DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 11 Fujoshi Fantasy (3)

Fujoshi Fantasy (3) 
-chapter 11- 
 
* FUJOSHI FANTASY *
By: Nunuk


Oh, ya!
Saya lihat ada lalat terbang barusan di situ!

Esel nampak bete. Dia menjejak-jejak kakinya.
“Kenapa sih you ngelakuin indang ke I!” seru Esel.
“Ngelakuin apa?”
I bukan lagi ngomong ama Kakak,” Esel memutar bola mata. “You udah ngancurin hati I! You udah menodai I tapi you malah ngobrasin soal Agaswati?”

Esel sedang bicara dengan siapa, sih? Dia terus menerus menatap ke arah yang ditunjuknya tadi.

“Tapi itu tinta adele! Nggak adil!” Esel melipat tangan di depan dada. “You sengaja bikin deal terselubung dan ngejebak I!”

Saya memerhatikan Esel yang sekarang asyik ngomong sendiri. Apa cucu saya ini menjadi gila?

“Dan you, curang! Mentang-mentang you dewa cinta, you sengaja ngebikin I muncrita sampe pingsan.”
”Apa itu muncrita, Sayang?”
“Kakak, bentar. I yang cantik jelita lagi ngobras ama malaikat-ngaku-cupid indang! Bentar!” Esel noleh ke arah itu lagi. “Jengong komen soal Kakak. Urusan you sama I.”

Saya duduk dan memerhatikan Esel yang tetap bicara sendiri.
Oh, mungkin Esel sedang belajar akting! Mungkin ini mata pelajaran drama! Dan Esel adalah bintang utamanya. Saya harus mendukungnya penuh.

Untuk sesaat, Esel terdiam. Matanya menyipit-nyipit nafsu menatap ke arah kosong itu. Mungkin ini bagian si lawan mainnya yang berdialog. Astaga, cucu saya ini berbakat akting ya! Mungkin bisa setenar Marshanda di tahun 2000-an. Siapa tahu, kan?
Bisa jadi nanti dibuat Panji Manusia Millenium the Return.

Tintring! I tinta mawar ngemi ke si Agas.”
....
So, what? Itu derita you!”
....
“Nggak sah, ah! You juga nggak nyebutin—ya tapi kan, I kira tinta adegan hubilaikhan-nya ama Agaswati. Tawar gitu sih, I tolak dari awal...”
....
You nggak bisa maksa I.”

Esel mesem-mesem sebentar. Kemudian kepalanya nunduk. Menelan ludah. Mendadak Esel membetulkan kerah kausnya. Mukanya juga memerah.
“Setiap hari?”
....
“Nggak bisa. Harus setiap hari.”
....
“Oke, oke. Tapi you harus... aaaahhhh....”

Esel tiba-tiba melompat maju. Tangannya terulur seperti mau membuka pintu. Oh, bukan. Esel seperti sedang meremas sesuatu. Adegan apa ini, ya? Drama yang bercerita tentang apa?

“Esel?”
“Oh, Kakak!” Esel terkaget. Baru nyadar kalau saya sejak awal duduk di dekatnya. Esel nampak panik, buru-buru dia membungkuk, mengambil sesuatu, dan seolah menutup sesuatu. “Oh, iya. Kakak kan nggak bisa lihat.”
“Nggak bisa lihat apa?” tanya saya penasaran.
Tinta, ah... tinta jandos...” Esel menelan ludah dan langsung duduk di samping saya. Matanya sesekali melirik ke arah kosong tadi, kemudian tersenyum lebar ke arah saya.

“Kakak,” kata Esel lagi. “Adegan yang I mawar bicarakan...”
Saya menyipit menatap Esel. Tidak biasanya dia seperti ini. Apa akting dramanya juga melibatkan saya? Astaga. Peran saya kira-kira apa nih? Bukan ibu tiri yang jahat, kan?
“Adegan apa?” tanya antusias.
“Oooh.. Kakak sekarang pake bahasa gowl!”
“Bahasa gowl?”
“Itu, barusan bilang adegan!”
“Adegan? Adegan drama?”

Esel terdiam sebentar, memutar otak. “Adegan tuh maksudnya ‘ada’.”
“Oh.” Saya pikir adegan drama.
“Ada yang I mawar bicarakan,” ulang Esel. “Ini soal...” Esel, untuk kesejutakalinya, melirik lagi ke arah lantai kosong itu. Ada apa sih, di sana? “Soal Agas dan keluarga-keluarganya.”

“Maksud kamu apa, Sayang?”
“Tapi Kakak tinta boleh nganggap I gilingan, owkay?”
“Kamu manusia kan, Sayang. Bukan gilingan.” Dalam otak saya terbayang gilingan untuk meratakan adonan kue.
Esel memutar bola mata. “Jenjes, em?
Jenjes,” balas saya. (Sama sekali tak mengerti.)

Owkay,” Esel melirik lagi ke lantai kosong itu, lalu menoleh ke arahku. “Di sandang, ada hantu yang cuma bisa dilihat sama I, dan hantu itu adiknya My Prince, Bang Dicky. Detseu kesayangan Jeng Alia. Detseu namanya Dennis.”

-XxX-

Dukun.
Sekarang sudah jelas. Hantu yang tak nampak itu sudah membuktikan segalanya. Alia memang melakukan ‘sesuatu’ di balik ruangan tertutup itu. Saya sudah tahu semuanya.

Pada awalnya, saya tak percaya. Tapi setelah saya mengetesnya dengan menanyakan, “Apa warna celana dalam yang sedang saya pakai?” Dan dia jawab, “Pink renda-renda gambar Hello Kitty.” Langsung deh saya percaya kalau di lantai kosong itu ada hantu Dennis.

Esel bilang hantunya jelek sekali. Banyak nanahnya, banyak korengnya, kayak genderuwo, pokoknya nggak ganteng kayak malaikat dan nggak pake cawat, jadi saya jangan berpikiran kalau Esel bakal aha-aha dengan hantu Dennis itu. Tentu saja saya nggak akan berpikiran Esel aha-aha sama hantu itu. Memangnya siapa yang mau aha-aha dengan hantu yang banyak korengnya?

Pada awalnya, hantu Dennis menolak untuk bicara. Sampai akhirnya saya menyuruh Esel untuk mengancamnya, kalau tidak mau menjawab pertanyaan saya, nanti Esel nggak mau nemuin dia dengan si Agas. Butuh setengah jam untuk meyakinkannya, tapi akhirnya dia mau juga.

Beberapa informasi yang saya dapatkan: (1) Ya, ada perjanjian yang dibuat Alia dengan iblis. Suaminya yang pilot itu adalah tumbalnya. Itulah alasan kematiannya. (2) Kuntilanak yang selalu bergentayangan itu adalah dirinya. Dan (3) maskara Alia waktu itu mereknya Lancome.

Siang ini, saya sudah siap di depan rumahnya Alia. Saya akan berkonfrontasi. Menguak segalanya dengan bukti-bukti baru saya. Mungkin saya bakal bilang, “Saya menyekap kuntilanakmu! Sekarang kuntilanakmu ada di tangan saya!” Lalu mengibaskan rambut seperti di film-film.

Kalau dia tetap tidak mau ngaku, misalnya berkelit, “Kuntilanak apa?”
“Jangan pura-pura, deh,” jawab saya nantinya. “Saya juga nggak buta. Udah berapa kali kita berdua posting video di youtube, semuanya ada kuntilanaknya. Selama ini saya diam, saya mengamati perlahan-lahan, saya sedang mengumpulkan bukti. Begitu semua bukti sudah terkumpul—“

“Nunuk?” Alia memotong lamunan saya.
Saya tersentak kaget. Oh, ternyata dia sudah muncul di depan rumah. Dengan segera, saya masuk ke rumah Alia dan menghampirinya. “Saya udah tahu semuanya,” kata saya percaya diri.
“Tahu semuanya?” Alia menyipitkan mata.
“Ya, semuanya!”
“Kayak misalnya berapa luas permukaan Planet Mars?”

Oh.
“Bukan yang itu. Maksudnya, tentang kehidupan kelammu, Alia.”
Alia menarik napas panjang, tapi tidak berkomentar. Dia kelihatan... berantakan. Entah apa yang terjadi. Rambutnya tidak disisir dan dasternya kusut. Dia seperti baru kehilangan sesuatu.
Kehilangan seseorang.

“Alia, kamu kenapa?” tanya saya cemas.
“Saya nggak kenapa-napa.” Alia mengangkat lagi dagunya. “Jadi, mau apa kamu ke sini?”
“Saya mau... mau...”

Melihat Alia yang kondisinya parah begini, mendadak saya ragu buat mengkonfrontasinya. Dia kelihatan mengkhawatirkan sekali. Parah. Dia seperti depresi. Dia seperti mau bunuh diri.
Tapi kemudian, saya teringat lagi dengan tekad saya selama ini. Dengan hati-hati, saya pun mengutarakannya.

“Saya mau bilang, kalau saya tahu tentang Dennis.”
Alia nampak terkejut.
Yes!
Berarti hantu itu bener.
“Dennis apa?” tanya Alia balik.
“Dennis. Adiknya Dicky. Yang hilang waktu itu. Saya tahu di mana dia sekarang.”

Alis Alia mengerut, nampak tak sabar ingin bertanya Dennis ada di mana, tapi entah bagaimana, Alia berhasil menahan diri.
“Saya sudah bicara dengan Dennis,” lanjut saya. Bahkan, dengan bangganya saya melanjutkan. “Dan dia korengan. Saya kirain dia bakal ganteng atau gimana, gitu.”
“Bicara apa maksud kamu?”
“Bicara banyak.”

Dengan lagak seperti orang penting, saya masuk ke rumah Alia. Hmmm... sudah lama saya tidak berkunjung ke sini. Keler berisi kue kacang itu masih saja tersimpan di buffet. Dan lampu-lampu warna warni itu...

“Dennis cerita tentang suami kamu, Alia.”
“Cerita apa?” Alia nampak cemas.
“Tentang kematiannya.” Saya berbalik dengan dramatis, berharap Alia terlihat kesal.

Tapi ternyata Alia sedang melihat ke arah lain. Sial. Dia tidak melihat saya berbalik barusan.

“Saya tahu alasannya suami kamu meninggal,” lanjut saya dengan percaya diri. “Semua... karena... perjanjian dengan iblis!”
Dengan sengaja saya menekankan kata Iblis, berusaha mirip Mak Lampir di sinetron. Tapi Alia sama sekali tidak peduli dengan penekanan kata itu.

Alia masih belum merespon.

Saya menghampiri tirai putih terdekat dan mengacungkannya ke arah Alia. “Dan tirai ini, tercetak tulisan terawang buat menolak bala,” tambah saya. Kemudian, saya meneliti tirai itu di bawah sinar matahari, dan... benar! Ada simbol-simbol mirip di film Da Vinci Code tergambar di tirai itu. Ada lingkaran, segitiga, tulisan-tulisan aneh. “Ya ampun, beneran ada lho Alia! Lihat, nih! Tulisan terawang!” seru saya antusias ke Alia.

Alia hanya terduduk di atas sofa, menatapku nelangsa. Dia nampak pasrah sekali. “Bilang aja, Nunuk, sebenarnya mau kamu apa, hmh? Apa sih yang selama ini jadi obsesi kamu dari saya?”
Saya bergegas duduk di depan Alia. Dengan dramatis. “Saya mau kamu mengakui segalanya.”
“Mengaku apa lagi? Saya bukan dukun.”
“Tapi perjanjian iblis itu?”

“Ya, saya melakukan perjanjian dengan iblis. Tapi bukan berarti saya dukun.” Alia mendengus. “Setiap manusia bisa membuat perjanjian dengan iblis. Yang perlu dilakukan hanyalah menyiapkan beberapa benda keramat, atau kalau mau praktis, ya pergi ke dukun beneran. Jadi bukan berarti dia dukun.”
Oh... saya pikir semua yang bikin perjanjian dengan iblis adalah dukun.

“Suami kamu mati karena tumbal!”
“Suami saya mati karena memang sudah waktunya.” Alia memutar bola mata.
“Tapi Dennis bilang kalau suami kamu mati karena tumbal.”
“Dennis udah nggak ada, Nunuk. Tolong. Kalo kamu nggak punya waktu berharga lain untuk dihabiskan, jangan repot-repot menghabiskan waktu berharga saya.”

Saya menelan ludah. Agak-agak kesal.
“Tapi tetep aja, kamu ngelakuin perjanjian dengan Iblis. Itu namanya maksiat!”
Alia mengernyit. “Musyrik,” ralatnya.
“Nah, itu. Musyrik!” Saya mendengus berkuasa. “Kamu adalah ancaman warga sekitar, Alia. Kamu bisa memberi efek negatif! Gimana kalau komplek ini kena kutukan? Gimana kalau mantera-mantera kamu ada efek nuklir, semua orang kena. Gimana kalau kita semua di sini jadi tumbal!”

“Efek nuklir? Kamu ngelantur, Nunuk—“
“Saya nggak ngelantur!” sela saya. “Saya udah lihat semuanya! Saya udah temenan sama kamu lamaaaa banget. Saya tahu pasti ada yang nggak beres di kamu!”
“Persahabatan kita selama ini ternyata hanya untuk itu?” Alia menggelengkan kepala.

“Pokoknya, saya bakal laporin kegiatan-kegiatan mistis kamu ini ke semua orang. Ke semua The Jandaz, ke semua orang sekomplek, ke satpam-satpam, ke tukang nasi goreng. Semuanya.”
“Silahkan,” tantang Alia. “Kalau kamu memang punya buktinya.”
“Saya punya, kok! Dennis buktinya.”
Alia terdiam sesaat. Kemudian bicara lagi. “Mana coba Dennisnya?” Sambil mengangkat salah satu alisnya.

Oh, iya. Betul juga. Yang bisa melihat Dennis hanya Esel, katanya.
Esel emang cucu terhebat, sih. Dia bisa melihat apa yang orang sedunia nggak bisa lihat. Mungkin Esel berbakat paranormal. Mungkin saya tak perlu pasang tirai bertuliskan mantera terawang. Mungkin hanya dengan Esel ada di rumah saya, maka rumah saya jauh dari bala.

Saya menelan ludah lagi, berpikir jawaban yang lebih bombastis. Tapi tak berhasil menemukannya. “Intinya, saya bakal bilang ke The Jandaz. Saya yakin mereka percaya.”
“Seperti yang saya bilang, silahkan. Kalau kamu memang punya buktinya.”

Hati saya bergetar karena kesal. Saya benci kalau Alia sudah sok menantang seperti itu. Mentang-mentang satu-satunya bukti yang saya punya tidak bisa dilihat orang-orang...

“Sudah terlalu banyak kematian terjadi di rumah ini, Alia,” kata saya lagi, berusaha bertahan dalam argumen. “Yang pasti saya akan menguak misteri kematian Dennis, malang sekali dia. Bahkan kematian yang lebih tragis lagi... kematian Darmo! Saya bisa menguak penyebabnya apa. Kamu nggak akan bisa berkutik nanti.”
“Kematian Darmo? Darmo meninggal karena kecelakaan.”
“Oh, ya? Saya yakin nggak begitu. Kalo iya karena kecelakaan, kenapa Zakila sampai dipenjara? Saya yakin banget, Darmo dibunuh. Dan ada seseorang di luar Zakila yang ngebunuh dia. Tapi parahnya, orang itu malah nyodorin Zaki sebagai tersangka. Saya sudah tahu itu. Saya sudah melakukan riset.”

Alia berdecak sambil memutar bolamatanya lagi. Saya menatap Alia dengan satu alis saya terangkat. Yang saya maksud dengan “seseorang” itu adalah kamu, Alia. Saya yakin kamu pembunuhnya.

“Kenapa kamu ngebela Darmo? Kamu bahkan belum pernah ketemu sama dia.”
“Pernah. Dia teman baik saya!”
“Masa?” Alia menyipit tak percaya. “Dialah orang yang membunuh Dennis. Dialah orang yang memperkosa anak-anaknya dan menjadikan masa depan mereka suram. Satu anaknya mati, satu anaknya trauma. Belum lagi Zakila juga jadi korbannya. Saya heran pedofil macam Darmo bisa kamu bilang teman baik.”

*end of FUJOSHI FANTASY*

sampai jumpa lagi di part berikutnya:


FLY HIGH

tebak lagi, ini siapa bakal nyeritainnya??

to be continued



 

Post a Comment