DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



My Gay Bestfriend Page 5

Page 5
by GoodFriend

Malam minggu.
Alan dan Liam duduk bersebrangan di salah satu meja di cafe yang sama dengan yang seminggu lalu mereka datangi.
Dihadapan keduanya sudah terhidang spageti seafood asam manis yang merupakan menu baru yang ingin dicoba oleh Liam.
“Bagaimana perkembangan acara natal kita ?” tanya Liam membuka topik pembicaraan sambil mulai menyantap makanannya.
“Ya begitulah.. masih tahap awal sebetulnya, kami masih merencanakan akan membuat acara apa saja..” jawab Alan.
“Kau pasti sibuk sekali, ya..” kata Liam.
Alan mengangguk,
“Banyak yang harus kukerjakan, ternyata jadi ketua itu tidak mudah..” katanya.
“Tenang saja, pasti akan kubantu kok, hitung-hitung balas jasa karena kau sudah membantu mengajariku kemarin..” kata Liam sambil tersenyum.
Alan balas tersenyum,
“Asal jangan ketahuan Aidan saja kau membantuku..” katanya.
“Dia tidak punya hak untuk melarangku membantumu..” kata Liam dingin.
“Bukankah kalian bersahabat ?” tanya Alan takut-takut.
Liam terdiam sejenak sambil menatap kosong pada makanannya,
“Kalau dia memang sahabatku, seharusnya dia tidak melarangku bergaul dengan siapapun..” katanya kemudian.
“Well, wajar sih sebetulnya dia melarangmu bergaul denganku, aku kan musuh besarnya.. atau setidaknya, itu yang dia pikirkan..” kata Alan.
“Yang bermusuhan denganmu kan dia, aku sih tidak ada masalah denganmu.. malah sebetulnya aku...” Liam tidak meneruskan kata-katanya, wajahnya mendadak menjadi merah padam.
“Sebetulnya kau apa ?” tanya Alan bingung.
“Bu.. bukan apa-apa.. lupakan saja..” kata Liam salah tingkah sambil kembali melanjutkan makan.
Alan terdiam kebingungan melihat tingkah laku Liam.
“Ba.. bagaimana hubungan Samuel dan Gwen, lancar-lancar saja ?” tanya Liam berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Ya. sejauh ini lancar-lancar saja..” jawab Alan.
“Bagaimana sikap Gwen padamu sekarang ? maksudku.. dulu kan dia menyukaimu, sekarang dia berpacaran dengan sahabatmu dan sering menghabiskan waktu denganmu.. apa dia tidak canggung atau bagaimana..” kata Liam.
“Awalnya dia memang terlihat sedikit canggung.. wajar sih.. dulu juga waktu pertama aku mulai dekat dengan Samuel aku merasa canggung, kadang-kadang aku masih malu kalau mengingat aku pernah menembaknya.. hahaha..” Alan tertawa kecil, “tapi sekarang sikap Gwen padaku sudah biasa saja, kami berteman sekarang.” lanjut Alan.
“Ka.. kau pernah menembak Samuel ?” tanya Liam kaget.
“Ya.. dulu aku pernah suka padanya, itu sebelum kami akhirnya bersahabat..” jawab Alan santai.
Liam diam terpaku mendengar perkataan Alan.
“Eh, kau sudah tahu kan kalau aku gay ?” tanya Alan yang melihat keterkejutan Liam.
“Ahh.. ya.. ya.. aku sudah dengar gosip itu..” jawab Liam berusaha mengendalikan dirinya.
“Ya, gosip yang disebarkan oleh sahabatmu yang ‘manis’ itu..” kata Alan enteng.
“Maafkan dia, ya Al.. dia hanya cemburu padamu karena Gwen menyukaimu..” kata Liam cepat.
“Kau tenang saja, justru karena itu sekarang aku jadi lebih lega karena tidak harus bersusah payah menyembunyikannya dari orang-orang.. aku harusnya berterima kasih pada Aidan..” Alan tertawa kecil.
“La.. lalu.. ehmm..” Liam berdeham kecil sebelum melanjutkan perkataannya, “apa sekarang kau.. ehmm.. su.. sudah punya pacar ?” tanyanya gugup.
Alan tersenyum sambil menggeleng,
“Mengingat sejauh ini hanya aku sendiri gay di kampus kita, jadi cukup sulit bagiku untuk bisa punya pacar..” jawabnya.
Sebersit senyum samar terlihat di wajah Liam.
“Ap.. apa saat ini ada seseorang yang sedang kau sukai ?” tanyanya lagi.
Alan menggeleng lagi,
“Aku bosan mengejar-ngejar laki-laki normal, sekuat apapun aku mengejarnya, toh tidak akan dapat juga..” katanya sambil menghela napas.
Liam terdiam, kalau begini ia punya kesempatan, pikirnya.
“Kalau seandainya.. ehhmm.. suatu saat nanti ada laki-laki yang menyukaimu.. apa yang akan kau lakukan ?” tanya Liam lagi, wajahnya kembali memerah.
Alan menatap Liam dengan seksama,
“Ke mana arah pembicaraan kita ini ?” tanyanya.
“Ahh.. ti.. tidak.. lupakan saja.. aku hanya iseng bertanya..” kata Liam, tadinya ia mau menyatakan perasaannya pada Alan, tapi kemudian nyalinya mendadak menciut dan ia membatalkan niatnya.
Alan menatap Liam, mencurigakan, pikirnya, ia jadi teringat perkataan Samuel tempo hari tentang Liam merencanakan sesuatu yang buruk dengan Aidan terhadapnya, tapi kemudian ia membuang pikiran itu cepat-cepat.
“Ehhmm.. Al, kau mau main ke rumahku ? orang tuaku sedang pergi ke luar negri, jadi sampai minggu depan aku sendirian di rumah..” kata Liam.
“Eh.. main ke rumahmu ?” tanya Alan sedikit terkejut mendengar tawaran Liam.
“Ya.. aku sudah sering main ke tempatmu, tapi kau belum pernah sekalipun main ke tempatku kan..” kata Liam lagi.
Alan terdiam sejenak, tampak sedang menimbang.
“Nanti aku antar kau pulang, tapi kalau kau mau menginap aku lebih senang lagi..” kata Liam lagi.
“Aku gay lho Liam, kau tidak takut mengajak seorang laki-laki gay menginap hanya berdua saja ? kau tidak takut aku apa-apakan ?” tanya Alan dengan nada bercanda.
Liam tertawa.
“Memang apa yang mau kau lakukan padaku ?” tanya Liam memancing.
“Entahlah..” jawab Alan sambil mengangkat bahu.
Liam tertawa lagi,
“Jangan bicara yang aneh-aneh.. cepat putuskan, kau mau tidak main ke rumahku ?” tanyanya lagi.
Keduanya saling tatap sejenak,
“Baiklah, tapi aku harus mengabari orang rumah dulu kalau begitu..” kata Alan akhirnya.
“Bagus..” kata Liam sambil tersenyum senang.
“Kalau begitu cepat habiskan makananmu..” katanya lagi.
Keduanya kemudian menghabiskan sisa makanan mereka, beberapa saat kemudian keduanya sudah berada di atas motor Liam dan bersiap-siap berangkat menuju rumah Liam.
Tak sampai 15 menit keduanya sudah tiba di depan rumah Liam,
Dari tampilan luarnya saja sudah ketahuan kalau ini rumah orang kaya, rumahnya bertingkat, halamannya luas dan pagarnya tinggi, tak kalah besarnya dengan rumah di sebelahnya, yang tak lain adalah rumahnya Aidan.
Alan membuka pintu pagarnya sementara Liam memasukan motornya ke halaman rumah, keduanya sedang berjalan menuju pintu depan ketika mereka menyadari ada seseorang tengah berdiri di teras rumah.
“Aidan ?” tanya Liam terkejut.
Aidan berdiri angkuh di hadapan keduanya, mukanya pucat tampak kedinginan, di tangan kanannya terlihat ia sedang memegang sebuah bungkusan plastik, ia menatap dingin pada Alan dan Liam.
“Ap.. apa yang sedang kau lakukan di sini ?” tanya Liam lagi.
“Kenapa kau tampak kaget ? padahal aku sudah 15 tahun mondar-mandir masuk rumahmu.. kenapa malam ini tiba-tiba kau terkejut mendapati aku di rumahmu ?” tanya Aidan dengan nada dingin.
“Mak.. maksudku malam-malam begini.. kenapa kau tidak menghubungiku dulu ?” Liam jadi salah tingkah.
“Biasanya juga aku tidak pernah menghubungimu dulu bila ingin main ke rumahmu..” jawab Aidan lagi.
Liam terdiam, sementara Alan memandang bergantian ke arah Aidan dan Liam dengan pandangan cemas.
“Apa yang sedang kau lakukan dengannya ?” tanya Aidan ketus sambil mendelik ke arah Alan.
“Kami hanya makan malam bersama.. kenapa memangnya ?” Liam balas bertanya dengan nada dingin.
“Kau baru saja makan malam dengan musuhku dan kau masih bertanya kenapa memangnya ?” tanya Aidan lagi.
“Apa karena dia musuhmu jadi aku tidak boleh bergaul dengannya ?” balas Liam.
“Kau tahu jelas peraturannya !”
“Tidak. Aku tidak tahu !! peraturan dari mana itu ?”
Keadaan sudah sangat tegang, Aidan dan Liam saling pandang tajam.
“Dan sejak kapan kau bergaul dengannya tanpa sepengetahuanku ?” Aidan kembali menginterogasi.
“Apa aku punya kewajiban untuk memberitahumu dengan siapa saja aku bergaul ? memangnya kau siapaku ??”
“AKU...” sahabatmu. Itu yang ingin dikatakan oleh Aidan, tapi ia tidak meneruskan kata-katanya, perkataan Liam barusan sudah memperlihatkan bahwa Liam tidak menganggapnya demikian.
Lama keduanya terdiam, Alanpun tidak berani angkat suara, ia takut salah bicara, keberadaannya di sinipun sebenarnya sudah salah.
“FINE !!” bentak Aidan, ia kemudian melempar bungkusan yang ia pegang ke lantai kemudian berjalan pergi menuju pintu pagar, di tengah jalan ia berhenti sebentar, kemudian berbalik untuk menghadap Liam dan Alan.
“Tadinya aku ke sini mau mengantar makanan untuk makan malammu karena aku tahu orang tuamu pergi ke luar negri dan kau sendirian di rumah, tadi siang aku sengaja mampir ke restoran langganan kita untuk beli makanan kesukaanmu.. aku bahkan sengaja tidak ikut makan malam bersama keluargaku agar aku bisa menemanimu makan.. kau tahu berapa jam sudah aku menunggumu di sini ? tidak !! kau tidak tahu !! kau bahkan tidak peduli !! kau urusi saja teman barumu sana !!!” katanya kemudian berbalik dan melanjutkan langkahnya menuju keluar dan menghilang di belokan depan rumah.
Liam terdiam tampak syok, sementara Alan memandang takut padanya,
“A.. aku minta maaf, Liam.. gara-gara aku kau jadi bertengkar dengan Aidan..” katanya pelan.
Liam menggeleng,
“Bukan salahmu.. memang sifatnya saja yang jelek.. mungkin kami memang sudah tidak cocok satu sama lain..” katanya lemah.
Alan menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan.
“Se.. sebaiknya aku pulang saja, Li..” katanya.
“Ya. aku memang sedang ingin sendirian sekarang.. maaf ya..” kata Liam.
Alan mengangguk,
“Aku pulang dulu kalau begitu..” katanya.
Liam balas mengangguk pelan.
“Hati-hati..” katanya.
“Ya. sampai jumpa lagi di kampus besok..” balas Alan kemudian berjalan pergi.
Kini tinggal Liam sendiri di situ, masih berdiri canggung di tempatnya, ekspresi wajahnya tampak muram dan ada sedikit penyesalan.
Ini pertama kalinya dalam 15 tahun persahabatan mereka, ia dan Aidan bertengkar sehebat ini.
Liam menatap bungkusan yang tadi Aidan lempar ke lantai,
Ia kemudian berjalan mendekati bungkusan itu dan mengambilnya,
Itu nasi goreng udang kesukaannya, walaupun bentuknya sudah sangat berantakan karena dilempar ke lantai, tapi ia masih bisa mengenalinya, Aidan satu-satunya orang yang tahu makanan kesukaannya.
Liam kemudian masuk ke dalam rumahnya sambil membawa bungkusan tersebut, ia berjalan ke dapur dan mengambil piring,
Ia memindahkan nasi goreng yang sudah berantakan tersebut ke atas piring, meletakkannya di atas meja makan, duduk, kemudian mulai menyendoki nasi goreng tersebut ke dalam mulutnya.
Setetes air mata jatuh ke sisi piring tersebut.

Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian malam itu, anak-anak di kampus mulai merasakan keganjilan, karena kini Aidan dan Liam tak pernah lagi terlihat bersama-sama, kini Aidan lebih sering terlihat sendirian, sementara Liam mulai didekati oleh anak-anak yang lain, menurut mereka ini merupakan hal yang bagus, orang sebaik Liam tidak seharusnya bergaul dengan sampah masyarakat seperti Aidan.
Liam sendiri merasa tidak nyaman dengan keadaan ini, ia tahu ini salahnya karena sudah mengatakan hal yang buruk, tidak seharusnya ia menyangkal persahabatan mereka malam itu, apalagi jika ia membayangkan Aidan sudah repot-repot membelikannya makanan karena tahu ia hanya sendirian di rumah dan mau dingin-dinginan menungguinya di teras rumah dalam keadaan perut kosong, sesuatu yang jarang sekali dilakukan oleh Aidan.
Sudah beberapa hari ini juga ia mencoba untuk bicara dan minta maaf pada Aidan, tapi Aidan secara terang-terangan menghindarinya, Aidan selalu menghilang entah ke mana setiap jam istirahat, dan langsung meninggalkan ruang kelas begitu perkuliahan usai.
Hari ini Liam memantapkan tekadnya, hari ini ia harus menyelesaikan masalahnya dengan Aidan, begitu perkuliahan berakhir, seperti biasa Aidan langsung melesat pergi meninggalkan kelas, Liam yang sudah siap-siap langsung berlari mengejarnya.
Liam berhasil mengejar Aidan ketika mereka sudah tiba di parkiran motor yang terletak di belakang gedung kampus, saat itu tidak ada siapa-siapa di situ, hanya ada mereka berdua.
“Aidan..” panggil Liam sambil menarik lengan Aidan.
Aidan berbalik dan menatap tajam pada Liam,
“Apa maumu ?” tanyanya ketus.
“Aku mau bicara denganmu.. soal malam itu..” kata Liam sambil melepaskan pegangannya pada lengan Aidan setelah yakin Aidan tidak akan pergi.
“Aku tidak punya urusan apa-apa lagi denganmu..” balas Aidan masih dengan nada ketus,
“A.. aku mau minta maaf.. seharusnya aku jujur padamu kalau aku berhubungan dengan Alan..” kata Liam.
“SEHARUSNYA kau tidak berhubungan dengannya !” koreksi Aidan.
“Bukankah dulu kita punya perjanjian.. aku tidak akan melarangmu bergaul dengan siapapun asal kau juga tidak melarangku bergaul dengan siapapun..” kata Liam.
Aidan terdiam sedikit salah tingkah,
“A.. aku tahu..” katanya terbata, ”tapi asal jangan dengan Alan.. aku tidak menyukainya.. kau tahu itu !!”
“Aku tidak punya masalah dengannya, jadi wajar-wajar saja kalau aku bergaul dengannya..” kata Liam lagi.
“Sebetulnya aku penasaran kenapa tiba-tiba kau jadi dekat dengannya, padahal selama ini aku tidak pernah melihat ada tanda-tanda bahwa kalian saling mengenal..” kata Aidan tiba-tiba.
“A.. aku hanya minta tolong padanya untuk diajari soal pelajaran yang tak kumengerti, itu saja..” kata Liam terbata.
“Kau kan bisa minta tolong pada anak lain, kenapa harus dia ?”
“I.. itu.. karena...” Liam menunduk, tidak tahu harus menjawab apa.
“Sudahlah Liam, aku memang kesal kau bergaul dengannya, tapi bukan itu alasan utama yang membuatku marah padamu..” kata Aidan sambil berjalan menghampiri motornya.
“Lalu apa alasannya ?” tanya Liam sambil mengikuti Aidan dari belakang.
Aidan menaiki motornya sambil menggunakan helmnya, ia menghela napas tampak lelah,
“Aku kecewa, karena rupanya hanya aku saja yang menganggap bahwa selama 15 tahun terakhir ini kita adalah sahabat.” jawab Aidan sambil menyalakan mesin motornya dan menjalankannya, meninggalkan Liam yang tertohok oleh perkataan Aidan di tempatnya, memandang kosong pada tempat di mana motor Aidan tadi berada.
Dengan diam Liam berjalan menuju dinding gedung, ia bersender kemudian merosot hingga terduduk di tanah.
Ia merasa malu dengan dirinya sendiri, ia sudah merusak persahabatannya dengan Aidan, selama 15 tahun ini, Aidan belum pernah sekalipun marah padanya, walaupun Liam selalu bersikap acuh dan tampak tidak peduli pada Aidan serta selalu mengeluarkan kata-kata pedas padanya, tapi Aidan selalu menerimanya dengan senyum, tapi kali ini, melihat ekspresi benci di wajah Aidan dan mendengarkan kekecewaannya membuat hati Liam sakit seperti tertusuk.
Liam adalah orang yang tegar dan kuat, ia jarang membutuhkan bantuan dari orang lain, tapi kali ini ia benar-benar merasa rapuh, ia menunduk kemudian menangis, bukan tangisan yang mengisak seperti tangisan perempuan, Liam tahu laki-laki tidak seharusnya menangis, dan iapun sebetulnya memang jarang sekali menangis, ia menangis dalam diam, menunduk, bersender pada dinding, sementara air matanya mengalir cukup deras melewati wajahnya dan jatuh ke tanah.
“Ini..” kata seseorang yang tanpa Liam sadari sudah berdiri di hadapannya.
Liam mengangkat wajahnya yang basah karena air mata, ia melihat Samuel berdiri di hadapannya sambil menyodorkan sapu tangan padanya.
Liam mengambil sapu tangan tersebut dengan ragu-ragu kemudian mengelap wajahnya yang basah.
“Thanks..” katanya pelan.
Samuel kemudian ikut duduk di sebelah Liam.
“Ap.. apa kau mendengarnya ?” tanya Liam malu.
“Ya, tadi tidak sengaja aku mendengar pembicaraanmu dengan Aidan..” jawab Samuel.
Liam terdiam tampak malu.
“Alan sudah cerita padaku kalau kau bertengkar dengan Aidan gara-gara Alan.. tadinya kupikir itu hanya bagian dari rencana buruk kalian terhadap Alan..” kata Samuel lagi.
Liam terkekeh pelan,
“Kau masih curiga padaku rupanya..” katanya pelan.
“Tadinya, sampai aku mendengar sendiri pertengkaran kalian tadi..” balas Samuel,
Liam tersenyum hambar,
“Betapa bodohnya aku hingga mengorbankan persahabatan hanya untuk sebuah cinta yang tak pasti..” katanya sambil memainkan sapu tangan Samuel.
Samuel menatap iba pada Liam,
“Lihat sisi baiknya, sekarang tak ada lagi yang menghalangimu untuk berhubungan dengan Alan..” katanya.
Liam tersenyum hambar lagi,
“Aku sudah tidak ingin lagi mengurusi hal itu..” katanya.
“Kau mau menyerah ? setelah apa yang kau korbankan, kau mau berhenti di tengah jalan seperti ini ? padahal tidak ada lagi yang menghalangimu, aku juga sudah merestuimu jika ingin pacaran dengan Alan..” kata Samuel.
Liam menatap Samuel,
“Kau.. sudah merestuiku ?” tanyanya.
Samuel membuang muka sambil salah tingkah,
“Ya.. ya.. setelah melihat bahwa kau memang sungguh-sungguh menyukai Alan.. ak.. aku juga ingin melihat Alan bahagia, dan.. dan menurutku, kau bisa membahagiakannya..” jawabnya terbata.
“Yakin sekali kau tampaknya..” kata Liam.
“Selama beberapa hari terakhir ini, aku melihat Alan bisa tersenyum lebar, dia tampak benar-benar bahagia, dan itu sejak dia mulai berhubungan denganmu.. “ kata Samuel.
Liam terdiam.
“Sudah jangan banyak berpikir..” kata Samuel kemudian berdiri, “kalau kau tidak cepat-cepat bertindak, aku akan meminta ijin pada Gwen untuk menjadikan Alan sebagai pacar keduaku.. aku yakin Gwen tidak akan keberatan..” sambung Samuel sambil beranjak pergi, sementara Liam tertawa.

Perayaan natal kampus sudah semakin dekat, dan itu artinya panitia natalpun semakin sibuk, terutama Alan yang merupakan ketua panitia, ia harus memonitor kerja dari tiap seksi, juga harus bekerja sama dengan sekretaris dalam hal perijinan dan surat-menyurat, belum lagi mengonfirmasi acara dengan pihak kampus.
Untunglah selama mengerjakan tugas-tugasnya tersebut Alan selalu dibantu oleh teman-temannya, selain Gwen yang juga merupakan anggota panitia natal, Alan juga banyak dibantu oleh Samuel, Yoel, Nathan, Rea, dan terutama yang paling banyak membantunya adalah Liam.
Walaupun bukan anggota panitia natal, tapi Liam selalu bersedia membantu Alan, ini merupakan salah satu usahanya untuk melupakan masalahnya dengan Aidan.
Ya, Liam akhirnya menyerah pada masalahnya dengan Aidan, ia kenal betul watak Aidan yang keras kepala, sebesar apapun upaya Liam untuk meminta maaf padanya, pasti Aidan tidak akan memaafkannya, dan Liampun merasa bahwa Aidan pantas untuk marah padanya, biar bagaimanapun ini salahnya yang sudah mengkhianati persahabatan mereka demi perasaannya pada Alan.
Ngomong-ngomong soal perasaan Liam pada Alan, membantu Alan mengerjakan tugasnya sebagai ketua panitia natalpun merupakan salah satu cara Liam untuk melakukan pendekatan dengan Alan, perkataan Samuel tempo hari ada benarnya juga, pikirnya, dampak positif dari pertengkarannya dengan Aidan adalah sekarang Liam bisa mendekati Alan dengan bebas tanpa ada yang melarang.
Kini Alan dan Liam lebih sering terlihat bersama, kalau tidak dengan Gwen dan Samuel, ya mereka terlihat berdua saja, makan bersama, pulang bersama, kadang-kadang mampir ke cafe sepulang kuliah bersama.
Seperti sore ini contohnya, keduanya terlihat sedang makan es krim di cafe langganan mereka,
“Besok ingatkan aku untuk menyerahkan surat peminjaman barang pada bagian perlengkapan kampus.. setelah itu bisa tidak kau antarkan aku ke tempat jual souvenir ? aku harus mengambil sampel souvenirnya untuk dirapatkan dengan anggota panitia yang lain..” kata Alan sambil sibuk membolak-balik tumpukan kertas yang ada di hadapannya.
“Siap tuan !” kata Liam.
Alan menatap Liam sambil tersenyum,
“Thanks ya, kau sudah banyak membantuku selama ini, aku tidak tahu bagaimana jadinya bila tidak ada kau..” katanya.
Wajah Liam mendadak merona merah,
“Ti.. tidak masalah..” katanya terbata sambil salah tingkah.
Alan kembali berkutat dengan kertas-kertasnya, di dalam hati ia merasa bersyukur sekali atas kehadiran Liam, Alan betul-betul berterima kasih atas kebaikan dan bantuan-bantuan Liam selama ini, sesuatu dalam dirinya bergejolak senang karena ada seorang laki-laki yang mau repot-repot membuang waktu, tenaga dan pikiran untuk dirinya,
Alan merasakan sesuatu dalam dirinya perlahan-lahan mulai bersemi, suatu perasaan yang dulu pernah ia rasakan pada Samuel,
Tiba-tiba saja wajah Alan merona merah, ia menatap Liam dengan seksama, mencoba memastikan sesuatu.
“Apa ?” tanya Liam yang sadar tengah ditatap oleh Alan.
“Ahh.. ahh.. ti.. tidak ada apa-apa..” jawab Alan terbata sambil berpura-pura sibuk dengan kertas-kertasnya lagi.
Masa iya aku jatuh cinta pada Liam ? tanya Alan dalam hati.
Segala perhatian, bantuan, dan kebaikan Liam memang sulit untuk tidak membuat seseorang jatuh cinta padanya, dan Alan merasakan hal tersebut.
“Gawat ! ini tidak boleh terjadi !!” kata Alan dalam hatinya.
Alan kapok jatuh cinta pada laki-laki normal, ia tidak mau patah hati lagi seperti waktu ia menyukai Samuel dulu, kali ini ia harus tegas pada dirinya sendiri, ia harus menekan rasa sukanya pada Liam agar tidak semakin membesar, mau atau tidak mau !!
Satu-satunya cara agar rasa sukanya pada Liam tidak semakin membesar adalah dengan mulai mengambil jarak. Alan tidak boleh terlalu sering bersama dengan Liam, ia tidak boleh membiarkan Liam terlalu sering membantunya, jangan sampai ia menyalah artikan kebaikan Liam dan merusak pertemanan mereka dengan perasaan sukanya pada Liam.
“Ehhmm.. Liam.. setelah ini kau pulanglah duluan.. tidak usah mengantarku, aku ada urusan lain yang mau kulakukan sendirian..” kata Alan tiba-tiba.
“Urusan apa ? biar kutemani..” kata Liam.
“Ti.. tidak perlu, ini urusan pribadi..” kata Alan.
Liam terdiam, aneh sekali, pikirnya, kenapa tiba-tiba Alan menolak bantuannya , biasanya ia menerimanya dengan senang hati.
“Kau yakin tidak mau aku temani ?” tanyanya lagi.
“Iya, yakin..” jawab Alan tegas.
Keduanya saling tatap sebentar,
“Baiklah..” kata Liam akhirnya.
Alan terdiam,wajahnya tampak sedih, ia tidak mau melakukan ini sebenarnya, tapi ia harus, demi kebaikan mereka berdua.
Ternyata Alan bersungguh-sungguh dengan tekadnya untuk mengambil jarak dari Liam, beberapa hari setelah kejadian di cafe sore itu Alan betul-betul mencoba sekeras mungkin untuk tidak dekat-dekat dengan Liam, ia mulai menolak ajakan Liam untuk pulang bersama dengan berbagai macam alasan, ia juga pura-pura sibuk dengan urusan acara natal sehingga tidak bisa menghabiskan waktu istirahat dengan Liam.
Awalnya anak-anak yang lain masih menganggap wajar kelakuan Alan tersebut, tetapi setelah beberapa hari Alan masih melakukan hal tersebut dengan alasan yang sama membuat mereka akhirnya mulai curiga.
Liam sendiri dibuat kebingungan dengan tingkah laku Alan tersebut, ia mencoba tidak berpikir bahwa Alan mencoba menjauhinya, ia mencoba untuk terus berpikir positif, mungkin Alan memang sedang sibuk dengan urusan acara natal, sehingga tidak punya waktu untuk bersantai-santai dengannya, pikir Liam.
to be continued




0 comments:

Post a Comment