DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Negeri Dibalik Awan - Chapter 4

Chapter 4
by Ajiseno


“yaellaaah nang, nggak ngira kamu akan secepat ini datang kesini, ama siapa nang?, eh kamu ngak nyasar nih kesini? ” ucapku nyerocos sambil nyalamin danang.
Danang cuma tersenyum saja sambil melangkah pelan menuju meubel

“mas aji dari mana?” danang malah bertanya
“eh…aku dari jalan-jalan ke tempat rencana proyek, ohhh kenalkan ini bagian teknis namanya mas yoga” ujarku sambil menoleh ke yoga
Mas yoga menyalami danang dengan wajah penuh tanya.

“mas yoga, kenalin nih, danang, dia tuh namanya danang aku kenal dia di bis kemaren waktu ke sini” uajarku menjelaskan
“ohhh gitu ya, rumahnya daerah mana mas?” tanya mas yoga sambil senyum
“daerah bawah mas”
“ohh ya mas yoga, danang ini ke sini karena kebetulan jurusan dia tuh teknik jadi mau sekalian belajar” jelasku lagi
“oh ya? Kebetulan kalau begitu sekalian nanti bantu-bantu pekerjaan, tapi maaf nggak ada honornya tuh” ujar mas yoga
“walah mas…nggak pa pa lah mas, makasih banget sudah dibolehin ikutan, aku tuh sekalian belajar, kebetulan lagi mau ambil judul skripsi siapa tau entar malah dapat ide dari pengalaman ini”
“wahhh…boleh juga tuh” mas yoga sekarang nampak wajahnya berseri-seri
Aku tahu dia mendapat teman yang sama-sama dari teknik jadi klop lah.

Tak seberapa lama pintu terbuka, dan Nampak putri mendatangi kami dengan nampan berisi tiga cangkir kopi dan ketela rebus
“ini mas silakan di makan, seadanya saja mas” kata putri sambil menata cangkir minum di meja
“makasih ya dik” ujarku sambil senyum
Kulihat mata danang melirik putri
Putri memang cantik, manis tanpa make-up ala cewek-cewek kota lainnya

“putri cantik yah…”bisikku pelan di telinga danang, setelah setelah putri menghilang dibalik pintu.
Wajah danang yang putih semburat merah sambil senyum serba salah
“ayo diminum mas” ajak yoga sambil mengambil cangkir kopi

Yang terjadi selanjutnya obrolan ringan sampai yang berat terjadi antara mas yoga dan danang.
Sesekali aku ikut nimbrung, tapi yang jelas aku nggak begitu paham mengenai obrolan dengan bahasa teknik ala mereka.
Mereka berdua benar-benar cocok dalam obrolan, dan rasanya tak rugi aku mengenalkan dangan kepada mas yoga
Mungkin latar belakang pendidikan mereka yang sama yang membikin mereka cocok
Aku seperti tersisih dalam obrolan mereka
Akhirnya aku ngalah, bangkit menuju dapur
‘ehh…terusin ngobrolnya ya, aku mau ke belakang dulu” pamitku
Danang cuma mengangguk

Aku menuju dapur
Kujumpai putri sedang didepan perapian, ada nyala api dan kulihat putri sambil mengiris buncis
Dia menoleh kearahku, sambil senyum
Aku mendekatinya, mengambil tempat duduk disampingnya dan tanganku memasukkan kayu bakar yang sedang menyala oleh api

“kok sepi, bapak ibu kemana dik?” tanyaku membuka pembicaraan
“ohh…biasa mas, ke ladang, sekarang kan sedang musim tanam, jadi lumayan repot”
“emang nanam apa dik?’
“nanam jagung, mbako dan kubis mas”
“oh ya, kalau disini tanaman pokoknya jagung ya?”
‘iya lah mas, kalau padi ya nggak mungkin, makanya orang sini makannya nasi jagung, eh mas aji pernah makan nasi jagung belum?”
“belum tuh…kayak apa sih?’ jawabku penasaran
Putri Cuma tersenyum
“ya udah nanti aku buatin khusus untuk mas aji, kalau mas yoga seneng banget ama nasi jagung”
“ya udah, makasih banget ya dik, nanti malem aku mau makan ama nasi jagung kalo gitu”

Tiba-tiba wajah putri terlihat tegang
Dia melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 15.00
“wahhh…maaf banget mas aji…maaf betul betul maaf ya”
“lho, ada apa to dik?” Ucapku jadi ikut bingung melihat perubahan pada diri putri
“ngg…anu mas, tadi benernya aku dipasrahi mbok’e suruh nyiapin makan siang buat mas aji dan mas yoga, duhh…itu mas di meja makan sudah saya siapin sejak tadi siang, maaf mas, mas aji sampai telat makannya, dan tadi tamu mas aji sudah saya suruh makan duluan”
Oh ya, disini semua ibu dipanggil mbok’e
“oalah dik, kirain ada apa to, aku dan mas yoga sudah makan di warung tadi, maklum dah keburu lapar di jalan sih, nanti saja aku makan lagi”
“lho kok makan di warung to? Padahal kan sudah saya siapin makan” ujar putri dengan nada kecewa
“hehehe, maaf dik dah keburu lapar si, bentar lagi aku mau makan lagi kok, jangan kuatir lah, hawa dingin bikin perut lapar, hehehe. Eh dik putri mau masak apa?” jawabku untuk mengusir rasa kecewanya
“biasa mas, sayur buncis, ya ginilah mas, orang gunung, kalau masak sayur sesuai apa yang di tanam, kalau saat ini sedang ada buncis ya buncis terus, kalau yang ada kubis ya kubis terus, kadang kentang, sawi, pokoknya apa yang sedang di tananm itu yang disayur, bedalah dengan orang kota mas, bisa ganti-ganti menu tiap hari” jelas putri
“justru kamu tuh harus bersyukur put, disini semua sayuran nggak ada yang beli, semua tanam sendiri, pakai pupuk kandang sehingga semua sehat, enak dan hemat, kalau di kota semua beli, buncis yang sedang kamu iris kalau dikota udah beli, bumbunya bawang juga beli, disini bawang tanam sendiri, kalau dipikir-pikir lebih enak disini dik, disini nggak punya uang sepeserpun bisa hidup, semua makanan ada di rumah, di kota kalau nggak ada uang orang nggak bisa makan dan nggak bisa hidup” paparku sambil menggeser kayu bakar hingga apinya membesar

Putri sekali lagi tersenyum
Inilah yang kulihat berkesan dihatiku, semua orang disini paling suka tersenyum, setiap bicara maupun ketemu, baik kenal maupun tidak selalu senyum, makanya jarang terlihat wajah muram disini.

Sesaat kami diam dalam alur pikiran masing-masing
Mataku menjelajah seisi ruangan dapur ini…hmmm… sejak kemaren baru kali ini aku detail mengamati ruang dapur ini

Semua berwarna hitam oleh pengaruh asap, sehingga ruangan seolah beraroma sangit
Dinding dapur terdiri dari anyaman bambu yang sengaja dibuat renggang dan aku paham mungkin agar asap yang keluar dari tungku bisa cepat keluar dari rumah
Bagian atas terdapat bambu utuh bulat memanjang ditata berjajar rapat menutup bagian atas sehingga mirip eternit alami.
Bambu-bambu ini sedemikian rapat dan rapi berwarna kehitaman akibat asap.
Hatiku diselimuti tanya, mengapa eternit di dapur beda dengan di ruang depan? Kalau di ruang depan, termasuk di kamar tidur, eternit terdiri dari papan kayu yang disusun rapat dan rapi dan disini terdiri dari bambu. Aneh…..

“put, ini eternitnya kok pake bambu si?” tanyaku sambil mendongak keatas
“hehehe…oalah mas, mas aji ini lucu, mosok kayak gini eternit to mas, ini itu namanya kreteg mas, disini, setiap panen jagung langsung di letakkan di atas kreteg ini mas, semua jagung beserta kulitnya diletakkan diatas kreteg kemudian dari bawah, kita membuat perapian dari kayu-kayu yang besar mirip api unggun itu lho, hawa panas itulah yang mengeringkan jagung mas”
“ohh jadi jagung disini dikeringkan dengan diasap to dik?”
“la iya lah mas, la wong kalau pake panas matahari ya lama lah, disini kan jarang sinar matahari, sering hujan apalagi kalo musim hujan kayak sekarang ini, susah mas, bukannya tambah kering malah jagngnya entar berkecambah”

Aku manggut-manggut, membayangkan proses pengasapan jagung, pasti mengasyikan
“eh, dik terus berapa hari prosesnya dik?” tanyaku lagi
“kurang lebih seminggu mas, siang malam, ya kadang lima hari juga selesai, tergantung kayunya mas”
“buatnya api di tungku besar ini ya?” tanyaku lagi
“ya ndak to mas, wong kayunya gede-gede gitu, mana cukup lah, disini mas buatnya perapian, uhhh untungnya mas aji pas nggak disini, kalo disini, ruang dapur ini penuh asap mas mas sampai pekat, semua pakean bau sangit mas” jelas putri sambil nunjuk tempat depan perapian
“hohoho, padahal aku pengin lihat tuh prosesnya” kataku sambil senyum
“ya sudah sono mas, makan, entar aku malah di marahi lho sama mbok’e”
‘bentar lagi lah dik”
“sudah hampir jam empat lho, nanti mas aji sakit, disini udara dingin lho mas, harus banyak makan, kalau nggak nanti masuk angin lho”
Sekali lagi aku memajukan kayu ke tungku, kulihat putri telah selesai memotong buncis dan sekarang akan merajang bumbu-bumbu

“walahh…kirain kemana, jebul disini to, malah pacaran sama putri” tiba-tiba mas yoga muncul dari pintu bersama danang sambil senyum-senyum
Kulihat pipi putri merona merah karena malu di bilang pacaran, aku tahu hati wanita disini begitu halusnya
“eh mas…ssstttt…ganggu saja, baru asyik sama dik putri nih, hehehe” candaku

Kemudian mas yoga dan danangpun bergabung dengan kami di depan perapian, seperti biasa wajah putri hanya tertunduk malu di kelilingi banyak lelaki di sekitarnya
Aku yakin, disini gadis-gadis jarang berpacaran ala anak kota

Kami semua kaget ketika terdengar suara tangis bocah dari dalam kamar, putri dengan cekatan langsung beranjak menuju kamar
Dalam hati aku salut pada gadis-gadis disini, begitu dewasanya, pada usia sekitar 15 tahun mereka sudah begitu terampil mengurus rumah sampai mengasuh anak kecil
Kulihat tadi dijalan beberapa anak kecil usia kelas lima SD sudah pandai mengasuh dengan menggendong adiknya yang masih kecil di belakang sambil bermain
Luar biasa pembentukan pribadi disini, aku yakin sampai besar ikatan persaudaraan kakak adik sangat rekat mengingat sudah terbentuk sejak masih kecil
Aku salut juga, karena disaat anak-anak remaja kota hanya bergelimang dengan kemanjaan terhadap berbagai fasilitas hidup, disini semua remaja, tidak mengenal kaya miskin, semua bekerja di ladang maupun di rumah. mereka bekerja membentuk kelompok sendiri terpisah dari kelompok tua, mencari rumput, mencangkul atau pekerjaan lain dilakukan berkelompok. Mereka hidup di dunia mereka dengan keceriaan sambil bekerja.
Didikan orang tua disini terhadap anaknya lumayan keras, kan tetapi kulihat tidak ada keterpaksaan anak dalam menjalankan apa yang diperintahkan orang tua, seperti yang kulihat pada diri putri, semua pekerjaan rumah dikerjakan dengan penuh keikhlasan.

“nang, nanti nginep sini to?” tanyaku membuka pembicaraan
Danang mendongak setelah tadi dalam diam dalam kehangatan akibat api di depan tungku
“wahh maaf, aku nggak pamit sama ibuku, besok aku nginep sini lah mas, tadi ada janji akan dibantuin mas yoga nggarap skripsi”
“iya ji, besok danang mau kesini lagi, dia katanya sudah punya beberapa judul skripsi, entar aku bantu dikit yang aku bisa”ujar mas yoga menimpali
“iya mas, besok sekalian aku akan bawa beberapa buku kesini, eh mas yoga, makasih ya”
“yeee lah, nang, ati-ati lho, entar setelah konsultasi mas yoga biasane minta imbalan, ada tarifnya lho, permenit malah, hehehehe” celetukku
“hahahaha…tul” mas yoga ikut tertawa

“lho mas, piye to? Kok malah disini semua? Nanti sangit lho baunya” suara putri masuk ke dapur
Kami semua mendongak
“eh…jangan kuatir put, kami semua walau nggak di perapian sudah sangit, hehehe” jawabku
“nggak ding, mas aji dan mas yoga tu yang baunya sangit dik, kalo aku ya tetep harummm” sanggah danang sambil nyengir
“yeeee…rayuannne mauutt…” mas yoga menimpali
Danang hanya tergelak tawa
Dan kulihat putri hanya tersipu

Putri mendekat lagi
Kali ini kekagumanku terhadapnya belum berakhir
Dia menggendong adiknya dipunggungnya, adiknya masih ngantuk rupanya, dia tertidur dipunggungnya dengan pulas
Kedua kakinya yang kecil memanjang terlihat menjuntai disamping pinggang putri
Putri melanjutkan semua aktifitas didapur, memasak, membuat air minum sampai mencuci piring, semua dilakukan dengan menggendong adiknya yang terus tertidur pulas dipunggungnya dalam kehangatan tubuh kakaknya

Kami melanjutkan obrolan diiringi dengan canda sambil sesekali melirik putri dengan penuh kekaguman.

“nang, kamu yakin akan pulang sore ini?” tanyaku penuh selidik
Danang mengangguk sambil senyum
“ini mau hujan lho, medan jalan juga susah, udah hampir petang , kabut dah turun dan kalau…”
“maaaassss….jangan kuatir lah, aku biasa jalan disini kok, besok , gampanglah aku kesini lagi lagian Cuma kabut nggak pa palah” potong danang sambil tertawa lirih melihat kekuatiranku

Aku memang sangat kuatir, apalagi diluar kabut begitu pekat, hembusan angin dingin menyeruak menerobos pori-pori jaketku membikin aku bergidik ngeri
Aku seperti hidup dialam mimpi…
Dalam pekat kabut dihalaman rumah pak sujar kulihat danang masih tersenyum
Sebenarnya bukan hanya kuatir, tapi aku panik melihat keadaan alam disini yang mudah sekali berubah

“mass…” kudengar danang berbisik memanggilku
Aku mendekatinya
Mas yoga masih didalam, katanya sholat ashar
Danang Cuma senyum-senyum penuh misteri membikin aku penasaran
Matanya mengerling nakal

“da apa?” tanyaku menyelidik
“hmmmm…nggak jadi deh” dia kembali tersenyum
Kucekal lengannya keras
‘heh jangan bikin orang mati penasaran, ayo ada apa?” terikaku sedikit keras
“hehehehe…nggak pa pa, Cuma mau pesen…tolong jagain putri yah” bisikknya serak
“hahahaha, suka ya ama putri, ya udah entar aku sampein ke putri kalau kamu suka”
“lho…piye to? Ngggaaak!” matanya mendelik panik
“halah kalu suka bilang aja, napa repot!”
“nggak usah…awas lho”
Dia menstarter sepedanya, suaranya menderu pelan
“ya udah mas, makasih ya”
“bentar ah” sergahku
“da apa lagi?’ tanyanya penasaran
“dik putriiiiiiiiii….siniiiii” aku berteriak keras
“asemm…..” dia melotot
Sedetik kemudian sepeda motor danang sudah bergerak…pelan meninggalkan rumah pak sujar menembus keremangan kabut disore itu
“daaaaa…” dia berteriak

Aku tersenyum geli, dalam ahti ini sungguh aneh, yah aneh, dihari ini aku dua kali menemukan cowok yang suka dengan cewek tapi nggak berani ngungkapin perasaannya
Danang dan teguh
Atau mungkin karena keadaan di pelosok seperti ini yang mana berpacaran atau berhubungan lawan jenis sebelum menikah merupakan hal yang tabu.

Yahh bagiku daerah ini luar biasa, disaat diluar sana pergaulan sedemikian bebas, disini semua serba tertutup dengan tetap memegang norma
Kehidupan sedemikian tenteram…jauh dari permasalahan akibat persoalan hidup yang disebabkan oleh salah dalam pergaulan
Remaja-remaja disini sungguh lain…
Disore hari seperti ini semua seperti serempak sudah janjian, mereka bersarung dan yang puteri berkerudung membawa kitab, mereka semua mengaji di masjid dekat rumah pak sujar
Yang lelaki di emperan masjid dan yang putri di rumah dekat masjid.
Aku salut dengan kondisi seperti ini….

“mari mas…saya mau ngaji dulu” ujar putri mengagetkanku
Aku tersenyum mengangguk, memandang tubuhnya yang ramping memakai rok panjang dengan kerudung, setengah berlari menembus kabut di sore ini.

Pelan aku masuk rumah
Tujuanku satu menuju dapur, dimana bara api menjanjikan kehangatan

Kulihat bu sujar telah kembali memangku anaknya yang masih kecil di depan perapian sambil memasak sayur
Sayur yang sebenarnya tinggal mematangkan saja karena tadi sudah dimasak oleh putri
Mas yoga kelihatannya ada di kamarnya

Aku mendekati tungku
Kurasakan hawa hangat menerpaku
Aku duduk pelan disamping bu sujar

“bapak belum pulang bu?” tanyaku membuka pembicaraan
“sudah, tadi langsung mandi, mas aji nggak mandi?”
“hehehe maaf bu, nggak brani bu ke pancuran, kabut sudah tebal”
“ohh ya udah nunggu bapak, nanti biar bapak yang nganter”
“wahh nggak enak, mosok mau mandi saja di anter”
“nggak pa pa mas, lagian memang bahaya kalau kabut gini ke pancuran, maka itu mas, warga sini sangat berharap proyek air bersih yang sedang mas aji tangani nantinya berhasil, jadi kalu mandi nggak perlu jauh-jauh ke kali”
“ohhh gitu ya”
Dalam hati aku berbisik, aku lebih suka mandi di pancuran daripada di kamar mandi pribadi
Sesaat kami terdiam

“bu, dik putri nggak melanjutkan sekolah setelah lulus SMP kemaran? Napa?”
Bu sujar memandangku
“hmmm…ya gimana lagi ya”
“karena biaya ya bu?” tanyaku lagi
“ohh, bukan, bukan karena biaya mas, insyaAlloh kalau soal biaya ada, Cuma kami kuatir saja mas”
“emangnya kuatir kenapa bu?”
“ya kuatir saja, kalau sekolah di SMA berarti kan harus ke kota, itulah mas, takutnya di kota salah pergaulan”
“walah, ya ngak semua yang di kota akan salah pergaulan to bu, banyak juga anak kota yang baik-baik kok” jelasku
“duh mas aji ini nggak tahu ya, di desa ini kemaren ada dua anak perempuan yang melanjutkan sekolah di kota, yang satu kemaren pulang-pulang sudah hamil dan yang satunya lagi pake rok mini, rambutnya dicat kuning…oalahhh…makanya bapaknya putri nggak membolehkan sekolah di kota”
“ohhh gitu to bu, tapi aku yakin dik putri kalau sekolah di kota pasti nggak salah gaul, dik putri kan anaknya baik dan pinter ngaji juga, kasian lah bu, dik putri masih muda”
“yahhh tetep mas, kita nggak tahu kalau putri itu di kota, disana banyak anak nakal mas”
“ya sudah kalo gitu, jika ini sudah jadi yang terbaik bagi di putri”

“iya mas, lagian putri sudah menerima lamaran dari pemuda desa seberang, dua bulan lagi rencana mau aku nikahkan mas, mosok sekolah, kan lucu”
“hahh putri mau nikah bu, dia kan masih kecil, emang ngak kasihan?”
“ohh…kalau menurut ukuran sini mas, putri itu sudah besar mas, sudah 16 tahun’

Aku menelan ludah…
Diluar sana…umur 16 tahun adalah usia yang penuh dengan keceriaan
Masa-masa dimana kehidupan baru dimulai
Tapi disini lain…
Anak-anak dituntut untuk dewasa sebelum waktunya
Tapi yang menjadi keherananku…semua menjalaninya tanpa beban
Yah tanpa beban, karena aku sering melihat anak-anak memanggul rumput di kepala dengan senda gurau sesama temannya atau yang kulihat tadi, putri mengasuh adiknya yang masih kecil sambil memasak
Ini sungguh luar biasa walau disisi lain hatiku miris
Hatiku miris membayangkan anak usia 16 tahun harus hamil, melayani suaminya dan ikut bekerja keras menafkahi keluarganya

“eh mas yoga, dari mana mas” suara bu sujar mengagetkanku
Aku menoleh, melihat mas yoga sedang mengusap-usap kepalanya dengan handuk
Rambutnya basah seperti habis mandi
“lhoo kamu sudah mandi to mas, kok ngajak ngajak aku sih” teriakku

Tiba-tiba mas yoga terpaku
“iya mas yoga ini, kok mas aji nggak diajak, dia kan belum hapal tempat mandinya” bu sujar menimpali
Mas yoga Cuma senyum dan garuk-garuk kepala
“bener ji, aku bener-bener lupa, tadi aku Cuma lihat rombongan mau mandi dan aku langsung ikut gabung saja, sama sekali nggak kepikiran kamu.”
“ya udah mas, nggak pa pa, lagian dingin banget, nggak mandi nggak pa pa, tapi nanti malem aku tetep tidur sama mas yoga lho” ujarku merajuk
Mas yoga melotot
“nggak! Jangan bercanda ji, aku nggak mau tidur ama kambing nggak pernah mandi…ya udah cepet siap-siap, aku anter…cepet sono” teriak mas yoga

Aku bangkit sambil senyum
Terus terang acara mandi menjadi acara favoritku disini
Apalagi sore hari…woww pasti banyak pemuda desa sini yang sedang mandi
Setengah berlari aku menuju kamar mengambil peralatan mandi

Desa ini sangat gelap walau kulihat baru pukul 17.30
Kabutnya sangat pekat
Jarak pandang hanya kurang lebih empat meter saja
Setiap ketemu orang di jalan hanya seperti seonggok bayangan hitam yang bergerak menerobos gelapnya kabut
Walau begitu setiap ketemu orang pasti saling menyapa
Inilah luarbiasanya warga sini, mereka mengenali orang hanya lewat suara

Kami menuruni undakan tanah licin menuju ke arah pancuran
Gelap, kakiku harus meraba-raba tanah agar tidak terpeleset
Mas yoga membawa hp nya untuk menerangi jalan, walau tidak seterang senter tapi lumayan cukup membantu
“uhhh mau mandi saja harus bertarung nyawa, hehehe” ujarku lirih
“iya, tempat yang aneh” timpal mas yoga

Semakin kebawah kabut semakin tipis
Aneh…
Ini seperti mukjizat untukku mungkin, agar aku dapat melihat pemandangan dengan jelas di waktu mandi nanti

Akhirnya sampai juga di pancuran
Dan aku terpaku kecewa
Pancuran kosong…
Rupanya sudah terlalu petang…uhh semua sudah mandi rupanya

“cepet ji, keburu gelap, takut nih” bisik mas yoga sambil senyum
Aku melangkah
Dalam hati menggerutu, tau kosong gini aku nggak bakalan bersusah payah untuk mandi

Dengan cepat aku membuka seluruh pakaianku
Setengah membungkuk di depan pancuran
Derasnya air pancuran begitu dingin dan segar mengguyur tubuhku
Kuambil sabun an kusabuni seluruh tubuhku

Kulirik mas yoga, dia sedang jongkok menunggui aku mandi diatas bongkahan batu besar
“jiii…bokongmu bahenol juga..hahaha”teriak mas yoga

Aku menoleh kaget
Kulihat mas yoga sedang mengacungkan hpnya
Merekam adegan mandiku
Sialan!
“heyyyy…ngapain…” aku berteriak marah
“hahaha lumayan lah nanti kukirim ke youtube, hehehe” ia tetap merekam

Aku berlari menghampirinya
“heyy…cepet hapus…awas….”
“hahaha, kontolmu keliatan jii…hahaha”
Dia terus merekam
“kurang ajaaarrrrr….”

to be continued...


0 comments:

Post a Comment