DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



My Gay Bestfriend Page 2

Page 2
by GoodFriend

Dua bulan sudah berlalu sejak makan malam pertama Alan dan Samuel, dua bulan juga keduanya sudah bersahabat, seperti janji Alan, dia akhirnya sedikit demi sedikit dapat menghilangkan perasaan sukanya pada Samuel, kini perasaannya pada Samuel murni persahabatan saja, dan keduanya sangat menikmati hubungan persahabatan yang mereka jalin tersebut, sepanjang dua bulan ini keduanya jadi semakin mengenal lebih dalam mengenai pribadi satu sama lain.
Kini keduanya sedang berada di kantin kampus, mengisi jam kosong keduanya untuk makan siang.
“Kau pulang jam berapa hari ini ?” tanya Samuel.
“Jam 1. Kau ?” Alan balas bertanya.
“Sama. Siang ini temani aku ke mall, ya.. ada yang mau ku beli..” kata Samuel.
“Kau mau beli apa ?” tanya Alan.
Wajah Samuel mendadak merona merah.
“Ka.. kau tahu kan, sebentar lagi uhhm, Valentine.. aku mau beli coklat..” katanya terbata sambil menunduk malu.
Alan menatap Samuel dengan tatapan kaget.
“Mau kau beri pada siapa ? jangan bilang kau sudah punya pacar tapi tidak bilang-bilang padaku..” tanya Alan sedikit mendesak.
“Tidak. Belum.” jawab Samuel.
“Lalu ?” tanya Alan lagi.
“Ada cewek yang kusukai di kelasku.. rencananya aku mau memberikan coklat itu padanya di hari Valentine sekalian menembaknya...” jawab Samuel dengan masih menunduk.
Terdengar suara celotehan anak-anak perempuan mendekat ke arah kantin, beberapa berbisik keras pada salah seorang diantaranya sambil menunjuk-nunjuk ke arah Alan dan Samuel, orang itu adalah yang paling cantik diantara gerombolan anak perempuan tersebut, rambutnya lurus panjang berwarna coklat, kulitnya putih dan mulus dengan wajah oriental yang kentara sekali.
Alan menatap ke arahnya, inilah anak yang waktu itu dibicarakan Rea, Nathan, dan Yoel, primadona di angkatannya, yang katanya menyukai Alan, dia adalah Gwen.
Gwen menunduk malu ketika melewati Alan dan Samuel sementara teman-temannya terus menggodanya.
“Kau tahu tidak, aku mendengar gosip lucu, kau pasti tidak akan percaya, teman-temanku bilang...” Alan baru akan memberitahu Samuel tentang gosip bahwa Gwen menyukainya ketika ia melihat wajah Samuel yang membuatnya menghentikan kata-katanya.
Wajah Samuel tampak sangat merah, sebentar-sebentar ia mencuri pandang malu-malu ke arah Gwen dan gerombolannya berdiri, tahulah Alan sekarang siapa perempuan yang sedang disukai Samuel.
“Gawat.” kata Alan dalam hati sambil menggaruk kepalanya.
Samuel masih terus mencuri pandang ke arah Gwen.
“Yang itu ?” tanya Alan.
“Hah ? ap.. apa ?” tanya Samuel terbata.
“Kutanya, yang itu anak yang kau sukai ?” tanya Alan lagi.
Wajah Samuel memerah lagi, ia tersenyum simpul lalu mengangguk.
“Sejak kapan ?” tanya Alan.
“Se.. sebetulnya aku sudah menyukainya sejak awal kita masuk, aku senang sekali saat tahu bahwa kami satu jurusan dan satu kelas juga..” jawab Samuel terbata.
“Dan kau belum menyatakan padanya sampai sekarang ?” tanya Alan sedikit terkejut.
Samuel menggeleng.
“Astaga Sammy, kau dikalahkan oleh seorang gay kalau begitu, aku juga sudah menyukaimu sejak awal kita masuk kuliah, dan aku berani menyatakannya padamu padahal tidak ada kemungkinan kau mau menerimaku, sementara ini, kemungkinan dia menerimamu masih sangat besar, dan kau tidak melakukannya.” kata Alan.
Samuel tertunduk malu.
“Ak... aku takut dia tidak menyukaiku..” jawabnya.
“Kau belum dengar gosip tentangnya ?” tanya Alan takut-takut.
“Gosip apa ?” Samuel balik bertanya.
“Kau tidak tahu ?” tanya Alan lagi.
“Tidak.” jawab Samuel.
Alan menghela napas lega,
“Baguslah..” katanya, bisa gawat kalau Samuel tahu bahwa perempuan yang ia sukai ternyata menyukai Alan.
“Memangnya gosip apa ?” tanya Samuel.
“Bukan apa-apa. Lupakan saja..” jawab Alan sambil kembali menyantap makan siangnya.
Samuel terdiam sejenak, lalu ikut menyantap makan siangnya lagi.
“Jadi, kau mau menemaniku kan nanti siang ?” tanya Samuel lagi.
“Iya.” jawab Alan.
“Bagus.” kata Samuel sambil tersenyum.
Setelah memesan makanan Gwen dan gerombolannya kemudian duduk tak jauh dari tempat Alan dan Samuel, mereka masih ribut berceloteh sambil menggoda Gwen, sementara yang digoda hanya bisa tertunduk malu.
Tak berapa lama kemudian tampak dua anak laki-laki berjalan menuju kantin, salah seorang teman Gwen melihatnya dan langsung heboh memberitahu teman-temannya yang lain, seperti yang mereka lakukan pada Alan dan Samuel, mereka juga menunjuk-nunjuk kedua anak laki-laki itu sambil berbisik keras, kali ini dengan ekspresi jijik terlihat jelas di wajah mereka.
Kedua anak laki-laki itu kemudian tiba di tempat Gwen, salah satunya menghampiri Gwen, sementara yang seorang lagi pergi memesan makanan.
“Hai, manis... kebetulan sekali hari ini kita bertemu di sini... biasanya jadwal kuliah kita selalu bentrok..” kata anak laki-laki tersebut.
Namanya Aidan, teman seangkatan Alan dan kawan-kawan namun berbeda kelas dan jurusan, seluruh anak di kampus mengenalnya dan membencinya, hal ini tentu saja berhubungan dengan sifatnya yang sok berkuasa, pembuat onar dan masalah, sombong dan menyebalkan, namun begitu anak-anak takut padanya karena orang tuanya memiliki relasi yang cukup bagus dengan para petinggi kampus.
“Jangan ganggu Gwen, Aidan... kau tahu dia tidak menyukaimu..” kata salah seorang teman Gwen dengan ketus.
“Aku bisa urus itu..” kata Aidan sambil masih menatap Gwen, sementara yang ditatap masih menunduk tidak peduli.
“Jangan bercanda, kau tahu aku menyukai orang lain..” kata Gwen.
“Dan kau masih belum mau memberitahuku siapa !” kata Aidan lagi.
“Aku tidak punya kewajiban untuk memberitahumu..” kata Gwen sambil mencuri pandang ke arah Alan dan Samuel lagi.
Aidan mengikuti arah pandang Gwen, ia kemudian tersenyum sinis,
“Yang benar saja,” katanya, ”aku memang mendengar gosip yang sedikit mengganggu.. tapi aku tidak bisa begitu saja percaya dengan gosip murahan seperti itu..”
“Well, kesalahanmu kalau begitu, karena gosip murahan itu memang benar adanya..” kata Gwen lagi.
Alan tahu dirinya sedang dibicarakan, ia menatap Samuel yang masih asyik menikmati makan siangnya, tampaknya ia tidak begitu memperhatikan keributan yang terjadi di sebelahnya, jadi sebelum Samuel menyadarinya dan keadaan di meja sebelah bertambah buruk lebih baik Alan segera mengambil tindakan.
“Ayo kita pergi sekarang, aku tahu tempat jual coklat yang enak dan murah.” kata Alan sedikit memaksa.
“Tapi makan siangku belum habis..” kata Samuel.
“Tempat jual coklat ini tutupnya sebentar lagi, jadi kalau kau memang ingin dapat coklat yang bagus sebaiknya kita berangkat sekarang..” kata Alan lagi.
“Tapi..”
“Ayo..” kata Alan sambil menarik lengan Samuel hingga keduanya berdiri, Alan kemudian menyeret Samuel pergi menjauhi bahaya.
“Lihat akibat perbuatanmu.. dia jadi pergi !” kata Gwen marah.
“Perbuatanku ?? memangnya apa yang sudah kulakukan ??” tanya Aidan.
“Berhentilah mendekatiku Aidan, aku tidak menyukaimu dan tidak akan pernah menyukaimu.. jadi sia-sia saja kau mengganggu hidupku seperti ini !!” kata Gwen kemudian berdiri dan beranjak pergi, diikuti teman-temannya yang memasang tampang garang pada Aidan sebelum menyusul Gwen.
“Apa ?? GWEN !!” teriak Aidan.
Anak laki-laki yang tadi datang bersama Aidan menghampirinya setelah selesai memesan makanan.
“Ada apa sih ?” tanyanya.
Namanya Liam, ia adalah tangan kanan Aidan, ia selalu terlihat bersama dengan Aidan, anak-anak jarang melihatnya bicara, tertawa, tersenyum atau berekspresi, kebanyakan waktunya ia habiskan dalam diam, walaupun ia tidak punya masalah dengan siapa-siapa dan tidak mengganggu, tapi karena kehadirannya identik dengan kehadiran Aidan anak-anak juga jadi segan padanya, tapi tampaknya ia tidak begitu peduli, sepanjang itu tidak merugikannya.
“Gwen.” jawab Aidan sambil duduk di tempat yang tadi diduduki Gwen, Liam ikut duduk di hadapannya.
“Kupikir kau sudah terbiasa diperlakukan seperti itu olehnya..” kata Liam.
“Kau tahu itu tidak akan pernah bisa membuatku menyerah untuk mendapatkannya..” kata Aidan lagi.
Liam mengangkat bahunya tidak peduli.
“Kau tahu gosip yang beredar tentang Gwen, kan ?” tanya Aidan.
“Bahwa dia menyukai Alan anak kelas sebelah itu ? ya aku tahu..” jawab Liam.
“Aku heran pada Gwen.. apa yang dilihatnya dari anak itu, apa kelebihan anak itu jika dibandingkan denganku ?” tanya Aidan lagi.
“Dia bukan berandalan.. itu kelebihannya jika dibandingkan dengan dirimu..” jawab Liam enteng.
“Setidaknya aku pasti punya sesuatu yang lebih jika dibandingkan dengannya..” kata Aidan yakin.
“Apa misalnya ? dosa ?” tanya Liam.
Aidan tidak menanggapi perkataan Liam, ia terdiam sambil sibuk berpikir.
“Aku harus bisa menemukan kejelekan anak itu, kalau perlu biar semua anak juga bisa mengetahuinya.. begitu aku tahu kejelekan Alan, bukan hanya Gwen yang akan kuberitahu, tapi semua anak akan kuberitahu..” kata Aidan.
“Apa kesalahan Alan padamu sampai kau berbuat begitu ?” tanya Liam penasaran.
“Sebetulnya aku tidak punya masalah apa-apa dengannya, tapi entah kenapa aku jadi membencinya sejak tahu bahwa Gwen menyukainya, dia mengganggu kesenanganku, dan kau tahu jelas aku paling tidak suka jika kesenanganku diganggu.” jawab Aidan.
Makanan pesanan merekapun tiba,
“Terkadang aku bertanya-tanya sendiri kenapa aku mau berteman denganmu..” kata Liam lalu mulai menyantap makanan pesanannya.

14 Februari.
Hari ini merupakan hari spesial bagi para anak muda, khususnya yang sudah punya pasangan dan yang sedang jatuh cinta, hari ini, yang disebut-sebut sebagai hari kasih sayang adalah hari di mana setiap orang bebas mengekspresikan perasaannya pada pasangannya ataupun orang yang disukainya, biasanya dengan cara memberikan barang, dan yang paling populer adalah dengan memberikan coklat.
Saat ini Alan sedang berada di kelas Samuel,
“Kau sudah siap untuk hari ini ?” tanya Alan.
Samuel mengangguk.
“Kau bawa coklatnya, kan ?” tanya Alan lagi.
Samuel mengangguk lagi.
“Sudah tahu apa yang akan kau katakan ?”
Wajah Samuel mendadak pucat,
“A... aku tidak tahu harus berkata apa... a... aku belum pernah menembak orang sebelumnya..” katanya cemas.
“Astaga.” kata Alan singkat.
“Bagaimana ini ?? apa yang harus aku katakan ??” tanya Samuel semakin ketakutan.
Alan terdiam tampak berpikir, tak berapa lama kemudian ia tersenyum sambil memandang Samuel.
“Kau katakan saja apa yang aku katakan padamu saat aku menyatakan perasaanku padamu waktu itu.” katanya.
Samuel diam terpaku sambil menatap wajah Alan.
“Kau.. ehhmm.. masih ingat,kan apa yang waktu itu kukatakan ?” tanya Alan pelan, wajahnya bersemu merah.
“Te.. tentu saja aku masih ingat.. bagaimana mungkin aku bisa lupa, itu pengalaman pertamaku ditembak oleh laki-laki.” jawab Samuel.
“Tidak usah diperjelas ah..” kata Alan.
“Yeah, maaf.. tapi idemu bagus juga, baiklah, aku akan memakai kata-katamu saja.” kata Samuel akhirnya.
“Baguslah, kapan kau akan melakukannya ?” tanya Alan lagi.
“Siang ini, sepulang kuliah..” jawab Samuel.
Alan mengangguk,
“Baiklah, semoga beruntung kalau begitu, hari ini aku pulang cepat jadi tidak bisa menemanimu, tapi aku mau laporan lengkapnya besok siang.” kata Alan.
“Oke.” kata Samuel.
Alan menatap jam, sudah hampir jam 7.
“Aku ke kelas dulu kalau begitu, sampai ketemu istirahat nanti.” katanya.
“Oke.” kata Samuel lagi.
Alan kemudian beranjak pergi meninggalkan kelas Samuel, di depan kelas sudah menunggu beberapa anak perempuan dengan coklat di tangan yang langsung tersenyum malu-malu begitu melihatnya.
“Ah.. aku melupakan bagian yang ini.” kata Alan pelan.
Dari sejak Alan masih duduk di bangku sekolah ia memang sudah sering mendapatkan banyak coklat di hari Valentine, jadi ia tidak begitu terkejut lagi ketika di bangku kuliah terjadi hal yang sama.
Begitu tiba di kelasnya tangan Alan sudah penuh dengan coklat.

Sepanjang kuliah hari itu Samuel tidak bisa berkonsentrasi dengan baik, sebentar-sebentar ia mencuri pandang ke arah Gwen yang duduk beberapa bangku di depannya, ia sudah menunggu terlalu lama untuk datangnya hari ini, hari di mana ia akhirnya berani mengambil tindakan terhadap Gwen.
Saat yang dinantipun akhirnya tiba, dosen sudah mematikan laptopnya dan anak-anak mulai sibuk membereskan barang-barangnya.
Samuel kemudian berdiri dan menghampiri Gwen.
“Ehhm.. hai..” sapanya terbata.
“Hai..” balas Gwen sambil tersenyum.
“Ada waktu ?” tanya Samuel.
“Ya. ada perlu apa ?” tanya Gwen.
“Ada yang mau kubicarakan..” jawab Samuel canggung.
Gwen mengangguk.
“Silahkan..” katanya.
“Ti.. tidak di sini.. bisa ikut aku ?” tanya Samuel lagi.
Gwen menatap bingung pada Samuel,
“Baiklah..” katanya.
Singkat cerita keduanya sudah berada di atap kampus, tempat yang sama di mana Alan menyatakan perasaannya pada Samuel dua bulan yang lalu.
“Jadi, apa yang mau kau bicarakan ?” tanya Gwen.
Samuel tampak canggung, ia kemudian mengambil coklat yang sudah ia siapkan khusus untuk Gwen dari tasnya.
“Se... sebelumnya aku mau memberikanmu ini..” katanya terbata sambil menyodorkan coklat tersebut pada Gwen.
Ekspresi mengerti tampak di wajah Gwen, tahulah ia tentang apa semua ini.
Gwen kemudian mengambil coklat tersebut.
“Terima kasih.” katanya.
“Ya.” balas Samuel, ia kemudian menunduk malu.
Lama keduanya terdiam tampak canggung satu sama lain.
“Jadi ?” tanya Gwen lagi.
“Ahh.. ya.. ya..” kata Samuel terbata.
Samuel menarik napas dalam, mencoba menguatkan hatinya, ia mengingat-ingat kembali kata-kata penembakan Alan dua bulan yang lalu.
“Gwen, ak.. aku tahu kita tidak banyak bicara sebelumnya, ak.. aku.. kita.. kita juga tidak begitu saling kenal.. ehhmm.. yang mau kukatakan.. ad.. adalah..,” Samuel menatap Gwen lekat-lekat, ia sudah memantapkan hatinya,“ Aku menyukaimu.. would you be my girlfriend ?”
Lama keduanya saling tatap dalam diam, ekspresi Gwen tidak terbaca sementara Samuel masih harap-harap cemas.
Gwen menghela napas lalu menunduk,
“Ini begitu tiba-tiba.. ak... aku lumayan kaget juga karena selama ini kau mempunyai perasaan ini padaku.. aku..” Gwen tampak sedang memikirkan akan bicara apa lagi,
Gwen menatap Samuel lagi,
“Maaf.” katanya.
Samuel masih menatap Gwen beberapa saat sebelum ia akhirnya menundukkan kepalanya.
“Aku senang kau menyukaiku, aku senang sekali, tapi saat ini aku sedang menyukai orang lain.. dan aku menaruh harapan penuh padanya.. maaf.. Samuel..” kata Gwen lagi.
Samuel tersenyum hambar, ia menatap Gwen lagi,
“Tidak apa-apa.. tidak usah minta maaf.” katanya.
Gwen ikut tersenyum,
“Sekali lagi aku minta maaf..” katanya.
Samuel menggelengkan kepalanya,
“Bukan salahmu, aku hanya kurang beruntung saja..” katanya sambil tersenyum lagi, kali ini dengan lebih tulus.
“Kau bisa mendapatkan perempuan lain yang lebih baik dariku..” kata Gwen.
Samuel tertawa kecil,
“Tidak, aku serius, kau juga menyadarinya, kan bahwa kau cukup populer.. banyak perempuan yang mengantri untuk menjadi pacarmu, dan.. dan salah satu dari mereka pasti ada yang cocok denganmu..” kata Gwen lagi.
“Yeahh.. mungkin..” kata Samuel.
Keduanya saling tatap kemudian tersenyum, senyuman paling tulus dari orang yang baru saja ditolak cintanya dan yang baru saja menolak.
“So, we cool ?” tanya Gwen.
Samuel mengangguk sambil masih tersenyum,
“Of course we are..” katanya.
Gwen menatap coklat di tangannya,
“It’s still yours...” kata Samuel yang mengikuti arah pandang Gwen.
“Thanks.” kata Gwen.
Samuel mengangguk lagi,
“Ahh.. Gwen..” katanya takut-takut.
“Ya.” balas Gwen.
“Boleh aku tahu siapa yang sedang kau sukai saat ini ?” tanya Samuel.
Wajah Gwen mendadak berubah warna menjadi merah merona.
“Namanya Alan, anak kelas sebelah.” jawabnya malu-malu.
Samuel terdiam membeku di tempatnya berdiri.

Esok siangnya,
Seperti biasa Alan dan Samuel makan siang bersama di kantin kampus,
“Jadi, bagaimana kemarin ?” tanya Alan membuka percakapan.
Tadi pagi Alan berangkat duluan karena ada perlu di kampus jadi dia tidak berangkat dengan Samuel dan tidak sempat bertanya tentang kejadian kemarin.
Samuel tersenyum hambar sambil memandang ke arah meja, sementara Alan mengeluarkan laptop dari tasnya.
“Aku ditolak.” jawab Samuel pelan.
Alan terdiam sejenak, ia tahu ini pasti akan terjadi, Gwen tidak menyukai Samuel, Alan tahu itu, anak-anak lainpun tahu.
“Me.. memangnya apa yang dia katakan ?” tanya Alan takut-takut.
“Dia bilang dia menyukai orang lain.” jawab Samuel lagi.
Alan tidak berani menatap Samuel, ia pura-pura berkonsentrasi dengan laptopnya,
“Mungkin kau kurang berusaha, terus saja dekati dia, cepat atau lambat dia pasti akan menyukaimu..” kata Alan kemudian.
Samuel terdiam sambil masih menatap meja, sementara Alan masih berpura-pura sibuk dengan laptopnya.
Lama keduanya terdiam.
“Dia menyukaimu.” kata Samuel akhirnya.
Alan terdiam sambil menatap laptopnya, ia tidak tahu harus berkata apa.
Samuel akhirnya mengalihkan pandangannya pada Alan.
“Dan kau sepertinya sudah tahu tentang hal ini..” katanya.
Alan terdiam menunduk.
“Kenapa kau tidak mengatakannya padaku ?” tanya Samuel.
Alan masih terdiam, dia benar-benar tidak tahu harus berkata apa.
“A.. aku.. aku tidak mau melihatmu kecewa.. terlebih lagi... kecewa karena aku..” kata Alan akhirnya.
Samuel masih terus menatapnya, sementara Alan masih terus menunduk.
“Maafkan aku..” kata Alan lagi.
Samuel kemudian tersenyum,
“Maaf ? memangnya apa salahmu padaku ?” tanyanya.
Alan menatap Samuel bingung,
“Bukan salahmu jika Gwen menyukaimu..” kata Samuel lagi.
“Tapi..”
Samuel menghembuskan napasnya,
“Mungkin aku memang tidak beruntung saja, tapi aku tidak menyalahkanmu, Alan.. justru seharusnya aku senang, karena dia menyukaimu, dan bukannya orang lain, setidaknya aku tahu kau, kau bukan orang jahat, kau pantas bersamanya..” katanya pasrah.
“Sam.. kau bicara apa sih, kau tahu siapa aku, tidak mungkin aku membalas perasaannya..” kata Alan lagi.
Samuel hanya tersenyum mendengar perkataan Alan.
“Mungkin Gwen bisa membuatmu sembuh..” katanya.
“Siapa yang sakit ?” tanya Alan.
Samuel kemudian tertawa, diikuti oleh Alan.
“Ya sudahlah.. tidak usah dibahas lagi..” kata Samuel kemudian mulai menyantap makan siangnya.
Samuel mungkin memang sedikit kecewa karena cintanya ditolak Gwen dan kenyataan bahwa Gwen menyukai Alan juga sedikit mengiris hatinya, tapi untungnya Samuel bukan tipe anak yang berpikiran sempit, ia tahu jelas itu bukan kesalahan baik Alan maupun Gwen, jadi daripada ia menghabiskan waktunya untuk meratapi nasib malangnya, ia lebih memilih untuk menerima kenyataan dengan hati terbuka dan berharap bahwa suatu saat nanti mungkin Gwen akan beralih menjadi menyukainya, tapi bila yang terjadi adalah Alan akhirnya sembuh dan membalas cinta Gwen, Samuel juga akan turut senang.
“Hari ini kau pulang jam berapa ?” tanya Samuel.
“Jam 1. Kau ?” tanya Alan.
“Sekarang ini aku sudah pulang.” jawab Samuel.
“Enak sekali..” kata Alan.
Samuel mengeluarkan kunci motor dari sakunya kemudian menyodorkannya pada Alan.
“Apa ini ?” tanya Alan.
“Kunci motor.” jawab Samuel.
“Aku tahu Samuel sayang, maksudku, kenapa kau memberikan kunci motormu padaku ?” tanya Alan lagi.
“Setelah ini aku akan ke kota sebelah dengan menggunakan bus, Kenneth meneleponku tadi pagi, dia bilang ada yang ingin dia bicarakan denganku, jadi hari ini kau pulang pakai motorku saja, karena halte busnya dekat dengan rumahku, jadi malam ini aku akan langsung pulang ke rumah saja, besok pagi baru aku akan mengambil motornya ke rumahmu sekalian menjemputmu..” jawab Samuel.
Alan mengangkat bahunya,
“Baiklah..” katanya.
Keduanya kemudian menghabiskan makan siang mereka, setelahnya Samuel berpamitan dan pergi menuju halte sementara Alan kembali ke kelasnya.

Jam 1 tepat Alan selesai kuliah, karena tidak ada kerjaan lain Alan memilih untuk langsung pulang, ia melangkahkan kakinya ke lapangan parkir dan menghampiri motor silver milik Samuel.
Alan sudah sampai di ujung jalan ketika ia melihat Gwen sedang berjalan sendirian, Alan kemudian menepikan motor Samuel tepat di depan Gwen.
“Hai..” sapanya.
“Ah.. ehh.. ha.. hai..” balas Gwen sedikit terkejut.
“Sendirian saja ?” tanya Alan.
“I.. iya..” jawab Gwen sambil terbata.
“Teman-temanmu yang lain mana ?” tanya Alan lagi.
“Rumahku dan mereka tidak searah.. jadi ya terpaksa aku pulang sendirian..” jawab Gwen, wajahnya mulai memerah.
“Ayo naik, kebetulan rumahku juga arahnya sama..” kata Alan lagi, ia menawarkan tumpangan pada Gwen tanpa maksud apa-apa, ia hanya mau berbuat baik saja.
Wajah Gwen semakin memerah,
“Ti.. tidak usah.. nanti malah merepotkanmu..” katanya sambil terbata.
“Ah tidak usah sungkan, ayo..” ajak Alan lagi.
Gwen terdiam sebentar, ia tersenyum malu-malu,
“Ayoo..” ajak Alan sambil menyodorkan helm pada Gwen.
“Ba..baiklah..” kata Gwen akhirnya lalu mengambil helm yang ditawarkan Alan.
Gwen lalu duduk di belakang Alan, setelah yakin Gwen nyaman dengan posisinya Alanpun kembali menjalankan motornya.
Setengah jam kemudian mereka tiba di depan rumah Gwen.
“Thanks.” kata Gwen setelah turun dari motor dan memberikan helmnya pada Alan.
“Ya.” kata Alan.
“Ma.. mau mampir ?” tanya Gwen malu-malu.
“Terima kasih, tapi mungkin lain kali saja.. aku ada urusan di rumah..” jawab Alan sambil tersenyum.
“Ohh.. ahh.. ba.. baiklah..” kata Gwen.
“Kalau begitu aku pulang dulu.” kata Alan kemudian.
“Ahh... Alan..” kata Gwen ragu-ragu.
“Ya ?” tanya Alan.
“Bo.. boleh aku.. ehhmm.. minta nomor handphonemu ?” tanya Gwen malu.
“Tentu saja... mana handphonemu ?” tanya Alan.
Gwen tersenyum sambil memberikan handphone pada Alan.
Alan kemudian mengetikkan nomor handphonenya, setelah selesai ia mengembalikan handphone Gwen pada pemiliknya.
“Terima kasih..” kata Gwen.
“Ya. baiklah... aku pulang sekarang kalau begitu..” kata Alan akhirnya.
“Ya, sekali lagi terima kasih karena sudah mengantarkanku pulang..” kata Gwen lagi.
“Okay.” kata Alan sambil menyalakan mesin motor Samuel.
“Sampai ketemu lagi..” katanya.
“Hati-hati..” kata Gwen.
Alan mengangguk kemudian menjalankan motor Samuel meninggalkan Gwen yang masih berdiri di depan rumahnya sambil tersenyum malu.

Sore hari di kampus,
Samuel baru saja selesai bermain basket dengan anak-anak yang lain, kini ia dan Alan sedang berada di kamar mandi di sebelah lapangan basket yang berada di belakang gedung kampus, Samuel sedang mencuci mukanya di westafel sementara Alan bersandar pada dinding di sebelah Samuel.
“Kau tahu, akhir-akhir ini Gwen sering mengirimiku pesan lewat handphone..” kata Alan membuka obrolan.
Samuel yang sedang membasahi wajahnya dengan air keran menghentikan aktivitasnya sejenak,
“Sejak kapan kau dan Gwen saling mengirimi pesan lewat handphone ?” tanyanya.
“Sejak saat kau pergi ke kota sebelah mengunjungi kakakmu, hari itu aku berpapasan dengannya dalam perjalanan pulang, karena kulihat ia sendirian dan kebetulan rumah kami searah jadi aku menawarkan tumpangan padanya..” jawab Alan.
“Ohh..” kata Samuel singkat kemudian melanjutkan mencuci muka.
“Waktu itu dia meminta nomor handphoneku, jadi kuberikan saja, sejak saat itu dia jadi sering mengirimiku pesan.” kata Alan lagi.
“Memang pesan seperti apa ?” tanya Samuel.
“Pesan-pesan standar seperti menanyakan kabar, sudah makan atau belum, selamat beristirahat dan sebagainya.. bukan sesuatu yang penting..” jawab Alan lagi.
“Apa kau membalasnya ?” tanya Samuel lagi.
“Hanya seperlunya saja..” jawab Alan.
“Apakah perhatiannya yang seperti itu padamu tidak juga menggugah perasaanmu padanya ?” tanya Samuel.
“Tidak.” jawab Alan mantap.
“Kau tidak mau mencobanya ? memberinya kesempatan ?” tanya Samuel.
“Kita sudah pernah membahas hal ini sebelumnya.. dan jawabanku tetap tidak.” jawab Alan lagi.
Samuel selesai mencuci mukanya, kini ia mengeringkan mukanya dengan handuk kecil yang sengaja ia bawa dari rumah.
“Pikirkan lagi, Gwen itu perempuan yang baik.. jahat sekali kau jika tidak memberinya kesempatan barang sekali..” kata Samuel setelah selesai mengeringkan mukanya.
Alan menatap Samuel,
“Bagaimana mungkin aku bisa memberinya kesempatan kalau aku sama sekali tidak merasakan apapun padanya..” katanya.
“Seiring berjalannya waktu mungkin perasaan itu akan timbul dengan sendirinya..” kata Samuel tetap tidak mau kalah.
“Aku sudah mencoba sepanjang 20 tahun usiaku untuk menyukai perempuan, tapi hasilnya nihil ! aku tidak pernah berhasil mendapatkan perasaan itu pada perempuan.. sifatku yang sekarang ini alami, tidak bisa diubah secara paksa !” kata Alan dengan sedikit ngotot.
“Memangnya kau tidak kasihan pada Gwen ? dia rajin mengirimimu pesan, kaupun membalas pesan-pesannya seolah-olah memberinya harapan.." kata Samuel.
“Aku membalas pesan-pesannya karena aku masih menghargainya sebagai teman, tapi jika dengan begitu aku seolah memberinya harapan, maka mulai sekarang aku tidak akan pernah membalas pesan-pesannya lagi.” kata Alan.
“Jahat sekali kau !” kata Samuel dengan suara tinggi.
Alan menatap Samuel lekat-lekat.
“Sebetulnya kau kan yang ingin sekali berkirim pesan dengannya ? tapi karena kau tidak bisa kau melakukannya melalui aku, kau memaksaku untuk bersamanya padahal kita berdua sama-sama tahu kau lah yang paling ingin bersamanya !!” kata Alan dengan tinggi suara yang sama.
Samuel terdiam sambil masih bertatapan dengan Alan.
“Aku tidak mau membicarakan hal ini lagi, aku juga tidak mau mendengarmu memaksaku untuk menanggapinya lagi, aku juga tidak akan membalas pesannya lagi, jika itu memang membuatnya terus berharap padaku !” kata Alan akhirnya kemudian berbalik membelakangi Samuel dan melangkah keluar kamar mandi.
“Dasar gay !” kata Samuel pelan, ia tidak tahu apa yang merasukinya sampai-sampai ia bisa mengucapkan kalimat terlarang tersebut, tetapi yang pasti ia langsung menyesalinya sesaat setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya.
Alan menghentikan langkahnya, ia berbalik menghadap ke arah Samuel dan menatapnya dengan tajam.
“Apa tadi kau bilang ?” tanyanya sambil maju perlahan mendekati Samuel.
“A... aku... tadi.. ma.. maaf.. aku tidak..”
“Coba ulangi lagi yang tadi kau bilang !” kata Alan sambil terus berjalan perlahan mendekati Samuel, sementara Samuel mundur beberapa langkah, tampak ketakutan.
“Alan.. maaf.. ak.. aku tidak sengaja.. ak.. aku..”
“Ya !! aku memang gay, Samuel, terus kenapa ? kau keberatan dengan itu ?” tanya Alan, saat ini ia sudah berada tepat di hadapan Samuel, sementara Samuel sudah mentok bersandar pada dinding, jarak keduanya sangat dekat sehingga Samuel bisa merasakan napas yang keluar dari hidung Alan di wajahnya.
“Bu.. bukan.. aku... kau.. Alan..”
“KALAU KAU MEMANG KEBERATAN SEHARUSNYA DARI AWAL KAU TIDAK USAH BERTEMAN DENGANKU SAJA !!!!!” teriak Alan kemudian berbalik dan pergi meninggalkan Samuel yang masih terkejut dengan teriakan Alan.
“Alan !! Alan tunggu !!” kata Samuel setelah tersadar dari keterkejutannya, ia kemudian berlari mengejar Alan.
Kamar mandi kembali sunyi sekarang setelah keduanya pergi, tiba-tiba salah satu pintu WC nya terbuka, seorang anak muncul dari dalam WC tersebut sambil tersenyum penuh kemenangan,
“Akhirnya aku tahu kelemahanmu, Alan.” kata Aidan.

to be continued


0 comments:

Post a Comment