DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



My Gay Bestfriend Page 3

Page 3
by GoodFriend

amuel mengejar Alan keluar kamar mandi, tapi yang dikejar sudah tidak tampak lagi di manapun, pasti tadi Alan berlari.
Samuel mencari Alan di setiap sudut kampus, kantin, ruang kuliah, taman depan, tapi hasilnya nihil, ia akhirnya menyerah, Alan mungkin sudah pulang, Samuel memutuskan untuk menyusul saja ke rumah Alan, iapun bergegas menuju lapangan parkir untuk mengambil motornya.
Sesampainya di rumah Alan Samuel bertemu dengan Ibu Alan yang mengatakan bahwa Alan belum pulang, Samuel akhirnya memutuskan untuk menunggu hingga Alan pulang di taman yang terletak di ujung gang rumah Alan.
Sementara itu di sebuah kedai makan kecil Alan tampak tengah duduk termenung di salah satu mejanya,
Hatinya sakit jika mengingat kembali kejadian tadi, entah kenapa kalimat itu terdengar beribu-ribu kali lebih menyakitkan jika Samuel yang mengatakannya dibandingkan dengan jika orang lain yang mengatakannya.
Mungkin Samuel tidak sengaja, tapi tetap saja terdengar menyakitkan.
Alan menyeruput jus mangga yang dipesannya sambil terus termenung, ia tahu Samuel pasti akan menyusulnya ke rumah, jadi ia memilih untuk mampir dulu di kedai yang tidak sengaja ia lewati ini agar ia tidak usah bertemu dengan Samuel.
Jam tangan Samuel sudah menunjukan pukul 10 malam tapi Alan belum juga lewat, Samuel mengenok kiri kanan, gang rumah Alan sudah sepi, tak ada tanda-tanda orang lewat.
Samuel kemudian berdiri, setelah berjam-jam ia duduk di bangku taman menunggu Alan yang tak kunjung muncul, ia akhirnya memutuskan untuk pulang dan bicara dengan Alan besok pagi sekalian menjemputnya.

Esok paginya,
Jam 6 pagi tepat motor Samuel sudah bertengger di depan rumah Alan, Samuel menglakson motornya.
Beberapa saat kemudian ibu Alan muncul di pintu depan.
“Selamat pagi, tante, Alannya sudah siap ?” tanya Samuel sopan.
“Lohh, memangnya Alan tidak memberitahumu, Sam ?” tanya ibu Alan kebingungan.
“Memberitahu saya apa, tante ?” tanya Samuel sama bingungnya.
“Alan bilang hari ini dia ada presentasi penting di kelasnya, jadi dia berangkat lebih pagi, dia sudah berangkat dari jam setengah enam tadi, kupikir dia sudah mengatakannya padamu..” jawab ibu Alan.
“Tidak, Alan tidak mengatakannya pada saya..” kata Samuel.
Alan pasti sangat marah padanya hingga ia melakukan ini, pikir Samuel.
“Baiklah kalau begitu, saya pamit berangkat kuliah dulu, tante..” kata Samuel lagi.
“Ya, hati-hati di jalan, Sam.” balas ibu Alan.
“Ya.” kata Samuel.
Samuel kemudian menjalankan motornya dan pergi meninggalkan ibu Alan yang masih berdiri kebingungan di depan rumahnya.
Setengah jam kemudian Samuel tiba di kampus, setelah memakirkan motornya dan mengaitkan helmnya asal ia bergegas menuju kelas Alan,
Setibanya di depan kelas Alan Samuel melihat bahwa ternyata perkuliahan sudah mulai, hari ini ternyata bukan hari keberuntungannya, ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke kelasnya saja dan berencana untuk bicara dengan Alan pada jam istirahat nanti.
Samuel memasuki kelasnya dengan gontai, ia ingin cepat-cepat menyelesaikan masalahnya dengan Alan tapi selalu saja ada hambatan,
Samuel kemudian duduk di kursi favoritnya, begitu duduk ia baru menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh dengan kelasnya, teman-teman sekelasnya tampak bergerombol-gerombol sambil berbisik-bisik antusias, beberapa ada yang mencuri pandang pada Samuel.
Ada sesuatu yang tidak beres, pikir Samuel.
Benar saja, salah satu dari mereka akhirnya memberanikan diri menghampiri Samuel.
“Ehh... Samuel... ada yang ingin kami tanyakan padamu..” katanya takut-takut.
“Apa ?” tanya Samuel bingung.
“Akhir-akhir ini kau dekat dengan Alan anak kelas sebelah, kan ?” tanya anak tersebut sambil masih takut-takut, sementara anak-anak yang lain terdiam tampak berkonsentrasi mendengarkan.
“Ya.” jawab Samuel enteng.
Anak-anak yang lain mulai berbisik-bisik lagi,
“Ap... apa gosip yang sedang beredar itu benar ?” tanya anak tersebut lagi.
“Gosip ? gosip apa ?” tanya Samuel kebingungan.
Anak tersebut menoleh pada teman-temannya mencari dukungan, teman-temannya tampak ketakutan sekaligus penasaran, ia akhirnya kembali menatap Samuel.
“Gosip bah.. bahwa Alan itu... ehhmmm... gay ?” tanyanya.
Kelas mendadak menjadi sunyi, semua anak tampak memasang telinganya dengan baik sambil menatap lurus pada Samuel.
Samuel sendiri terkejut mendengar pertanyaan temannya, bagaimana mungkin hal ini bisa bocor, tanyanya dalam hati.
“Gosip darimana itu ?” tanyanya berusaha tenang.
“Ta.. tadi pagi Aidan keliling kampus sambil menggembar-gemborkan berita ini pada semua anak, ia bilang berita ini bisa dipercaya, karena.. ehmm... dia dengar langsung dari orangnya..” jawab anak tersebut.
Mendengar nama Aidan disebut Samuel langsung naik pitam, kedua tangannya ia kepalkan dengan sangat keras.
“Di mana dia sekarang ?” tanya Samuel galak.
“Tadi kami lihat dia ada di kantin, be.. bersama Gwen..”
Samuel langsung berdiri, ia kemudian bergegas pergi menuju kantin, meninggalkan teman-teman sekelasnya yang masih kebingungan sekaligus ketakutan karena melihat reaksi Samuel barusan.
Sesampainya di kantin Samuel menemukan Aidan dan Gwen sedang berdiri berhadapan, dengan langkah tergesa Samuel menghampiri keduanya, sesampainya di tempat Aidan dan Gwen Samuel menarik bahu kiri Aidan hingga ia menghadap ke arah Samuel, tanpa aba-aba Samuel meninju pipi Aidan dengan sekuat tenaga hingga Aidan terjatuh ke tanah.
Gwen berteriak memekik, sementara Aidan mengerang kesakitan di tanah.
Tanpa kasihan Samuel menarik Aidan dari tanah kemudian meninjunya lagi, hingga Aidan terjatuh lagi ke tanah, darah mengalir deras dari hidung dan sudut bibirnya.
“BRENGSEK KAU AIDAN !!!!” teriaknya penuh kemarahan.
“Berhenti Samuel..” kata Gwen ketakutan.
Samuel tidak mendengarkan perkataan Gwen, ia hendak menarik Aidan lagi namun ditahan oleh Gwen, perlahan Aidan berdiri sambil mengerang menahan sakit.
“Apa-apaan kau ?? tiba-tiba datang dan menghajarku ?? aku tidak merasa pernah mengganggumu !!” tanyanya sambil menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya.
“Bukan aku memang, tapi Alan !!” kata Samuel sambil berusaha melepaskan diri dari pegangan Gwen.
Aidan tersenyum mencibir tampak mengerti.
“Apa urusannya denganmu ?” tanyanya.
“Tentu saja ada !! dia temanku !!” bentak Samuel.
Senyum mencibir Aidan tampak semakin lebar, tanpa peringatan ia melayangkan tinjunya pada Samuel, sama kerasnya dengan yang diberikan Samuel barusan padanya, Gwen berteriak lagi sambil melepaskan pegangannya pada Samuel sementara Samuel jatuh berlutut di tanah, kaca matanya pecah.
Tanpa bersusah payah mengambil kaca matanya yang sudah pecah, Samuel langsung bangkit berdiri dan menyerang Aidan lagi, keduanya kemudian terlibat perkelahian seru, sementara Gwen berdiri ketakutan tak jauh dari tempat keduanya bergulat, tidak berani melerai.
“Sudah !! Hentikan kalian berdua !!” teriaknya histeris, namun tidak didengarkan oleh keduanya.
Aidan dan Samuel saling pukul, saling tendang, dan saling tinju, darah sudah membanjiri tanah di sekitar mereka, mengalir dari hidung dan sudut bibir keduanya, Samuel tampak sangat marah, ia menghajar Aidan seperti orang kesetanan, sementara Aidan membalas semampunya.
Gwen menoleh kiri kanan, berharap ada seseorang yang bisa melerai Samuel dan Aidan,
“Seseorang tolong !!” teriaknya.
Di tengah-tengah perkelahian sengit tersebut Liam akhirnya datang dan melerai, ia menarik Aidan sementara Gwen memberanikan diri menahan Samuel.
“Apa kesalahan Alan padamu sampai kau mengganggunya seperti ini ??” tanya Samuel marah dalam pertahanan Gwen.
“Bukan urusanmu !!” kata Aidan.
“KAU !!!” Samuel sudah hendak menghajar Aidan lagi, tapi rupanya pegangan Gwen cukup kuat.
“Sudah, ayo kita pergi..” kata Gwen sambil menarik Samuel pergi.
“Ini belum selesai, brengsek !!! sampai aku mendengar kau membahas tentang kondisi Alan lagi, aku bersumpah tak akan segan-segan untuk membunuhmu !!!” kata Samuel sambil mengikuti tarikan Gwen.
“Kita lihat saja nanti !!” kata Aidan.
Gwen dan Samuel kemudian pergi, meninggalkan Aidan dan Liam yang masih berdiri di tengah-tengah kantin yang sudah berbercak darah di mana-mana.
“Lepaskan aku..” kata Aidan pelan.
Liam melepaskan pegangannya pada Aidan.
“Apa itu barusan ?” tanya Liam bingung, ia baru saja sampai di kampus, jadi ia belum mendengar gosip tentang Alan.
“Dia yang duluan datang dan meninjuku..” jawab Aidan singkat.
“Dan dia meninjumu karena...” Liam menunggu jawaban Aidan.
“Karena aku memberitahu anak-anak bahwa Alan gay..” jawab Aidan tanpa menatap wajah Liam.
Liam menatap Aidan, ekspresi wajahnya aneh,
“Berapa kali sudah kau terlibat perkelahian karena menyebarkan gosip murahan ?” tanyanya kemudian sambil menyodorkan sapu tangannya pada Aidan untuk menyeka darah yang ada di tubuhnya.
“Ini bukan gosip, Li !! ini memang fakta, kemarin sore aku mendengarnya sendiri dengan telingaku Alan mengaku bahwa dirinya gay..” kata Aidan sambil mengambil sapu tangan Liam kemudian menotol-notolkannya pada sudut bibirnya yang berdarah.
Keduanya saling tatap.
“Kau yakin ?” tanya Liam.
“Sangat yakin !!” jawab Aidan mantap.
Liam masih menatapnya, lumayan lama.
“Lalu apa urusannya denganmu bila Alan memang benar gay ?” tanyanya.
“Aku kan sudah pernah bilang padamu aku akan mencari kelemahannya dan akan menyebarkannya..” jawab Aidan lagi.
“Lalu setelah itu kau mau apa ?” tanya Liam lagi.
Aidan mengangkat bahunya, ia juga tidak tahu selanjutnya bagaimana,
“Yang penting Gwen sudah tahu bahwa orang yang disukainya adalah seorang gay..” kata Aidan.
Liam menghembuskan napasnya, kemudian beranjak pergi meninggalkan kantin menuju kelas, diikuti Aidan.

Sementara itu di depan kamar mandi belakang gedung kampus Samuel dan Gwen duduk di bangku semen, Gwen membersihkan darah dan luka pada tubuh Samuel dengan sapu tangannya yang sudah ia basahi dengan air.
Jam menunjukan pukul 8 pagi, seharusnya mereka sudah masuk kuliah dari tadi, tapi keduanya memilih untuk bolos dan diam di sini sambil membersihkan luka Samuel.
Keduanya terdiam lama sekali, tak ada yang berani membuka topik pembicaraan,
“Te.. terima kasih..” kata Samuel kaku setelah beberapa menit.
Gwen menghembuskan napasnya pelan,
“Kau ini nekat sekali, tiba-tiba menghampiri Aidan dan menghajarnya, beruntung tadi Liam datang, kalau tidak, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada kalian berdua..” katanya sambil mengusap wajah Samuel dengan sapu tangannya.
“Kalau bukan dia yang mulai menyebarkan kondisi Alan duluan aku juga tidak akan mau repot-repot menghajarnya...” balas Samuel.
Gwen menghentikan aktivitasnya ketika ia mendengar nama Alan disebut,
“Jadi, gosip itu.. benar ?” tanyanya takut-takut.
Samuel menatapnya, sementara Gwen menunduk sedih,
“Aku tidak punya hak untuk memberitahumu, lebih baik kau tanyakan pada orangnya langsung..” jawab Samuel.
Gwen masih menunduk terdiam, sementara Samuel masih menatapnya iba, ingin rasanya ia merangkul pundak perempuan yang duduk di sampingnya ini, tapi ia tidak punya cukup keberanian untuk melakukannya.
Setelah beberapa saat Gwen menunduk diam, ia akhirnya mengangkat kembali wajahnya dan menatap Samuel, ia tersenyum, karena kejadian ini ia jadi kagum pada Samuel, ia akhirnya melihat sisi lain dari Samuel, sisi baik yang selama ini lewat dari perhatiannya, ternyata Samuel adalah anak yang setia kawan, yang rela berkelahi demi membela kehormatan temannya.
“Ap... apa ?” tanya Samuel gugup yang menyadari ditatap oleh Gwen.
“Tidak.. tidak ada apa-apa..” jawab Gwen sambil masih tersenyum,
Wajah Samuel merona merah melihat senyum Gwen.
Keduanya kemudian menghabiskan sisa pagi mereka duduk terdiam hanya berdua saja di gudang belakang gedung utama kampus.
Sementara itu jam 10 tepat kelas Alan istirahat, anak-anak dari kelas lain yang masih penasaran dengan kebenaran gosip tentang Alan mulai menanyai teman-teman sekelas Alan,
Sekali lagi Alan mendapatkan alasan mengapa ia harus bersyukur mempunyai teman-teman sekelas seperti mereka, karena tak satupun dari mereka membenarkan gosip tersebut, walaupun akhirnya yang tadinya mereka menganggap Alan hanya bercanda sekarang jadi mulai mempercayainya, percaya bahwa Alan memang seorang gay, tapi hal tersebut tidak dipermasalahkan oleh mereka, karena mereka berteman dengan Alan bukan berdasarkan orientasi seksualnya, tetapi karena sifat dan kepribadiannya.
Sama seperti Samuel dan Gwen, ternyata Aidan dan Liam juga bolos kuliah pertama mereka hari ini, mereka duduk berdua di salah satu sudut lapangan parkir, Liam duduk diam termenung sementara Aidan sibuk membersihkan luka di tubuhnya.
“Tidak terlalu parah, kan ?” tanya Liam singkat sambil menatap sekilas luka-luka di tubuh Aidan.
Aidan nyengir sambil masih membersihkan lukanya dengan sapu tangan Liam,
“Aku pernah menderita yang lebih parah dari ini, kau tahu, kan..” katanya.
Liam mengangguk pelan,
Keduanya sudah berteman sejak mereka berumur 5 tahun, kebetulan rumah mereka juga bersebelahan, keluarga keduanya sudah saling kenal satu sama lain, bahkan cukup akrab juga, Liam melewati masa kecil dan awal remajanya bersama-sama dengan Aidan, jadi ia sudah tahu tentang Aidan luar dalam, apa-apa saja yang sudah pernah dialami dan yang belum pernah dialami Aidan Liam tahu, begitupun Aidan pada Liam,
Liam sudah cukup terbiasa melihat Aidan babak belur karena berkelahi jadi ia sudah tidak begitu khawatir lagi, dan seperti yang tadi dikatakan oleh Aidan, ia memang pernah mengalami luka yang lebih parah dari yang sekarang ini,
Walaupun sifat dan kepribadian keduanya sangat bertolak belakang, tapi persahabatan mereka mampu bertahan hingga 15 tahun.
Di tengah-tengah lamunan Liam dan kesibukan Aidan membersihkan lukanya, tiba-tiba muncul Yoel, Nathan dan Rea yang sudah berdiri di depan keduanya dengan tampang murka.
“Tampaknya kita sudah keduluan orang lain..” kata Nathan ketus melihat luka-luka di tubuh Aidan.
“Hmm..” gumam Yoel.
“Mau apa kalian ?” tanya Aidan dengan tidak kalah ketusnya.
“Tadinya kami ingin mengukir beberapa luka di wajah dan tubuhmu, tapi sepertinya sudah ada orang lain yang melakukannya..” jawab Nathan.
“Apa ? kalian ingin membela si gay itu juga ? seperti si Samuel brengsek itu ???” tanya Aidan sambil berdiri menantang ketiga anak di hadapannya, sementara Liam masih duduk malas menonton Aidan beradu mulut dengan ketiga teman Alan.
Nathan sudah akan melayangkan tinjunya pada Aidan tapi ditahan oleh Yoel.
“Tidak usah, dia sudah cukup babak belur..” kata Yoel.
“Tapii..” kata Nathan, Yoel melotot padanya, mau tak mau Nathan terdiam, karena pelototan Yoel adalah mimpi buruk bagi siapa saja yang melihatnya.
“Dengar, Aidan... kami tidak tahu apa masalahmu dengan Alan sampai kau mengganggunya seperti ini, tapi kuharap kau tidak akan menyebutnya begitu lagi, karena bila nanti kami mendengarmu berkata seperti itu lagi, bukan hanya kami bertiga yang akan berdiri di hadapanmu, tapi semua anak di kelas kami, “ kata Yoel tegas pada Aidan.
Aidan tertawa mencibir, tapi ia tidak berkata apa-apa, ia dan anak-anak lain tahu bahwa Yoel adalah anak yang paling berwibawa di angkatan mereka, tidak ada seorang anakpun yang berani melawan perkataannya, semua segan padanya, segan di sini dalam arti kata mereka menaruh rasa hormat padanya, tak terkecuali Aidan, walaupun ia menentang kenyataan bahwa ia juga menyegani Yoel, tapi sesuatu dalam diri Yoel membuatnya lumayan ketakutan dan tidak berani melawan.
“Ayo kita pergi..” kata Yoel lagi pada Nathan dan Rea,
Ketiganya sudah berbalik akan pergi ketika tiba-tiba Rea kembali berbalik menghadap Aidan dan melayangkan tinjunya pada Aidan sekuat tenaga yang ia miliki.
Aidan mengerang kesakitan sambil memegangi pipinya yang ditinju Rea barusan, sementara Rea kembali berbalik dan menyusul Nathan dan Yoel yang tak menghiraukan erangan Aidan dan terus berjalan pergi meninggalkan Aidan dan Liam.
Aidan masih mengerang kesakitan, ia menatap Liam yang masih duduk malas sambil menopang dagu dengan tangannya,
“Apa ?” tanya Liam enteng.

Sementara itu di kelas Alan,
Pemuda yang sedang ramai-ramainya menjadi bahan gosip itu duduk termenung di kursinya, beberapa temannya memang menyarankannya untuk jangan keluar kelas dulu, setidaknya sepanjang hari ini, dan mereka tidak memberitahukan alasannya mengapa, tapi Alan tidak begitu peduli, lagipula ia juga memang sedang malas untuk keluar kelas,
Alan sedang menghadapi dilema, di satu sisi ia tidak ingin melihat wajah Samuel dulu untuk saat ini, ia masih marah dengan kejadian sore kemarin, tapi di sisi lain sebagian dari dirinya menunggu kedatangan Samuel untuk meminta maaf padanya, ia mulai cemas ketika Samuel tidak kunjung muncul untuk meminta maaf.
Alan termenung cukup lama hingga tanpa ia sadari Rea, Nathan dan Yoel sudah berdiri di hadapannya, ketiganya menatap iba pada Alan.
“Alan ?” tanya Rea takut-takut, sementara Yoel dan Nathan menarik kursi ke dekat Alan dan mendudukinya.
“Ya ?” tanya Alan, ia tahu ada yang tidak beres, dan ini berhubungan dengannya.
“Kau, sudah dengar.. ehh... gosip ?” tanya Rea lagi.
“Belum, gosip apa memangnya ?” Alan balas bertanya.
“Gosip..uhmm.. tentangmu..” jawab Rea terbata.
Alan menghembuskan napasnya malas, sudah kuduga, katanya dalam hati, hal ini menjelaskan kenapa anak-anak yang lain menyuruhnya untuk tetap berada di dalam kelas,
“Gosip apa tentangku ?” tanyanya.
Rea duduk di salah satu kursi yang berada di dekat situ,
“Kau tahu... dari tadi pagi.. anak-anak ramai membicarakan..ehhm.. tentangmu, “ Rea mengambil jeda sejenak sebelum kembali melanjutkan perkataannya, “mereka... akhirnya tahu bahwa kau... ehm.. gay.”
Ya. sebenarnya tanpa Alan sadari ia sudah tahu pasti gosip ini yang sedang beredar,
Alan hanya mengangkat bahunya singkat setelah mendengar perkataan Rea,
“Cepat atau lambat memang akan tersebar juga, kan..” katanya sambil tersenyum kecil.
Rea, Nathan dan Yoel menatap teman baik mereka ini, mereka kagum dengan sifat Alan yang tegar dan dapat menguasai emosinya, mereka juga kagum dengan cara Alan menyikapi masalahnya.
“Yeahh... tapi tidakkah kau ingin tahu siapa yang menyebarkannya ?” tanya Nathan.
Alan menatapnya dengan tidak terlalu bersemangat,
“Aidan !!” jawab Nathan nyaring.
Alan terdiam mendengar jawaban Nathan, ia sedikit bingung kenapa Aidan melakukan ini padanya,
“Ia iri padamu karena Gwen menyukaimu, dan entah darimana ia bisa tahu tentang kondisimu, tapi yang jelas tadi pagi ia keliling kampus menggembar-gemborkan tentang hal ini pada setiap anak yang ia temui..” lanjut Nathan.
Alan masih terdiam, ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana,
“Tapi tenang saja, ia sudah menerima ganjarannya..” kata Nathan sambil tersenyum senang,
“Ganjaran apa ?” tanya Alan bingung.
“Begitu kami mendengar tentang gosip ini dan tahu bahwa Aidan yang menyebarkannya, kami langsung mencarinya, kami berniat ingin memberinya sedikit pelajaran, tapi ketika kami menemukannya di lapangan parkir, ia sudah duluan diberi pelajaran oleh orang lain..” jawab Nathan senang.
“Pelajaran apa maksudmu ?” tanya Alan.
“Menghajarnya maksud Nathan, membuatnya babak belur, bahasa umumnya.. ehmm.. melukainya.” jawab Yoel enteng.
Alan ganti menatap Yoel,
“Lalu ?” tanyanya penasaran,
“Yeah, seperti yang Nathan bilang tadi, ternyata ada orang lain yang sudah duluan menghajarnya, dia sudah babak belur ketika kami menemukannya, jadi akhirnya kami mengurungkan niat untuk itu.” jawab Yoel lagi.
“Padahal kalau tadi Yoel tidak menghentikanku, aku pasti bisa membuatnya lebih menderita dari itu..” kata Nathan.
Yoel melotot lagi padanya,
“Tapi Rea berhasil memberikan sentuhan akhir yang bagus di pipinya.”sambung Nathan, kali ini tidak peduli dengan pelototan Yoel.
Alan menatap Rea,
“Aku sempat meninjunya.” kata Rea.
“Thanks.” kata Alan, ia tidak tahu harus mengucapkan apa lagi selain itu.
“Dan kau tahu siapa yang sudah menghajarnya ?” tanya Nathan dengan bersemangat,
Alan menggeleng malas, ia tidak tertarik menerima kejutan lain lagi hari ini,
“Samuel !! tadi di perjalanan menuju ke sini kami sempat mendengar teman-teman sekelasnya membicarakan dirinya yang juga babak belur, katanya ia dan Gwen bolos kuliah pertama mereka hari ini, dan begitu mereka kembali ke kelas, Samuel tampak luka-luka di seluruh tubuhnya.” kata Nathan.
“APA ??” tanya Alan kaget.
“Ya. Samuel tampaknya berkelahi dengan Aidan tadi pagi..” Yoel menyimpulkan.
“Di mana dia sekarang ?” tanya Alan tampak khawatir.
“Tadi kami lihat dia di kelasnya dengan Gwen..” jawab Rea.
Alan langsung berdiri,
“Aku ke kelasnya dulu..” katanya kemudian beranjak pergi terburu-buru,
“Ya. hati-hati di jalan..” kata Yoel, ia tersenyum bersama Nathan dan Rea.
Alan sedang menuruni tangga menuju kelas Samuel ketika ia melihat pemuda itu baru menaiki anak tangga pertama menuju ke atas,
Keduanya bertatapan cukup lama dalam diam, Alan melihat wajah Samuel yang tampak lebam di beberapa tempat, sementara Samuel tampak canggung,
Tanpa berdiam lama lagi Alan berlari menuruni tangga menghampiri Samuel,
“A.. aku baru akan ke kelasmu untuk meluruskan masalah yang kemarin, dengar Alan, aku minta ma..”
“Kau berkelahi dengan Aidan ?” tanya Alan memotong permintaan maaf Samuel,
Samuel terdiam, ia menatap malu pada Alan yang dibalas pelototan oleh Alan.
“Ya..” jawab Samuel.
“Kenapa ?” tanya Alan lagi.
Samuel terdiam lagi, ia menunduk canggung beberapa kali sebelum menjawab,
“Karena.. dia..” Samuel menatap Alan,” dia menggembar-gemborkan tentang kondisimu pada semua anak, Alan.. aku tak tahu dia tahu dari mana mengenai kondisimu, tapi aku tidak suka jika dia..”
“Kau tahu... ” kata Alan lagi-lagi memotong perkataan Samuel.
Samuel menatap Alan dengan tatapan bingung sekaligus penasaran,
“Apa ?” tanyanya,
“Ada dua hal yang sangat ingin kulakukan padamu saat ini, “ kata Alan sambil menatap Samuel lekat-lekat,
“Pertama, aku ingin meninjumu sekeras mungkin di wajahmu karena kau sudah melakukan hal bodoh berkelahi dengan Aidan,” Alan terdiam sesaat, “kedua aku ingin memelukmu dengan memasukan beribu-ribu ucapan terima kasihku padamu dalam pelukan itu.”
Samuel terdiam sambil masih menatap Alan,
“Boleh tidak yang pertama kau lewat saja dan kau langsung melakukan yang kedua ?” tanyanya sambil nyengir.
Tanpa panjang lebar lagi Alan memeluk Samuel, pelukan persaudaraan antar sahabat, pelukan yang penuh dengan rasa syukur dan terima kasih, pelukan yang hanya kau berikan pada seseorang yang benar-benar kau anggap sebagai sahabatmu, seseorang yang tanpa kau minta akan melakukan apapun demi kebahagiaanmu, seseorang yang walaupun sudah tahu bahwa kau rusak tapi tetap mau berteman denganmu,
Samuel membalas pelukan Alan sambil tersenyum,
“Thank you.” bisik Alan kemudian melepaskan pelukannya,
Keduanya saling tatap,
“Masalah yang kemarin, Alan, aku minta maaf..” kata Samuel akhirnya.
Alan tersenyum,
“Kau sudah membayar kesalahanmu dengan luka-luka di tubuhmu ini..” katanya,
Samuel nyengir lagi,
“Luka-luka Aidan jauh lebih banyak dari ini..” katanya bangga.
Keduanya tersenyum, kemudian senyum berubah menjadi tawa lepas.

Siang harinya, di kelas Samuel,
Gwen duduk termenung di kursinya, ia sudah begitu sejak kembali ke kelas bersama Samuel tadi pagi, saat ini yang ada di pikirannya adalah mengenai kebenaran gosip yang sedang beredar mengenai Alan.
Hati kecilnya tidak ingin mempercayainya, tapi lingkungan sekitarnya membuatnya harus menerima kenyataan ini, kenyataan bahwa laki-laki yang selama ini disukainya ternyata adalah seorang gay.
“Aku tetap tidak percaya !” katanya pelan pada dirinya sendiri.
Ia tidak bisa begini terus, pikirnya, ia harus mencari kebenarannya, harus !!
Gwen kemudian berdiri, ia menarik nafas pelan mengumpulkan keberanian kemudian berjalan pergi meninggalkan kelas, tujuannya adalah kelas Alan.
Ia tidak mau terus-terusan memikirkan kebenaran gosip ini, hanya ada satu cara untuk memastikannya,
Bertanya langsung pada orangnya,
Gwen berjalan perlahan menuju kelas Alan, hingga akhirnya ia menemukan orang yang ia cari sedang berdiri di depan kelasnya, bersiap-siap akan pulang karena perkuliahannya hari itu sudah selesai.
Gwen mendekati Alan dengan perlahan.
“Hai..” sapa Gwen sambil menatap Alan, sementara Alan tersenyum padanya.
“Hai..” balas Alan.
“Ehh.. a.. aku ada perlu denganmu..” kata Gwen terbata.
“Ada perlu apa denganku ?” tanya Alan.
Gwen terdiam sejenak, ia kembali mencoba mengumpulkan keberaniannya,
Kelas Alan terletak di ujung koridor, dekat dengan tangga, Alan dan Gwen berdiri tak jauh dari tangga menuju ke bawah,
“Jadi, ada apa ?” tanya Alan.
Gwen menunduk canggung, keberanian yang tadi sudah ia kumpulkan mendadak menguap entah ke mana.
“Aku..” katanya pelan, ia menengok kiri kanan, memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa di sekitar mereka.
Alan menunggu dengan sabar, keduanya terdiam cukup lama.
Wajah Gwen tampak sangat merah, tubuhnya bergetar hebat, begitu pula dengan jantungnya yang berdegup sangat cepat.
“Gwen, kau baik-baik saja ?” tanya Alan khawatir.
“Ahh... ya.. ya... ak.. aku baik-baik saja..” jawab Gwen tergagap.
Alan menatapnya khawatir.
Di tengah-tengah pembicaraan mereka Samuel muncul dari arah tangga, ia melihat Alan dan Gwen, ia kemudian menghentikan langkahnya dan mundur kembali ke tangga sebelum keduanya menyadari kedatangannya, ia bersender diam pada dinding yang menghalanginya dari Alan dan Gwen, diam dan mendengarkan,
“Jadi ?” tanya Alan lagi.
“Aku suka padamu !” kata Gwen tiba-tiba.
Ini di luar rencana !! niat awalnya mendatangi Alan adalah untuk menanyakan kebenaran gosip mengenai Alan, bukan malah menyatakan perasaannya.
Keduanya terdiam lagi, wajah Gwen semakin memerah, ia merasa mual ingin muntah, sementara Alan terdiam, wajahnya tanpa ekspresi dan matanya masih memandang Gwen.
Sementara itu Samuel menghembuskan nafasnya dengan pasrah, ia tahu ini akan terjadi, cepat atau lambat,
“Aku..” Alan membuka suara, ia tampak bingung.
“Aku sudah menyukaimu sejak dulu.. tapi aku tidak berani mengatakannya padamu..” kata Gwen lagi, kali ini ia lebih bisa mengendalikan dirinya.
Keduanya akhirnya saling tatap.
“Kau perempuan yang baik..” kata Alan akhirnya,
Keduanya terdiam lagi, Alan tampak tak bisa meneruskan kata-katanya, sementara Gwen terlihat menunggu,
“Kau juga cantik, banyak anak laki-laki yang menyukaimu,” Alan terdiam sejenak, ”terima kasih karena kau menyukaiku... tapi maaf.. aku tidak bisa membalas perasaanmu..” lanjutnya.
Gwen menatap Alan dengan pandangan nanar,
“Apa gosip itu benar ?” tanyanya memberanikan diri.
Alan menatap Gwen,
“Apa kau benar-benar...” Gwen tidak sanggup meneruskan kata-katanya,
Alan menghembuskan nafasnya,
“Ya.” jawabnya singkat.
Gwen menatap Alan dengan tatapan tanpa ekspresi, tanpa ia sadari matanya sudah berair,
Keduanya kembali terdiam.
“Aku tidak percaya..” kata Gwen lirih.
Alan memejamkan matanya sejenak,
“Aku gay, Gwen.. aku tidak menyukai perempuan, karena itulah aku tidak bisa membalas perasaanmu..” katanya.
Air mata sudah mengalir melewati pipi Gwen,
“Maaf..” kata Alan lagi.
Gwen mulai terisak,
“Ja.. jangan menangis, Gwen..” kata Alan kebingungan begitu melihat Gwen mulai terisak, ia menoleh ke kiri dan kanan mencari bantuan.
Gwen mencoba mengendalikan emosinya, ia mencoba untuk menghentikan isakannya.
“Jangan menangis, Gwen..” mohon Alan sambil mengelus rambut Gwen perlahan.
Gwen menyeka air matanya sambil mengangguk,
Alan menatapnya sambil tersenyum,
“Kau perempuan yang baik dan cantik, Gwen, banyak yang menyukaimu, pilihanmu banyak, dan mereka lebih baik dariku, well, setidaknya lebih pantas...” kata Alan lagi.
Gwen tersenyum kecil mendengar perkataan Alan,
“Di luar sana ada seseorang yang mencintaimu dengan tulus..” kata Alan.
Gwen menatapnya,
“Percaya padaku... dia tidak akan mengecewakanmu bila kau memberikan kesempatan padanya..” lanjut Alan.
Gwen tertawa kecil,
“Siapa ?” tanyanya,
Alan terdiam,
“Seseorang yang memang pantas untukmu..” jawabnya.
Gwen terdiam, sementara Alan terus menatapnya,
Keduanya akhirnya saling tersenyum,
“Sekali lagi, maaf..” kata Alan.
“Yahh... mau bagaimana lagi..” kata Gwen pasrah, keduanya tersenyum lagi.
“Jadi, kau mau mempertimbangkan perkataanku tadi ?” tanya Alan.
Gwen menatapnya sejenak, kemudian mengangkat bahunya,
“Kita lihat saja nanti..” katanya.
Alan tersenyum,
“Baiklah..” kata Alan.
Keduanya terdiam lagi sejenak,
“Kau sudah pulang kuliah ?” tanya Alan.
“Sudah..” jawab Gwen,
“Mau pulang bersama-sama denganku ?” tanya Alan lagi.
Gwen menatap Alan,
“Tidak, aku masih ada perlu di sini..” jawabnya.
“Baiklah kalau begitu,” kata Alan sambil melihat jam tangannya,
“Aku pulang duluan ya..” katanya.
Gwen mengangguk,
“Yakin kau tidak mau pulang bersama denganku ?” tanya Alan lagi memastikan,
Gwen tersenyum,
“Iya, aku masih ada perlu di sini, kau pulanglah duluan..” jawabnya.
“Baiklah..” kata Alan akhirnya, “sampai jumpa besok.”
“Ya.” balas Gwen.
Alan kemudian beranjak meninggalkan Gwen berdiri sendirian, Alan berjalan menuruni tangga melewati Samuel tanpa menyadari keberadaan Samuel.
Gwen menatap ke arah kepergian Alan dengan diam,
Air mata kembali mengalir melewati pipinya,
Air mata yang sejak tadi ia coba tahan di depan Alan akhirnya keluar juga,
Ia mengisak sejadi-jadinya,
Ia tidak tahu apa yang sedang ia rasakan sekarang,
Kecewa. Patah hati. Sedih.
Yang ia tahu adalah ia harus menangis, walaupun ia ragu apakah dengan menangis semua perasan itu bisa hilang.
Di tengah isakan Gwen Samuel muncul dari arah tangga,
Samuel berjalan perlahan mendekati Gwen dengan ragu-ragu, sementara Gwen masih terus terisak.
Samuel berdiri canggung di sebelah Gwen, ia mengangkat tangannya dengan ragu-ragu untuk mengelus rambut Gwen.
Begitu ia menyentuh rambut Gwen dan tidak ada reaksi penolakan ia melanjutkan mengelus dengan lebih mantap,
Isakan Gwen makin keras seiring dengan elusan Samuel.
Tanpa aba-aba Gwen lalu memeluk Samuel sambil melanjutkan menangis di dada Samuel.
Samuel tampak kaget karena dipeluk tiba-tiba oleh Gwen, wajahnya memerah karena malu dan senang,
Dengan canggung Samuel lalu melingkarkan tangannya yang bebas ke bahu Gwen.
“Sudah.. sudah..” katanya berusaha menguatkan.
Gwen masih terus menangis.

to be continued




0 comments:

Post a Comment