyantap spageti makan malam buatan Gwen.
“Entahlah.. yang pasti sudah lama sekali.. terakhir kali aku berkunjung saat kita masih duduk di bangku sekolah..” jawab Daniel.
Keduanya terdiam sejenak,
“Jadi, bagaimana kabarmu sekarang ? maksudku sejak.. kau tahu,kan..” tanya Daniel sedikit ragu.
Aidan menghela napas sejenak sebelum menjawab,
“Aku baik.. lumayan kesepian pada tahun-tahun pertama, tapi, well, aku bisa melewatinya dengan cukup baik pada akhirnya..” jawabnya.
Daniel tersenyum suram,
“Aku menyesal tidak bisa datang pada pemakamannya saat itu, ada urusan yang sangat penting yang tidak bisa kutinggalkan.. aku benar-benar menyesal.. Liam adalah sepupu kesayanganku..” katanya.
Aidan hanya terdiam.
“Laki-laki yang bersamamu itu.. Alan.. apa dia..”
“Ya. dia pacarnya Liam.” jawab Aidan memotong pertanyaan Daniel.
Daniel menatap Alan yang tengah mengobrol dengan Samuel.
“Dia pasti yang paling kehilangan, ya..” katanya.
Aidan mengangguk,
“Tapi Alan adalah anak yang tegar, ia bisa menahan kesedihannya dengan sangat baik, well, setidaknya dia tidak pernah menangis di depan kami, ia selalu bisa menyembunyikannya dengan baik, lagipula ada Samuel yang selalu setia menemaninya, dan juga aku..” Aidan menatap Daniel dengan tatapan serius, “aku sudah berjanji pada Liam sebelum kepergiannya bahwa aku akan menjaga Alan dengan segenap hatiku, menggantikannya..”
“Kau memang seorang sahabat yang baik, Aidan.. Liam beruntung punya sahabat sepertimu..” kata Daniel.
Aidan menggeleng sambil tersenyum lemah,
“Akulah yang beruntung karena mempunyai sahabat seperti Liam.” katanya.
Daniel menatap Aidan dengan tatapan kagum, terakhir kali mereka bertemu Aidan tak lebih dari berandalan brengsek yang hobi menghina dan mengganggu orang lain, Daniel sendiri sampai heran kenapa sepupunya mau bersahabat dengan anak menyebalkan seperti Aidan, tapi lihat pria yang berdiri dihadapannya sekarang, pria dengan senyum ramah yang dikelilingi sahabat-sahabat dan orang terkasih yang menyayanginya, benar-benar berbeda dengan Aidan yang ia kenal dulu.
“People do change.” yakin Daniel dalam hati.
TING TONG..
Suara bel pintu depan,
“Itu pasti Rea dan teman-temanku.. akhirnya, aku penasaran apa yang membuat mereka terlambat selama ini..” kata Gwen sambil berjalan melewati Aidan dan Daniel menuju ke ruang depan, kedua pemuda tersebut lalu mengikuti.
Terdengar keributan di depan rumah, jelas itu suara Rea, dan beberapa suara lain yang masih asing.
Gwen membuka pintu depan sementara anak-anak yang lain menyusulnya menuju ruang depan,
“Rea.. akhirnya..” kata Gwen begitu wajah Rea muncul di hadapannya,
“Maafkan aku, Gwen.. aku sempat lupa jalan tadi..” kata Rea sambil tersenyum, tampak raut bersalah di wajah wanita berambut pendek tersebut.
“Tidak apa-apa, yang penting kalian sampai di sini..” kata Gwen kemudian menatap beberapa orang lain yang berdiri di belakang Rea.
“Haaayyy !!!” teriak Gwen histeris.
“Gweennnn !!!” balas tiga wanita di antara mereka.
“Hai, Gwen..” tambah dua pria lainnya.
Kelimanya kemudian berpelukan dengan Gwen, sementara anak-anak yang lain akhirnya tiba di tempat mereka.
“Sudah lama sekali..” kata Gwen sambil melepas pelukannya dan tersenyum pada kelima sahabat sekolahnya dulu.
“Kelewat lama !” kata salah satu wanitanya sambil balas tersenyum.
“Ohh Gwen aku kangen sekali padamu..” sahut yang lainnya.
“Aku juga kangen pada kalian.. terima kasih sudah mau menyempatkan diri datang ke pernikahanku..” kata Gwen.
“Bicara apa kau, sudah pasti kami akan datang ke pernikahanmu..” kata salah seorang prianya.
Gwen tersenyum lagi, sementara Samuel berdeham pelan,
“Ah ya, guys, perkenalkan, ini calon suamiku, Samuel.” kata Gwen sambil menarik Samuel ke sebelahnya.
“Haii..” sapa Samuel canggung.
“Haii..” balas kelima sahabat Gwen.
“Dia memang manis, seperti yang kau bilang..” bisik salah satu teman wanita Gwen dengan keras, membuat semua orang yang berada di situ tertawa, sementara Samuel hanya menunduk malu, wajahnya memerah.
“Mereka ini teman-temanku dan Samuel semasa kuliah, kalian bisa berkenalan di dalam sambil makan, ayo, kalian belum makan, kan ?” kata Gwen pada teman-temannya sambil menunjuk Aidan dan yang lainnya, mereka kemudian tersenyum, sekilas Alan bertatapan dengan salah satu sahabat pria Gwen, Alan tertarik pada warna mata pria tersebut, hijau kebiruan, kontras sekali dengan warna rambutnya yang hitam.
Keduanya saling senyum.
Mereka kemudian masuk ke dalam untuk melanjutkan makan malam mereka.

to be continued



0 comments:

Post a Comment