DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Collin & Kenneth Page 7

Page 7
by GoodFriend

Hari ini hari kelima Daniel absen datang ke café, Collin masih terus memikirkan hal ini, ia masih belum bisa bersemangat bekerja, pikirannya masih terus terfokus pada Daniel.
Kenneth menghela napas dengan kecewa, ternyata hati Daniel sudah tertutup sepenuhnya untuk memaafkan Collin.
Saat ini café sedang sepi, Collin menemani Kenneth duduk di meja konter sambil meminum jus jeruknya, Collin meminum jusnya sambil melamun, Kenneth merasa iba melihat sahabat sekaligus orang yang disukainya seperti ini, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, ia sudah melakukan apa yang bisa ia lakukan kemarin, dan ternyata tidak membuahkan hasil sama sekali.
Pintu café terbuka, seorang pemuda berambut coklat cerah masuk ke dalam café kemudian menghampiri Collin dan Kenneth.
“Ehh… Collin…” sapa pemuda tersebut dengan pelan, ia takut pelanggan lain mendengarnya,
Collin menengadahkan wajahnya dan menatap pemuda tersebut,
“Elliot ???” tanyanya terkejut.
Elliot tersenyum pada Collin, sejenak pandangannya bertemu dengan Kenneth, tapi kemudian keduanya dengan cepat mengalihkan pandangan masing-masing ke arah lain, Elliot ingat pesan Kenneth kemarin ketika mereka bertemu, “Jangan sampai Collin tahu kalau kita pernah bertemu, dan aku membantumu membayar biaya perbaikan mobil ayahmu.” kata Kenneth.
“Ada apa kau tiba-tiba ke sini ?” tanya Collin dengan masih sedikit terkejut.
“Aku mau memberitahumu bahwa kau tidak perlu bekerja lagi, kau tidak usah mencari sisa kekurangan biaya perbaikan mobil ayah lagi. “ jawab Elliot.
“Ap.. apa maksudmu ? memangnya uangnya sudah cukup ?” tanya Collin bingung.
Elliot menggeleng,
“Kemarin aku menemui pemilik bengkel tempat aku memperbaiki mobil ayah, kemudian aku menceritakan semuanya… dan ternyata ia bersedia mengurangi biaya perbaikan mobil, jadi uang yang kumiliki sekarang sudah cukup untuk membayar biaya perbaikannya..” jawab Elliot.
“Benarkah ???” tanya Collin senang.
Elliot mengangguk sambil tersenyum.
“Mobilnya sudah diperbaiki dan sekarang sudah ada di rumah, tampilannya seperti baru, ayah tidak akan menyadari kalau mobilnya pernah rusak…” kata Elliot lagi.
Collin menatap Kenneth, keduanya saling tersenyum senang.
“Syukurlah…” kata Kenneth.
“Ini benar-benar berita bagus !!” kata Collin.
“Ya.” tambah Elliot.
“Benar-benar bagus, Elliot, tindakanmu benar dengan memberitahu yang sebenarnya pada pemilik bengkel itu… “ kata Collin lagi.
Elliot tersenyum, padahal kenyataannya pemilik bengkel itu adalah orang yang sangat pelit dan tidak punya hati, ia tidak akan peduli sekalipun Elliot menceritakan kebenarannya.
“Kau bisa berhenti dari pekerjaanmu sebagai pelayan di sini…” kata Elliot.
Collin menatap Kenneth lagi, meminta saran.
“Akhirnya kau tidak perlu berdandan seperti perempuan lagi…” kata Kenneth.
Collin tersenyum,
“Ya,” katanya,” besok aku akan menghadap ayah Tobi untuk menyerahkan surat pengunduran diriku…” kata Collin.
Kenneth tersenyum melihat Collin bisa kembali ceria dan melupakan masalah Daniel.
“Ayo duduk, kubuatkan jus jeruk untukmu… kau pasti lelah sehabis perjalanan jauh…” kata Collin, semangatnya benar-benar sudah kembali sekarang, masalah Daniel sudah menguap dari otaknya, fakta bahwa sebentar lagi ia akan terbebas dari wig dan dandanan perempuan yang selama ini cukup membuatnya risih benar-benar menjadi obat yang mujarab untuk menyembuhkan kemurungan Collin.
“Ahh tidak usah, aku buru-buru, Jordan menungguku di depan café..” kata Elliot.
“Kau ke sini dengan Jordan ?” tanya Collin.
“Ya, dia mengantarku dengan motornya..” jawab Elliot.
“Ohh…” kata Collin.
“Ah iya, kukenalkan kau pada sahabatku, Kenneth… Kenneth, ini adikku, Elliot.” kata Collin lagi sambil menepuk pundak Kenneth.
Elliot dan Kenneth saling tersenyum sambil mengangguk, keduanya berpura-pura baru saling kenal.
“Ya sudah, aku pulang dulu, kasihan Jordan bila terlalu lama menunggu, minggu depan ayah pulang, kalau kau ada waktu mainlah ke rumah ayah…” kata Elliot akhirnya.
“Baiklah, akan kuusahakan…” kata Collin.
“Kutunggu…” kata Elliot kemudian beranjak pergi keluar dari café.
Di depan café Elliot melihat seorang pemuda chinesse sedang berdiri menyender ke dinding café, ia terlihat gelisah sambil sesekali mengintip ke dalam café lewat kaca etalase.
Elliot berjalan melewati pemuda chinesse tersebut dan menghampiri kakak tirinya yang sudah menunggunya di atas motor.
“Sudah ?” tanya Jordan.
Elliot mengangguk,
“Ayo pulang.” katanya.

Collin keluar dari kamar Tobi, dia baru saja berganti pakaian dengan pakaian laki-lakinya, ia tersenyum memandang wig dan pakaian perempuannya, mungkin besok adalah terakhir kalinya ia harus menggunakan benda-benda itu, tinggal menyerahkan surat pengunduran dirinya pada ayah Tobi dan ia akhirnya bebas dari pekerjaannya sebagai pelayan perempuan.
Collin berjalan ke dalam ruang utama café, Tobi, Thessa dan karyawan café lain serta dibantu Kenneth baru saja selesai menutup café.
“Pulang sekarang, Collby ?” tanya Kenneth.
“Ayo.” kata Collin.
Collin menghampiri Kenneth yang sudah berdiri dekat pintu keluar,
“Baiklah, sampai besok Tobi, Thessa… “ kata Collin.
“Ya, jangan lupa bawa surat pengunduran dirimu besok.. ” kata Tobi.
Collin sudah memberitahu Tobi dan Thessa tentang berita gembira yang disampaikan Elliot tadi siang dan keputusannya untuk berhenti bekerja, Tobi dan Thessa sebenarnya menyayangkan keputusan Collin, mereka sangat senang Collin bekerja di café bersama mereka, tapi mereka menghargai keputusan Collin dan melepaskan Collin dengan ikhlas.
“Kau masih bisa merubah keputusanmu kalau kau mau, Collin…” kata Thessa.
Collin tersenyum.
“Aku takut kalau aku terus bekerja di sini akan muncul Daniel-Daniel yang lain yang harus kecewa karena kutolak cintanya..” katanya sambil berusaha tersenyum, mau tak mau ia kembali ingat permasalahannya dengan Daniel yang tadi siang sempat absen dari pikirannya.
Kenneth terpaku di tempatnya mendengar perkataan Collin barusan.
Thessa tersenyum,
“Ya sudahlah… “ katanya berbesar hati.
“Aku pulang ya..” kata Collin.
“Aku juga pulang..” kata Kenneth.
“Ya, hati-hati di jalan…” kata Tobi dan Thessa.
Collin dan Kenneth kemudian berjalan keluar dari café, mereka baru akan berjalan menuju motor Kenneth yang diparkir tak jauh dari pintu café ketika mereka menyadari ada seseorang yang berdiri tepat di samping pintu, bersender pada dinding café.
“Da.. Daniel ?” tanya Collin yang cukup terkejut mendapati Daniel berdiri di depan café.
Daniel menunduk malu tidak menatap wajah Collin.
“Se..sedang apa kau di sini ?” tanya Collin lagi.
“Ada yang.. ehh.. mau kubicarakan denganmu…” jawab Daniel terbata dengan masih tidak menatap wajah Collin.
Collin menatap Kenneth, sementara Kenneth tersenyum memandang Daniel yang masih menunduk malu.
“Baiklah kalau begitu,” kata Kenneth, “kau antar Collin pulang, ya…” lanjut Kenneth lagi pada Daniel.
Daniel balas menatap Kenneth.
“I.. iya.. “ katanya.
Kenneth ganti menatap Collin.
“Aku pulang duluan kalau begitu… “ katanya, sambil menepuk pundak Collin, “kau selesaikanlah urusanmu dengan Daniel..”
Collin tersenyum pada Kenneth.
“Baiklah.. hati-hati ya.. “ katanya,
Kenneth balas tersenyum pada Collin, ia kemudian berjalan menuju motornya.
“Kenneth.. “ panggil Daniel.
Kenneth menoleh pada Daniel.
“Te.. terima kasih… “ kata Daniel sambil menunduk malu.
Kenneth tersenyum padanya,
“Ya.” kata Kenneth singkat, ia kemudian menjalankan motornya dan pergi meninggalkan Collin berdua saja dengan Daniel di depan café.
Kenneth menghargai niat Daniel yang sudah mau datang dan menyelesaikan masalahnya dengan Collin, ia tahu Daniel pasti ingin membicarakan hal tersebut berdua saja dengan Collin makanya Kenneth memutuskan untuk pergi dan tidak ikut campur, apapun hasil dari pembicaraan mereka berdua, ia akan menerimanya dengan lapang hati.
Kini tinggal Collin berdua saja dengan Daniel, keduanya berdiri canggung di depan café.
“Kenapa kau tidak pernah datang lagi ke café ?” tanya Collin memberanikan diri memulai percakapan.
Daniel terdiam, ia masih belum berani menatap wajah Collin.
“Kau.. masih marah padaku ?” tanya Collin lagi.
Daniel mengumpulkan keberaniannya, ia sudah bertekad akan menyelesaikan masalahnya dengan Collin hari ini, ia sudah berdiri di depan café sejak tadi siang, tapi ia tidak berani masuk karena ia masih ragu, tapi sekarang, dengan Collin sudah berdiri di hadapannya mau tak mau ia harus bicara, sekaranglah saatnya ia mengeluarkan semua isi hati dan pikirannya yang selama beberapa hari terakhir ini terus mengganggunya.
Daniel mengangkat wajahnya dan menatap Collin, sesaat ingin rasanya ia kembali menunduk lagi begitu menatap wajah Collin, ia masih belum terbiasa dengan penampilan laki-laki Collin, tapi ia mengurungkan niatnya dan memantapkan hatinya.
“Aku marah padamu,.. ya.. aku merasa ditipu olehmu… aku merasa kau sudah mempermainkan perasaanku… aku sudah sebegitu sukanya padamu, dan kau juga memperlakukanku sangat baik hingga aku merasa bahwa kau juga menyukaiku, lalu tiba-tiba saat aku sudah mantap ingin menyatakan perasaanku, kau datang dan memukulku dengan kenyataan bahwa kau…, “ Daniel terdiam sebentar tampak ragu melanjutkan kata-katanya, “bahwa kau… laki-laki.”
Collin menatap wajah Daniel, keduanya terdiam, sementara itu, tanpa diketahui oleh keduanya, Tobi dan Thessa diam-diam mengintip mereka dari dalam café.
“Ambil keripik, Thess.. “ bisik Tobi sambil masih mengintip keluar café.
“Ambil saja sendiri… “ Thessa balas berbisik sambil mengintip juga.
Kembali pada Collin dan Daniel.
“Bukan maksudku untuk menipumu.. “ kata Collin.
Daniel kembali terdiam.
“Aku tidak pernah bermaksud mempermainkan perasaanmu, kalau aku tahu kau akan menyukaiku, aku pasti sudah memberitahumu dari awal-awal kalau aku ini laki-laki… aku tidak mungkin mempermainkan perasaan seseorang yang sudah kuanggap sebagai teman dekatku sendiri… “ kata Collin lagi.
Daniel masih terdiam,
“Maafkan aku, Daniel.. kumohon.. “ kata Collin lagi.
Daniel akhirnya kembali menatap Collin,
“Aku bisa saja membencimu dan tidak mau lagi bertemu denganmu… “ katanya.
Collin balas menatap Daniel,
“Tapi kemudian Kenneth datang dan menyadarkanku bahwa… yahh… itu bukan sepenuhnya kesalahanmu sebetulnya… “ kata Daniel.
“Kenneth.. menemuimu ?” tanya Collin, “kapan ?”
“Kemarin, ia datang ke sekolahku dengan saudara kembarnya, ia kemudian menjelaskan segalanya padaku, alasanmu menyamar menjadi perempuan dan bekerja di café… ia juga yang sudah menyadarkanku dan membuka pintu hatiku untuk memaafkanmu…” jawab Daniel, wajahnya merona merah.
Collin menatap Daniel tidak percaya,
“Ka… kau… memaafkanku ?” tanyanya.
Daniel mengangguk.
Perlahan-lahan senyum merekah di wajah Collin, mau tak mau Daniel ikut tersenyum, walaupun masih samar-samar.
“Se… seperti yang kau bilang tadi, kau kan tidak bermaksud menipuku, aku juga tidak begitu marah padamu sebenarnya, kemarin itu aku hanya terbawa suasana saja… kau mengerti kan maksudku… coba kalau kau jadi aku, kau sudah mantap mau menyatakan cintamu pada orang yang kau suka lalu tiba-tiba muncul kenyataan yang kejam bahwa ternyata orang yang kau suka itu laki-laki ?” kata Daniel lagi.
Collin masih tersenyum, suasana yang tadinya canggung sedikit demi sedikit jadi mencair dan lebih santai.
“Apa kau menyesal sudah menyukaiku ?” tanyanya penasaran.
Wajah Daniel langsung berubah warna dari putih menjadi merah padam,
“A… aku.. aku tidak pernah merasa menyesal sudah menyukaimu…,” kata Daniel tergagap malu,” bukankah aku pernah bilang padamu, bahwa menyukaimu bukanlah suatu kesalahan ?”
Senyum Collin makin merekah setelah ia mendengar perkataan Daniel barusan.
“Jadi, kau masih menyukaiku ?” tanyanya usil.
Wajah Daniel semakin merah ditanya begitu,
“Ka… kalau ditanya begitu, ya..ya.. tentu saja.. aku masih menyukaimu…walaupun sekarang rasa sukanya lebih pada rasa suka antar saudara… aku menyukaimu seperti adikku sendiri… “ tambah Daniel lagi.
“Iya, aku juga begitu padamu…” balas Collin.
Daniel balas tersenyum padanya.
“Kalau pada Kenneth ?” tanya Daniel.
Sekarang gantian wajah Collin yang berubah warna menjadi merah padam.
“Ap… apa maksudmu ?” tanyanya tergagap.
Daniel tertawa kecil melihat Collin gugup.
“Sudah tidak usah dijawab, aku sudah tahu jawabannya dari wajahmu…” katanya.
“Ap.. apa ?” tanya Collin semakin gugup.
Daniel masih tertawa kecil.
“Sudahlah… ayo, kuantar kau pulang… “ katanya kemudian berjalan menghampiri motornya.
Collin memandangnya sebentar, ia senang sekali akhirnya masalahnya dengan Daniel selesai dengan baik, dan Daniel tetap mau berteman dengannya, bahkan menganggapnya adik.
Collin kemudian menyusul Daniel, setelah ia duduk di belakang Daniel motorpun melaju pergi meninggalkan café.
Sementara itu Tobi dan Thessa masih berdiri menghadap ke kaca etalase, keduanya saling tatap.
“Hhmmm….” gumam keduanya bersamaan kemudian berbalik dan beranjak menuju ke rumah mereka yang tersambung di bagian belakang café.

Esok siangnya,
Collin keluar dari ruangan pemilik café,
“Bagaimana ?” tanya Thessa, ia, Tobi dan Kenneth sedari tadi menunggu Collin di depan ruangan ayah Tobi dengan harap-harap cemas.
Collin tersenyum pada mereka,
“Apa itu artinya ?” tanya Kenneth cemas.
“Apa Ayahku memperbolehkanmu berhenti ?” tanya Tobi.
Collin mengangguk.
Thessa, Tobi dan Kenneth yang dari tadi tegang menghembuskan napas lega,
“Dia bilang sayang sekali aku berhenti, padahal menurutnya kerjaku bagus sekali, dia sudah berencana akan menaikkan gajiku bulan depan, tapi karena alasanku berhenti adalah untuk fokus menghadapi ujian sekolah, dia menerima dengan ikhlas…” jelas Collin, ia memang sudah memikirkan alasan berhentinya selama semalaman, dan menurutnya alasan karena ingin fokus belajar untuk menghadapi ujian adalah alasan yang paling meyakinkan.
“Aku bahkan dapat upah lebih untuk hari ini… “ tambah Collin sambil memamerkan amplop yang dibawanya dari dalam ruangan pemilik café.
“Baguslah kalau begitu… aku sudah takut ayahku akan menahanmu selamanya di sini…” kata Tobi lega lalu beranjak pergi menuju meja pelanggan untuk mengambil pesanan.
“Selamat ya Collin…” kata Thessa.
“Ya.” kata Collin senang.
Kenneth tersenyum padanya.
Pintu café terbuka, beberapa remaja perempuan masuk ke dalam café lalu duduk di meja yang dekat dengan kaca etalase.
“Aku ambil pesanan dulu.” kata Thessa lalu berjalan menghampiri para pelanggan yang baru datang tersebut.
Kini tinggal Kenneth berdua dengan Collin duduk di meja konter.
Inilah saatnya, pikir Kenneth, tak ada waktu lagi.
“Ehhmm… Collby.. “ kata Kenneth pelan.
“Ya, Kenny ?” tanya Collin sambil masih berseri-seri.
“Ada yang mau kukatakan padamu… “ kata Kenneth dengan tampang serius.
Collin melihat ekspresi wajah Kenneth, otomatis ia jadi ikut memasang tampang serius.
“Apa ?” tanyanya.
“Maaf aku memberitahumu mendadak, tapi kemarin-kemarin rasanya tidak tepat untuk membicarakan tentang ini, kau sedang ada masalah dengan Daniel, aku tidak mau menambah beban pikiranmu.. “ kata Kenneth.
Collin diam mendengarkan.
“Minggu lalu, Gabriella dan Samuel datang ke sini bukan hanya sekedar untuk main, “ Kenneth terdiam sebentar, ia menatap lekat-lekat mata Collin.
“Mereka datang untuk memberitahukan… “ Kenneth menelan ludah, “ bahwa kami sekeluarga akan pindah ke luar negri..”
Collin menatap Kenneth dengan tampang tanpa ekspresi, hening beberapa saat.
“Maaf ?” katanya.
Kenneth menghela napas menguatkan hati.
“Kami,… sekeluarga… akan pindah…. ke luar negri…” katanya perlahan dan menekan di setiap katanya.
Collin masih memasang tampang tanpa ekspresi, sementara Kenneth sudah semakin cemas berkeringat dingin, ini adalah hal terberat yang harus ia lakukan.
“Kami itu maksudnya…. “ tanya Collin.
“Orang tuaku, saudara-saudaraku…. dan aku… “ jawab Kenneth.
Ekspresi ngeri kini muncul di wajah Collin.
“Kapan ?” tanyanya pelan.
Kenneth menunduk.
“Besok.” katanya pelan dan sedih.
Collin mengangkat wajah Kenneth dan memandangnya dengan tak kalah sedih.
“Dan kau baru memberitahuku sekarang ?” tanyanya getir.
“Maafkan aku… banyak yang terjadi selama beberapa hari terakhir ini, aku merasa tidak tepat saja bila harus memberitahumu hal yang tidak penting seperti ini…” kata Kenneth.
“Tidak penting ?” tanya Collin setengah berteriak, “kau bilang ini tidak penting ???”
Kenneth terdiam, ia menunduk lagi.
“Lalu bagaimana dengan sekolahmu ? dan rumahmu… dan yang lain lagi ??” tanya Collin.
“Gabriella sudah mengurus masalah sekolah dari beberapa hari yang lalu, aku hanya tinggal pergi saja, rumahkupun sudah kosong sekarang, barang-barangnya sudah diangkut duluan… seperti yang kubilang…… aku hanya tinggal berangkat.“ jelas Kenneth.
Collin menghela napas, ia tahu kalau persiapannya sudah sejauh itu maka ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
“Besok aku akan berangkat ke halte jam 10 pagi, kalau kau berkenan mengantarku…” kata Kenneth.
“Maaf.” potong Collin.
Kenneth menatap Collin.
“Besok aku ada urusan, jadi mungkin tidak bisa mengantarmu… “kata Collin dingin tanpa menatap Kenneth.
Kenneth menatap wajah Collin syok bercampur sedih.
“Be… benar- benar tidak bisa ?” tanyanya.
“Aku ada urusan yang lebih penting yang harus dikerjakan ketimbang mengantar ‘teman’ yang akan pergi ke entah ke mana… “ jawab Collin masih tetap dingin.
Kenneth masih menatap wajah Collin dengan sedih selama beberapa saat, keduanya lalu terdiam lama.
“Aku harus melayani pelanggan dulu… “ kata Collin akhirnya kemudian beranjak pergi meninggalkan Kenneth duduk terdiam sendiri di tempatnya.
Selama sisa hari itu Collin terus menghindar dari Kenneth, Kennethpun saking sedihnya tidak bisa berusaha mendekati Collin.
Sorepun lewat berganti malam, para karyawan café baru saja selesai membereskan café.
“Kau mau pulang sekarang ?” tanya Kenneth sambil berdiri begitu Collin keluar dari kamar Tobi dengan sudah berpenampilan laki-laki.
“Maaf Kenneth, aku dijemput Daniel… kami ada acara berdua sehabis ini, kau pulanglah duluan… “ kata Collin dengan kejamnya.
Kenneth terdiam syok.
Tobi dan Thessa yang melihat mereka saling pandang bingung.
Tiba-tiba pintu café terbuka, terlihat Daniel masuk ke dalam café dengan setengah cemas berjalan ke arah Collin,
“Ada apa Collin ? tadi kau meneleponku kau bilang…”
“Ahhh… kau sudah datang rupanya, ayo kita pergi sekarang… “ kata Collin cepat memotong perkataan Daniel, ia menyeret Daniel keluar dari café,
“Tobi, Thessa, Kenneth, kami pergi dulu… “ kata Collin sekilas sebelum ia menghilang dari pandangan.
Kenneth memandang ke arah pintu dengan pandangan kosong, sementara Tobi dan Thessa saling pandang semakin bingung.
Di depan café Collin berhenti menyeret Daniel setelah mereka sampai di samping motor Daniel.
“Ada apa sih ? tadi kau meneleponku dengan nada bicara ketakutan memintaku menjemputmu, kupikir sesuatu yang buruk menimpamu… “ kata Daniel bingung.
“Tidak ada apa-apa… aku hanya ingin diantar pulang olehmu saja… “ kata Collin.
Daniel menatap Collin dengan bingung.
“Kenapa tidak dengan Kenneth ? tadi kulihat ada dia di dalam… “ kata Daniel.
“Kau tidak mau mengantarku pulang ? ya sudah aku jalan saja !!! “ kata Collin sewot lalu mulai berjalan pergi, suasana hatinya sedang tidak bagus sejak sore tadi.
“Bukan begitu Collin… “ kata Daniel cepat menarik tangan Collin.
Daniel menatap ke arah dalam café sejenak, pasti sedang ada masalah pikirnya,
“Ya sudah, ayo naik…” katanya kemudian naik duluan ke atas motornya, disusul Collin.
Motorpun melaju meninggalkan café Arlochrion, Collin menatap ke dalam café dengan pandangan sedih.

Esok harinya.
Jam di dinding rumah Kenneth menunjukan pukul 9 pagi.
“Sudah kau bereskan semua barang-barangmu ?” tanya Gabriella.
Kenneth mengangguk lesu.
“Bagus, setengah jam lagi kita berangkat ke halte.. aku mau mengecek hal lain dulu...” kata Gabriella kemudian beranjak pergi meninggalkan Kenneth sendirian di ruang keluarga.
Samuel mendatangi Kenneth, ia menatap Kenneth dengan iba.
“Kau yakin akan pergi begitu saja ?” tanya Samuel, “yakin kau tidak mau menyatakan perasaanmu padanya ?”
Kenneth menatap Samuel dengan tatapan merana.
“Aku tidak mau meninggalkan kenangan buruk padanya... “ jawab Kenneth.
“Kalau kau tidak memberitahunya dan pergi begitu saja malah akan menjadi kenangan buruk, bagi kalian berdua..” kata Samuel.
“Untuk apa ?” tanya Kenneth frustasi, “untuk apa aku memberitahunya kalau aku sudah tahu jawabannya... aku belajar dari Daniel, Sam.. Collin tidak mungkin membalas perasaanku... tidak akan pernah...”
“Setidaknya kau sudah mencoba... kau sudah membiarkan dia tahu perasaanmu... kau tidak akan menyesalinya seumur hidupmu...” kata Samuel lagi.
“Lalu bila aku sudah memberitahunya lalu apa ??” tanya Kenneth, “Aku menyatakan perasanku kemudian aku pergi meninggalkannya begitu saja, terkejut tanpa tahu apa-apa..”
“Kau tidak harus pergi, Ken...” jawab Samuel serius, “kau punya pilihan,... if he wants you to stay, then stay !!”
Kenneth menunduk diam.
Sementara itu di cafe Arlochrion.
Collin tak henti-hentinya menatap jam di dinding cafe, ia sudah berpenampilan laki-laki sekarang, ia datang sebagai pelanggan.
“Busnya berangkat 1 jam lagi..” kata Thessa.
Collin menatapnya,
“Aku tak mengerti apa maksudmu...” katanya.
“Kau tahu benar apa maksudku... “ kata Thessa.
Pintu cafe terbuka, Daniel tampak memasuki ruangan utama cafe, ia berjalan ke tempat Collin duduk, kemudian duduk di sebelahnya.
“Kupikir kau sedang mengantar Kenneth ke halte..” kata Daniel.
Thessa menghembuskan napasnya dengan keras.
“Aku tidak punya kewajiban untuk itu..” kata Collin.
“Well, kupikir karena kau,, uhmm.. you know... dia kan sahabatmu, jadi menurutku sudah sewajarnya kau mengantar kepergiannya..” kata Daniel lagi.
“Kalau dia menganggapku sahabatnya, dia akan memberitahuku tentang kepindahannya dari jauh hari..” kata Collin kesal.
Daniel mengangkat bahunya.
“Terserah kau, asal kau tidak menyesal saja nantinya...” kata Daniel.
Collin menatap Daniel lekat-lekat.
“Kenapa aku harus menyesal ?” tanyanya.
Daniel balas menatap Collin,
“Sudah waktunya kau jujur dengan perasaanmu sendiri..” jawab Daniel.
“Apa maksudmu ?” tanya Collin.
“Kau paham benar apa maksudku...” jawab Daniel.
“Tidak.” sangkal Collin.
“Ohh ayolah..” tambah Thessa.
Collin menatap bergantian antara Thessa dan Daniel.
“Aku tidak paham apa maksud kalian... “ katanya.
“Kami tahu, kau juga tahu, bagaimana perasaanmu terhadap Kenneth...” kata Daniel.
Collin menatap bingung pada Daniel.
“Perasaan apa yang kau maksud ? apa yang harus kurasakan pada sahabatku sendiri ? sayang ? ya, tentu saja, dia kan sahabatku...” kata Collin semakin bingung.
“Apa yang kau rasakan terhadap Kenneth, lebih dari perasaan sayang pada sahabat, kau tahu itu dengan baik..” kata Thessa.
Collin terdiam sambil menatap Thessa.
“Kau menyukainya, Collin... kau menyukainya lebih dari sekedar sahabat...” kata Thessa.
“Ap.. apa... kau pasti bercanda.. aku tidak... tidak mungkin...” Collin terbata.
“Sadarilah Collin, kau menyukainya, segala perhatianmu padanya, caramu memandangnya, sikap dan perilakumu padanya...” tambah Daniel, “kau menyukainya...”
Collin terdiam, ia mencoba menggambar wajah Kenneth dalam benaknya, senyumnya, suaranya, perhatian Kenneth padanya selama ini, sikapnya, tingkah lakunya... baru sekarang ia sadari betapa semua hal tentang Kenneth begitu menyenangkan baginya, begitu membahagiakan, begitu menyejukan hatinya, dan betapa ia merindukan semua itu, dan ingin memilikinya hanya untuk dirinya sendiri, ia menginginkan Kenneth, hanya untuk dirinya sendiri.
“Ak... aku.. menyukai.. Kenneth ?” tanyanya pelan.
“Ya !!” kata Daniel dan Thessa bersamaan.
“Apa itu... berarti aku...” Collin menatap Thessa dan Daniel mencari penjelasan.
“Tidak usah pedulikan jenis kelamin dan sebagainya, Love is Love, dude... whatever it is...” kata Daniel, Thessa mengangguk setuju.
Collin menatap keduanya.
“Masih belum terlambat untuk menahannya..” kata Thessa.
Collin menatap jam dinding, 30 menit sudah lewat dari pukul 9, itu artinya setengah jam lagi bus Kenneth akan berangkat, Collin kemudian menunduk,
“Tapi aku tetap tidak bisa menahannya...” katanya lesu.
“Apa lagi masalahnya sekarang ?” tanya Daniel.
“Aku tidak mungkin menyatakan perasaanku padanya...” jawab Collin.
“Kenapa tidak mungkin ?” tanya Thessa.
“Ini perasaan sepihak dariku saja, kemungkinannya kecil sekali Kenneth memiliki perasaan yang sama padaku, biar bagaimanapun... kami sama-sama..., “ Collin kembali menunduk ,”laki-laki...”
Thessa dan Daniel saling tatap frustasi.
“Kenneth menyukaimu lebih dari apapun, Collin... bahkan jauh sebelum kau menyadari perasaanmu padanya... dia sudah menyukaimu... “ kata Daniel.
Collin tertawa hambar.
“Bagaimana kau bisa yakin dengan hal itu ? Kenneth menganggapku hanya sebagai sahabatnya... bila aku menyatakan perasaanku padanya, reaksinya pasti akan sama dengan reaksiku saat kau menyatakan perasaanmu padaku..” kata Collin pada Daniel.
“Tidak akan sama...” kata Daniel.
“Katakan padaku di mana perbedaannya...” tantang Collin.
“Dalam kasus kita, kau menolakku karena kau tidak menyukaiku, tapi dalam kasusmu dan Kenneth,...” Daniel mengambil jeda sejenak, “Kenneth juga menyukaimu, jadi mustahil dia akan menolakmu..”
“Aku masih belum yakin tentang hal itu..” kata Collin.
Daniel memegang pundak Collin.
“Kenneth sendiri yang mengatakannya padaku...” kata Daniel.
“Ap... apa ?? tidak mungkin, kau pasti bohong...” kata Collin.
“Aku berani bersumpah, Collin...” kata Daniel serius, “saat dia datang mencariku ke sekolah, dia memberitahuku tentang perasaannya padamu, dia sudah menyukaimu sejak awal dia melihatmu... selama ini dia menyimpan perasaannya untuk dirinya sendiri.. dia tidak mengatakannya padamu karena takut hal itu akan merusak persahabatan kalian...”
Collin menatap mata Daniel lekat-lekat, Daniel jelas tidak berbohong, matanya menyiratkan kejujuran yang amat sangat.
“Aku dan Tobi selalu memperhatikan kalian berdua selama ini, dan dari pengamatan kami, semua perhatiannya kepadamu,... menyiratkan bahwa dia benar-benar menyukaimu..” tambah Thessa.
Collin kembali menatap kedua temannya ini.
“Tapi, sekalipun aku menyatakan perasaanku padanya, belum tentu dia akan membatalkan keberangkatannya ke luar negri..” kata Collin lagi.
“Kita tidak akan pernah tahu bila tidak dicoba..” kata Thessa.
Collin menatap kedua temannya lagi, meminta dukungan.
“15 menit lagi... tetapkan hatimu, Collin..” kata Thessa sambil melirik jam dinding.
Collin menutup matanya sejenak, mencoba memantapkan hatinya.
Ia kemudian membuka matanya, ia kini sudah mantap dengan hatinya, ia menatap Daniel.
“Aku butuh bantuanmu....” katanya.

Halte bus.
Daniel memarkirkan motornya, setelah perjalanan ekstra buru-buru dari cafe ke halte, ia akhirnya dapat menghela napas lega.
“Ayo Dan..” kata Collin yang sudah turun dari motor Daniel dan sudah melepas helmnya.
“Ya.” kata Daniel.
Setelah yakin motor Daniel aman, keduanya kemudian berlari seperti orang gila menyusuri halte ke tempat bus-bus yang akan berangkat diparkir.
Sementara itu Kenneth sudah setengah jalan menuju bus mengikuti kedua saudaranya yang jalan di depan,
Kenneth menoleh dengan putus asa untuk yang terakhir kalinya, berharap sahabat berambut coklatnya akan datang untuk mengantar kepergiannya.
Kakinya sudah akan menginjak bus ketika suara yang ia harap-harapkan ia dengar dari tadi terdengar memanggil namanya dengan lantang.
Kenneth berbalik dan mendapati Collin dan Daniel berdiri sekitar 10 meter darinya.
Collin berjalan mendekat sementara Daniel tetap bertahan di tempatnya.
“Ku... kukira kau sedang ada urusan..” kata Kenneth canggung.
“Aku bohong.” kata Collin.
“Apa ?” tanya Kenneth.
“Aku bohong karena aku tidak mau mengantar kepergianmu... aku tidak mau melihatmu pergi... tidak setelah semua hal yang kita lewati bersama.. tidak setelah aku akhirnya menyadari perasaanku..” kata Collin.
Kenneth menunduk.
“Aku harus pergi demi kebaikan kita..” katanya, “bila aku tetap di sini... aku takut akan merusak persahabatan kita..”
Collin terdiam.
“Ada yang harus kuberitahu padamu...” kata Kenneth sedikit ragu.
Collin masih tetap terdiam,
“Alasanku pergi adalah karena..”
“Aku menyukaimu !!” kata Collin mantap memotong kata-kata Kenneth.
“Ap.. apa ?” tanya Kenneth kaget.
“Aku menyukaimu, Kenneth... aku menyukaimu lebih dari sekedar sahabat... segala perhatianmu padaku, membuatku merasakan perasaan lain, perasaan yang lebih dalam dari sekedar hanya perasaan sayang pada sahabat, aku ingin memilikimu.. hanya untukku seor...”
Collin tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena bibirnya sudah duluan dibungkam oleh bibir Kenneth.
Kenneth mengecup bibir Collin dalam sekejap mata, ia sudah tidak peduli lagi dengan keadaan sekitar, yang ia tahu bahwa perasaan yang selama ini ia pendam akhirnya terbalaskan, dan ia sangat senang karenanya.
Collin terpaku di tempatnya, wajahnya luar biasa merah, ia membisu tanpa tahu harus berkata apa.
“Aku juga suka padamu.” kata Kenneth.
Keduanya saling tatap penuh arti, segala yang mereka rasakan dan pikirkan tersalurkan lewat tatapan itu.
“Jangan pergi, Kenneth..” kata Collin akhirnya.
“Tidak akan.” kata Kenneth.
Keduanya menatap ke arah bus, di mana Gabriella dan Samuel berdiri menunggu sedari tadi.
“Well, kita harus mendaftarkanmu kembali ke sekolahmu yang lama berarti...” kata Gabriella.
Kenneth tersenyum.
“Terima kasih, Kak..” katanya.
Gabriella balas tersenyum,
“Aku yakin Ayah dan Ibu akan mengerti...” katanya.
Samuel juga ikut tersenyum.
“Ayo, Sam, busnya akan berangkat sebentar lagi..” kata Gabriella kemudian beranjak masuk ke dalam bus.
“Bye, brother... “ kata Samuel.
“Bye..” balas Kenneth.
“Sering-seringlah kirim surat..” kata Samuel lagi.
“Aku janji.” kata Kenneth.
Samuel kemudian tersenyum pada Collin, ia lalu mengikuti kakaknya masuk ke dalam bus, bus pun lalu berangkat meninggalkan Collin dan Kenneth berdiri berdampingan.
“Ayo pulang..” ajak Collin.
Kenneth menatap Collin kemudian tersenyum padanya,
“Ayo.” balasnya.

Epilog

Sementara itu, setelah berhasil mempertemukan Collin dengan Kenneth, Daniel memutuskan untuk meninggalkan mereka berdua saja, ia berjalan kembali ke tempat parkir, kemudian menjalankan motornya kembali ke cafe Arlochrion.
Sesampainya di cafe ia duduk di tempatnya yang biasa.
“Bagaimana ?” tanya Thessa.
Daniel mengangkat keningnya,
“Collin berhasil mengejar Kenneth..” katanya.
“Lalu ?” tanya Thessa.
“Entahlah, kutinggalkan mereka berdua berbicara... semoga saja Collin bisa membuat Kenneth tinggal.” jawab Daniel.
“Well, hope so..” dukung Thessa.
Daniel menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Kenapa kau ?” tanya Thessa khawatir.
“Entahlah... semua hal tentang percintaan antar sesama jenis ini membuatku... “ Daniel menghela napasnya sambil mengangkat kedua tangannya, “membuatku sedikit pusing...”
Thessa menatap Daniel sejenak,
“Tunggu sebentar.” katanya, ia lalu pergi ke dapur, tak lama kemudian ia kembali dengan membawa sebuah cangkir.
Thessa menyodorkan cangkir tersebut pada Daniel.
“Minumlah, ini coklat panas... sepengetahuanku coklat dapat menenangkan pikiran..” kata Thessa.
Daniel menatap Thessa, beberapa waktu yang lalu pernah ada seorang pelayan cafe yang mengatakan hal yang sama padanya.
Daniel mengambil cangkir berisi coklat panas yang disodorkan Thessa,
“Thanks.” katanya.
Thessa tersenyum.
Dan di hari-hari pasca pengunduran diri Caroline, Daniel masih rajin datang ke cafe Arlochrion, ia rajin menunggu anak perempuan pemilik cafe bekerja, sebulan kemudian keduanya resmi menjadi sepasang kekasih.
Terkadang di waktu senggang mereka, Collin dan Kenneth masih sering datang ke cafe, menghabiskan sore bebas mereka menikmati secangkir coklat panas bersama Daniel, Thessa, dan Tobi.
 
 
E N D

 GO TO MY GAY BESTFRIEND


0 comments:

Post a Comment