DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 11 Farewell Spell (3)

Farewell Spell (3) 
-chapter 11-

Scrapbook usang itu berisi belasan foto-foto Darmo dengan banyak gigolo sedang melakukan hubungan suami-suami. Dalam beberapa foto, ada sosok Nunuk terpotret. Misal saat Nunuk dengan bodohnya memotret di depan cermin—meski objeknya adalah Darmo—namun dalam foto itu ada pantulan diri Nunuk. Dan itu tidak terjadi di satu foto saja.

Dia mengkoleksi semua foto-foto itu.

Kejadian di The Harvest tadi membuat The Jandaz heboh. Saking hebohnya, isu dukunku mulai terabaikan. Semua The Jandaz bertanya-tanya mengapa Nunuk mengkoleksi foto seperti itu? Dia berkelit, bilang bahwa ini adalah photoshop untuk menjatuhkannya. Tapi cerita yang dia tulis di situ, lengkap dengan tanggal dan tanda tangan Nunuk, membuat argumennya lemah.

Pada akhirnya, Nunuk dan aku dikeluarkan dari The Jandaz.
Kami diunfollow oleh semua anggota dan dilarang masuk ke fanpage The Jandaz di facebook. Biarlah, toh sebentar lagi aku mati.

Aku menikmati masa-masa terakhir rumah ini. Rumah yang kudapatkan dengan mudah melalui perjanjian dengan iblis. Semua rumah ini dilindungi oleh mantera-mantera. Dan aku sudah terlalu lama mempercayai hal-hal mistis.
Aku menyentuh setiap sudut, mengenang memori-memori indah yang pernah terjadi bersamanya.

Sofa cantik itu, tempat aku bergelung bersama Chandra sambil membahas tentang pemerintahan.
Lemari kayu berukir itu, tempat anakku sering memanjat dan memecahkan gelas.
Lampu air mancur itu, yang sering diratapi Dicky semasa ayah dan adik tercintanya meninggal dunia.
Papan yang melintang di dapur, yang sering dipanjat Kila, kemudian dia duduk di situ berjam-jam, pura-pura menjadi pilot.

Dan meja rias di kamar Agas... yang kini penuh dengan buku-buku remaja beserta kertas-kertas berserakan.

Sudah lebih dari setengah abad aku bersama semua kenangan ini. Saatnya aku pergi. Menyusul Chandra-ku, menyusul Dennis, menyusul anak-anakku, menyusul yang lainnya.

“Granny!” Agas membuyarkan lamunanku. “Granny ketemu Bu Dewi lagi?”
Aku menggeleng. “Nenek seharian ini di rumah, Sayang.”

Sudah berhari-hari Agas terus menerus menanyakan Bu Dewi. Dia kehilangan Dennis, cupid itu. Sama sepertiku. Dia sudah tidak menutup rahasia lagi soal semuanya, dia sudah membeberkan apa yang dia ketahui tentang aku, tentang perjanjian-perjanjianku, dan tentang cupid itu.

Sekarang hari-harinya diisi dengan mencari Cazzo dan Dennis. Dia google ke sana kemari, dia datang ke semua dukun, dan dia menjadi gelisah setiap malam.
Padahal, orangtua Cazzo kabarnya sudah merelakan kepergian anaknya. Sekolah bocah-bocah itu sempat heboh karena Cazzo menghilang. Pihak keluarga sudah melaporkannya pada polisi, dan di edisi Apa Kabar Pagi TvOne minggu kemarin, Cazzo masuk daftar orang hilang.

Sayang sekali, satupun dari mereka tidak ada yang tahu kalau Cazzo diculik Iblis.

“Temenku yang indigo mau bantu aku nemuin Bu Dewi. Aku mau pergi sekarang, mungkin pulangnya malem,” kata Agas dengan lemas. “Dia bilang dia juga pernah ketemu Bu Dewi. Granny juga. Kalau ketemu Bu Dewi lagi, kasih tau aku! Okay?”

Kasihan Agas.
Hatiku teriris melihatnya begitu tertekan gara-gara aku.
Andai saja dari awal aku tak pernah mengadakan perjanjian itu....

“Agaaasss...” panggilku, pura-pura tegar. Padahal jantungku rasanya diremas hingga ngilu. “Kalau pas kamu pulang nenek nggak ada, jangan lupa kunci pintu, ya?”
“Granny nggak akan pulang?”
Aku mengangkat bahu.

“Pokoknya jaga rumah baik-baik, kamu jangan nakal.” Aku memeluknya untuk terakhir kali, setengah mati menahan tangis. “Nenek entar bikinin lotek buat Agas, pasti persis sama bikinannya Dicky. Lebih enak punya Nenek malah.”
“Jangan kebanyakan cikur.”
“Iya, nggak akan kebanyakan cikur.”

Agas mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu. Aku tetap memeluknya, mendekapnya erat karena aku tahu ini akan menjadi pelukan terakhirku pada Agas.
“Pokoknya kamu jangan lupa untuk tetap jadi diri sendiri. Jangan biarkan orang sekitarmu mempengaruhi dirimu, ngebikin kamu jadi orang lain atau maksa kamu jadi pribadi yang kamu nggak suka. Apapun yang kamu rasakan, ungkapin aja ya Sayang? Cinta, misalnya. Nggak usah ragu. Nggak pernah ada kata salah buat cinta.”

“Granny apa-apaan sih ngomong gitu!” protes Agas. “Kayak yang ngasih petuah sebelum mati aja.” Agas pun memutar bola mata.

Aku bakal kangen sama putaran bola mata itu. Agas selalu terlihat menggemaskan kalau begitu. Dia seperti punya... karakter.

“Ya udah, mau dibikinin roti buat bekal?”
“Apaan, sih? Aku cuma keluar bentar, Granny. Ketemu sama temenku di daerah Dago atas, di Ciburial katanya. Aku pinjem motor matic-nya Granny, oke?”
Its yours!” sahutku.

Agas pun pergi, menderu dengan matic tercintaku. Di teras depan, aku menangis. Itulah tatapan terakhirku untuk cucu kesayanganku. Sampai jumpa lagi di atas sana, Agas.

-XxX-


“Pssst! Pssst!”

Ada yang berbisik-bisik memanggil.
“PSSST!”

Aku melirik sekitar, mencari sumber suara. Tapi sosok yang berbisik itu tidak kunjung muncul.
I di sindang, bitch!” bisiknya lagi.

Oh. Esel.
Dia sedang mengintip dari salah satu jendela di ruang tengah.

“Masuk, Esel. Jangan diam di situ.”
Esel dengan enggan akhirnya masuk ke rumahku. Tentunya lewat pintu belakang. Dia datang sambil membawa kipas Hello Kitty dan mengibaskannya selama berada di ruangan, seolah di rumahku ini tidak ada kipas angin yang berputar. Seolah Bandung sepanas Saudi Arabia.

Jengong ge-er, yaaa... I ke sindang bukan berarti I mengalah or something pathetic lainnya. I cuma mawar nyampein pesan.”
“Saya tahu, Esel. Silakan duduk. Saya buatin teh, ya?”
“Oh, tinta usah!” tolak Esel. “Jus Leci aja.”

Aku kembali dari dapur sambil membawa segelas sirup leci dan menghidangkannya di dalam cangkir putih, ditemani sepiring biskuit cokelat. Melihat itu, Esel langsung berlagak anggun. Seolah dia sedang mengenakan dress merah merona dan turun dari tangga bak Cinta Laura di sinetron Cinderela.

“Di mana Dennis?” tanyaku to the point, tepat ketika Esel baru saja menyesap sirupnya.
“Ini sirup leci, bukan jus,” komentar Esel. “Dennis di sini.”
Esel menunjuk kursi kosong di sampingku. Yang bisa kulakukan hanyalah menatap kosong ke kursi itu, membayangkan Dennis ada di sana, ketakutan dan bingung harus bagaimana.

“Dennis baik-baik aja?” tanyaku.
“Yah, baik... sampe akhirnya dia pengen ngemi sama Agaswati! Eeergh... itu bikin I ilfeel. Untung detseu looking good, em? Jadi I bisa kasih pengecualian.”
“Lagi apa Dennis sekarang?”
“Lagi lihatin ke arah yey, nunduk ngerasa bersalah katanya.”

Hatiku teriris lagi. “Tolong bilang ke Dennis—“
“Bilang aja langsung!” sela Esel sambil menggigit biskuit. “Detseu bisa denger, kok. Detseu cuma nggak bisa dilihat sama yey.”

Aku manggut-manggut. “Dennis... di mana pun kamu ada sekarang, meski Nenek nggak bisa lihat kamu lagi... Nenek cuma pengen kamu berhenti menyesal. Ini bukan kesalahan kamu, Dennis. Sedikit pun kamu nggak salah apa-apa. Nenek udah ngerelain kamu sekarang.”
“Punya tisu? Cokelatnya tumpah,” gerutu Esel.

“Mungkin sebentar lagi kita ketemu, Dennis. Nenek udah capek ngadepin ini semua. Bener kata Bu Dewi, ini harus berhenti.”
“Katanya jangan metong,” potong Esel. “Emang sapose yang metong?”
“Udah ketemu Zaki?” tanyaku ke Esel.
Banci itu menggeleng, mengibaskan rambut jabriknya. “Pokoknya jangan metong katanya. Sapose yang mawar metong sih?”

Aku yang mau mati, batinku. Dennis tahu itu.

“Dennis...,” panggilku ke udara kosong di kursi di sampingku. “Ini udah waktunya selesai. Nenek yakin kamu nggak mau Agas dan lain-lain menderita. Relakan Nenek, ya? Seperti Nenek yang sekarang rela sama kepergian kamu... Temui Kila seudah ini. Saatnya kamu mengaku tentang kehadiranmu selama ini. Dia berhak tahu.”

Sepulangnya Esel dari rumahku, aku langsung membereskan rumah serapi mungkin. Aku meninggalkan sepucuk surat di atas ranjang Agas, menghadiahinya benda-benda favoritku, berharap dia mau memilikinya. Kemudian aku meninggalkan pesan untuk Dicky di workshop-nya, dan sebuah lencana pilot bekas suamiku untuk Kila yang selalu setia.

Jika aku masih bisa membuat perjanjian dengan Iblis, aku ingin sekali meminta Kila menjadi orang paling sukses di dunia. Dia berhak untuk itu. Sangat-sangat berhak.

Sekarang waktunya aku pergi.
Aku menuruni tangga menuju basement tempat aku sering berkomunikasi dengan makhluk-makhluk lain. Di sana aku memanggil mereka. Membuat mereka mengelilingiku. Membuat mereka berliur karena kelaparan.

Kemudian sambil menangis dan tersenyum, aku berkata, “Makanlah jiwaku, kalian sudah kelaparan bukan?”

Dan aku pun mati.
Benar-benar mati.

End of Farewell Spell

to be continued





5 comments:

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

ceritanya keren bgto_O

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

so sadddd, sampe bener2 pengen nangis nih.

baang said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Jujur aja.....entah karena alurnya yang kepanjangan atau karna keluarnya sedikit sedikit jadi mulai blur pikiran saya dalam meresapi cerita....buat bang mario saya mau dong ceritanya full dibukuin nanti saya beli pasti

Unknown said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

So sad...nyentuh bngetz bang hehehhe...

Unknown said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

So sad...nyentuh bngetz bang hehehhe...

Post a Comment