DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



My Gay Bestfriend Page 6

Page6
by GoodFriend

Siang hari di kampus,
Jam perkuliahan baru saja usai, Liam bergegas meninggalkan kelas dan mencari Alan untuk menawarkan tumpangan pulang,
Ia menemukan Alan di jalan menuju pintu gerbang kampus,
“Alan..” panggilnya sambil berlari menghampiri Alan.
Alan melihat Liam berlari mendekat, ia tampak kebingungan,
“Ehh.. hai.. Li..” katanya.
“Mau pulang ?” tanya Liam.
“Ehh.. i.. iya..” jawab Alan ragu.
“Ayo kuantar..” kata Liam.
Alan terdiam, ia sedang memikirkan alasan untuk menolak ajakan Liam,
“Ayo.. “ ajak Liam lagi.
Alan masih terdiam, tiba-tiba dilihatnya Samuel sedang berjalan sendirian ke arah mereka,
“Ahh.. iya, sebenarnya hari ini aku pulang dengan Sammy, dia ada perlu di rumahku, jadi ehh.. dia mengantarku pulang sekalian..” kata Alan sambil menunjuk Samuel yang sudah berada di dekat mereka, Liam menoleh ke arah Samuel.
“Ada apa ?” tanya Samuel kebingungan karena ditatap oleh Alan dan Liam.
“Hari ini kau jadi kan ke rumahku ?” tanya Alan sambil tersenyum ganjil.
“Aku ? ke rumahmu ? buat apa ?” tanya Samuel tambah bingung.
“Kau lupa ya.. ke.. kemarin kau bilang.. ehh.. kau.. ehhm.. mau pinjam kamus bahasa Jermanku kan..” jawab Alan terbata.
“Hah ?” tanya Samuel.
Alan melotot padanya.
“Ahh.. i.. iya.. aku mau pinjam kamus bahasa Jermanmu.. iya benar..” kata Samuel yang mengerti arti pelototan Alan.
Liam menatap Samuel dengan sedikit tidak percaya.
“Ayo kalau begitu..” ajak Alan dengan sedikit memaksa sambil menarik Samuel.
“Ehh.. ahh.. iya.. a.. ayo..” kata Samuel.
“Duluan ya, Liam..” kata Alan sekilas sambil tersenyum,
“Ya..” balas Liam kebingungan.
Alan kemudian menarik Samuel menuju lapangan parkir meninggalkan Liam yang masih berdiri di tempatnya, tampak sedikit kecewa.
20 menit kemudian Alan dan Samuel tiba di depan rumah Alan.
“Thanks ya..” kata Alan sambil menyerahkan helm pada Samuel, “sampai ketemu besok..” sambungnya sambil berjalan lunglai menuju ke dalam rumah.
“Tunggu dulu tampan.. kau tidak bisa mengusirku begitu saja setelah memintaku berbohong pada Liam,” kata Samuel sambil menahan lengan Alan, “kenapa kau dengannya ?”
“Kenapa kenapa maksudmu ?” tanya Alan yang menghentikan langkahnya.
“Don’t play dumb with me, dude..” kata Samuel.
“Ti.. tidak ada apa-apa..” jawab Alan terbata.
“Kalau tidak ada apa-apa kenapa akhir-akhir ini kau menjauhinya ? jangan pasang tampang kaget seperti itu, kami semua tahu kau sedang menghindarinya, kentara sekali, Al..” kata Samuel.
Alan terdiam sambil menunduk,
“Apa dia sudah melakukan sesuatu yang buruk padamu ?” tanya Samuel serius.
Alan menggeleng,
“Lalu ?” Samuel bertanya lagi.
Alan masih terdiam,
“Apa Aidan mengancammu untuk menjauhi Liam ?”
Alan menggeleng lagi,
“Lalu apa masalahnya ?” tanya Samuel dengan sedikit memaksa.
“Aku masalahnya.” jawab Alan akhirnya.
“Apa ?” tanya Samuel bingung,
“Aku.. aku takut kalau kami semakin dekat.. aku takut jadi menyukainya.. dia terlalu baik padaku.. dia terlalu banyak membantuku.. aku takut kebaikannya itu membuatku jadi menyukainya.. aku tidak boleh menyukainya !! aku takut mengacaukan pertemanan kami.. karena itulah aku menjauhinya..” jawab Alan akhirnya,
Samuel terdiam sambil menatap Alan, sesaat kemudian ia tertawa terbahak-bahak.
“Apanya yang lucu ?” tanya Alan tersinggung,
Samuel masih tertawa,
“Aku serius Sammy !!” kata Alan sedikit membentak.
“Maaf.. maafkan aku..” kata Samuel sambil masih mengikik.
“Aku kapok jatuh cinta pada laki-laki normal.. aku tidak mau patah hati lagi seperti kejadian denganmu dulu..” kata Alan lagi.
Samuel menghentikan tawanya,
“Kupikir ada masalah apa.. rupanya hanya masalah itu..” katanya.
“Hanya ?? kau bilang ‘hanya’ ?? itu masalah serius Sammy !! aku jatuh cinta pada Liam, dan Liam itu laki-laki normal !!” kata Alan.
Samuel menatap Alan sambil tersenyum,
“Kalau kau memang menyukainya.. kusarankan kau maju saja, percaya padaku, kali ini kau sudah di jalan yang benar..” katanya.
“Apa maksudmu ?” tanya Alan bingung.
Samuel nyengir padanya sambil memakai helmnya,
“Tidak usah menghindari Liam lagi, ikuti saja kata hatimu..” katanya sambil menyalakan mesin motornya.
“Aku masih tidak mengerti..” kata Alan lagi,
“Nanti juga kau mengerti.. sudahlah.. aku pulang dulu..” kata Samuel.
Alan terdiam,
“Baiklah..” katanya.
“Sampai ketemu besok, dan oh iya, Alan.. kau simpan saja kamusmu itu, aku tidak mengambil mata kuliah bahasa Jerman..” kata Samuel sambil berlalu pergi.
Alan tersenyum sambil menatap ke arah Samuel pergi.

Alan mengikuti saran Samuel untuk tidak menghindari Liam lagi, walaupun resikonya ia bisa jadi semakin menyukai Liam, tapi Samuel menyuruhnya untuk membiarkannya dan mengikuti kata hatinya, entahlah apa maksud perkataan Samuel tersebut.
Sementara itu acara natal tinggal beberapa minggu lagi, yang berarti kegiatan Alan yang sebelumnya sudah sibuk semakin hari semakin sibuk saja jadinya, bahkan terkadang usai kuliahpun ia masih harus tinggal di kampus untuk mengurusi urusan acara natal hingga larut malam, seperti hari ini, jam kampus sudah menunjukan pukul 6 sore, anak-anak lain sudah pulang, kampus benar-benar sudah kosong, tetapi Alan dan Liam terlihat masih berada di ruang kelas, berdua saja, Liam sedang membantu Alan memotong name tag untuk anggota panitia natal, seharusnya ini merupakan tugasnya Gwen yang merupakan seksi perlengkapan, tetapi karena hari ini genap sebulan Gwen dan Samuel berpacaran, jadi Alan menawarkan diri dengan sukarela untuk menggantikan tugas Gwen agar Gwen bisa merayakan sebulanannya dengan Samuel.
Keduanya duduk berhadapan di dekat jendela, Alan sibuk memotong name tag dengan menggunakan cutter, sementara Liam memandanginya diam-diam.
“Ada apa ?” tanya Alan yang sadar dipandangi oleh Liam,
“Kau tahu, selama beberapa hari kemarin aku sempat merasa bahwa kau menjauhiku..” kata Liam pelan.
Alan terdiam, ia tidak berani menatap Liam,
“Ka.. kau bicara apa sih.. tidak mungkinlah.. i.. itu hanya perasaanmu saja..” katanya terbata.
Liam masih menatap Alan dalam diam,
“Bagaimana mungkin aku menjauhimu kalau sekarang aku berada di sini, bersamamu, berdua saja..” kata Alan gugup, wajahnya mendadak berubah menjadi merah merona.
Liam tersenyum,
“Yahh.. mungkin memang hanya perasaanku saja..” katanya akhirnya.
Alan balas tersenyum sambil kembali berkutat dengan name tag nya,
Liam pun melanjutkan memotong name tag bagiannya,
Mereka sudah mengerjakan hal tersebut dari sejak pulang kuliah tadi, keduanya belum makan dan belum beristirahat, wajar kalau keduanya kini tampak kusut dan kelelahan.
“Aww..” tiba-tiba Alan berteriak sambil memegangi jempol kirinya.
“Ada apa ?” tanya Liam takut.
Alan memperlihatkan jempol kirinya pada Liam, tampak darah segar mengalir dari jempol Alan tersebut,
“Tidak apa-apa.. hanya tidak sengaja teriris cutter..” jawab Alan lalu menghisap jempolnya yang teriris tersebut untuk menghentikan perdarahan.
Tiba-tiba saja, tanpa aba-aba Liam menarik tangan kiri Alan, kemudian menghisap jempol Alan yang masih mengeluarkan darah.
Alan terdiam tampak kaget, wajahnya benar-benar berwarna merah padam, ia merasa wajahnya panas dan jantungnya berdetak kencang sekali, tapi ia tetap membiarkan Liam menghisap jempolnya.
Setelah beberapa saat Liam baru menyadari apa yang sedang ia lakukan, ia cepat-cepat menghentikan hisapannya, dan melepaskan tangan Alan, kemudian menunduk malu, wajahnya sama merah dan panasnya dengan wajah Alan.
Keduanya terdiam lama, Liam masih menunduk sementara Alan menatapnya dengan masih kaget.
Itu benar-benar manis sekali, pikir Alan, ia tidak bisa menahan dirinya lagi, perlahan-lahan ia memajukan tubuhnya mendekati Liam, kemudian sama tiba-tibanya seperti yang dilakukan Liam tadi, Alan mengecup Liam, tepat di bibir.
Liam membelalakan matanya, tampak sangat terkejut,
Alan menarik dirinya lagi cepat-cepat tampak menyesali apa yang ia lakukan barusan,
Keduanya tampak saling pandang,
“Ma.. maafkan aku..” kata Alan gugup sambil tergesa-gesa membereskan barang-barang dan name tag kerjaannya yang belum beres dan memasukannya ke dalam tasnya.
Ia bergegas pergi meninggalkan Liam yang masih terkejut di bangkunya, Alan berjalan tergesa-gesa sepanjang koridor, ia merasa malu pada Liam, ia benar-benar bodoh tidak bisa mengendalikan dirinya, kini ia benar-benar sudah merusak hubungannya dengan Liam, Liam pasti tidak mau bertemu dengannya lagi.
Sementara itu Liam tersadar dari keterkejutannya,
“ALAN TUNGGU !!!” teriaknya sambil bergegas mengejar Alan secepat mungkin.
Liam berhasil mengejar Alan di ujung koridor, tepat sebelum Alan turun tangga, ia memegang lengan Alan,
“Maaf Liam.. tidak seharusnya aku melakukan yang barusan itu.. aku.. aku kelepasan.. “ kata Alan gugup.
Liam menatap Alan yang masih ketakutan,
“Kenapa minta maaf ?” tanyanya serius.
Alan balas menatap Liam dengan bingung,
“Seharusnya aku yang melakukan itu duluan padamu..” kata Liam lagi.
“Ap.. apa ??”
Pertanyaan Alan terhenti karena bibirnya sudah terlebih dahulu disumpal oleh bibir Liam.
Ya. Liam balas menyium Alan,
Setelah beberapa lama ia baru melepaskan ciumannya,
Alan menatapnya dengan tatapan syok,
“Aku menyukaimu, Alan..” kata Liam mantap sambil menatap tepat ke mata Alan.
Alan terdiam sambil balas menatap Liam, jantungnya benar-benar berdetak kencang saking senangnya.
Would you be my everything ?” tanya Liam.
Alan tersenyum senang, kemudian mengangguk mantap.

Esok harinya,
“Jadi, ada angin apa tiba-tiba kau mengajak makan siang bersama ?” tanya Samuel.
Saat ini ia, Gwen, Alan dan Liam tengah berada di cafe langganan mereka, seusai kuliah tadi Alan mengajak Samuel dan Gwen untuk makan siang bersama.
“Yaahh... aku harus istirahat sejenak dari tugas-tugasku sebagai ketua acara natal, tadi pagi terpikir olehku untuk meluangkan sedikit waktu bersantai di sini, lalu terpikir lagi olehku, kenapa tidak sekalian mengajak kalian ?? Gwen juga kan butuh istirahat..” jawab Alan.
Liam tersenyum, sementara Gwen mengangguk,
“Oohh..” kata Samuel.
“Sudahlahh ayo pesan makanannya, aku sudah sangat lapar..” kata Alan sambil membuka buku menu, diikuti oleh ketiga temannya.
“Pesan apa saja yang kalian mau, kami yang bayar..” kata Liam.
Sontak Samuel dan Gwen langsung menatapnya, sementara Alan hanya tersenyum sambil masih membolak-balik buku menu.
“Ap.. apa ini seperti yang ada dalam pikiranku ?” tanya Samuel sambil menatap bergantian pada Liam dan Alan, Gwen juga melakukan hal yang sama.
“Memangnya apa yang ada dalam pikiranmu ?” tanya Alan yang masih berkutat dengan buku menunya sambil tersenyum semakin lebar.
“Ka.. kalian..” kata Samuel terbata,
“Pacaran ?” sambung Gwen.
Senyum Alan semakin lebar lagi, begitu juga dengan Liam.
Keduanya saling tatap sebentar, kemudian menatap Samuel dan Gwen,
“Ya.” jawab Liam, sementara Alan mengangguk,
“AKHIRNYAAA !!!!” teriak Samuel, membuat pelanggan cafe lain sontak memandang ke arah meja mereka,
“Sstt... jangan berteriak..” kata Alan.
“Maaf.” kata Samuel.
“Selamat yaa..” kata Gwen sambil memeluk Alan dan Liam bergantian.
“Thanks..” kata Liam.
“Kapan ??” tanya Samuel antusias.
“Kemarin sore..” jawab Alan sambil mulai menulis pesanannya di kertas pesanan.
“Sudah kubilang kan padamu waktu itu kalau kau ada di jalan yang benar kali ini..” kata Samuel.
“Ya ya ya..” balas Alan acuh.
Samuel nyengir, sementara Gwen dan Liam mulai menulis pesanan mereka,
“Karena ini pertama kalinya kau pacaran, jadi kau harus menraktirku makanan yang paling mahal..” kata Samuel sambil mulai membolak-balik buku menu.
“Jangan macam-macam kau.. ini idenya Liam untuk menraktir kalian berdua, bukan ideku..” balas Alan.
Ketiga anak lainnya tertawa,
Samuel turut senang mengetahui bahwa akhirnya Alan mendapatkan seseorang yang memang pantas untuknya, yang juga mencintai dan menyayanginya, ia senang karena akhirnya sekarang sahabatnya tersebut sudah mendapatkan bahu tempat ia bisa bersandar di kala ia butuh tempat untuk berlindung dan bermanja.
“Awas kalau kau sampai membuat Alan menangis, kau akan berhadapan denganku..” kata Samuel sok tegas.
“Siap tuan.” balas Liam.
Mereka tertawa lagi,
Sementara itu di sebrang jalan Aidan berdiri sambil menatap mereka lewat kaca etalase cafe, ia benci melihat mereka tertawa-tawa seperti itu, ia benci melihat Gwen bermesraan dengan Samuel, ia benci melihat Alan tertawa, terlebih lagi, ia merasa sakit melihat Liam tertawa bersama orang lain, padahal dulu, sewaktu mereka masih bersahabat, Liam jarang sekali tertawa bila sedang bersamanya.
Ini semua salah Alan, katanya dalam hati, ia mengepalkan kedua tangannya dengan sangat erat, Alanlah yang sudah merusak hubungannya dengan Gwen, Alan jugalah yang menyebabkan ia dihajar oleh Samuel, dan Alan yang sudah merebut Liam darinya.
Kebenciannya pada Alan sudah teramat besar sampai-sampai seandainya membunuh itu dilegalkan, sekarang Aidan pasti sudah berlari menghampiri mereka dan membunuh Alan.
Aidan kemudian beranjak meninggalkan tempatnya berdiri, dalam hati ia berjanji akan membuat hidup Alan menderita.

Acara natal yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba,
Sebuah panggung yang lumayan besar tampak menutupi halaman utama kampus, hiasan-hiasan natal terlihat di mana-mana, di sebelah kanan panggung tampak sebuah pohon natal yang sangat besar lengkap dengan hiasan-hiasannya yang berwarna warni serta lampu hiasnya yang berkelap-kelip, di puncak pohonnya tampak sebuah hiasan natal berbentuk bintang berwarna silver menancap kokoh menantang langit, sejauh mata memandang yang terlihat adalah nuansa warna hijau dan merah, suasana natalnya benar-benar terasa, padahal tanggal 25 Desember masih minggu depan, tapi hal ini sesuai dengan tradisi kampus yaitu bahwa acara natal diselenggarakan sebelum libur natal.
Para anak laki-laki menggunakan jas, sementara yang perempuan menggunakan gaun sesuai dengan dress code acara.
Para panitia menggunakan topi sinterklas untuk membedakannya dari anak-anak yang lain,
Alan dan panitia yang lain tampak sibuk mondar-mandir mengurusi ini dan itu, sementara Samuel dan Liam tampak duduk di bangku penonton bersama anak-anak yang lain untuk menikmati acara yang sudah susah payah dipersiapkan oleh panitia dari jauh-jauh hari.
Acara natal diawali dengan ibadah pada pagi harinya, baru setelahnya acara bebas, di acara bebas inilah para panitia mulai sibuk mengurusi ini itu.
Acara dibuka dengan persembahan lagu yang dibawakan oleh anggota paduan suara kampus yang membawakan beberapa lagu natal, kemudian persembahan solo dari beberapa anak yang sudah terkenal dengan suara merdu mereka.
Seksi acara tampak sibuk mengatur urutan acara yang banyak berubah di belakang panggung bersama MC, Gwen bersama seksi perlengkapan lainnya sibuk mondar-mandir memenuhi kebutuhan perlengkapan dari seksi-seksi yang lain, beberapa anak yang bertugas sebagai seksi konsumsi sibuk menghitung jumlah kotak makanan ringan yang akan mereka bagikan di tengah-tengah acara, beberapa seksi yang lain berkeliling mengawasi jalannya acara, termasuk Alan.
“Ada masalah ?” tanya Samuel ketika Alan menghampiri bangku tempat ia dan Liam duduk.
Alan menggeleng sambil menyaksikan persembahan kabaret dari tim drama kampus yang sedang tampil,
“Sejauh ini masih lancar-lancar saja..” jawabnya.
“Baguslah..” kata Samuel.
“Mana Liam ?” tanya Alan yang menatap sekilas pada bangku kosong di sebelah bangku tempat Samuel duduk.
“Sedang ke WC..” jawab Samuel.
Alan kembali menyaksikan penampilan kabaret tim drama.
“Kau lihat Gwen ?” Samuel balas bertanya,
“Tadi kulihat dia sedang sibuk mempersiapkan keperluan untuk penampilan selanjutnya..” jawab Alan.
“Apa dia akan sibuk sepanjang acara ?” tanya Samuel sedikit dongkol.
Alan mengangkat bahunya,
“Itu resikonya sebagai seksi perlengkapan, tapi tadi kusuruh dia untuk istirahat kalau sudah lelah, biar tugasnya digantikan oleh anggota panitia yang lain..” jawabnya,
Di tengah-tengah pembicaraan mereka, Andreas, salah seorang anggota panitia yang bertugas sebagai penerima tamu menghampiri mereka,
“Alan, ada sedikit masalah..” katanya dengan nada cemas.
“Ada apa ?” tanya Alan ikut cemas.
“Souvenirnya belum datang, padahal kemarin perjanjiannya jam 11 sudah di sini..” jawab Andreas.
Otomatis Alan dan Samuel melihat jam tangan masing-masing, jam 12 kurang 15 menit.
“Barusan pihak tokonya menelepon, katanya pegawai yang seharusnya mengantar souvenir ke sini mendadak sakit dan pulang cepat, jadi tidak ada yang bisa mengantar.. otomatis kita yang harus mengambil ke sana..” lanjut Andreas.
“Lalu siapa yang akan mengambil ?” tanya Alan.
“Entahlah, panitia yang lain sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing..” jawab Andreas.
“Kalau begitu aku saja yang ambil, Sammy, kau bisa mengantarku ?” tanya Alan.
Samuel mengangguk,
“Baiklah, aku ambil jaketku dulu..” kata Alan sambil berlalu pergi, sementara Andreas kembali ke meja depan.
Tak jauh dari situ duduk Aidan, ia mendengarkan pembicaraan ketiga anak tadi, ini kesempatan yang ia tunggu-tunggu, pikirnya, kesempatan untuk balas dendam pada Alan, tiba-tiba saja muncul ide jahat dalam otaknya, tanpa berlama-lama lagi ia kemudian beranjak meninggalkan bangkunya dan bergegas menuju lapangan parkir.
Sesampainya di lapangan parkir, ia mencari-cari motor Samuel, dan menghampirinya.
Bila rencananya berjalan lancar, ia bisa sekalian balas dendam pada Samuel juga karena dulu sudah menghajarnya hingga babak belur.
“Kalau kabel remnya kupotong, kira-kira apa yang akan terjadi yaa..” katanya pada diri sendiri sambil tersenyum licik.
Sementara itu setelah selesai buang air, Liam kembali ke tempat ia duduk bersama dengan Samuel, di waktu yang sama Gwen juga datang menghampiri bangku mereka.
“Sammy, mau tidak kau menemaniku ke gudang perlengkapan untuk mengambil hadiah-hadiah untuk games ? aku tidak bisa membawanya sendirian, panitia yang lain sibuk semua..” kata Gwen.
“Aku harus mengantar Alan mengambil souvenir..” kata Samuel.
“Ambil apa ?” tanya Liam.
“Souvenir.. orang yang harusnya mengantarkan souvenir mendadak sakit dan tidak bisa mengantar, jadi terpaksa kita yang harus ambil..” jawab Samuel.
“Alannya mana ?” tanya Liam.
“Sedang mengambil jaket.” jawab Samuel lagi.
“Biar aku saja yang mengantar Alan, kau bantu Gwen saja..” kata Liam kemudian.
“Apa tidak merepotkanmu ?” tanya Samuel.
“Pertanyaan bodoh, aku pacarnya, Sam.. sudah kewajibanku untuk membantunya.” jawab Liam.
“Baiklah..” kata Samuel.
“Aku pinjam motormu.. hari ini aku tidak bawa motor..” kata Liam.
Samuel mengangguk sambil menyerahkan kunci motornya pada Liam kemudian pergi bersama Gwen menuju gudang.
Tak lama kemudian Alan muncul,
“Sammy mana ?” tanyanya.
“Ia membantu Gwen ambil barang ke gudang, aku yang akan mengantarmu ambil souvenir..” jawab Liam.
Alan mengangguk,
“Ya sudah, ayo kalau begitu..” katanya.
“Ayo..” kata Liam, keduanya lalu bergegas menuju lapangan parkir.
Mereka berjalan menuju motor Samuel, kemudian menaikinya.
Alan menatap jam tangannya lagi,
“Kita harus buru-buru Li, kita masih harus menyortir souvenirnya..” kata Alan sambil memakai helmnya.
“Tenang saja, aku akan mengantar secepat yang aku bisa, honey..” kata Liam sambil menyalakan mesin motornya.
Alan terdiam sejenak, itu pertama kalinya ada seseorang yang memanggilnya honey, ia tersenyum malu, untung saja ia sudah menggunakan helm, jadi Liam tidak bisa melihat wajahnya yang sudah bersemu merah.
Motorpun melaju meninggalkan lapangan parkir kampus,
Jarak dari kampus ke toko tempat souvenir memang cukup jauh, jadi untuk mengejar waktu, mau tak mau Liam harus mengendarai motornya dengan ekstra cepat,
Untungnya jalanan saat itu sedang lowong, jadi Liam bisa dengan leluasa menaikkan kecepatan motornya,
Hingga akhirnya di salah satu perempatan jalan, lampu merah menyala, Liam mencoba untuk mengerem motornya, tapi motor tak kunjung berhenti, Ia mengernyitkan dahi sambil mencoba mengerem lagi,
“Lampu merah Li.. berhenti dulu..” kata Alan.
“Tidak bisa, sudah kucoba dari tadi..” kata Liam mulai ketakutan,
Ia mencoba mengerem lagi tapi kecepatan motor tak kunjung berkurang,
“Apa maksudmu tidak bisa ?” tanya Alan ikut cemas.
“Remnya blong, motornya tidak bis..”
“AWASSS !!!!” teriak Alan memotong perkataan Liam,
Mereka tepat berada di tengah perempatan, dari arah kanan tampak truk besar tengah melaju dengan sangat cepat,
Hal terakhir yang Liam lihat adalah ekspresi ketakutan dari si pengendara truk.

to be continued




0 comments:

Post a Comment