DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



My Gay Bestfriend Page 1

Page 1
by GoodFriend

Alan menunduk malu setelah mengungkapkan perasaan yang selama ini ia rasakan pada Samuel, ini yang terbaik, pikirnya, jika ia tidak bertindak sekarang, maka ia akan menyesal sepanjang hidupnya.
“Aku hanya mau mengatakan itu saja.. aku sudah pasrah, terserah sekarang kau mau menganggapku aneh atau apa... itulah yang selama ini kurasa dan kupendam tentangmu.. selama ini aku malu untuk mengatakannya padamu, tapi sekarang.. yahh.. kupikir kau pun pasti sudah tahu tentang hal ini dari gosip yang beredar..” kata Alan lagi, sementara Samuel masih terdiam, ekspresinya tidak dapat dibaca.
Lama keduanya terdiam, Alan masih menunduk.
“A.. aku... “ Samuel akhirnya membuka suara.
“Jangan !!” sentak Alan tiba-tiba, Samuel sedikit terkejut dan kata-katanya terhenti.
“Ma.. maafkan aku... tapi aku belum siap mendengar komentarmu sekarang, aku hanya mau mengatakannya padamu saja, aku tidak berharap apapun.. sebaiknya aku pergi.. maaf sudah mengganggumu.. “ lanjut Alan kemudian bergegas pergi meninggalkan Samuel.
“Alan tunggu !!” panggil Samuel, tapi Alan sudah terlanjur menghilang dari pandangan.
Samuel terdiam sambil memandang kosong ke arah Alan menghilang.

©©©©©

Sejak duduk di bangku sekolah dasar Alan sudah merasa bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dalam dirinya, tidak seperti anak laki-laki kebanyakan yang bergerombol di pojokan sekolah, membicarakan siapa anak perempuan yang paling cantik, siapa yang paling seksi, siapa yang rambutnya paling bagus, siapa yang paling kaya (?).
Alan sudah menyadari sejak lama bahwa ia tidak menyukai perempuan, ia lebih tertarik pada anak laki-laki,
Ya,
Alan menyadari bahwa ia adalah seorang gay, pada awalnya, hal tersebut memang sempat membuatnya frustasi, ia frustasi tentang masa depannya, tentang jati dirinya, tentang apa yang akan terjadi jika keluarga dan teman-temannya mengetahuinya, tentang bagaimana ia harus menutupi kenyataan tersebut, bukan sekali dua kali ia mencoba menyangkal dirinya yang sebenarnya dan berusaha hidup “normal” layaknya anak laki-laki biasa, namun gagal, tapi seiring dengan berjalannya waktu, Alan akhirnya mulai bisa menerima kenyataan tersebut dan akhirnya terbiasa dengan hal itu.
Bertahun-tahun ia jalani kehidupannya di tengah-tengah lingkungan normalnya, berusaha menahan hasratnya untuk menunjukan perasaannya pada laki-laki yang ia suka, inilah resiko yang harus ia jalani karena menyukai sesama laki-laki.
Alan sudah terlatih untuk tidak menunjukan perasaannya pada laki-laki yang ia suka secara terang-terangan, bisa dibilang ia sudah cukup pro dalam hal ini, hingga akhirnya ia bertemu Samuel di hari pertamanya duduk di bangku kuliah.
Alan menatapnya duduk di seberang Alan ketika masa orientasi selama 3 hari berturut-turut, sekalipun Alan tidak belajar di kelas yang sama dengan Samuel, tapi itu tidak mematahkan rasa sukanya pada Samuel, walaupun ia tahu sebesar apapun rasa sukanya pada Samuel, ia tidak akan pernah bisa memilikinya.
Seperti yang sudah-sudah, kali inipun Alan hanya bisa menatapnya dari kejauhan, memandang kesempurnaannya sambil berharap suatu saat ia bisa melakukan lebih dari itu, ia dan Samuel belum pernah mengobrol sekalipun, ini tentu saja karena mereka tidak sekelas, sulit bagi keduanya untuk bisa saling berkenalan.
Hingga akhirnya kemarin sore Alan menyerah, ia merasakan sesuatu yang berbeda dengan Samuel, sesuatu yang mengatakan bahwa tidak apa-apa memberitahukan Samuel tentang perasaannya, maka iapun akhirnya menyatakan secara terang-terangan pada Samuel bahwa ia menyukainya, Alan memberanikan diri mendatangi Samuel dan mengajaknya ke atap kampus, sekalipun sebenarnya keduanya belum saling mengenal dengan baik, bisa dibilang itu adalah pertama kalinya mereka bicara satu sama lain.

Keesokan harinya setelah Alan menyatakan perasaanya pada Samuel, Alan pergi ke kampus seperti biasa, sedikit kelegaan menghinggapi hatinya, setidaknya ia sudah menyampaikan perasaannya pada Samuel, soal bagaimana nanti pandangan Samuel terhadap dirinya, ia sudah tidak lagi ambil pusing, Alan sudah bertekad untuk tidak akan pernah bertatap muka dengan Samuel lagi, selamanya.
Saat ini Alan sedang berada dalam kelasnya, menonton teman-teman sekelasnya bertingkah bodoh, baginya, teman-teman sekelasnya ini adalah salah satu hiburan baginya, ia sangat menyayangi teman-teman sekelasnya ini, karena hanya di depan merekalah Alan dapat mengakui ke”khusus”annya secara nyaman dan terang-terangan, Alan sudah memberitahukan secara terang-terangan pada mereka bahwa ia adalah seorang gay, mereka entah menganggapnya bercanda atau apa, hanya tertawa dan mengangguk saja ketika mendengarnya, mereka juga sudah tahu bahwa Alan menyukai Samuel, bagaimana tidak bila sikap Alan setiap ada Samuel memperlihatkan hal tersebut, dan Alan juga memberitahukan pada mereka bahwa ia menyukai Samuel.
Alan tersenyum-senyum sendiri, membayangkan apa yang akan terjadi bila teman-temannya tahu ia sudah menyatakan perasaannya pada Samuel.
Tiba-tiba sosok itu muncul di pintu kelas Alan, sosok yang saat ini tidak ingin ditemui olehnya.
Samuel berdiri di pintu kelas, memandang berkeliling ke dalam kelas dan berhenti pada sosok Alan yang juga sedang menatapnya dengan kaku dan sedikit terkejut.
Samuel kemudian berjalan masuk ke dalam kelas, langsung ke arah tempat duduk Alan, anak-anak yang lain memandangnya dengan bingung, ini pertama kalinya Samuel masuk ke dalam kelas mereka.
Samuel berhenti tepat di hadapan Alan yang kemudian menundukan wajahnya, berpura-pura sedang sibuk membaca buku yang ada di atas mejanya.
Anak-anak mulai berbisik-bisik sambil tersenyum ke arah Alan dan Samuel, seluruh anak di kelas ini tahu bahwa Alan menyukai Samuel, dan mereka bisa menerima hal tersebut dengan cukup baik, walaupun, well, entah mereka menganggap Alan hanya bercanda atau apa.
“Kau sedang sibuk ?” tanya Samuel membelah kesunyian antara dirinya dan Alan.
“Ah.. ehh.. ti.. tidak.. “ jawab Alan terbata sambil masih menatap buku di mejanya.
“Bisa ikut aku sebentar ? ada yang ingin kubicarakan denganmu tentang.. yang kemarin..” kata Samuel lagi.
Alan terdiam membeku di bangkunya, matanya melotot gugup, ini dia, pikirnya.
“Bagaimana ?” tanya Samuel lagi.
Alan masih terdiam, cepat atau lambat ini memang harus terjadi, pikirnya lagi.
Alan menghela napas panjang, memantapkan hatinya, ia kemudian berdiri.
“Ayo.. “ katanya.
Keduanya kemudian berjalan keluar kelas, bisikan anak-anak yang lain semakin ramai, beberapa mengacungi jempolnya pada Alan sambil tersenyum,
Keduanya kemudian tiba di atap bangunan kampus, tempat yang sama seperti kemarin.
“Apa yang mau kau katakan setelah mendengar pernyataanku kemarin ?” tanya Alan memberanikan diri memulai.
Samuel menatap Alan, ia tersenyum,
“Sebetulnya, seperti katamu kemarin, aku memang sudah mendengar gosip-gosip tentang itu sebelumnya... akupun sudah merasa... entahlah.. “ Samuel terdiam sejenak.
“Ya, “ kata Alan sambil tersenyum, “kau sering kali menangkap basah aku sedang memandang ke arahmu...”
“Ya...” sambung Samuel.
Wajah Alan merona, ia menunduk malu, sudah kuduga, pikirnya, Samuel pasti sudah menyadarinya sejak lama.
“Apa aku boleh bertanya sesuatu ?” tanya Samuel.
“Ya.” jawab Alan singkat.
“Apa yang membuatmu menyukaiku ?” tanya Samuel.
Alan tersenyum simpul,
“Entahlah.. ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku menyukaimu.. aku merasa.. “ Alan terdiam malu sejenak, “aku merasa ada kemiripan di antara kita, sesuatu dalam dirimu yang terasa familiar bagiku.. aku merasa kita akan cocok satu sama lain..”
Samuel menatap Alan.
“Aku tahu itu kedengarannya bodoh.. akupun merasa demikian.. bagaimana mungkin aku bisa merasa kita akan cocok, sementara kita tidak saling mengenal satu sama lain... tapi.. yahh... itulah yang kurasakan terhadapmu..” sambung Alan.
Samuel masih menatap Alan, ekspresinya tidak bisa dibaca, seperti biasa.
“Tapi jangan khawatir, aku tahu kau laki-laki normal.. tidak mungkin kau akan membalas perasaanku, makanya aku menyerah denganmu... aku tidak akan pernah mengganggu kehidupanmu.. kau tenang saja.. aku hanya ingin mengatakannya padamu saja, seperti yang kukatakan kemarin, aku tidak mengharapkan apa-apa darimu.. yang penting kau sudah tahu perasaanku, itu sudah cukup..” kata Alan lagi.
Samuel tersenyum simpul setelah mendengar perkataan Alan,
Alan menunduk salah tingkah disenyumi seperti itu,
“Maafkan aku.. ” Samuel akhirnya membuka suara, “seperti yang kau katakan tadi, iya, aku laki-laki normal.. karena itulah aku tidak bisa pacaran denganmu..”
“A.. aku tidak minta kau jadi pacarku !!” sanggah Alan cepat memperbaiki kesalahpahaman Samuel,
“Aku tahu.. “ Samuel balas menyanggah.
Alan terdiam lagi,
“Aku tahu itu.. “ sambung Samuel sambil tersenyum lagi, “tapi aku bisa menjadi sahabatmu..”
Alan menatap Samuel yang masih tersenyum padanya,
Ya, Samuel menolaknya secara halus, Alan tahu kasus-kasus yang seperti ini, menawarkan persahabatan sebagai kompensasi dari penolakan, tapi pada kenyataannya nanti mereka bahkan tidak akan saling bicara lagi.
Alan kemudian balas tersenyum,
“Ya.. tentu saja.. “ katanya, ia tahu ini mungkin akan menjadi kali terakhirnya ia bisa mengobrol dengan Samuel, menyedihkan memang, tapi mau bagaimana lagi, mungkin memang harus begini jadinya.
Keduanya kemudian terdiam sejenak,
“Baiklah... bila tidak ada lagi yang mau kau bicarakan... aku turun duluan ya... “ kata Alan akhirnya.
“Ahh.. iya.. ayo kita turun sama-sama.. “ kata Samuel.
Alan mengangguk, keduanya lalu turun ke lantai dasar bangunan kampus mereka.
“Kau pulang dengan siapa nanti ? mau pulang bersama denganku ?“ kata Samuel ketika keduanya sudah tiba di depan kelas Alan.
Tawaran basa basi, pikir Alan, Samuel menawarkan tumpangan pulang juga hanya sebagai kompensasi atas penolakannya pada Alan, boleh saja hari ini dia diantar pulang, tapi besok, jangan harap Alan bisa melihat tampang Samuel lagi.
Alan tersenyum getir,
“Terima kasih tawarannya, tapi siang ini aku mau ke rumah teman..” bohongnya.
“Ohh.. “ kata Samuel pelan, anggap saja Alan salah lihat, tapi ia sepintas melihat sedikit guratan kekecewaan di wajah Samuel.
“Mungkin lain kali.. “ kata Alan lagi.
“Ya.. baiklah... kau hubungi saja aku kalau kau senggang.. “ kata Samuel.
“Ya.” balas Alan.
Samuel tersenyum lagi,
“Baiklah.. aku masuk dulu.. sampai.. ehh.. jumpa lagi.. mungkin.. “ kata Alan akhirnya.
“Ya, sampai jumpa lagi..” balas Samuel.
Alan kemudian masuk ke dalam kelas, meninggalkan Samuel yang masih berdiri di depan kelas Alan, tersenyum memandangi punggung Alan yang berjalan menjauh.

Malam harinya, kamar Alan.
Alan merebahkan tubuh di atas tempat tidurnya, memandang langit-langit kamarnya sambil merenung.
Dari awal dia memutuskan untuk menyatakan perasaannya pada Samuel, Alan tahu bahwa hal ini akan terjadi, bahkan sebetulnya ia sadar betul bahwa kemungkinan besar hal inilah yang akan terjadi, sejak awal Alan tahu bahwa Samuel adalah laki-laki normal, tidak mungkin Samuel akan membalas perasaannya, tapi ia lega, karena Samuel menggunakan cara yang halus untuk menolaknya,
Alan tersenyum simpul,
Samuel bahkan menawarkan persahabatan padanya, walaupun yeahh.. hanya basa basi saja.
Ya sudahlah, pikir Alan, memang suatu hal yang sangat bodoh untuk lelaki gay sepertinya mengharapkan cintanya pada laki-laki normal dapat terbalaskan,
Lama Alan termenung sambil masih memandang langit-langit kamarnya, ketika tiba-tiba intro lagu How To Safe A Life milik The Fray terdengar di sebelah kirinya,
Ada pesan masuk ke handphone-nya.
Alan mengambil handphone-nya kemudian membaca pesan yang masuk tersebut,

“Hai.. sedang apa kau ?”

Alan mengernyitkan dahinya, ia melihat nomor pengirimnya,
Bukan nomor yang ia kenal,

“Ini siapa ?”

Alan membalas pesan tersebut,
Sebenarnya ia hanya basa basi membalas pesan tersebut, ini bukan pertama kalinya ada yang mengirim pesan seperti itu padanya, di sekolah, Alan termasuk salah satu anak laki-laki yang digandrungi oleh para anak perempuan, hal ini tentu saja karena wajah tampan yang ia miliki, sering kali anak-anak perempuan itu mengirimi pesan yang sama seperti yang barusan ia terima, Alan tentu saja tidak tertarik dengan mereka, tapi demi menjaga hubungan baik, Alan tetap membalas pesan-pesan tersebut.
Handphone-nya berbunyi lagi, Alan membaca balasan pesannya dengan malas,

“Ini aku, Samuel.. “

Alan melotot membaca pesan tersebut, sontak ia langsung bangun dan duduk di atas tempat tidurnya,
Tidak mungkin, pikirnya, ada angin apa tiba-tiba Samuel menghubunginya ? dan juga, darimana ia tahu nomor handphone Alan ?

“Dari mana kau tahu nomor handphone-ku ?”

Tangan Alan bergetar saking terkejutnya, ia senang Samuel mengiriminya pesan, tapi di sisi lain ia bingung kenapa Samuel tiba-tiba menghubunginya.

“Aku tanya dari teman sekelasmu, tadi siang aku lupa menanyakan langsung padamu.. hehe.. sedang apa kau ?”

Samuel membalas pesannya.
Alan tersenyum sambil membalas pesannya,

“Aku sedang istirahat di kamar.. ada apa ?“

“Ohh.. kau sedang senggang ? temani aku jalan-jalan mau tidak ? aku bosan di rumah, tidak ada kerjaan, kalau kau mau.. kujemput kau ke rumahmu.. “

Alan membeku di tempatnya sambil membaca pesan balasan dari Samuel, bernafas saja ia tidak berani saking senangnya, Samuel mengajaknya jalan !!!!
Wajah Alan merona merah, “Mimpi apa aku semalam ?” pikirnya.

“Boleh..”

Alan masih terdiam di tempatnya, menanti balasan pesan dari Samuel.

“Oke, setengah jam lagi aku tiba di rumahmu..”

Itulah isi pesan terakhir dari Samuel.
Alan masih terdiam di atas tempat tidurnya, ia masih belum percaya Samuel baru saja mengajaknya jalan.
Senyum merekah di wajahnya,
Setengah jam kemudian motor Samuel sudah bertengger di depan rumah Alan,
“Kau mau mengajakku ke mana ?” tanya Alan.
“Kau sudah makan malam ?” tanya Samuel.
Alan menggeleng,
“Kalau begitu, pertama kita cari makan dulu, biar kutraktir kau.. ayo naik.. “ kata Samuel.
Alan menuruti perkataan Samuel, setelah yakin Alan sudah duduk dengan nyaman di belakangnya, Samuel langsung menjalankan motornya.
Singkat cerita keduanya kini duduk di dalam sebuah cafe kecil di pusat kota,
Alan terdiam menatap Samuel yang duduk di hadapannya, menyantap pesanannya dengan lahap, baru pertama kali ini ia melihat pemuda berkaca mata itu makan, cukup berantakan menurutnya, Alan tersenyum samar melihat cara Samuel makan.
Alan kemudian melayangkan pandangannya ke sekitarnya, cafe ini tidak begitu besar, tapi terasa cukup nyaman,
“ka.. kau sering.. ehh... ke sini ?” tanya Alan terbata.
Samuel mengangguk sambil berusaha menelan makanan dalam mulutnya,
“Dulu aku dan kakak-kakakku sering makan di sini.. tapi sejak kakak laki-lakiku pindah ke kota sebelah kami jadi jarang ke sini lagi..” katanya setelah mulutnya kosong.
“Kau punya berapa kakak memangnya ?” tanya Alan penasaran.
Samuel tersenyum, inilah tujuannya mengajak Alan keluar malam ini, untuk bisa lebih saling mengenal satu sama lain, Samuel tahu Alan penasaran sekali mengenai dirinya tapi Alan malu untuk bertanya duluan, jadi Samuel memancingnya terlebih dahulu.
“Aku punya dua kakak, kakakku yang pertama perempuan, umurnya tiga tahun di atasku, namanya Gabriella, sedangkan kakakku yang kedua, kakak kembarku... namanya Kenneth, sekarang ia tinggal di kota sebelah untuk urusan sekolah.” kata Samuel.
“Kau punya saudara kembar ???” tanya Alan kaget, ini berita baru baginya.
Samuel mengangguk.
“Sekarang ceritakan tentangmu, kau berapa bersaudara ?” tanya Samuel.
“Aku anak tunggal.. “ jawab Alan.
“Ohh.. “ kata Samuel.
Alan melanjutkan makan, sementara Samuel terdiam tampak sedang berpikir,
Alan menatap Samuel,
Alan senang sekali bisa makan di luar bersama Samuel, ini bagai mimpi baginya, ingin rasanya waktu ini tak pernah berhenti, tapi kemudian kenyataan menghantam lamunannya, ia kembali teringat akan peristiwa tadi siang, Samuel sudah menolaknya, acara makan malam ini juga pasti salah satu kompensasi dari Samuel,
Alan menunduk, ia meletakan sendoknya,
“Sebetulnya kau tidak perlu melakukan ini, Samuel.. “ katanya lesu.
“Hah ? melakukan apa ?” tanya Samuel bingung.
“Menawarkan persahabatan.. mengajakku makan di luar... aku tahu kau melakukan ini karena kau kasihan padaku, kan.. “ jawab Alan.
Samuel mengernyitkan dahinya,
“Aku apa ?” tanyanya semakin bingung.
Alan terdiam sambil masih menunduk,
Samuel menatap bingung pada Alan, sejenak kemudian ia mengerti apa maksud Alan, Samuel tertawa hambar,
“Jadi kau pikir.. tadi siang aku menawarkanmu persahabatan hanya basa basi saja , begitu ??? sekarang ini aku mengajakmu keluar hanya untuk menutupi rasa bersalahku karena sudah menolakmu ??” tanyanya.
Alan masih menunduk terdiam,
“Dengar ya, Alan... asal kau tahu saja, aku serius waktu mengatakan ingin menjadi sahabatmu tadi siang itu... dan sekarang juga aku mengajakmu keluar maksudnya agar kita bisa mulai mengenal lebih dalam mengenai satu sama lain...” kata Samuel tegas.
Perlahan Alan mengangkat wajahnya menatap Samuel, Samuel sendiri balas menatap Alan dengan tajam, wajahnya tampak serius.
“Kau masih belum percaya ?” tanya Samuel.
“Bu.. bukan begitu.... hanya saja... harusnya.. ehh... normalnya, seorang laki-laki bila ditembak oleh laki-laki lagi pasti akan merasa jijik dengan laki-laki itu dan.. ehh... menjauhinya, bukannya malah.. bersahabat dengannya..” jawab Alan terbata.
“Jadi kau mau aku menjauhimu saja ?” tanya Samuel tampak serius.
“Ahh... ti..tidak... jangan.. “ kata Alan takut.
“Lalu ? kau mau mulai mempercayaiku atau bagaimana ?” tanya Samuel lagi.
Alan menatap Samuel lagi dengan cukup lama,
Ia akhirnya tersenyum, Samuel juga balas tersenyum,
“Sudah percaya ?” tanya Samuel.
Alan mengangguk,
“Baguslahh.. “ kata Samuel lalu kembali makan.
Alan masih terdiam sambil menatap Samuel.
“Ehhmm... boleh tanya sesuatu ?” tanya Alan.
Samuel mengangguk sambil masih mengunyah makanannya.
“Kenapa kau tidak menjauhiku ? kau tidak jijik denganku yang... ehh... gay ini ?” tanya Alan takut.
Samuel meletakkan sendoknya, kemudian menatap Alan,
“Kakak kembarku, Kenneth, juga sama sepertimu... jadi aku sudah cukup terbiasa dengan masalah percintaan sesama jenis..” jawabnya,
“Ap.. apaa ?? kakak kembarmu juga ??”
Samuel mengangguk,
“Andai saja yang kuliah di sini itu kakakmu, bukannya dirimu... kan masalah percintaanku tidak akan mengalami hambatan.. “ gerutu Alan.
Samuel melotot pada Alan, sementara Alan tersenyum nakal,
“Kenalkan aku pada kakakmu dong..” kata Alan sambil masih tersenyum,
“Kakakku sudah punya pacar tahu.. namanya Collin, teman sekolahnya dulu..” kata Samuel.
“SIAL !!!” kata Alan sambil pura-pura marah.
“Ya, sayang sekali. Sudah jangan bicarakan masalah itu lagi, aku tidak peduli dengan orientasi seksualmu, yang penting aku nyaman berteman denganmu, itu sudah cukup..” kata Samuel lagi lalu kembali menyantap makanannya,
Alan tersenyum simpul lalu mengikuti Samuel menghabiskan makanannya.
Sisa malam itu mereka habiskan untuk mengobrol, bercerita tentang diri masing-masing, sedikit banyak Alan mulai mengetahui tentang hidup Samuel, orang yang selama ini disukainya, seperti mimpi saja ia bisa duduk berhadapan dengan Samuel, mengobrol dan bercanda santai, sesuatu yang sangat ia dambakan selama ini.
Waktu sudah menunjukan pukul setengah sebelas malam di arloji Alan ketika keduanya sampai kembali di depan rumah Alan.
“Well, uhhmm... thanks ya..” kata Alan ketika ia sudah turun dari motor Samuel.
“Ya.” balas Samuel sambil tersenyum,
Alan balas tersenyum,
“Besok kau kuliah jam berapa ?” tanya Samuel.
“Besok ? jam 7.. kenapa ?” tanya Alan.
“Mulai besok kau kujemput saja, ya.. “ kata Samuel.
“Apa ??” tanya Alan terkejut.
“Kubilang, mulai besok kau kujemput ke sini.. “ ulang Samuel.
“Ti.. tidak usah.. aku tidak mau merepotkanmu.. “ kata Alan lagi.
“Jangan konyol, sekarangkan kau sahabatku, jadi wajar-wajar saja kan bila sahabat berangkat ke kampus sama-sama ? lagipula besok aku juga kuliah jam 7.” kata Samuel.
“Ta.. tapi..”
“Jam 6 pagi tepat aku akan sudah di sini..” potong Samuel.
“Sam..”
“Baiklah.. aku pulang dulu, sudah malam, sampai besok kalau begitu.. terima kasih ya karena sudah menemaniku malam ini.“ kata Samuel.
Alan menatap Samuel,
“Baiklah,.. sampai besok..” katanya akhirnya menyerah.
Samuel menyalakan motornya kemudian melaju pergi meninggalkan Alan yang masih berdiri terpaku di depan rumahnya.
Alan memandangi Samuel hingga ia tak terlihat lagi, Alan kemudian berjalan masuk ke dalam rumahnya.
Alan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya,
Ia tersenyum senang, Samuel ternyata tulus mau bersahabat dengannya, ia tidak pernah membayangkan bahwa akan begini jadinya, selama ini yang ia pikirkan adalah bahwa Samuel akan menjauhinya setelah Alan menyatakan perasaannya pada Samuel, tapi kenyataannya ternyata lebih baik dari yang diharapkan, Alan berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti mencintai Samuel, karena sekarang Samuel adalah sahabatnya, ia tidak mau mengajak sahabatnya memasuki dunianya yang kelam dan berat.

Esok paginya,
Benar saja jam 6 pagi tepat Samuel sudah membunyikan klakson motornya di depan rumah Alan.
Keduanya kemudian berangkat ke kampus bersama-sama.
“Aku ke kelas dulu..” kata Alan lalu beranjak untuk menuju ke kelasnya yang berada di lantai dua, sementara kelas Samuel berada di lantai dasar.
“Kau istirahat jam berapa ?” tanya Samuel.
“Jam setengah 10.. kenapa ?” Alan balas bertanya.
“Ahh.. tidak, tadinya aku mau mengajakmu makan siang denganku, tapi aku baru istirahat jam 11..” jawab Samuel.
“Yahh.. sayang sekali..” kata Alan.
“Pulang jam berapa ?” tanya Samuel lagi.
“Jam 2.” jawab Alan lagi.
“Bagus. Kutunggu kau di kantin, kita pulang sama-sama lagi..” kata Samuel.
“Ya. baiklah..” kata Alan.
Alan kemudian naik ke lantai 2 gedung kampusnya, masuk ke dalam kelasnya,
Sudah ada beberapa anak di dalam kelas, anak-anak yang memang biasa datang pagi.
Alan menarik kursi di pojok belakang ruangan, tempat favoritnya, kemudian ia duduk, tak lama kemudian beberapa teman sekelasnya menghampiri, mereka adalah anak-anak yang lumayan dekat dengan Alan.
“Tolong jelaskan arti senyuman menjijikanmu itu..” kata Rea, salah satu teman dekat perempuan Alan.
Alan yang sedari berpisah dengan Samuel tadi memang tersenyum-senyum sendiri semakin merekah senyumnya.
“Apa ada kaitannya dengan Samuel yang datang ke sini kemarin siang ?” tanya Nathan, teman dekat Alan yang lain.
“Ohh tentu saja ada.. cepat ceritakan !!” tambah Yoel.
Ketiga anak tersebut duduk mengelilingi Alan.
“Bukan hal yang penting kok..” jawab Alan.
”Ceritakan.” ulang Yoel.
“Iya.. iya... kalian anak-anak pemaksa !!” kata Alan sambil masih tersenyum.
Alan kemudian menceritakan tentang pembicaraannya dengan Samuel di atap kemarin,
“KAU APA ??” tanya Nathan setengah berteriak tidak percaya, “KAU MENEMBAK SAMUEL ??”
“Sssttt...” kata Alan.
“Maaf.” bisik Nathan sambil menengok kiri kanan, beruntung anak-anak lain sedang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri sehingga tidak terlalu memperhatikan teriakan Nathan tadi.
“Ralat. Aku tidak menembak Samuel !! aku hanya memberitahunya tentang perasaanku..” kata Alan lagi.
“Yeahh... mengejutkan memang, bahwa ternyata semua yang kau gembar-gemborkan pada kami selama ini bahwa dirimu gay itu benar.. tapi ya sudahlah, aku tidak begitu peduli..” kata Yoel sambil mengangkat bahunya.
“Mengejutkan memang, tapi aku salut dengan Samuel, reaksinya tidak seperti orang kebanyakan..” kata Rea.
“Reaksi kalian juga tidak seperti orang kebanyakan..” kata Alan.
“Entahlah... mungkin selama ini tanpa kami sadari kami sudah menganggapmu gay betulan..” kata Rea lagi.
“Aku MEMANG gay betulan.” kata Alan enteng.
“Yeahh aku tahu... tapi... ahh sudahlah jangan dibahas..” kata Rea sambil mengibaskan tangannya asal, “ jadi, bagaimana hubunganmu dengan Samuel sekarang ?”
“Seperti yang kuceritakan tadi, kami sahabat sekarang..” jawab Alan sambil tersenyum.
“Kau yakin dia serius ?” tanya Yoel.
“Ya, siapa tahu dia hanya mau mempermainkanmu..” tambah Rea.
“Kalau sampai benar dia hanya mempermainkanmu, tinjuku yang akan mendarat pertama kali di pipinya..” kata Nathan.
Alan tertawa mendengar perkataan Nathan yang cukup menghibur,
“Awalnya juga aku tidak percaya, tapi setelah kami membicarakannya tadi malam, aku yakin dia serius ingin bersahabat denganku..” katanya.
Ketiga temannya memandangnya dengan pandangan senang, mereka senang jika Samuel senang, walaupun mereka bukan sahabat dekat yang selalu bersama setiap saat, tapi ikatan khusus yang terjalin diantara mereka sudah cukup untuk membuat mereka bisa saling mempercayai satu sama lain.
“Jadi sekarang kau masih suka padanya atau tidak ?” tanya Yoel.
“Setelah ini, tentu saja aku akan berhenti menyukainya..” jawab Alan.
“Baguslah, berarti Gwen punya kesempatan sekarang.” kata Rea.
Alan menatap teman perempuannya ini dengan pandangan bingung.
“Apa maksudmu ?” tanyanya.
“Kau tahu Gwen,kan ?” Rea balas bertanya.
“Anak perempuan seangkatan kita yang sekelas dengan Samuel,kan.. iya aku tahu dia, kenapa memangnya ?” tanya Alan masih bingung.
“Well, dia uhhmm.. bagaimana ya, gosipnya sih dia menyukaimu..” jawab Rea.
“Apa ?” tanya Alan.
“Ya. menurut gosip yang sedang tersebar dia menyukaimu..” ulang Rea.
“Iya, aku juga sudah dengar gosip itu..” kata Nathan.
“Yep, sudah jadi rahasia umum..” tambah Yoel.
Alan menatap ketiga temannya bergantian dengan tatapan tidak percaya.
“Kalian pasti bercanda.. dia kan cantik..” katanya.
“Lalu kenapa memangnya ? kau juga kan tampan..” kata Rea.
Alan menggeleng,
“Menurutku sih kalian berdua cocok, sekarang setelah kau berhenti menyukai Samuel kurasa dia memang punya kesempatan, pacari saja dia, Al..” kata Nathan.
Alan melotot pada Nathan.
“I’m gay, remember ?” katanya.
“Aku berhenti menyukai Samuel bukan berarti aku berhenti menyukai laki-laki !” tambahnya lagi.
Nathan mengangkat bahunya sementara Rea dan Yoel tertawa pelan.
“Itu berarti kesempatan Gwen sama besarnya dengan kesempatanku menjadi presiden, nol besar dengan kata lain.” kata Yoel.
“That’s what I mean.” kata Alan.
“Sayang sekali, padahal Gwen cantik, banyak anak yang berebut ingin mendapatkannya..” kata Rea.
“Yeah, sayang sekali, dia cantik tapi dia buta..” timpal Alan.
Keempatnya tertawa terbahak-bahak.

to be continued


1 comments:

aldi said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

cerita bener" romantis, seru, bagus , bikin terharu. kpn ada film'a? haha di tunggu

Post a Comment