DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



My Gay Bestfriend Page 4

Page 4
by GoodFriend

Sebulan sudah berlalu sejak gemparnya gosip tentang orientasi seksual Alan, anak-anak perlahan-lahan mulai melupakan masalah tersebut dan menjalani rutinitas perkuliahan mereka seperti biasa.
Ada sesuatu yang berbeda dalam rutinitas Samuel sekarang, sejak hari penolakan Alan terhadap Gwen, Samuel dan Gwen menjadi sering terlihat bersama.
Keduanya terlihat lebih akrab dari sebelum-sebelumnya, bukan hanya di luar, tapi tiap malam juga mereka rajin saling kirim pesan lewat handphone.
Sekarang Samuel lebih sering mengantar Gwen pulang ketimbang mengantar Alan, Alan sendiri tidak keberatan dengan hal ini, ia justru senang, karena Gwen ternyata memang mempertimbangkan kata-kata Alan padanya siang itu.
Ketiganya jadi sering terlihat bersama, ke kantin bersama, menghabiskan jam-jam istirahat bersama, dan sebagainya, awalnya Gwen memang terlihat agak canggung bila harus bersama-sama dengan Alan, tapi lama kelamaan ia akhirnya bisa menyesuaikan diri dan tanpa ia sadari perasaan sukanya pada Alan sudah hilang, yang ia rasakan pada Alan sekarang tidak lebih dari perasaan sayang pada seorang teman.
“Aku baru mau ke kelasmu... mana Gwen ?” tanya Alan.
“Di kelas... aku ada perlu denganmu..” kata Samuel.
Saat ini keduanya sedang berada di depan kelas Alan, Alan baru akan ke kelas Samuel untuk pamit pulang ketika Samuel menghampirinya.
“Perlu apa ?” tanya Alan.
“Siang ini bisa tidak kau mengantarku ke mal ? aku mau cari hadiah ulang tahun untuk Gwen..” jawab Samuel.
“Ahh.. maaf Sammy, siang ini sepupuku dari luar kota datang, jadi aku disuruh untuk pulang cepat..” kata Alan.
Samuel tampak kecewa,
“Sebentar saja tidak bisa, Al ?” tanyanya sedikit memaksa.
Alan menggeleng,
“Ini saja Ibuku sudah berulang kali meneleponku dari tadi...” kata Alan lagi.
Samuel memasang tampang sedih.
“Jangan pasang tampang itu, kau tahu aku tidak akan terpancing..” kata Alan lagi.
Samuel tampak cemberut.
“Memang kapan sih ulang tahunnya ?” tanya Alan.
“Lusa.” jawab Samuel.
“Memang kau sudah tahu mau membelikan apa ?” tanya Alan lagi.
“Itu dia.. aku mengajakmu agar kau membantuku memutuskan mau beli apa..” jawab Samuel lesu.
“Kau belum tahu mau beli apa ??” tanya Alan sedikit terkejut.
Samuel menggeleng lesu.
“Kau ini kebiasaan sekali sih.. tidak pernah mempersiapkan segala hal..” kata Alan.
Samuel nyengir,
“Apa yang disukai oleh Gwen ?” tanya Alan akhirnya.
“Ehhmm... kau.” jawab Samuel.
Alan menghembuskan nafasnya tampak tidak sabar,
“Selain aku, apa lagi yang dia sukai ?” tanyanya.
“Hmmm...” Samuel tampak berpikir.
Alan melirik jam tangannya dengan tidak sabar, sesampainya di rumah ia akan menemukan ibunya menunggu di pintu depan dengan pisau daging di kedua tangannya, ia yakin itu.
“Belikan saja dia boneka.” usul Alan tidak sabar.
“Terlalu pasaran.” kata Samuel.
“Pakaian.” usul Alan lagi.
“Aku tidak tahu ukuran tubuhnya..” balas Samuel.
“Kau tanya saja padanya..” kata Alan.
“Aku malu.” kata Samuel lagi.
“Kau ukur sendiri saja kalau begitu..” usul Alan semakin ngawur.
Samuel melotot padanya.
“Kau pergi saja dulu ke sana, nanti juga di sana kau bisa memilih langsung mau membelikan apa..” kata Alan lagi.
“Kau terburu-buru sekali, ya ?” tanya Samuel.
Alan melotot padanya,
“Tidak bisakah kau baca dari gerak-gerikku ?” tanyanya.
Samuel menghembuskan nafas menyerah,
“Ya sudahlah.. kau pulang saja sana kalau kau memang ingin mengakhiri persahabatan kita sampai di sini.” kata Samuel pura-pura marah.
“Aku lebih memilih mengakhiri persahabatan kita sampai di sini daripada melihat wajahku terpampang di artikel koran besok pagi dengan judul SEORANG ANAK LAKI-LAKI DIBUNUH IBU KANDUNGNYA SENDIRI KARENA TERLAMBAT PULANG KE RUMAH!!!!” kata Alan sambil berlari pergi meninggalkan Samuel yang masih berdiri bengong di tempatnya.
Samuel tersenyum melihat tingkah laku sahabatnya, tanpa ia sadari Gwen muncul dari arah tangga dan menghampirinya.
“Tadi aku melihat Alan berlari terburu-buru... kenapa dia ?” tanya Gwen.
Samuel tersenyum,
“Ia sedang terburu-buru.. sepupunya dari luar kota datang jadi ia disuruh cepat pulang oleh ibunya.” jawabnya.
Gwen mengangguk, keduanya kemudian memandang ke bawah, ke arah lapangan kampus, di mana Alan tampak sedang berlari terburu-buru menuju pintu gerbang kampus.
Alan melambatkan langkahnya begitu dekat dengan gerbang, ia kemudian berjalan melewati gerbang kampus dan berdiri di depan kampus menunggu bus yang biasa melewati kampusnya.
10 menit sudah ia menunggu tapi bus tak kunjung datang, ia melirik jam tangannya dengan gelisah, tanpa ia sadari sebuah motor berhenti tepat di depannya.
Alan menatap pengemudinya, yang sedang membuka helmnya, ternyata Liam.
“Hai.. kau kelihatan gelisah, ada apa ?” tanya Liam.
“Aku sedang menunggu bus, tapi dari tadi tidak ada yang lewat, padahal aku harus cepat sampai di rumah.” jawab Alan sambil melirik jam tangannya lagi.
“Samuel mana ? biasanya kau pulang diantar olehnya..” kata Liam.
“Dia belum pulang kuliah, lagipula dia harus mengantar Gwen sekarang..” kata Alan.
Sekilas senyum tampak terlihat di wajah Liam.
“Ayo naik, biar kuantar kau pulang..” katanya.
“Hah ? apa ?” tanya Alan sedikit terkejut tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Aku antar kau pulang..” ulang Liam.
“Ta.. tapi nanti merepotkanmu.. lagipula kalau Aidan tahu kau mengantarku pulang..” Alan tidak melanjutkan kata-katanya.
“Bukan urusannya dengan siapa aku pulang.. sudahlah, kau sedang terburu-buru, kan ? ayo naik..” kata Liam.
Alan menimbang-nimbang sebentar, ia memang sedang terburu-buru, dan ini adalah pertolongan Tuhan, persetan dengan Aidan.
“Baiklah..” katanya lalu naik ke atas motor di belakang Liam sambil mengambil helm yang disodorkan Liam.
Setelah yakin Alan sudah duduk dengan nyaman Liam kemudian menjalankan motornya meninggalkan kampus.
Sementara itu Samuel dan Gwen yang dari tadi menyaksikan kejadian ini dari lantai 2 gedung kampus saling tatap bingung,
“Kau lihat yang barusan itu ?” tanya Samuel.
Gwen mengangguk.
“Aneh sekali.. Liam mau mengantar Alan pulang ? setahuku mereka berdua belum pernah bicara satu sama lain sebelumnya..” kata Samuel sambil mengernyitkan dahinya.
Gwen mengangkat bahunya,
“Entahlah.. sebetulnya sebelum ini aku sudah beberapa kali memergoki Liam sedang menatap Alan, kadang-kadang bahkan mengikutinya dari belakang..” katanya.
“Apa ? kau yakin ?” tanya Samuel terkejut sekaligus tidak percaya.
Gwen mengangguk lagi,
Samuel menatapnya sambil berpikir,
“Jangan-jangan Aidan merencanakan sesuatu terhadap Alan..” katanya.
“Aidan ?” tanya Gwen.
“Ya, mungkin saja Liam disuruh oleh Aidan untuk membuntuti Alan, dia pasti punya rencana jahat !!” jawab Samuel yakin.
“Kau yakin ? tapi setiap kali aku lihat, hanya ada Liam seorang, tidak ada tanda-tanda kehadiran Aidan..” kata Gwen.
“Tentu saja, akan kentara sekali jika Aidan langsung yang membuntuti Alan, satu kampus ini sudah tahu kalau Aidan punya masalah dengan Alan..” kata Samuel yakin.
“Entahlah Sam.. jangan berburuk sangka dulu.. mungkin saja Liam memang hanya ingin berteman dengan Alan.” kata Gwen lagi.
“Siapa yang tahu apa yang ada dalam pikirannya.” kata Samuel.
Keduanya saling tatap bingung,
Sementara itu tak jauh dari pintu gerbang kampus seorang anak laki-laki menatap diam ke tempat Alan dan Liam menghilang, dia adalah Aidan.
Pandangannya bercampur antara bingung dan penasaran.
Aidan kemudian berjalan pulang sendirian dengan banyak hal memenuhi pikirannya,
Orang-orang yang melihat mereka mungkin berpikir bahwa Liam adalah tangan kanan Aidan, orang kepercayaannya, asistennya, pembantunya mungkin, tapi yang terjadi sebenarnya bertolak belakang dengan apa yang terlihat.
Satu-satunya orang di dunia ini yang tidak bisa diatur oleh Aidan adalah Liam,
Dari sejak mereka berumur 5 tahun Aidan sudah memahami Liam, ia tahu bahwa Liam tidak akan melarangnya melakukan apapun asalkan hal tersebut tidak mengganggunya,
Liam adalah satu-satunya orang yang tidak bisa dimarahi oleh Aidan, sekalipun Liam sering kali mengatakan hal-hal yang tidak enak, tapi Aidan tidak pernah bisa ataupun mau marah pada Liam.
Aidan sangat menghormati Liam karena hanya Liamlah yang mau berteman dengannya dan tidak keberatan dengan sifatnya yang menyebalkan.
Saat inipun, ketika Aidan melihat Liam mengantar Alan, orang yang paling ia benci pulang, Aidan tidak bisa melakukan apa-apa, ia tidak bisa melarang Liam untuk mengantar Alan pulang, kembali lagi pada prinsip pertemanan mereka, Liam tidak akan mencampuri urusan Aidan asalkan Aidan juga tidak mencampuri urusan Liam.
Tapi,
Entahlah,
Melihat Liam mengantar Alan pulang membuatnya sedikit kesal,
Atau mungkin sebenarnya ia...
Cemburu.

“Jadi,” Samuel menarik kursi mendekati kursi Alan kemudian mendudukinya, saat ini ia sedang berada di kelas Alan, “bagaimana kemarin ? kau pulang tepat waktu ?”
Alan mengangguk pelan kemudian menguap lebar tampak kelelahan.
“Ya. untung saja..” jawabnya.
“Kenapa kau ? tampaknya kelelahan sekali..” kata Samuel.
“Kemarin aku harus menemani sepupu-sepupuku yang masih kecil bermain sampai malam, benar-benar melelahkan..” kata Alan.
“Hhmm...” gumam Samuel.
“Bagaimana kemarin ? beli apa kau jadinya ?” tanya Alan.
Samuel tersenyum,
“Aku memutuskan untuk memberinya frame foto dengan sketsa gambar kita bertiga di dalamnya..” jawabnya bangga,
Salah satu keahlian Samuel yang juga merupakan hobinya adalah menggambar, gambar-gambar buatan Samuel memang sangat bagus dan indah, banyak anak yang memuji gambarnya dan minta dibuatkan sebuah gambar olehnya.
Alan mengangkat alisnya bingung.
“Kita bertiga ?” tanyanya.
Samuel mengangguk sambil masih tersenyum bangga.
“Kenapa harus kita bertiga ?” tanya Alan.
“Memangnya kenapa ?” Samuel balas bertanya.
Alan menghembuskan napasnya tampak kelelahan,
“Kenapa kau memasukan aku juga ? padahalkan akan lebih bagus kalau hanya kau dan Gwen saja..” katanya.
Samuel mengangkat bahunya,
“Well, menurutku lebih bagus kalau ada kau juga.. tujuanku menggambar itu kan untuk memperlihatkan persahabatan kita bertiga..” katanya.
“Tapi bukankah akan tampak lebih spesial jika hanya gambar kalian berdua saja, dengar aku,” Alan memelankan suaranya,”hubungan kalian sekarang sudah jauh lebih akrab dibandingkan waktu dulu kau menembaknya, apakah kau tidak mau mencobanya lagi kali ini ? mungkin sekarang, setelah dia tahu kondisiku dan akhirnya menyerah padaku dia mau membuka hatinya padamu.. menurutku, jika aku melihat hubungan kalian sekarang, peluangmu lumayan besar, Sammy.”
Samuel menatap Alan,
“Kata-katamu masuk akal juga... tapi aku takut ditolak lagi..” katanya.
“Tidak ada salahnya dicoba lagi.. sekarang dia tidak punya alasan lagi untuk menolakmu, toh dia sudah tidak menyukaiku lagi, kan..” kata Alan.
“Kau yakin dia sudah tidak menyukaimu lagi ?” tanya Samuel ragu.
“Yakin. Dia sudah menyadari bahwa sebesar apapun rasa sukanya padaku, aku tidak akan pernah bisa membalasnya..” jawab Alan.
“Bagaimana denganmu ? kau masih menyukaiku ?” tanya Samuel usil.
“Apa hubungannya pertanyaanmu itu dengan topik pembicaraan kita saat ini ?” tanya Alan.
“Tidak ada. Aku penasaran saja.” jawab Samuel nyengir, sementara Alan melotot padanya.
“Sudahlah, yang penting besok, selagi kau menyerahkan kado ulang tahun padanya kau coba saja menembaknya lagi..” usul Alan.
Samuel terdiam sejenak, masih tampak ragu.
“Akan kupertimbangkan.” katanya.
Alan mengangguk,
Keduanya terdiam sejenak, menatap teman-teman sekelas Alan yang mulai berdatangan satu per satu kemudian bergerombol sambil asyik berceloteh di depan kelas.
“Kau sendiri ? sudah dapat kecengan baru ?” tanya Samuel sedikit canggung pada Alan.
Alan menatap ke arah Samuel sambil tersenyum kecil, kemudian menggeleng.
“Belum.” jawabnya.
Samuel terdiam,
“Kenapa memangnya ?” tanya Alan.
“Ti.. tidak.. ak.. aku hanya penasaran saja..” jawab Samuel terbata.
Alan tersenyum melihat sahabatnya salah tingkah.
“Aku lelah mencari, sekarang aku pasrah saja, menunggu didatangi..” kata Alan lagi.
“Kalau nanti sudah ada, kau harus mengenalkannya padaku agar aku tahu apakah dia pantas untukmu atau tidak.. aku tidak mau kau salah pilih, Al.. jaman sekarang laki-laki tidak ada yang bisa dipercaya !” kata Samuel.
Alan tertawa kecil,
“Kau seperti ayahku saja...” katanya.
Samuel ikut tertawa,
“Untuk sementara ini, sampai kau dapat pundak bersandarmu sendiri, kau bisa menggunakan pundakku..” katanya serius.
Alan menghentikan tawanya, kemudian menatap Samuel.
“Jangan buat aku jadi menyukaimu lagi, Sammy.” katanya.
“Well, seandainya nanti Gwen menolakku lagi, aku akan mempertimbangkan untuk mencobanya denganmu.” kata Samuel.
“Oh diam kau.. aku tidak tertarik berpacaran dengan laki-laki normal.” kata Alan.
“Aku memang laki-laki normal,” kata Samuel, ”tapi kalau denganmu sih aku mau-mau saja..”
Wajah Alan sontak berubah warna menjadi merah, sementara Samuel tertawa terbahak-bahak.

Esok harinya,
Samuel sengaja menjemput Gwen lebih pagi, agar dia punya kesempatan untuk memberikan kado ulang tahun pada Gwen sebelum anak-anak yang lain datang.
Jam 6 lewat lima belas menit keduanya sudah tiba di kampus, dan sesuai dengan rencana Samuel, kelas mereka masih kosong, baru mereka berdua yang datang.
“Sepi sekali, sepertinya kita datang terlalu pagi, Sam..” kata Gwen.
Samuel mengangguk gugup.
Gwen memutuskan untuk menggunakan waktu lebihnya untuk membersihkan white board yang masih penuh coretan sisa pelajaran kemarin,
“Kira-kira Alan sudah datang belum, ya ? setelah aku selesai membersihkan ini kita ke kelasnya ya..” ajak Gwen.
Samuel bergumam mengiyakan sambil mengambil kado ulang tahun Gwen dari dalam tasnya kemudian menyembunyikannya di balik tubuhnya, ia berjalan perlahan mendekati Gwen.
“Uhm.. Gwen..” kata Samuel yang kini sudah berdiri di belakang Gwen.
“Ya ?” tanya Gwen kemudian berbalik menghadap ke arah Samuel.
Wajah Samuel tampak pucat, ia kemudian menyodorkan kado ulang tahunnya pada Gwen.
“Happy birthday.” katanya.
Gwen terdiam tampak terkejut, sesaat kemudian ia tersenyum senang sambil mengambil kado ulang tahunnya dari Samuel.
“Thanks.” katanya dengan senyum yang masih merekah di wajahnya.
“Apa ini ?” tanyanya.
Samuel mengangkat bahunya,
“Buka saja kalau mau..” katanya,
Gwen menatap Samuel dengan masih tersenyum, kemudian membuka bungkusan kadonya dengan antusias.
“Maaf kalau ternyata kadonya jelek dan tidak sesuai harapanmu..” kata Samuel malu-malu.
Setelah bungkusannya terbuka semua, Gwen menatap hadiahnya dengan pandangan berbinar, frame foto berwarna biru langit dengan hiasan bintang-bintang kecil bergliter emas di sudut atasnya, tampak sangat pas disatukan dengan gambar buatan Samuel, sketsa sederhana yang hanya menggunakan coretan pensil, memperlihatkan dirinya, Gwen dan Alan sedang berangkulan sambil tersenyum.
Mata Gwen berbinar saking terkesimanya,
“Ini.. ini benar-benar indah, Sammy, terima kasih..” katanya sambil menatap Samuel.
Samuel tersenyum kecil,
“Ya.” katanya.
Gwen masih menatap kado ulang tahunnya dengan pandangan kagum yang amat sangat, ia tersenyum senang sekali.
“Ini benar-benar kado ulang tahun paling indah yang pernah aku miliki..” katanya.
Samuel masih tersenyum memandang wanita yang disukainya terkagum-kagum oleh hasil karyanya.
“Gwen..” katanya.
“Ya.” kata Gwen dengan pandangan masih tertuju pada kado ulang tahunnya.
Samuel menarik napas sejenak untuk mengumpulkan keberanian,
“Se.. seandainya aku menembakmu lagi hari ini, kau mau menerimaku tidak ?” tanyanya to the point.
Gwen mengalihkan pandangannya pada Samuel.

Siang harinya,
Begitu mata kuliah terakhir mereka selesai Samuel dan Gwen langsung bergegas mendatangi kelas Alan.
Hari ini merupakan salah satu dari sedikit hari di mana kelas Samuel dan kelas Alan selesai bersamaan.
Keduanya langsung menghampiri Alan yang masih duduk di kursinya sambil membereskan barang-barangnya.
“Selamat siang.” kata Alan sok formil tanpa menoleh pada Samuel dan Gwen.
“Siang ini kau tidak ada acara, kan ?” tanya Samuel langsung tanpa basa basi.
Alan menatapnya, kemudian menatap Gwen yang tersenyum senang padanya.
“Tidak. Kenapa memangnya ?” tanyanya.
“Bagus. Kami mau mengajakmu makan siang..” jawab Samuel.
“Biasanya juga kita makan siang bersama, kan ? apa yang membuat makan siang hari ini spesial ?? ahhh.. “ Alan tampak teringat akan sesuatu, ia kemudian mengulurkan tangannya pada Gwen.
“Selamat ulang tahun..” katanya.
Gwen menyambut tangan Alan,
“Thanks.” katanya.
“Jadi makan siangku hari ini kau yang traktir kalau begitu ?” tanya Alan lagi.
Gwen tersenyum sambil menatap Samuel,
“Sudah ikut saja, yang penting makan siangmu gratis !!” kata Samuel sambil menarik tangan Alan.
“Okey.. okey.. ayo..” kata Alan yang barang-barangnya sudah selesai ia beresi.
Ketiganya kemudian bergegas pergi meninggalkan kelas Alan.
15 menit kemudian ketiganya sudah duduk di salah satu cafe dekat kampus mereka, Samuel dan Gwen duduk bersebelahan sementara Alan duduk di hadapan mereka.
“Pesan apa saja yang kau mau.. kami yang bayar..” kata Samuel.
“Siap !” kata Alan kemudian mulai membuka buku menu,
Di tengah aktivitasnya Alan terdiam tiba-tiba,
“Tunggu dulu..” katanya sambil menatap Samuel dan Gwen, “kami ????”
Samuel dan Gwen tersenyum malu sambil berpegangan tangan,
Alan menatap tangan keduanya yang sedang bertautan, ekspresi kaget sekaligus tak percaya terpampang di wajahnya.
“Ka... kalian ??” tanyanya terbata sambil menunjuk tangan kedua temannya yang sedang berpegangan seperti orang bego.
Senyum Samuel dan Gwen semakin lebar.
“Jadian ?” tanya Alan lagi.
Gwen menunduk sambil tersenyum malu sementara Samuel mengangguk mantap.
“Kapan ?” tanya Alan.
“Tadi pagi.” jawab Samuel.
Alan memandang kedua sahabatnya dengan pandangan bahagia,
“Dan kau orang pertama yang tahu..” kata Samuel lagi.
“Ohh tentu saja harus aku !!” kata Alan sok penting, ketiganya kemudian tertawa.
“Akhirnya...” kata Alan lagi setelah ia berhenti tertawa.
Samuel tersenyum bangga.
Ketiganya kemudian mulai makan siang sambil mengobrol santai seperti biasa, Gwen dan Samuel tampak bahagia sekali.
Alan kemudian mengeluh pelan,
“Kenapa Al? ” tanya Samuel.
“Tidak ada apa-apa... aku hanya iri melihat kalian berdua..” kata Alan kemudian meletakan dagunya di atas meja, “kapan aku bisa punya pacar juga, ya ?”
Samuel dan Gwen menatap iba padanya,
“Mulai usaha mencari kalau begitu..” kata Samuel.
“Cari di mana ? untuk orang-orang sepertiku pilihannya sedikit sekali..” kata Alan.
“Memangnya kau tidak punya kenalan yang.. ehhmm.. sepertimu ?” tanya Samuel.
Alan menggeleng lesu,
Samuel dan Gwen saling tatap,
“Sudahlah, tidak usah dipikirkan, kalau memang sudah waktunya pasti jodohmu akan datang dengan sendirinya..” kata Gwen berusaha menghibur.
Alan mengangguk pelan,
“Hope so..” katanya.
“Sudah.. sudah.. di hari jadian kami jangan ada yang murung.. ayo pesan makanan lagi...” kata Samuel berusaha mengalihkan pembicaraan.
Alan dan Gwen mengangguk.
Ketiganya kemudian melanjutkan memesan es krim sebagai makanan penutup.
2 jam kemudian ketiganya bersender kelelahan di bangku masing-masing tampak sangat kekenyangan,
“Pulang sekarang ?” tanya Gwen.
“Ayo..” sahut Alan.
“Ehhmm.. Alan, kau bisa antar Gwen pulang ke rumahnya ? kau pakai saja motorku, setelah itu kau jemput aku lagi ke sini, kemudian aku antar kau pulang.. aku masih ada keperluan sebentar di sini..” kata Samuel.
Rumah Gwen memang tidak terlalu jauh dari cafe tempat mereka berada sekarang, jadi Alan bisa memulangkan Gwen dan kembali lagi ke cafe dengan cepat.
“Baiklah..” kata Alan, “ayo Gwen..”
Gwen mengangguk, ia dan Alan kemudian berdiri,
“Aku pulang dulu..” kata Gwen pada Samuel.
“Ok. Hati-hati ya, kutelepon kau nanti malam..” kata Samuel.
Gwen mengangguk lagi kemudian berjalan duluan,
“Kutunggu di sini, ya Al..” kata Samuel.
“Ok.” kata Alan kemudian menyusul Gwen.
Samuel menatap Alan dan Gwen pergi menggunakan motornya lewat kaca etalase, setelah yakin keduanya sudah tidak terlihat lagi, ia kemudian menatap lurus pada seseorang yang duduk beberapa meja di depannya,
Dari sejak awal mereka tiba di sini Samuel sudah memperhatikan orang tersebut, penampilannya cukup mencurigakan, menggunakan topi untuk menutupi wajahnya, beberapa kali tertangkap basah penglihatan Samuel sedang mencuri-curi pandang ke arah meja mereka.
Samuel merasa mengenali orang tersebut, tapi ia belum terlalu yakin.
Samuel kemudian berdiri, menghampiri meja orang tersebut perlahan, kemudian duduk di hadapannya,
“Selamat siang, Liam.” katanya.
Orang yang duduk di hadapan Samuel terdiam sejenak, kemudian menatap Samuel,
Ya, Samuel tidak salah orang, dia memang Liam.
“Se.. sejak kapan kau menyadarinya ?” tanya Liam terbata.
“Tidak lama setelah aku beberapa kali menangkap basah dirimu sedang memandangi Alan..” jawab Samuel.
Liam melepas topinya, sudah tidak ada alasan lagi baginya untuk menutupi wajahnya, ia kemudian menunduk malu,
“To the point saja, Liam... apa tujuanmu membuntuti Alan.. aku tahu ini bukan kali pertama kau membuntutinya..” kata Samuel tegas.
Liam menatap Samuel,
“Ba... bagiamana kau tahu se.. selama ini aku membuntutinya ?” tanyanya kaget.
“Terlihat jelas, Liam.. sekarang katakan apa rencana Aidan terhadap Alan ?” tanya Samuel lagi.
“Aidan ?” tanya Liam bingung.
“Ya. aku tahu kau membuntuti Alan atas perintah Aidan.. aku tahu Aidan punya rencana jahat terhadap Alan, sekarang, katakan padaku apa rencananya !!” kata Samuel setengah membentak.
“Kau bicara apa sih ? aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu..” kata Liam kemudian bangkit berdiri, ia kemudian bergegas pergi meninggalkan Samuel.
“Aku belum selesai, Liam !!” kata Samuel kemudian menyusul Liam,
Keduanya berjalan keluar cafe, Liam berjalan menghampiri motornya di lapangan parkir yang terletak di belakang gedung cafe, Samuel mengikutinya,
Sesampainya di belakang gedung Samuel menarik tangan Liam,
“Kutanya sekali lagi apa rencana Aidan ??” tanya Samuel sedikit kasar.
“Lepaskan aku !! sudah kubilang aku tidak mengerti maksud pembicaraanmu !!” kata Liam sambil menarik tangannya dari genggaman Samuel,
Samuel terdiam sambil masih memandangi Liam dengan pandangan tajam,
“Aidan tidak ada hubungannya dengan hal ini..” kata Liam akhirnya.
“Aku tidak percaya... dengar Liam, aku tidak punya masalah apa-apa denganmu, tapi bila kau membantu Aidan menyakiti Alan, maka aku orang pertama yang akan menghajarmu..” kata Samuel dengan nada mengancam.
“Aku tidak punya maksud untuk menyakiti Alan.. sama sekali tidak ada !!” kata Liam lagi.
“Lalu apa tujuanmu membuntutinya ??” tanya Samuel.
“I.. itu... “ Liam terbata sambil menunduk malu,
Samuel terdiam tampak menunggu,
“Aku beritahupun kau pasti tidak akan percaya...” kata Liam.
“Itu tergantung dari apa yang akan kau katakan..” kata Samuel.
Liam menatap Samuel dengan ragu-ragu,
“A... aku tidak bisa memberitahumu..” katanya kemudian.
“Kenapa ?” tanya Samuel.
“Ka.. karena ini urusan pribadiku, yang perlu kau tahu adalah bahwa aku tidak akan menyakitinya.. ka.. kau tenang saja..” kata Liam.
Samuel menatap Liam, berusaha mempercayainya.
“Kalau memang tidak menyakitinya kenapa kau tidak katakan saja...” katanya.
“Sudah kubilang itu urusan pribadiku, Samuel..” kata Liam lagi.
Samuel masih tampak menatap Liam,
“Baiklah..” katanya, “akan kubiarkan selama Alan tidak disakiti..”
Keduanya saling tatap sebentar, hingga akhirnya Samuel berbalik dan bergegas meninggalkan Liam yang masih berdiri kaku di tempatnya,
Samuel sudah berjalan beberapa langkah ketika Liam akhirnya membuka suara,
“A... aku me.. menyukai Alan..” katanya.
Samuel menghentikan langkahnya, ia terdiam sebentar kemudian berbalik menghadap ke arah Liam.
“Kau apa ?” tanyanya tidak percaya.
Liam menunduk malu, wajahnya tampak merona merah.
“Sammy !! kucari di dalam tidak ada, rupanya kau ada di sini..” terdengar suara Alan dari belakang Samuel, yang membuatnya berbalik,
Alan tampak berjalan menghampirinya sambil tersenyum,

to be continued




0 comments:

Post a Comment