DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Collin & Kenneth Page 6

Page 6
by GoodFriend

Daniel sudah mempersiapkan hati dan diri untuk hari ini, sejak pagi yang ada dipikirannya hanya perkiraan-perkiraan reaksi Carol nanti jika ia sudah menyatakan perasaannya pada Carol, Daniel tentu sudah menyiapkan mentalnya seandainya nanti ternyata Carol menolak dirinya, ia sudah menyiapkan kata-kata penghiburan untuk dirinya sendiri seandainya kemungkinan buruk itu terjadi.
Begitu bel tanda usai sekolah berbunyi Daniel langsung membereskan barang-barangnya dengan cepat, sama seperti saat Collin pertama kali bekerja dulu, ia bergegas menuju café Arlochrion, ia sudah bertekad akan menyatakan perasaannya pada Carol hari ini, bahkan seandainya Kenneth ada di situ dan menolak meninggalkan mereka hanya berdua saja, Daniel sudah siap.
Jarak sekolah Daniel ke café Arlochrion memang lebih jauh dibandingkan jarak sekolah Collin, butuh kurang lebih 10 menit berjalan kaki untuk bisa sampai di cafe, seandainya waktu tempuhnya 10 jam berjalan kakipun mungkin akan dijalani oleh Daniel asal ia bisa bertemu dengan Carol.
Pintu café terbuka, Daniel memasuki ruangan utama café dengan berdebar-debar,
“Siang, Daniel..” sapa Collin.
Daniel memandang sekeliling café, ia lalu tersenyum pada Carol, ia tidak menemukan Kenneth dimanapun.
“Mana Kenneth ?” tanya Daniel.
“Dia ada urusan penting hari ini, jadi tidak bisa datang ke café…” jawab Collin.
Mendadak Daniel menjadi bersemangat, ini suatu kebetulan yang sangat pas dan menguntungkan, ini kesempatan emas baginya.
Daniel duduk di tempat biasa, ia meremas-remas tangannya dengan gugup,
“Mau pesan sesuatu ?” tanya Collin.
“Ehh..ahh.. boleh..aku haus..” jawab Daniel.
“Kau mau pesan apa ?” tanya Collin lagi.
“Terserah kau saja…” jawab Daniel.
“Hhhmm… panas-panas begini kupesankan kau jus mangga saja,ya…” usul Collin.
Daniel mengangguk gugup.
Collin kemudian berjalan menuju dapur, meninggalkan Daniel sendirian di meja konter.
Tak berapa lama kemudian Collin kembali dengan segelas jus mangga segar di tangannya,
“Silahkan..” katanya sambil meletakkan jus mangga yang ia bawa di hadapan Daniel.
“Thanks.” kata Daniel.
“Kutinggal dulu sebentar,ya.. “ kata Collin, keadaan café saat itu sedang ramai, jadi Collin tidak ada waktu untuk meladeni Daniel ngobrol, Thessa, Tobi dan karyawan café lainpun sedang sibuk melayani pelanggan.
Daniel menghembuskan napas, ia memandang sekeliling, tidak seperti biasanya, hari ini café ramai sekali.
“Hai, Daniel… “ sapa Thessa yang baru kembali dari mengantar pesanan.
“Hai, Thess… “ balas Daniel lesu.
“Kenapa kau ? wajahmu pucat sekali…” kata Thessa.
“Hah ? masa sih ? aku tidak kenapa-kenapa… “ kata Daniel.
Thessa meraba dahi Daniel dengan punggung tangannya,
“Tapi badanmu tidak panas,kok… “ katanya.
Daniel mengangkat bahunya.
Thessa menatap Daniel lekat-lekat.
“Kau sedang mencemaskan sesuatu ya ? atau kau sedang gugup ?” tanyanya lagi.
“Dua-duanya…” jawab Daniel sambil memandang Collin yang sedang mengambil pesanan pelanggan.
Thessa ikut memandang ke arah pandangan Daniel, ia langsung mengerti penyebab pucatnya wajah Daniel, ia tersenyum hangat.
“Kau mau menyatakan perasaanmu pada Carol, ya ?” tanyanya ramah.
“Ba.. bagaimana kau… tahu ??” tanya Daniel kaget, wajahnya langsung berubah warna menjadi merah padam saat itu juga.
Thessa tersenyum,
“Dan... dan lagi… darimana kau tahu ka.. kalau aku.. aku me.. menyukai Carol ??” tanya Daniel lagi dengan gugup.
Thessa tertawa kecil,
“Kisah cinta antara kau, Carol dan Kenneth sudah menjadi hiburan pribadiku dan Tobi selama sebulan terakhir ini, kami berdua rajin lho mengikuti perkembangan kalian…” jawabnya dengan masih tertawa.
Daniel terdiam malu.
Thessa menepuk pundak Daniel,
“Semoga berhasil.” bisiknya kemudian pergi mengambil pesanan pelanggan yang baru datang dan meninggalkan Daniel terdiam membatu di tempatnya dengan wajah masih merah padam.
Thessa masih tersenyum kecil, ini memang sangat menarik baginya dan kakaknya, kisah cinta segitiga antara 3 laki-laki tampan, ia penasaran apa yang akan terjadi di akhir cerita ini.
Collin sedang berjalan kembali ke tempat Daniel ketika tiba-tiba pintu café terbuka, ia terkejut melihat siapa yang datang, Collin melihat Kenneth berjalan masuk ke dalam café sambil dirangkul pundaknya dengan mesra oleh seorang perempuan yang dari tampilannya bisa diperkirakan umurnya di atas Kenneth, perempuan ini sangat cantik, rambutnya pirang lurus sebahu, postur tubuhnya proporsional, diperkirakan umurnya sekitar dua sampai tiga tahun di atas Kenneth.
Collin menatap Kenneth, ada yang aneh dengan penampilan Kenneth, model rambutnya yang biasanya mohawk menantang langit kini berubah menjadi seperti model rambut Collin yang belah pinggir, ia juga mengenakan kacamata dan pakaiannyapun rapi, tidak seperti biasanya, penampilan Kenneth yang sekarang membuatnya terlihat tampak manis, jauh dari kesan garang yang biasanya orang dapatkan ketika pertama kali bertemu dengan Kenneth.
Sekilas Kenneth menatap Collin tapi kemudian ia mengalihkan pandangannya ke arah lain seakan-akan ia tidak mengenali Collin.
Kedua orang tersebut lalu duduk di meja yang letaknya di tengah ruangan café,
Daniel dan Collin saling bertukar pandang bingung,
Kenneth dan perempuan tersebut tampak sedang memilih pesanan mereka di buku menu yang sudah tersedia di setiap meja.
Collin kemudian menghampiri kedua orang tersebut,
“Ha…”
“Kami pesan nasi goreng udangnya dua porsi dan jus jeruknya dua, nona…” kata Kenneth memotong sapaan Collin.
Collin terdiam kaget mendengar perkataan Kenneth tadi,
Ҁ�Ap.. apa ?” tanyanya tidak percaya.
“Nasi goreng udang dua porsi dan jus jeruk dua… nona, kau baik-baik saja ??” tanya Kenneth lagi.
Collin menatap Kenneth, Kenneth balas menatapnya dengan bingung.
“Ahh.. ah.. iya… ba.. baiklah…” kata Collin akhirnya.
“Itu saja.” kata Kenneth lagi.
“Ba.. baiklah… silahkan ehh.. ditunggu…” kata Collin lagi, ia kemudian berjalan gontai menuju tempat Daniel.
“Kenapa ?” tanya Daniel,
Collin memandang Kenneth dengan masih tidak percaya,
“Entahlah… ia reperti tidak mengenaliku…” jawab Collin .
Daniel ikut memandang Kenneth yang saat ini sedang berbicara dengan perempuan di hadapannya itu.
“Kau yakin itu dia ?” tanya Daniel.
“Wajahnya sih memang dia, tapi penampilannya jauh berbeda, dan ia… tidak mengenaliku…” jawab Collin kosong.
“Kau yakin tidak pernah mendengar bahwa dia punya kepribadian ganda ?” tanya Daniel lagi.
Collin melotot pada Daniel.
“Siapa tahu, kan… “ kata Daniel sambil mengangkat bahunya.
“Apa dia sedang bersandiwara, ya ?” tanya Collin mencari pembenaran.
“Lalu siapa perempuan yang sedang bersamanya itu ?” tanya Daniel lagi.
“Entahlah… “ jawab Collin.
“Apa mungkin itu pacar Kenneth ?” tanya Daniel bersemangat.
Sesuatu bergejolak hebat dalam dirinya memikirkan kemungkinan tersebut.
“Apa itu perempuan yang selama ini disukai Kenneth ? jangan-jangan Kenneth tidak mau memberitahuku karena dia malu dia menyukai perempuan yang usianya lebih tua darinya ??” tanya Collin dalam hati.
Collin merasa hatinya tidak enak memikirkan kemungkinan itu.
Daniel menatap Collin.
“Kau… cemburu, ya ?” tanyanya takut-takut.
Collin terdiam, ia tidak mengiyakan juga tidak menyangkal pertanyaan Daniel karena dia sendiri bingung dengan perasaannya saat ini.
Sebagai sahabat yang baik ia harusnya mendukung apapun yang dilakukan Kenneth, tapi tetap saja, sesuatu dalam dirinya menentang fakta bahwa Kenneth sedang dekat dengan perempuan lain (?).
Pintu café sekali lagi terbuka, Collin dan Daniel terkejut melihat siapa yang datang,
Mereka melihat Kenneth masuk ke dalam café dengan terengah-engah, kali ini Kenneth yang mereka lihat penampilannya lebih familiar, dengan model rambut mohawk, tanpa kacamata dan pakaian yang berantakan, otomatis mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Kenneth yang satu lagi, yang saat ini terlihat sedang tertawa bersama perempuan yang bersamanya.
“Pegangi aku Daniel, sepertinya aku mau pingsan..” kata Collin.
Daniel merangkul pinggang Collin dengan polos, Collin melotot padanya.
Kenneth yang baru tiba ini menatap lega pada Kenneth yang sedang duduk, ia kemudian menghampirinya.
Collin dan Daniel saling bertukar pandang bingung kemudian ikut menghampiri Kenneth yang berkacamata.
“Akhirnya kutemukan juga kalian !!!” kata Kenneth yang baru tiba.
“Ohh hai, Ken.. “ sapa Kenneth yang berkacamata.
“Tolong jelaskan padaku, Kenneth ?” tanya Collin yang langsung mencari penjelasan dari situasi membingungkan yang sedang terjadi di depan hidungnya ini.
“Hai Coll… ehh… Carol… “ sapa Kenneth, kedua orang yang sedang duduk sekonyong-konyong menatap Collin dengan antusias.
“Maaf, ini pasti membuatmu bingung…” tambah Kenneth lagi.
“Memang,… jelaskan kalau begitu…” pinta Collin.
“Ini Gabriella, kakakku, dan Samuel, adik kembarku…” kata Kenneth kemudian.
“Adik apa ?” tanya Collin ragu sambil memandang Samuel yang tersenyum ramah padanya.
“Adik kembarku, bukankah aku sudah pernah bercerita padamu tentang keluargaku ?” tanya Kenneth.
“Yahh… kau sudah pernah cerita kalau kau punya seorang kakak perempuan dan seorang adik laki-laki, tapi kau tidak bilang kalau itu adik KEMBAR laki-laki.” kata Collin.
Kenneth tersenyum,
“Salahku kalau begitu.” katanya.
Collin dan Daniel kemudian berjabat tangan dengan Gabriella dan Samuel.
“Aku kembali ke tempat dudukku ya.. “ kata Daniel, sesaat ia dan Kenneth saling tatap.
“Aku juga harus kembali bekerja, pesanan kalian saja belum kuantar, sebentar, ya..” kata Collin, ia dan Daniel kemudian berjalan meninggalkan tempat Samuel dan Gabriella duduk.
“Aku kaget ketika menerima telepon darimu tadi siang, mangkanya aku langsung cepat-cepat pulang, tumben sekali kalian datang tiba-tiba begini, biasanya kalian memberitahuku sehari sebelumnya bila mau datang berkunjung..” kata Kenneth pada kakaknya.
Gabriella dan Samuel saling tatap takut.
“Ada apa ?” tanya Kenneth mendadak serius setelah melihat gelagat yang mencurigakan dari kedua saudaranya.
“Ada berita penting yang harus kami sampaikan padamu, Ken..” kata Gabriella.
“Berita apa ?” tanya Kenneth.
“Kita bicarakan di rumahmu saja nanti, ya…” jawab Gabriella.
Kenneth menatap curiga pada kedua saudaranya, bila keduanya sudah saling tatap ketakutan begitu pasti ini bukan berita baik pikirnya.

Malam itu hujan turun deras sekali, jam di dinding café sudah menunjukan pukul 9 malam, karyawan café sedang siap-siap untuk tutup.
Collin berdiri menghadap kaca etalase, menatap hujan di luar lewat kaca.
“Hujan seperti ini pasti baru akan berhenti besok pagi..” kata Tobi yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelah Collin.
“Lalu bagaimana nasibku, nih ?” tanya Collin.
Kenneth yang biasanya mengantar Collin pulang sehabis bekerja dengan menggunakan motor sudah berpamitan pulang bersama kedua saudaranya sore tadi, katanya ada hal penting yang mau mereka bicarakan.
“Ehhmm… Carol… rumahku dekat dari sini, bagaimana kalau malam ini kau menginap di rumahku saja, aku janji tidak akan berbuat yang macam-macam kok… lagipula, ehhmm… ada yang mau kubicarakan denganmu… “ usul Daniel.
Collin menatap Daniel, ia tampak sedang menimbang-nimbang,
“Ide bagus, kupinjami payung untuk kalian pakai jalan menuju rumah Daniel… bagaimana ?” tanya Thessa yang sudah ikut gabung berdiri di depan kaca etalase bersama tiga orang yang lain.
Collin kembali menatap hujan di luar lewat kaca etalase, Tobi benar, hujan sederas ini baru akan berhenti besok pagi, lagipula, tadi pagi Ibunya sudah memberitahunya bahwa malam ini ia akan menginap di kantornya untuk menyelesaikan laporan bulanan, itu artinya, Collin akan tidur sendirian di rumahnya, daripada itu, akan lebih menyenangkan bila ia menerima saja ajakan menginap Daniel, tapi kemudian ia ingat penyamarannya.
“Bagaimana dengan keluargamu, Daniel ?” tanya Collin.
“Aku tinggal sendirian kok…. “ jawab Daniel.
Tobi dan Thessa saling bertukar pandang, entah pemikiran gila apa yang ada di dalam otak keduanya.
“Tenang saja, kau bisa tidur di kamar tamu kok, dan aku tidur di kamarku.. “ tambah Daniel.
“Ahh…kamar terpisah, kalau begitu aku bisa tenang…” kata Collin lega dalam hati.
“Baiklah… “ kata Collin akhirnya.
“Kau mau ??” tanya Daniel senang.
Collin mengangguk.
Singkat cerita akhirnya Collin ikut pulang ke rumah Daniel, keduanya berpamitan pada Tobi dan Thessa yang mengantarkan kepergian mereka dengan senyum mencurigakan tersungging di bibir keduanya.
Rumah Daniel memang tidak jauh dari café, tidak sampai 3 menit keduanya sudah tiba di rumah Daniel. Sesampainya di rumah, Daniel langsung mengulurkan handuk bersih pada Collin dan menyuruhnya untuk mengelap tubuhnya yang lumayan kebasahan di dalam kamar mandi.
Rumah Daniel tidak kalah besarnya dengan rumah Kenneth, dan juga hanya ditinggali satu orang penghuni saja, kesamaan lain antara Kenneth dan Daniel yang terjaring pengamatan Collin.
Bedanya rumah Daniel tampak lebih rapi dan terasa lebih hangat dibandingkan dengan rumah Kenneth.
“Silahkan duduk, kubuatkan sesuatu yang hangat untukmu…” kata Daniel setelah Collin selesai mengelap tubuhnya, ia lalu menghilang ke dapur, meninggalkan Collin seorang diri di ruang depan rumah itu.
Tak lama kemudian Daniel kembali dengan membawa dua cangkir teh hangat, mengulurkan satu pada Collin.
“Terima kasih..” kata Collin, kemudian meniup tehnya agar cepat dingin.
“Rumahmu bagus…. kau tinggal sendiri saja di sini ?” tanya Collin sambil menyeruput tehnya dengan perlahan-lahan.
“Ya.” jawab Daniel.
“Keluargamu mana ?” tanya Collin lagi.
“Kedua orang tuaku sudah lama meninggal, tinggal aku berdua dengan kakak laki-lakiku, sekarang dia sedang bekerja di luar negri, dua bulan sekali dia pulang untuk menjengukku, dia yang membayar pendidikanku semenjak orang tuaku meninggal..” jawab Daniel.
“Maaf..” kata Collin yang jadi tidak enak sudah menanyakan tentang keluarga Daniel.
Daniel tersenyum,
“Tidak apa-apa, kejadiannya sudah lama sekali kok…” katanya.
Collin mengangguk sambil kembali menyeruput tehnya.
“Ceritakan tentang keluargamu…” kata Daniel.
“Well,… uhh… orang tuaku sudah bercerai, sekarang aku tinggal dengan ibu dan adik laki-lakiku, sedangkan ayahku pindah ke kota sebelah dan sudah menikah lagi, aku punya seorang saudara tiri laki-laki yang umurnya sama denganku dan seorang saudara tiri perempuan yang baru berumur 5 tahun, kadang-kadang aku berlibur ke rumah ayahku…” kata Collin.
“Apa mereka baik ? Ibu dan saudara-saudara tirimu maksudku…” tanya Daniel.
“Tante Merilyn baik kok, hubunganku dengan Jordanpun baik, dan aku juga menyayangi Jennifer, ia manis sekali.. aku sayang sekali padanya…” jawab Collin lagi.
Daniel mengangguk mendengar cerita Collin.
Keduanya terdiam canggung selama beberapa saat, hujan di luar tidak nampak akan mereda dalam waktu dekat, angin yang berhembus kencang membuat daun-daun di pohon bergesekan dan suara gesekannya terdengar hingga ke dalam rumah, sementara itu Daniel sedang sibuk mengumpulkan keberaniannya.
“Tadi kau bilang ada yang mau kau bicarakan denganku, apa itu ?” tanya Collin.
“Ehh… ahh… “ Daniel menjadi gugup karena tiba-tiba ditanya oleh Collin.
Collin meletakkan cangkirnya yang sudah kosong, ia menatap Daniel, siap mendengarkan apa yang akan dibicarakan Daniel dengannya.
Daniel menghela napasnya untuk memantapkan hatinya, ia juga meletakkan cangkirnya kemudian menatap Collin lekat-lekat.
“Carol… “ katanya pelan.
“Ya..” balas Collin dengan tenang.
“Sebelumnya, kuharap setelah kau mendengar apapun yang akan kukatakan padamu, apapun nanti reaksimu, kumohon jangan menjauhiku, kalau nanti ternyata reaksimu tidak seperti yang kuharapkan… “ Daniel terdiam sebentar, “ berpura-puralah kau tidak pernah mendengar apa-apa dan malam ini tidak pernah terjadi apapun…”
“Ehh… oke.” kata Collin bingung,
Daniel menatap lurus langsung ke mata Collin, tatapannya serius dan tajam, membuat Collin sedikit ketakutan.
“Aku… “ Daniel masih tampak ragu.
Collin menunggu dengan sabar sambil masih menatap Daniel,
“Aku menyukaimu, Carol…” kata Daniel akhirnya.
Collin terdiam sambil masih menatap Daniel, tapi kali ini tatapannya kosong.
“Aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu, aku ingin kau menjadi pacarku…” tambah Daniel, kali ini ia sudah cukup mantap.
“Dan… Daniel.. aku…” Collin terbata, ia tidak tahu harus berkata apa.
“Jangan sungkan padaku, Carol, kalau kau tidak suka padaku, katakan tidak suka.. aku sudah siap apapun keputusanmu… “ kata Daniel.
“Bukan… aku suka padamu, tentu saja… kau baik, sopan, menyenangkan… aku senang berteman denganmu…” kata Collin akhirnya.
“Aku ingin lebih dari teman denganmu, Caroline.” kata Daniel.
“Itu… itu… “ Collin menghela napasnya dengan berat, “ aku takutnya itu tidak bisa terjadi…”
“Kalau kau mau memberiku kesempatan, aku bisa membuatmu menyukaiku…” kata Daniel masih belum menyerah.
“Aku menyukaimu Daniel, sebagai teman, tapi aku tidak bisa menyukaimu lebih dari itu, tidak akan pernah bisa…” kata Collin lagi.
Daniel tertawa suram,
“Karena kau menyukai Kenneth, kan ?” tanyanya.
“Bu…bukan… rasa sukaku padanya sama seperti rasa sukaku padamu, Daniel..” sangkal Collin.
“Jangan bohong, Carol, aku selalu memperhatikan caramu menatapnya, caramu mengobrol dengannya, caramu tertawa bersamanya, caramu membicarakannya…. kau menyukainya…” kata Daniel.
Collin menunduk, wajahnya memerah panas,
“Aku…. Aku tidak tahu…” katanya pelan.
“Ya, kau menyukainya, walaupun mungkin kau belum menyadarinya, tapi ya, kau menyukainya, dan itulah kenapa kau tidak bisa menerima perasaanku…” kata Daniel lagi.
“Tidak !!! bukan gara-gara itu aku tidak bisa menerima perasaanmu, Daniel..” bantah Collin.
“Lalu kenapa, Carol ? kenapa kau tidak mau menerima perasaanku ??” tanya Daniel frustasi.
“Ada alasan lain..” jawab Collin.
“Alasan apa lagi ?” tanya Daniel.
“Kau… salah menyukai orang, Daniel… kau pantas mendapatkan orang lain yang memang sesuai denganmu…” jawab Collin lagi.
“Aku menyukaimu bukan hanya karena tampangmu, aku menyukaimu juga karena perhatianmu, sikap dan sifatmu yang menarik perhatianku, aku menyukaimu apa adanya dirimu… aku tidak salah menyukaimu… menyukaimu bukanlah suatu kesalahan.” kata Daniel.
“Salah !!! kau tahu kenapa ?? KARENA AKU JUGA LAKI-LAKI !!! SAMA SEPERTIMU !!!” bentak Collin, kali ini dengan suara laki-lakinya.
Daniel terdiam membatu mendengar perkataan Collin barusan.
“Ap… apa ??” tanyanya tidak percaya.
“Aku laki-laki, Daniel, itulah kenapa aku tidak bisa pacaran denganmu… “ jelas Collin.
Daniel kembali terdiam, menatap Collin dengan tidak percaya.
“Aku punya alasanku sendiri kenapa aku sampai menyamar menjadi perempuan..” kata Collin seraya mencopot wignya, guyuran air hujan tadi sudah menyapu bersih make up dari wajahnya, jadi kini wajahnya tidak terlihat aneh, dan ia juga memakai pakaian pinjaman milik Daniel, pakaian laki-laki karena pakaian perempuannya tadi basah karena kehujanan. Penampilannya sekarang benar-benar penampilan seorang anak laki-laki.
Daniel syok melihat orang yang disukainya berdiri di hadapannya dengan tampilan laki-laki.
“Aku minta maaf karena telah membohongimu selama ini, kuharap kau masih mau berteman denganku setelah ini..” kata Collin lagi.
Daniel masih terdiam, kali ini menatap kosong ke arah lantai.
“Sebaiknya aku pulang saja, kuharap kau masih mau berkunjung ke café… sampai jumpa lagi,…. Daniel…” kata Collin kemudian ia beranjak pergi, walaupun di luar masih hujan deras, tapi Collin memaksakan dirinya berjalan di tengah hujan deras pulang menuju ke rumahnya.

“Kau kenapa sih ?” tanya Kenneth.
Saat ini Kenneth dan Collin sedang berada di kelas Collin, bel tanda istirahat baru saja berbunyi beberapa menit yang lalu, Collin meletakkan kepalanya di atas meja dengan lemas, wajahnya terlihat murung, sementara Kenneth duduk di sebelahnya.
“Dari tadi pagi kulihat kau murung terus, ada yang salah di rumahmu ?” tanya Kenneth.
Collin menggeleng malas.
“Ada yang salah di café kemarin saat aku tidak ada ?” tanya Kenneth lagi.
Collin menggeleng lagi.
Kenneth terdiam sebentar sibuk berpikir,
“Atau ada yang salah denganku ?” tanya Kenneth tidak mau menyerah.
“Tidak.” jawab Collin pelan.
“Lalu apa masalahnya ?????” tanya Kenneth penasaran.
Collin mengangkat kepalanya dari atas meja, ia menghela napas dengan murung.
“Kemarin Daniel mengatakan bahwa dia suka pada Carol… “ jawabnya.
“Lalu ?” tanya Kenneth.
“Jelas aku menolaknya… “ jawab Collin.
“Dia menerimanya ?” tanya Kenneth lagi.
“Dia ngotot ingin pacaran dengan Carol, jadi terpaksa… aku memberitahunya..” jawab Collin.
“Bahwa Carol sebenarnya laki-laki ?” tanya Kenneth.
Collin mengangguk pelan.
“Apa reaksinya ?” tanya Kenneth serius.
Collin mengangkat bahunya,
“Dia terdiam, tampak syok saat mendengarku bicara dengan suara laki-laki, juga saat kulepas wig-ku… tapi aku tidak tahan melihat reaksi lanjutannya, jadi aku memutuskan untuk pergi meninggalkannya yang masih terdiam…” jawabnya.
Kenneth terdiam sambil memandang Collin.
“Aku takut dia membenciku… “ kata Collin.
“Sudahlah, Coll, jangan terlalu dipikirkan, kau tahukan dia bukan tipe pendendam, kita lihat saja nanti, mungkin nanti siang dia akan datang ke café, seperti biasa…” kata Kenneth berusaha menenangkan sahabatnya.
“Entahlah, Ken… aku tidak mau dia jadi membenciku… aku sudah terbiasa melihat senyumnya di café, aku sudah terbiasa mendengar tawa dan celotehannya… aku… dia sudah jadi bagian dari keseharianku selama sebulan terakhir ini… “ kata Collin lagi.
Kenneth mengelus pundak Collin, memberinya dukungan.
“Kita lihat saja nanti siang…” kata Kenneth.
Collin terdiam.
Sepanjang sisa pelajaran hari itu Collin terus terdiam murung, ia tidak mendengarkan perkataan guru yang mengajar di kelasnya, seluruh pikirannya terfokus pada Daniel, Collin sangat menikmati hubungan pertemanannya dengan Daniel selama beberapa waktu terakhir ini, harusnya ia jujur pada Daniel dari awal agar tidak terjadi hal-hal yang di luar dugaan seperti ini, ia tidak menyangja bahwa selama ini Daniel menyimpan perasaan suka padanya, ia benar-benar tidak menyangka dan tidak tahu harus berbuat apa dengan hal itu.
Begitu bel tanda pelajaran hari itu telah usai berbunyi Collin langsung bergegas menyeret Kenneth menuju café, ia berharap akan menemukan Daniel di sana, duduk di tempatnya yang biasa, tapi ia langsung kecewa karena begitu ia sampai di café ia tidak melihat Daniel di meja konter tempat biasa dia duduk dengan Kenneth, ia tidak melihat adanya pemuda chinesse di situ, tidak bahkan sehelai rambutpun.
“Mungkin dia belum datang, tunggu saja…” kata Kenneth berusaha menghibur.
Tapi hingga malam hari café akan ditutup pun tidak tampak adanya tanda-tanda kehadiran Daniel.
“Dia benar-benar marah…” kata Collin sedih.
Kenneth, Tobi dan Thessa hanya bisa terdiam sambil memandang iba pada Collin.
“Mungkin besok.” kata Kenneth lagi.
Collin menggeleng lemah.
Esoknya Daniel tidak juga menampakkan diri di café, begitu pula dengan esok harinya lagi, Collin masih tampak murung, dan Kenneth sudah kehabisan kata-kata untuk menghiburnya.

Keesokan siangnya, seusai sekolah.
“Collin, hari ini sepertinya aku tidak bisa ke café, aku ada urusan dengan Sam..” kata Kenneth.
Collin mengangguk.
“Tidak apa-apa,kan ?” tanya Kenneth.
“Tidak apa-apa…” jawab Collin.
“Baiklah, aku duluan, ya.. aku harus buru-buru…” kata Kenneth lalu bergegas pergi meninggalkan Collin.
“Ya. hati-hati..” kata Collin.
Di depan sekolah Kenneth menghampiri seseorang yang sedari tadi sudah berdiri menunggunya.
Dia adalah Samuel, adik kembar Kenneth.
“Ayo kita pergi sekarang…” kata Kenneth.
Samuel mengangguk, keduanya kemudian bergegas pergi.
Kini keduanya berdiri di depan sebuah sekolah yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolah Kenneth dan Collin, terlihat siswa-siswi sekolah tersebut berhamburan keluar dari pintu gerbang, rupanya mereka baru saja pulang,
“Kau yakin ini sekolahnya ?” tanya Samuel pada kakaknya.
“Ya, aku yakin..” jawab Kenneth.
Keduanya berdiri menunggu selama beberapa menit hingga akhirnya yang ditunggupun muncul,
Seorang siswa berkulit putih mulus dan tampan berjalan gontai keluar melewati gerbang,
“Daniel !!” panggil Kenneth.
Daniel menoleh ke arah panggilan dan terkejut mendapati Kenneth dan Samuel berada di depan sekolahnya.
“Daniel, ada yang mau kubicarakan denganmu… “ kata Kenneth begitu ia sudah berada di hadapan Daniel, sementara Samuel tetap berdiri di tempatnya yang agak jauh dari tempat Daniel dan Kenneth, tugasnya hanyalah mengantarkan Kenneth ke sini, selebihnya bukan urusannya.
“Apa ?” tanya Daniel dengan ketus.
“Kenapa kau tidak pernah datang ke café lagi ?” tanya Kenneth to the point.
Daniel mendengus kasar,
“Apa pedulimu ?” tanyanya dingin.
”Carol mencarimu…” jawab Kenneth.
Daniel tertawa mencibir.
“Buat apa dia mencariku ?” tanyanya.
“Kenapa ? bukankah kau menyukainya ?” tanya Kenneth.
“Dia sudah menipuku, dan juga menipumu, Kenneth dan semua orang !!! Carol yang selama ini kita sukai ternyata seorang penipu !!!” kata Daniel dengan nada tinggi.
“Atas dasar apa kau bicara begitu ?” tanya Kenneth yang tetap tenang.
“Caroline, pelayan café Arlochrion yang banyak digilai pelanggannya itu ternyata adalah seorang laki-laki !!!! aku sudah melihat buktinya !!! kusarankan kau berhenti menyukainya, dan lebih baik lagi bila kau menjauhinya, sama seperti yang kulakukan.” kata Daniel masih dengan nada tinggi.
Kenneth terdiam, ekspresinya tidak dapat terbaca.
“Kau menyukai orang yang salah !!! Caroline itu laki-laki, Kenneth !!!” ulang Daniel.
“Aku tahu.” kata Kenneth.
Daniel terdiam mendengar perkataan Kenneth, mulutnya menganga lebar tidak percaya.
“Ap…apa ?” tanyanya.
“Aku tahu kalau dia laki-laki.. “ ulang Kenneth.
“Kau… tahu ??” tanya Daniel tidak percaya.
“Ya.” jawab Kenneth.
“Dan… kau.. masih menyukainya ?” tanya Daniel lagi.
“Aku sudah menyukainya bahkan sebelum dia menyamar menjadi perempuan.” jawab Kenneth mantap.
“Mak.. maksudmu…”
“Aku bukan menyukai penampilannya, aku menyukai sifat dan sikapnya, aku yakin kau merasakan hal yang sama, aku tahu kau bisa melihat kebaikan dan ketulusan dari dirinya, itulah mengapa kau bisa sampai menyukainya… jangan sangkal itu, Daniel…” kata Kenneth.
“Kau… kau gay ?” tanya Daniel tidak percaya.
“Ya.” jawab Kenneth mantap, “dan aku bangga karenanya, itu bukanlah sesuatu yang harus kututup-tutupi, itu juga bukan penyakit, tidak ada yang salah dengan hal itu, aku tidak merasa melakukan sesuatu yang salah, yang kulakukan hanyalah mencintai sesuai dengan kata hatiku, Tuhan sudah menakdirkanku seperti ini, dan aku percaya ciptaan Tuhan tidak ada yang gagal, Tuhan pasti punya rencana akan hal ini, dan rencana Tuhan tidak pernah ada yang buruk.”
Daniel terdiam mendengar perkataan Kenneth.
“Tapi bukan itu masalah utamanya,” kata Kenneth kembali ke inti masalah, “selama beberapa hari terakhir ini Carol tampak murung, ia takut kau jadi membencinya…”
“Aku memang jadi membencinya sekarang…” kata Daniel ketus.
“Carol sudah menganggapmu sebagai teman baiknya… ia merindukan hari-harinya bersamamu…” kata Kenneth lagi.
“Tetap saja, aku masih kesal karena dia telah menipuku…” kata Daniel.
“Carol punya alasannya sendiri melakukan hal itu,” kata Kenneth.
Ia kemudian menceritakan semuanya dari awal hingga akhir secara detail dan lengkap pada Daniel, mengenai Collin yang membutuhkan uang untuk biaya perbaikan mobil ayahnya dan terpaksa harus menyamar menjadi perempuan untuk mendapatkan pekerjaan.
“Collin itu anak yang baik, ia tidak pernah bermaksud menipumu atau siapapun, iapun terpaksa melakukan hal itu demi menolong adiknya…” tambah Kenneth.
Daniel terdiam mendengar penjelasan Kenneth.
“Pikirkan baik-baik kata-kataku…” kata Kenneth, “Collin menunggumu di café,… aku juga…”
Daniel menatap Kenneth tidak percaya,
“Jangan berpikir yang macam-macam, satu-satunya laki-laki yang kusukai adalah Collin, sepanjang umurku hanya Collin seorang, aku tidak semudah dan sesembarangan itu menyukai laki-laki !!! maksudku, kalau kau tidak ada, nanti aku harus bertengkar dengan siapa ???” kata Kenneth sewot.
Mau tak mau Daniel tersenyum melihat Kenneth malu karena kata-katanya sendiri.
Kenneth balas tersenyum,
“Ingat kata-kataku tadi… aku pulang dulu…” katanya akhirnya, ia kemudian berbalik dan pergi menghampiri adiknya, meninggalkan Daniel yang masih berdiri diam di tempatnya.

Kenneth dan Samuel berjalan pulang menuju rumah Kenneth, semenjak mereka meninggalkan Daniel di depan sekolahnya tadi Kenneth belum bicara sepatah katapun.
Kenneth dicemaskan oleh pikirannya sendiri, beberapa hari terakhir ini masalah yang selama ini mengganggu pikirannya terus-menerus muncul seiring dengan semakin didesaknya ia untuk menentukan pilihan atas dilemma dalam dirinya, Kenneth dihadapkan pada 2 pilihan yang sangat sulit, dan ia didesak untuk segera memutuskan pilihannya,
Pilihan yang pertama, Kenneth menyatakan perasaan sukanya pada Collin dengan 2 kemungkinan, kemungkinan pertama, jika Collin ternyata menyukainya juga dan menerima cintanya, maka hubungan keduanya akan baik-baik saja, bahkan akan menjadi semakin baik lagi, kemungkinan kedua, jika Collin ternyata laki-laki normal, dan ia menolak perasaan Kenneth seperti dia menolak Daniel, serta menjauhi Kenneth karena ketidaknormalannya, maka persahabatan mereka selesai sudah.
Pilihan yang kedua, Kenneth memilih untuk tetap mempertahankan hubungan persahabatannya dengan Collin seperti yang selama ini mereka jalani, konsekuensinya adalah Kenneth harus rela memendam rasa suka pada Collin hanya untuk dirinya sendiri saja, tanpa pernah membiarkan Collin mengetahuinya.
Kenneth bingung harus memilih yang mana, ia belajar dari kasus Daniel kemarin bahwa Collin itu laki-laki normal, yang menyukai perempuan, tapi perasaan sukanya pada Collin sudah sebegitu besarnya sampai-sampai ia berani mengambil resiko seandainya Collin memang normal, ditambah lagi muncul masalah yang baru, yang mendesaknya untuk segera menentukan pilihan.
“Kau sudah memberi tahu Collin ?” tanya Samuel membuyarkan pikiran Kenneth.
“Ehh… apa ?” tanya Kenneth kaget karena ditanya tiba-tiba.
“Kau sudah memberitahunya tentang kepindahan kita ?” tanya Samuel lagi.
Kenneth menunduk sedih, inilah masalah baru tersebut, alasan Gabriella dan Samuel datang beberapa hari yang lalu adalah untuk memberitahu Kenneth bahwa mereka sekeluarga akan pindah ke luar negri minggu depan, seluruh anggota keluarga, tak terkecuali Kenneth, kepindahan sekolah Kennethpun sudah diurus.
“Belum… waktunya belum tepat untuk memberitahunya, sekarang pikiran Collin masih terfokus pada Daniel,… aku akan memberitahunya nanti, jika pikirannya sudah tenang….” jawab Kenneth.
Samuel mengangguk.
Keduanya terus berjalan dalam diam,
“Kau tahu tidak… waktu pertama kali aku melihat Collin, aku merasa bahwa dia mirip dengan seseorang yang kukenal, tapi aku lupa siapa, dan sekarang aku baru ingat..” kata Samuel memecah keheningan.
“Siapa ?” tanya Kenneth asal.
“Kau masih ingat tidak dengan Jordan tetangga kita ?” tanya Samuel.
Kenneth mengerutkan dahinya sambil menatap Samuel,
“Jordan ?” tanyanya.
“Ya, yang rumahnya di seberang rumah kita…” jawab Samuel.
“Ahh ya, aku ingat, kenapa dia ?” tanya Kenneth lagi.
“Tahu tidak, ternyata dia punya adik lain selain Jennifer, well… adik tiri sih sebenarnya, umurnya setahun di bawah Jordan, namanya Elliot, selama beberapa minggu ini Elliot tinggal bersama Jordan, aku sering bermain dengannya, dan menurut penglihatanku Collin mirip sekali dengan Elliot ini, wajahnya, rambutnya, semuanya… “ jawab Samuel.
Kenneth menatap Samuel lagi, tunggu dulu, batinnya, ingatan Kenneth kembali ke obrolan-obrolan antara RedHawk dan BlueShark dulu, dia ingat di salah satu obrolan BlueShark tentang keluarganya, ia pernah menyebut-nyebut nama Jordan, Jennifer, dan Elliot.
Kenneth terpaku di tempatnya, ia baru saja ingat sesuatu,…. ya !! tentu saja !! Elliot adalah nama adik laki-laki Collin !!
“Ceritakan tentang Elliot ini !” perintah Kenneth.
“Well, dia anak ayah Jordan dari istri pertamanya, selama ini dia tinggal bersama ibu dan kakak kandungnya di kota lain, tapi karena sekarang dia sedang libur sekolah jadi dia tinggal di rumah Jordan.. “ kata Samuel.
Hampir cocok, pikir Kenneth,
“Lalu, apa dia pernah bercerita tentang kakak kandungnya ?” tanya Kenneth lagi.
“Hhmm… dia pernah mengatakan bahwa kakak kandungnya seumuran dengan Jordan, dia pernah memberitahuku namanya, tapi aku lupa,… kalau tidak salah namanya… hhmm….”, Samuel mengerutkan dahinya berusaha mengingat, hingga tiba-tiba ia menatap Kenneth dengan syok, dia baru saja mengingat sesuatu yang penting,
“Namanya…. Collin…” sambung Samuel dengan perlahan.
Kenneth dan Samuel saling tatap kaget, keduanya sama-sama terkejut oleh fakta kebetulan yang baru saja mereka ketahui.
Kenneth mengecek jam tangannya, waktu menunjukan pukul 3 sore,
“Temani aku menemuinya…” kata Kenneth.
Samuel mengangguk mantap.
Keduanya kemudian bergegas menuju halte untuk mengejar bus yang menuju ke kota sebelah, kota asal Kenneth.
Begitu tiba, tanpa buang-buang waktu Kenneth langsung pergi menemui Elliot yang diceritakan Samuel.
“Kau Elliot ?” tanya Kenneth begitu mereka bertemu dengan orang yang mereka cari.
“Ya.” jawab pemuda yang berdiri di hadapan Kenneth.
Kenneth menatapnya, dilihat dari sudut manapun dia memang mirip sekali dengan Collin, hanya warna rambut dan warna matanya saja yang berbeda.
“Apa akhir-akhir ini kau merusakkan barang milik ayahmu ?” tanya Kenneth lagi.
Elliot melotot kaget,
“Ba… bagaimana kau tahu ?” tanyanya tergagap.
Kenneth tersenyum padanya.

to be continued




0 comments:

Post a Comment