DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Love Under The Mistletoe Chapter 15

CHAPTER XV
LIES
by  Tuktuk

Aku bangun pagi-pagi sekali hari ini. Aku merasa seperti berisi kembali. Setelah ‘pertengkaran’ kecil karena ketidakdewasaanku kemarin dengan kak Riko. Pelukannya yang hangat, kecupannya yang tulus dan perasaannya yang begitu aku rasakan dalam pengakuannya kemarin membuatku tenang. Membuatku yakin.

Bola mata kak Riko tidaklah berbohong saat itu, meski dalam temaram lilin, aku masih bisa melihat jelas. Jelas sekali, pancaran ketulusan begitu terlihat dari kak Riko. Aku menarik nafas panjang sambil menatap pria itu yang masih tertidur pulas disampingku. Menatapnya seperti aku begitu menginginkannya, seperti aku mencium harum tubuhnya diudara, seperti aku tau sesekali angin menyapa rambutnya yang sedikit berantakan, seperti aku tau perasaanku kepadanya terpatri. Terkunci untuknya.

Aku bangkit dari tempat tidurku dan berusaha menata kembali apa yang seharusnya pacar yang baik lakukan.  Aku meraih gagang pintu kamar, membukanya perlahan lalu menutupnya rapat. Aku tak ingin pangeran itu terbangun. Aku hanya ingin menyiapkan sarapan dan kopi panas utk dia memulai harinya nanti.

“Riko mana?” tiba-tiba suara Allan mengagetkanku.
“Jangan berisik, dia masih tidur” jawabku singkat.
“Aku mau ngomong sama dia. Aku ada perlu.”
“Dia masih tidur, Allan. Tolong biarkan dia bangun sendiri.”

Allan lalu tersenyum hambar. Ia menatapku kali ini aku merasakan tatapan yang berbeda. Tatapan dingin dan tajam. Tatapan yang tidak aku suka.

“Apa sih yang Riko lihat dari kamu?”

Aku tercekat. Baru sekali ini aku melihat orang sejahat dia.

“Aku ga ngerti apa yang sedang kamu bicarakan sekarang, Allan. Tolong hargai hubungan kami. I am not giving up on him”
“Oh, So do I...” balasnya.

Aku lalu melengos berlalu membalikkan tubuh dari Allan. Aku tidak habis pikir. Kemarin aku begitu kesal, aku begitu melodramatik, aku begitu lemah. Tetapi memang seperti itulah adanya aku. Dan setelah apa yang kak Riko sampaikan malam itu, aku semakin yakin bahwa kami berdua harus menjaga komitmen ini. Menjaga perasaan ini. Kami berdua.
Drrrrtt! Drrrrtttt! Tiba-tiba hape ku bergetar. Satu sms masuk dari kak Wildan rupanya.

From : K’ Wildan
“DEK, HARI INI KK LAGI KOSONG, JALAN YUK!”

Aku tertegun sejenak membaca sms itu.

To : K Wildan
“PAGI AMAT SMS NYA, TUMBEN UDH BANGUN. JALAN KMN? AKU TANYA KAK RIKO YA BISA GA DIA...”

Sejurus kemudian aku menerima balasan lagi.

From : K’Wildan
“SENGAJA SMS DARI PAGI, SBLM KAMU KELAYAPAN. GA USAH, JUST THE TWO OF US. PLS??”

Aku meletakkan handphone itu di meja. Aku terus melangkah ke dapur, membuatkan nasi goreng untuk kak Riko. Di fikiranku banyak hal berputar-putar saat itu. Apa jadinya jika aku berdua sama kak Wildan? Kak Riko bagaimana? Setelah hampir tiga puluh menit berkutat dengan nasi goreng dan kopi, aku menulis catatan kecil untuk kak Riko sebelum aku mandi dan bersiap berangkat kuliah.

“BREW, NASI SAMA KOPI BUAT KAMU YA... GA TEGA BANGUNIN KAMU PAGI-PAGI. I LOVE YOU, BLEW”

Kemudian aku berlalu dan bersiap memulai hari ini. Aku kemudian teringat sms kak Wildan tadi. Lalu aku balas :

“OK KAK, AKU PULANG KULIAH JAM 12.30, KETEMU DIMANA?”

Drrrt Drrrttt... Secepat kilat kak Wildan membalas sms ku.

“GA USAH, AKU JEMPUT DI KAMPUSMU.”

Aku tersenyum tipis membacanya. Aku berlalu meninggalkan kost, semoga apa yang aku lakukan ini tidak menjadi apa-apa bagi aku dan kak Riko.

***
Aku berjalan santai menuju kampus, bau tanah yang basah menemani perjalananku kala itu. Aku suka bau itu, sebagaimana aku suka harum yang menyeruak dari jaket kak Riko yang aku kenakan sekarang.

Drrrt.. Drrrt satu pesan masuk ke hape ku.

From : K’Riko
“BLEW, MAKASIH YA BUAT SARAPANNYA, KAMU KENAPA GA BANGUNIN? KAN BISA AKU ANTER KE KAMPUSNYA, SEMANGAT YA, AKU SAYANG KAMU...”

Aku tersenyum. Dada ini terasa hangat tiap kali melihatnya, membayangkannya, bahkan hanya dengan tulisan darinya yang membuatku begitu bersemangat pagi itu.


“Danny!” tiba-tiba suara perempuan berteriak memanggilku.
“Eh Laura, tumben pagi gini ngampusnya?”
“Aku lagi ngejer dosenku, beliau mau keluar kota... Minggu depan sudah harus sidang akhir...”
“Wah, gak kerasa ya udah mau sidang akhir...”
“Apanya yang gak kerasa, Wildan aja udah kerja... Masa aku belum tamat juga...”
“Kak Riko kapan ya bisa kelar juga” tiba-tiba aku berceletuk.

Laura lalu tersenyum.

“Aku yakin dia bisa cepet juga kok, kan ada kamu...” goda nya.
“Iya sih, Cuma kan... Entahlah dia agak sibuk belakangan” balasku.
“Iya, aku ngerti apalagi dia baru mau urus penelitian skripsinya...”

Aku tersenyum tipis.

“Laura, aku duluan ya.”
“Oke, semangat ya!” ujarnya.

Aku melangkah berbelok ke fakultasku. Disana teman-teman seangkatanku menungguku. Jelasnya lagi, aku akan bersemangat karena jaket kak Riko ini akan aku kenakan seharian. Rasanya seperti sedang dipeluk. I miss you, kak...

****

“Lama nunggu kak?” ujarku menyapa kak Wildan yang menunggu dihalaman fakultas.
“Nggaklah, selama apapun juga asal nungguin kamu aku mau...”
“Mulai deh ngawur...”
“Hehe, becanda... Yuk naik, peluk yang erat ya..”
“Ogahhh...”

Motor kak Wildan melaju membawaku ke salah satu mall terbesar dikota ini. Mall dimana aku, kak Riko dan kak Wildan sering menghabiskan waktu bersama.

“Kita mau ngapain kak?”
“Nonton terus makan, mau?”
Aku terdiam. Aku menatap lekat-lekat lobby bioskop itu. Melihat sudut dimana aku duduk bersama kak Riko sambil menunggu film diputar. Melihat sudut dimana kami berebutan menentukan judul film, melihat sudut yang kini jauh berbeda. Aku sudah lama tidak melakukan hal ini dengan kak Riko. Aku ingin menonton bioskop denganya lagi. Seperti dulu.

“Dan?”
“Eh, iyya ... Boleh...” jawabku terbata.

Kak Wildan lalu berjalan membeli tiket sementara aku duduk di sofa lobby itu. Lantunan lagu instrumen yang diputar di lobby itu membuatku sedikit terhanyut. Apa yang kamu lakukan sekarang kak?

Aku lalu menelepon kak Riko.

Tuuut... Tuuuut...

“Halo?” suara yang membuatku terngiang-ngiang tanpa henti menyambutku diseberang sana.
“Kamu dimana kak?”
“Aku lagi diluar, lagi urus penelitian skripsiku sama salah satu perusahaan disini...”
“Sudah makan?” tanyaku.
“Bentar lagi ya, Blew”
“Makan dulu, aku kangen sama kamu kak...”
“Aku juga ga sabar mau pulang, peluk-peluk kamu... “

Aku tertawa renyah. Meski teleponku barusan tak sampai 5 menit. Tetapi paling tidak itu yang membuat kegamanganku hilang. Aku menjadi lebih bebas untuk nonton. Toh aku juga ga bakal ngapa-ngapain dengan kak Wildan.

Sepanjang film diputar, aku sesekali melanturkan fikiranku ke kak Riko. Aku tidak benar-benar berkonsentrasi. Begitu film selesai diputar, aku segera keluar mendahului kak Wildan.

“Bahagia bener filmnya kelar. Ga suka ya?”
“Eh, bukan gitu.... Aku pengin cepat pulang bawaannya. Tapi sesuai agenda, makan dulu yaa”
“Iya Tuan, kita makan dulu...” jawab kak Wildan.

Aku tertawa renyah. Aku berjalan bersisian dengan kak Wildan menuruni tangga eskalator meninggalkan lantai enam dan beranjak menuju lantai empat dimana salah satu spot makan favorit kami bertiga.

Pandanganku kusapu keseluruh restoran itu. Mencari bangku yang kosong namun posisinya enak. Tiba-tiba pandanganku terhenti saat aku melihat seseorang.

Orang yang begitu aku kenal, orang yang seharian ini mengisi kepalaku. Kak Riko. Ia makan bersama.... Allan! Rasanya dada ini remuk. Aku mencoba sekuat mungkin menahan ini. Tidak, tidak seperti ini Danny. Pasti ada alasannya. Pasti, aku harus percaya dengan kak Riko.

Kak Wildan menyadari hal itu. Ia melihathal yang sama denganku.

“Kamu ga papa Dan?”
“.....”
“Kita mau cari tempat lain?”
“Aku mau pulang saja kak...”

Kepalaku seperti tertimpa longsoran es. Aku merasa begitu berat. Aku merasa tak karuan. Apakah ini balasan karena aku tanpa setau kak Riko nonton berdua dengan kak Wildan? Apakah ini bagian pahit yang lain yang aku rasakan karena memantik api didekat jerami? Tapi apa kak Riko tau? Apa jika aku tidak pergi dengan kak Wildan, kak Riko tidak akan berdua dengan Allan? Pertanyaan-pertanyaan itu seperti pedang yang menghunus dan meninggalkan luka yang mendalam didadaku.

****
Aku menunggu dengan was-was kak Riko pulang dengan Allan. Dari suara motornya, aku tau ia baru saja pulang beberapa detik yang lalu.

Tok!Tok! Tok!

Aku bergegas membukakan pintu.

“Makasih ya, Ko...” tiba-tiba Allan berbicara seperti itu didepanku.

Air muka kak Riko nampak bingung.

“Darimana kak?”
“Ngurusin surat izin penelitianku”

Aku tersenyum.
“Mau mandi? Aku siapin air hangat dulu ya?”
“Beneran?”
“Iya, kamu duduk di kamar aja... Aku panasin air bentar” ujarku.

Aku lalu memanaskan air didapur sambil ribuan pertanyaan sejak sore tadi berputar-putar dikepalaku.
Bagaimana aku harus memulainya? Bagiamana aku harus menyampaikannya?

Setelah kukumpulkan semua keberanian itu,  aku lalu memasuki kamarku dan mendapati kak Riko tengah berguling disana.
Aku lalu menyelipkan kepalaku dilengannya sambil mengendus-endus aroma tubuhnya.

“Kamu darimana tadi?” tanyaku.
“Dari urus surat izin itu...”
“Belum dapet-dapet ya suratnya? Dari kemarin urus itu terus...” ujarku pelan.
“Iya, perusahaan yang punya mesin untuk penelitianku itu Cuma perusahaan itu. Aku udh masukin proposal tapi katanya surat ACC dari pusat belum turun... Heran...”
“Kalau ganti perusahaan lain ga bisa? “ tanyaku.
“Di kota ini, Cuma perusahaan itu yang pake alat sesuai skripsiku...”
“Brew, kalau ada yang bisa aku bantu, kasih tau ya” pintaku.
“Kayak gini aja kamu udah ngebantu aku banget, sayang..”
“Brew...”
“Hmm???”
“Selain ngurus surat itu, kamu kemana lagi? Kok bisa ketemu Allan?”
“Ng... Ng... Itu, nggak kok.. Aku ketemu dia pas dijalan pulang..”

Kak Riko berbohong. Aku tau itu.

“Oh,... Aku Cuma pengin kamu tau Brew, aku selalu dipihakmu, selalu percaya sama kamu...”
“Aku juga gitu ke kamu, Blew...” ujarnya sambil mengusap rambutku.

“Air hangatmu mau kucek dulu tuh udah panas belum”

Aku berjalan gontai ke dapur. Aku berusaha menahan sebisaku. Mataku kosong menatap bulirn bulir gelembung udara yang perlahan mulai banyak. Seperti perasaan yang berkecamuk padaku saat ini.
Saat aku tau bahwa kami berdua sama-sama berbohong.

to be continued




0 comments:

Post a Comment