DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



My Gay Bestfriend Page 7

Page 7
by GoodFriend

 Aidan berlari sepanjang koridor rumah sakit, meninggalkan Samuel dan Gwen yang masih di parkiran.
Setengah jam yang lalu Alan menelepon Samuel memberitahu bahwa mereka mengalami kecelakaan, tak sengaja Aidan mendengar, ia terkejut ketika mengetahui bahwa Liam yang mengantar Alan dan bukannya Samuel, dengan cemas setengah mati ia cepat-cepat berlari menuju motornya setelah mendapat nama rumah sakit tempat Alan dan Liam berada sekarang, sementara Samuel dan Gwen menyusul dengan meminjam motor Nathan.
Aidan melihat Alan berdiri di depan salah satu kamar pasien,
“MANA DIA ?? MANA LIAM ??” tanya Aidan sambil berteriak.
Alan tampak kelelahan dan berantakan, beberapa bagian tubuhnya tampak diperban, bajunya kotor dan robek di beberapa tempat.
“Di dalam..” jawab Alan.
Tanpa banyak omong lagi Aidan langsung bergegas masuk ke dalam,
Kamar tersebut memang khusus untuk satu pasien, jadi di dalam hanya ada Liam seorang yang tengah berbaring lemas di atas bed pasien.
Perlahan Aidan berjalan mendekati Liam yang tengah tertidur,
Sama seperti Alan, Liam juga tampak diperban di beberapa bagian tubuhnya, bedanya kaki kanan Liam juga diperban hingga lutut, tampaknya terjadi patah tulang, begitu pula dengan tangan kirinya.
“Li.. Liam..” bisik Aidan, sambil mengusap kepala sahabatnya tersebut.
Liam membuka matanya perlahan,
“Kau..” katanya tampak tidak senang,
“Ba.. bagaimana keadaanmu ?” tanya Aidan salah tingkah sambil menarik tangannya.
“Seperti yang kau lihat..” jawab Liam ketus.
“A.. aku..” Aidan tampak ragu mau bicara.
“Aku tahu kau yang mengusili motor Samuel..” kata Liam to the point.
“Ka.. kau.. aku.. aku minta maaf.. aku menyesal.. kalau aku tahu kau yang akan mengantar Alan, aku tidak akan mengusili motor Samuel..” kata Aidan lagi.
“Jadi kalau bukan aku, kau tetap akan mengusilinya ? seandainya tetap Samuel yang mengantar kau tidak akan menyesal ? kau tidak peduli bila Samuel dan Alan yang celaka, begitu ?” tanya Liam masih dengan nada ketus.
Aidan terdiam sambil menunduk,
Liam juga ikut diam tanpa menatap Aidan sekalipun,
“Kenapa sih kau selalu membela mereka ??? terutama Alan !! kenapa sekarang kau jadi sering menolongnya.. kau bahkan sampai merusak persahabatan kita hanya untuk membelanya !!” kata Aidan mulai naik pitam seperti biasa.
“Aku menyukainya, Aidan !! aku menyukai Alan !! karena itulah aku menolongnya.. dan kalau kau belum tahu, kuberitahu kau, sekarang dia adalah pacarku !! kami sudah sebulan berpacaran !!” bentak Liam tiba-tiba.
Aidan memandang Liam dengan pandangan kaget,
“Ka.. kau ??” tanyanya tergagap.
“Ya !!! aku gay, Aidan !! aku menyukai laki-laki !! dan itu gara-gara kau !!” bentak Liam, apa yang selama 10 tahun terakhir ini ia pendam dalam hati akhirnya ia keluarkan.
Aidan memandang Liam dengan pandangan kaget bercampur bingung,
“Ga.. gara-gara aku ?” tanyanya tak mengerti,
“Kau ingat waktu kita berumur 10 tahun ? waktu kita pulang sekolah bersama ? aku ingat saat itu kau baru dibelikan sepeda baru oleh ayahmu.. kita pulang melewati gang sepi, kau memapah sepedamu karena kau mau menemaniku jalan kaki.. saat itu kita dihadang oleh seorang pria gila..” Liam mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan kembali ceritanya,
“Dia menyudutkan kita sambil membuka celananya, ya, kasus pelecehan seksual terhadap anak kecil oleh orang gila memang sedang banyak dibicarakan saat itu... beruntungnya dirimu saat itu sedang memegang sepeda, kau kemudian menaiki sepedamu dan mengayuhnya sekencang mungkin meninggalkanku sendirian bersama pria gila itu di sana...”
Aidan memandang ngeri pada Liam,
“Saat itu keadaannya memang sangat sepi, tidak ada seorangpun yang lewat, aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa...” Liam melanjutkan ceritanya,
“Ka.. kau ? dia ??” tanya Aidan semakin ketakutan.
“Ya. aku dilecehkan dengan cukup sukses olehnya..” jawab Liam.
Aidan terpaku di tempatnya, tanpa ia sadari air mata sudah mengalir di pipinya,
“Kejadian itulah yang akhirnya membuatmu menjadi seorang homophobia.. dan aku... menjadi seorang homoseksual..” kata Liam akhirnya.
Aidan merosot jatuh ke lantai, ia menatap lantai dengan tatapan bersalah,
“Esok hari setelah kejadian itu aku ke sekolah seperti biasa, kau tidak pernah membahas tentang kejadian itu sekalipun.. akupun tidak mau lagi mengingat hal itu... yang kutahu setelah kejadian itu kau jadi membenci kaum homoseksual.. sementara aku.. sedikit demi sedikit mulai menjadi salah satu dari mereka.” kata Liam lagi.
Aidan masih terdiam di lantai,
“Aku sudah menyimpan hal ini darimu selama 10 tahun, tadinya aku tidak berniat untuk menceritakannya padamu... karena aku tahu kau benci pada kaum gay sepertiku.. aku takut.. bila kau tahu aku.. gay.. kau akan menjauhiku..“ kata Liam.
“Ma.. maafkan aku.. Liam..” kata Aidan getir.
Liam menatapnya dengan pandangan kosong,
“Kau minta maaf sekarangpun percuma, kata maafmu tidak akan bisa mengubah kondisiku sekarang..” katanya.
Aidan menatap Liam dengan sedih,
“Sudahlah.. tidak usah membahas yang sudah lalu... aku tidak akan mempermasalahkannya lagi, yang penting sekarang adalah apa yang sudah kau lakukan pada Alan,” kata Liam, “mulai sekarang aku tidak akan membiarkanmu mencelakainya lagi.”
“A.. aku..” Aidan tergagap.
“Aku menyukainya, dan kalau kau keberatan dengan itu silahkan saja lakukan apa yang kau mau, tapi kalau kau masih menghargaiku sebagai temanmu, minta maaf padanya !!” kata Liam tegas, “tapi aku ragu kau mau minta maaf padanya, itu sama saja kau menjatuhkan harga diri dan kehormatanmu yang kau bangga-banggakan itu, kan ?” lanjut Liam.
Aidan berdiri, kemudian memandang Liam,
“Aku lebih memilih untuk menjatuhkan harga diri dan kehormatanku daripada harus memutuskan persahabatanku denganmu.” katanya getir.
Liam balas menatap Aidan, ada sedikit ketidakpercayaan dalam tatapannya,
“Sekalipun sekarang kau sudah tahu bahwa aku gay ?” tanya Liam.
“Kita sudah bersahabat cukup lama, tak mungkin tiba-tiba aku menjauhimu hanya karena orientasi seksualmu yang.. ‘tidak biasa’ itu..” jawab Aidan pelan.
“Lalu bagaimana dengan Homophobia-mu itu ?” tanya Liam lagi.
“Kau menjadi seperti ini pun karena kesalahanku,” kata Aidan malu, “salahkulah waktu itu meninggalkanmu dan memilih untuk pergi menyelamatkan diriku sendiri.. sekarang, aku tidak akan meninggalkanmu lagi, karena kau juga tidak pernah meninggalkanku selama 15 tahun persahabatan kita sekalipun orang-orang ikut menjauhimu karena kau dekat denganku.”
Liam menatap Aidan lagi, sebersit rona merah terlihat di pipinya,
“Baiklah..” kata Liam akhirnya, “kapan kau akan minta maaf padanya ?”
“Kapanpun kau mau..” jawab Aidan tegas.
“Kalau aku suruh kau minta maaf padanya sekarang, bagaimana ?” tanya Liam lagi.
“Kau suruh aku untuk berlutut menyembahnya sekarangpun akan kulakukan.” jawab Aidan mantap.
Liam menatap Aidan lagi, kali ini dengan pandangan sayang,
“Kau tahu aku tidak akan menyuruhmu melakukan hal itu..” katanya.
Aidan terdiam,
“Lalu, apa yang harus kulakukan agar kau mau memaafkanku ?” tanyanya.
Keduanya saling tatap lumayan lama, hingga akhirnya Liam menarik kursi menghadap ke arah Aidan dengan tangan kanannya yang tidak patah.
“Yang harus kau lakukan sekarang adalah duduk di sini menemaniku sampai aku tertidur.” katanya.
Tanpa harus disuruh 2 kali Aidan langsung menarik kursi tersebut dan mendudukinya menghadap ke arah Liam, ia duduk tegak dengan kaku sambil terus menatap ke arah sahabatnya.
“Terus dalam posisi itu sampai aku tertidur..” kata Liam jahat sambil tersenyum kecil dan menutup matanya.
Aidan mengangguk patuh.

Setelah yakin Liam sudah tertidur, Aidan kemudian berdiri hendak pergi,
Ia pandangi sahabatnya lagi sejenak yang tengah tertidur lelap, kemudian berjalan menuju pintu kamar.
Di luar kamar sudah berdiri Alan, Samuel dan Gwen, ketiganya tampak cemas,
“Ba.. bagaimana keadaannya, Aidan ?” tanya Gwen.
“Di.. dia sedang tertidur..” jawab Aidan pelan, kemudian menatap Alan yang tepat berdiri di hadapannya.
“A.. Alan..” kata Aidan pelan.
“Ya ?” tanya Alan.
“A.. aku..” sesaat Aidan tampak ragu sebelum ia kembali melanjutkan kata-katanya, “aku mau minta maaf.. a.. aku yang sudah merusak rem motor Samuel..”
“KAU !!!” bentak Samuel hendak meninju Aidan tetapi ditahan oleh Alan dan Gwen,
“Aku minta maaf..” ulang Aidan sambil menunduk, tidak berani menatap Alan.
Alan terdiam sambil menatap Aidan,
Biarpun perilakunya jahat dan menyebalkan tapi Aidan adalah anak yang tepat janji, sebisa mungkin dia mencoba untuk bisa menepati janji yang telah dibuatnya, ia telah berjanji pada Liam untuk meminta maaf pada Alan, maka itulah yang akan ia lakukan sekarang,
“Aku juga.. mau minta maaf atas segala perlakuan burukku padamu selama ini..“ lanjutnya.
“Jangan maafkan dia, Al.. dia hanya berpura-pura !!” sergah Samuel dengan emosi, sementara Alan masih terdiam.
“Maafkan aku karena sudah menyebarkan tentang orientasi seksualmu pada anak-anak..” sambung Aidan tanpa menghiraukan kata-kata Samuel,
“Maafkan aku karena sudah membuat hidupmu susah selama ini..” lanjut Aidan lagi,
“Dan terakhir, maafkan aku... karena sudah menghalang-halangi hubunganmu dengan Liam..” tutup Aidan.
Alan masih diam sambil menatap Aidan, ekspresi wajahnya tidak bisa dibaca.
“Alan tidak akan pernah memaafkanmu !! sebaiknya kau pergi saja dari sin..”
Samuel tidak melanjutkan kata-katanya saking terkejutnya, karena tiba-tiba saja Aidan berlutut di depan Alan.
“Kau boleh memakiku, kau boleh memukulku, kau boleh meludahiku.. kau boleh melakukan apapun yang kau mau padaku, asal kau mau memaafkanku..” katanya sambil menunduk,
Samuel dan Gwen terkejut melihat Aidan, keduanya kemudian menatap Alan,
“Kenapa kau tiba-tiba minta maaf ?” tanya Alan.
“Aku sudah menyadari bahwa apa yang selama ini kulakukan adalah salah.. aku cemburu padamu karena Gwen menyukaimu, dan karena Liam dekat denganmu.. tapi tidak seharusnya aku menyakitimu..” jawab Aidan.
“Dan juga,” sambungnya, “aku tidak mau bermusuhan dengan orang yang dicintai sahabatku..”
Gwen menitikan air mata karena terharu, sementara Samuel hanya terdiam,
“Aku memaafkanmu..” kata Alan akhirnya.
Aidan mengangkat kepalanya kemudian menatap Alan dengan pandangan tidak percaya.
“Aku juga tidak mau bermusuhan dengan sahabat orang yang kucintai..” katanya kemudian tersenyum pada Aidan,
Aidan masih terdiam sejenak, tampak sedang menguasai dirinya, kemudian perlahan-lahan ia membalas senyuman Alan.
Alan kemudian menarik tangan Aidan untuk membantunya berdiri.
“Terima kasih..” kata Aidan.
“Ya.” balas Alan singkat.
Aidan kemudian beralih menatap Gwen,
“Aku juga mau minta maaf padamu,.. karena sudah memaksakan perasaanku padamu dan membuat hidupmu susah..” katanya.
Gwen masih terisak haru, tanpa aba-aba ia langsung menarik Aidan ke dalam pelukannya,
“Maafkan aku..” ulang Aidan.
Gwen terisak semakin keras dalam pelukan Aidan,
“Ya..” katanya, “aku memaafkanmu..”
Alan tersenyum menatap Gwen dan Aidan,
Gwen kemudian melepaskan pelukannya dan tersenyum sambil menatap Aidan,
Aidan membalas senyumannya sebentar, kemudian beralih menatap Samuel,
Samuel menunduk canggung, berusaha untuk tidak berkontak mata dengan Aidan,
“Maafkan aku, Sam.. untuk semua hal buruk yang sudah kulakukan padamu..” kata Aidan.
“Ehhmm.. y.. ya.. ya..” kata Samuel canggung sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Alan tersenyum melihat Samuel mau memaafkan Aidan.
“Mulai sekarang aku tidak akan mengganggu kalian lagi..” tutup Aidan.
“Ya..” kata Alan.

Esok harinya,
Jam menunjukan pukul 5 sore, Alan tampak sedang duduk di sebelah bed Liam, menemani pacarnya tersebut sambil mengobrol, entah bagaimana ceritanya sampai Alan hanya menderita luka lecet ringan sementara Liam mengalami patah tulang, tak ada yang tahu, tapi Liam bersyukur akan hal tersebut, bahkan kalau bisa ia ingin luka lecet Alan dipindahkan padanya juga, agar ia bisa merasa tenang mengetahui bahwa Alan baik-baik saja.
“Kalau aku sudah keluar dari rumah sakit aku berjanji akan mengajakmu pergi ke tempat yang kau suka.. sejak kita pacaran bulan lalu kita kan belum pernah pergi berdua.. kita terlalu sibuk mengurusi urusan acara natal sampai tak punya waktu untuk menikmati enaknya pacaran seperti orang kebanyakan..” kata Liam.
Alan tertawa pelan,
“Bukannya kita sering pergi ke cafe berdua ?” tanyanya.
“Itu kan sebelum kita pacaran, konteksnya lain, Alan sayang..” jawab Liam.
Wajah Alan merona karena mendengar panggilan sayang dari Liam, sementara Liam tertawa melihat ekspresi pacarnya tersebut.
“Ayo katakan, kau ingin ke mana ?” tanya Liam setelah berhenti tertawa.
Alan terdiam tampak berpikir,
“Entahlah.. terserah kau saja..” jawabnya.
Liam juga terdiam tampak berpikir,
“Bagaimana kalau ke pantai ? sudah lama aku tidak ke pantai..” katanya kemudian.
“Terserah kau saja.. aku ikut kemanapun kau ajak.. i’m totally yours..” kata Alan.
Kini gantian Liam yang merona wajahnya, dan Alan yang tertawa.
“Aku juga akan mengenalkanmu pada orang tuaku, mereka sudah tahu kondisiku, dan mereka menerima dengan baik..” kata Liam lagi.
“O.. orang tuamu ?” tanya Alan tergagap.
Liam mengangguk sambil tersenyum,
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Aidan muncul sambil membawa bungkusan plastik.
“Heii..” katanya,
“Hei..” balas Alan dan Liam.
“Ap.. apa aku mengganggu ?” tanya Aidan dengan sedikit tidak enak, sambil masih berdiri di pintu.
“Bicara apa kau, bodoh.. ayo masuk..” kata Liam.
Aidan tersenyum sambil berjalan mendekati bed Liam,
“Bagaimana keadaanmu ?” tanyanya.
“Sama saja seperti kemarin..” jawab Liam.
“Aku membawakanmu buah, Ibuku juga menitipkan kue buatannya untukmu..” kata Aidan sambil meletakkan bungkusan yang dibawanya di atas meja pasien.
“Thanks..” kata Liam.
Aidan mengangguk, sementara Alan menguap lebar, tampak mengantuk,
“Alan, sudah berapa lama kau di sini ?” tanya Aidan.
“Sejak kemarin malam..” jawab Alan sambil mengusap air matanya.
“Kau belum istirahat sama sekali ?” tanya Aidan lagi.
Alan mengangguk singkat,
“Sebaiknya sekarang kau pulang dulu saja untuk beristirahat, kau sudah tampak kelelahan, biar gantian aku yang menemani Liam..” usul Aidan.
Orang tua Liam masih di luar negri, jadi tidak ada yang bisa menjagainya selain teman-temannya,
“Tidak apa-apa.. aku di sini saja..” kata Alan.
“Sebaiknya kau pulang dulu, Al.. kau belum tidur dari tadi malam, biar Aidan yang menemaniku malam ini..” kata Liam.
“Tapi..”
“Sudah jangan membantah.. aku tidak mau kau yang jadi sakit menggantikanku..” potong Liam.
Alan terdiam, ia tidak mau meninggalkan pacarnya, tapi di sisi lain ia memang benar-benar kelelahan, kemarin ia sempat kembali ke kampus untuk mengurusi penutupan acara natal, karena biar bagaimanapun ia harus menjalankan tugasnya sebagai ketua panitia hingga tuntas, setelah acara natal resmi selesai, ia kembali ke rumah sakit dan menemani Liam sepanjang malam hingga sore ini.
“Baiklah.. besok pagi aku ke sini lagi..” katanya akhirnya, walau dengan sedikit terpaksa.
Liam tersenyum, sementara Alan berdiri dan membereskan barang-barangnya,
“Kabari aku kalau ada apa-apa..” katanya pada Aidan.
“Tenang saja, aku akan menjaganya dengan baik..” balas Aidan, keduanya saling tersenyum sejenak,
“Aku pulang dulu..” kata Alan.
“Ya. hati-hati, Al..” kata Liam.
Alan dan Liam saling tatap selama beberapa saat,
Alan kemudian berjalan menuju pintu, ketika tiba-tiba Liam memanggilnya lagi, iapun berbalik menatap Liam,
“Ada apa ?” tanyanya.
Liam menatapnya lagi, kemudian tersenyum padanya, senyum terindah yang pernah Alan lihat,
“Terima kasih..” kata Liam pelan.
“Untuk apa ?” tanya Alan bingung,
“Untuk semuanya..” jawab Liam.
Alan menatap pacarnya yang masih tersenyum, mau tak mau iapun akhirnya ikut tersenyum,
“Ya.” katanya.
Alan kemudian beranjak pergi meninggalkan kamar Liam.
Kini tinggal Aidan dan Liam berdua saja,
Aidan kemudian mengambil sebuah apel dari bungkusan yang ia bawa lalu duduk di kursi yang tadi diduduki Alan.
“Kau mau ?” tanyanya pada Liam.
Liam menggeleng pelan.
Aidan kemudian mulai menggigit apel tersebut, sambil menaikkan kedua kakinya ke atas kursi.
Sementara Liam tampak sedang senyum-senyum sendiri,
“So..” kata Aidan sambil menatap Liam,
“Apa ?” tanya Liam mendadak menghentikan senyumnya,
“Katakan padaku, bagaimana rasanya pacaran dengan.. ehhmm.. sesama lelaki ?” tanya Aidan lagi.
“Kau sedang menyindirku, ya ?” tanya Liam defensif.
“Tidak. Aku hanya penasaran saja..” jawab Aidan santai sambil menggigit apelnya lagi.
“Kenapa tiba-tiba bertanya ? bukankah kau paling anti dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan homoseksual ?” tanya Liam lagi masih dengan nada curiga.
“Sudah tidak lagi..” jawab Aidan.
“Sejak kapan ?” tanya Liam.
“Sejak aku tahu bahwa kau homoseksual..” jawab Aidan masih dengan nada santai.
Liam terdiam,
“Kenapa ?” tanyanya.
“Aku hanya ingin tahu lebih dalam.. tidak ada maksud aneh-aneh sih.. hanya ingin tahu saja..” jawab Aidan.
Liam terdiam lagi sebentar sebelum kemudian menjawab,
“Rasanya sama saja sebetulnya seperti orang normal kalau sedang pacaran, bedanya, kami tidak bisa leluasa pegangan tangan di depan umum..”
Aidan mengangguk sambil menggigit apelnya lagi.
“Kau tampak bahagia sekali..” katanya.
Liam tersenyum,
“Apa kalian sudah pernah berciuman ?” tanya Aidan blak-blakan.
“Kapan rencananya kau mau mulai belajar untuk memisahkan yang mana yang urusan pribadi dan yang mana yang urusan umum ?” Liam balik bertanya.
“Sudahkah ?” tanya Aidan lagi mengacuhkan pertanyaan Liam.
Liam menghela napas tampak lelah, untunglah ia sudah cukup terbiasa dengan sifat Aidan yang tidak ada sopan-sopannya sama sekali ini.
Liam kemudian mengangguk,
Aidan tampak terkejut, ia menurunkan kakinya sambil mendekatkan tubuhnya pada Liam,
“Benarkah ?? siapa yang duluan memulai ??” tanyanya antusias.
“Alan.” jawab Liam malu-malu.
“Apaa ?? kenapa bukan kau ?? laki-laki macam apa kau ini ?? tidak berani memulai duluan !! “ protes Aidan.
Liam menatap bingung pada Aidan,
“Tapi setelahnya aku membalas dengan lebih lama dan.. dalam..” katanya malu.
“Baguss !! itu baru namanya laki-laki sejati...” kata Aidan sambil mengelus kepala Liam.
Liam terdiam tampak dongkol, tapi kemudian ia menatap Aidan dan tersenyum kecil,
“Terima kasih ya, karena kau mau menerima kondisiku dan hubunganku dengan Alan..” katanya.
Aidan menunduk tampak malu dan salah tingkah,
“Su.. sudah tidak usah dibahas..” katanya terbata.
“Kenapa kau jadi malu-malu kucing begitu ?” tanya Liam sambil memperhatikan wajah Aidan yang jadi merah.
“Ti.. tidak.. si.. siapa yang malu-malu ??” gagap Aidan sambil berusaha menutupi wajahnya.
“Itu.. wajahmu merah begitu..” goda Liam.
“Ti.. tidak..” sergah Aidan lagi.
Liam tertawa kecil melihat tingkah laku sahabatnya tersebut, sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kali mereka bercanda seperti ini, saling goda satu sama lain, seperti kembali ke masa kanak-kanak saja rasanya,
“Tapi aku jadi penasaran..” kata Aidan lagi, berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Apalagi ?” tanya Liam tampak bosan.
“Selama 15 tahun ini padahal kita sudah sering tidur bersama, tapi kenapa kau tidak pernah berusaha untuk, well, setidaknya mencoba menciumku diam-diam ?? apa aku benar-benar tidak masuk kriteriamu ya ??” tanya Aidan dengan tampang kecewa.
“Kau bicara apa sih bodoh ?” tanya Liam.
“Just asking.. padahal kesempatanmu banyak sekali lho, Li.. aku juga tidak keberatan kalau kau yang menciumku..” kata Aidan polos.
“Aku mau tidur saja, daripada mendengar ocehanmu yang tidak jelas ujung pangkalnya itu..” kata Liam sambil membetulkan posisi tidurnya agar lebih nyaman sambil menutup matanya.
“Hei, Li.. jangan tidur dulu.. masih banyak yang ingin kutanyakan padamu.. Li.. Li.. “ kata Aidan sambil mengguncang tubuh Liam, tetapi Liam tak kunjung membuka matanya.
“Ahh kau ini..” kata Aidan akhirnya menyerah, setelah Liam membuat suara mendengkur yang sengaja dibesar-besarkan.
Aidan menatap Liam yang sepertinya sudah mulai betul-betul tertidur, ia tersenyum sejenak, kemudian menarik kursinya agar lebih dekat dengan bed Liam.
Aidan lalu merebahkan kepalanya di atas perut Liam, dan ikut tertidur.
Sejak kecil, kalau Aidan menginap di rumah Liam, ataupun sebaliknya, Aidan suka sekali tidur sambil merebahkan kepalanya di atas perut Liam, baginya tak ada bantal ataupun kasur yang bisa menandingi nyamannya perut Liam.
Aidan tersenyum lagi sambil akhirnya menutup matanya dan tertidur, benar-benar seperti kembali ke masa kanak-kanak, pikirnya.
Sementara Aidan sudah benar-benar tertidur, Liam membuka matanya, kemudian menatap sahabatnya yang tertidur pulas di atas perutnya,
“Thanks, buddy..” bisiknya pelan sambil mengelus kepala Aidan, setetes air mata mengalir melewati pipinya.

Jam setengah 2 dini hari,
Alan berlari seperti kesetanan menyusuri koridor rumah sakit, rambutnya tampak berantakan, kentara sekali kalau ia baru bangun tidur, matanya merah dan berair, terlihat seperti baru saja menangis, wajahnya tampak pucat ketakutan.
Sejam yang lalu Aidan meneleponnya ke rumah, dengan hanya mengatakan tiga kata yang benar-benar membuat surga Alan yang baru saja mau ia mulai bangun menjadi hancur berantakan.
“Liam sudah pergi”
Alan terus berlari tanpa mempedulikan pandangan dari orang-orang di sekitarnya,
Bukankah terakhir ia tinggalkan Liam baik-baik saja ? bukankah kemarin sore ia masih bisa tertawa-tawa ?
Alan tidak akan pernah memaafkan Aidan kalau sampai ini hanya merupakan salah satu leluconnya, tapi jauh di dasar hatinya ia berharap kalau ini MEMANG hanya lelucon saja.
Langkahnya terhenti tak jauh dari depan kamar Liam,
Ia melihat beberapa perawat mendorong bed yang di atasnya terdapat seseorang dengan wajah sudah tertutup kain,
“NOOO !!!” teriaknya sambil berlari menghampiri kerumunan perawat tersebut,
Dengan kasar ia membuka kain yang menutupi wajah orang tersebut,
Jantungnya seakan berhenti berdetak saat itu juga, itu memang Liam, matanya tertutup seperti sedang tidur, wajahnya pucat dan bibirnya biru.
“Ke.. kenapa ?? Liam !! Liam bangun !!” katanya sambil mengguncang tubuh Liam yang sudah kaku dan dingin, beberapa perawat berusaha menghentikannya,
“Tidak, Liam bangun !! kau tidak boleh pergi seperti ini !! tidak setelah kau berjanji akan mengenalkanku pada orang tuamu !! tidak Liam !!” kata Alan tidak menghiraukan perawat yang memegangi tubuhnya.
“Dia sudah pergi,” kata seorang perawat yang memegangi tubuhnya.
“TIDAK !!” sanggah Alan, “Kemarin dia masih baik-baik saja !! dia masih tertawa bersamaku !!”
“Ada penumpukan nanah di paru-parunya karena infeksi, sepertinya pada saat kecelakaan dadanya tertekan benda keras, karena penumpukan nanah tersebut ia jadi sulit bernapas dan akhirnya..” perawat tersebut tidak meneruskan kata-katanya.
“Tidak mungkin !! ia tidak tampak kesakitan !!” kata Alan, tentu saja tidak, ia kemudian menyadari, selama 2 hari ini Liam pasti menahan rasa sakitnya, ia tidak mau memperlihatkannya di depan mereka, Liam tidak mau membuat orang-orang yang dikasihinya khawatir.
“LIAM BODOH !!!” teriak Alan sambil kembali mengguncang tubuh Liam.
Tanpa ia sadari air mata sudah mengalir deras melewati pipinya,
“KEMBALI KAU BODOH !! SEENAKNYA SAJA KAU MENYEMBUNYIKAN RASA SAKITMU DARIKU !! KAU ANGGAP AKU APA ???” teriak Alan lagi.
Perawat yang memegangi tubuhnya kemudian menariknya menjauhi tubuh Liam yang sudah tidak bernyawa,
“Tidak ada yang bisa kita perbuat..” kata salah satu perawat.
Perawat-perawat yang lain kemudian kembali mendorong bed Liam dan membawanya untuk dibersihkan, meninggalkan Alan yang masih berdiri di tempatnya sambil masih menangis,
Alan menangis sejadi-jadinya, tubuhnya kemudian merosot ke lantai, ia diam menatap kosong ke arah lantai sambil masih terisak,
Sementara di dalam kamar pasien tampak Aidan tengah berdiri kaku sambil menatap kosong ke arah bed pasien yang tadinya ditempati oleh Liam, ia tidak menghiraukan keributan yang terjadi di depan kamar, yang ia rasakan kini kurang lebih sama seperti yang tengah dirasakan oleh Alan.
Liam, sahabat satu-satunya yang ia miliki, yang selama 15 tahun ini setia menemaninya dalam susah maupun senang, kini tidak ada lagi.
Seumur hidupnya, biarpun orang-orang mengatainya dan menjelek-jelekannya di belakang punggungnya, sekalipun teman-temannya memandang tajam dan bicara kasar padanya, sekalipun mereka mengutuk dan menyumpahinya, Aidan tidak pernah menangis,
Menurutnya menangis hanya untuk orang-orang yang lemah, orang-orang yang tidak punya semangat berjuang, dan orang-orang yang.. rapuh.
Dan saat ini, ia memang merasa lemah, ia merasa rapuh dan sama sekali tidak punya semangat,
Maka ia menangis.

Orang tua Liam tiba siang harinya,
Pemakaman diadakan keesokan harinya,
Semua teman-teman dan keluarga Liam hadir dalam upacara pemakaman tersebut, tak terkecuali Alan, Aidan, Samuel dan Gwen.
Sejak subuh mengharukan di mana Alan untuk terakhir kalinya menatap wajah Liam, ia belum bicara sama sekali.
Kini ia hanya bisa terdiam sambil berdiri di depan nisan Liam, memandanginya dengan pandangan kosong.
Ia masih belum percaya Liam pergi secepat itu , betapa tega Liam meninggalkannya seperti ini.
“Ayo kita pulang..” kata Samuel sambil merangkul pundak Alan, Samuellah yang sedari kemarin setia menemani Alan dan berada di sisinya.
Alan menggeleng,
“Kau pulanglah duluan.. aku masih mau di sini..” kata Alan pelan.
Samuel menatapnya sebentar,
“Baiklah..” katanya kemudian beranjak pergi bersama Gwen, meninggalkan Alan yang masih belum mengalihkan pandangannya dari nisan makam Liam.
Sedikit demi sedikit pelayat mulai beranjak pulang, kini tinggal Alan dan Aidan berdua saja di situ, keduanya berdiri berdampingan, sama-sama terdiam sambil menatap makam Liam.
Mereka sama-sama kehilangan orang yang paling mereka kasihi, kesedihan keduanya benar-benar besar hingga tak terkatakan lagi.
“Sebelum dia meninggal dia menitipkan pesan padaku untukmu..” Aidan tiba-tiba berbicara, memecah keheningan.
Alan hanya terdiam sambil terus menatap makam Liam,
“Dia bilang dia minta maaf, karena hanya bisa sebentar saja menjagamu..” lanjut Aidan,
“Dia merasa belum bisa membahagiakanmu..
Belum bisa menjadi pacar yang baik..
Dia juga minta maaf karena tidak bisa membuatmu tersenyum lagi setiap hari..
Tidak bisa mengantar jemputmu ke kampus lagi..
Tidak bisa menemanimu makan di cafe langganan kalian lagi..”
Aidan terdiam sejenak sebelum melanjutkan perkataannya,
“Dia minta maaf karena tidak bisa menepati janjinya untuk pergi ke pantai berdua saja denganmu..
Dan tidak sempat mengenalkanmu pada orang tuanya..”
Aidan terdiam lagi, “dia sangat menyesal sudah meninggalkanmu seperti ini..” sambungnya.
Tangisan Alan mulai pecah dan semakin keras seiring dengan tiap kalimat yang diucapkan Aidan,
Setiap kalimatnya, setiap katanya, benar-benar menyayat hatinya,
“Liam bodoh..” katanya pelan sambil masih terisak.
Aidan terdiam sejenak, ia memandang iba pada Alan, kemudian dengan ragu-ragu berjalan mendekati Alan,
Alan masih menangis, ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, tangisannya benar-benar menyayat hati, membuat yang melihat jadi ingin ikut menangis,
Aidan lalu dengan ragu-ragu merangkul Alan dan membiarkannya menangis di dadanya,
“Ia juga berpesan padaku untuk menggantikannya menjagamu..” kata Aidan sambil mempererat pelukannya pada Alan.
Alan membiarkan air matanya jatuh dalam pelukan Aidan,
Sementara Aidan menepuk-nepuk punggung Alan sambil memandang ke langit,
“So long, my friend.. so long.. and goodbye..” katanya dalam hati.

Another turning point
A fork stuck in the road
Time grabs you by the wrist
Directs you where to go
So make the best of this test
And don't ask why
It's not a question
But a lesson learned in time
It's something unpredictable
But in the end is right
I hope you had the time of your life

So take the photographs
And still frames in your mind
Hang it on a shelf in
Good health and good time
Tattoos of memories
And dead skin on trial
For what it's worth
It was worth all the while
It's something unpredictable
But in the end is right
I hope you had the time of your life

It's something unpredictable
But in the end is right
I hope you had the time of your life

It's something unpredictable
But in the end is right
I hope you had the time of your life

Greenday – Good Riddance (The Time of Your Life)


Epilog

Hari-hari pasca kematian Liam merupakan hari-hari paling berat dalam hidup Alan, ia tak punya semangat sama sekali untuk menjalani hidup, kebanyakan waktunya ia habiskan dengan berdiam diri, rasa-rasanya ia tak ingin melakukan apapun, terkadang, bila ia sedang sendirian, ia mulai menangis diam-diam.
Tapi beruntung baginya ia punya sahabat seperti Samuel, yang setia menghiburnya dan menjadi sumber kekuatan baginya, dan juga, yang membuat anak-anak heran melihatnya, Alan kini sering terlihat bersama Aidan,
Kemanapun Alan pergi, Aidan selalu berada di sisinya, menghiburnya, dan menjaganya,
Kini Aidan yang rajin mengantar jemput Alan ke kampus, Aidan juga yang menemani Alan istirahat di kantin jika Samuel berhalangan, Aidan jugalah yang berhasil membuat Alan tersenyum pertama kalinya sejak kematian Liam.
Aidan benar-benar memenuhi permintaan terakhir Liam padanya untuk menggantikannya menjaga Alan.
Anak-anak yang lain menyangka bahwa keduanya berpacaran, karena biar bagaimanapun, fakta bahwa Alan adalah seorang gay sudah merupakan rahasia umum.
Aidan memang menyayangi Alan, ia menyayangi Alan dengan sepenuh hatinya, sama seperti ia menyayangi Liam, tapi hingga kini Aidan masih tetap seorang laki-laki normal yang menyukai perempuan.
Jika ada yang bertanya padanya mengenai hubungannya dengan Alan, jawaban Aidan selalu sama,

“He’s not my lover.. he’s my gay bestfriend.”

The End 

Bonus : A Letter To You

3 comments:

cloud said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Sumpah yaaa!! Ini sapa sih authornya?! Pengen kubejek-bejek!! Aaaaa knp harus sad ending sih?! Ga mau tau ini harus ada sekuelnya!

Admin, bilangin donk ke authornya suruh buat sekuel. Aku mau Alan bahagia ga sedih kya gni!

Dazz said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

@cloud

ada kok
hehehe

Unknown said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Ieuuuuhhh sediiiiiih siiiih?

Post a Comment