DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 11 Fujoshi Fantasy (2)

Fujoshi Fantasy (2) 
-chapter 11- 
 
* FUJOSHI FANTASY *
By: Nunuk


Saya menghela napas panik. Sudah bertahun-tahun saya melupakan dunia itu, dan sekarang cucu saya sendiri mengungkitnya kembali? Maksud saya, ini bukan dunia yang sederhana lagi bagi saya. Ini dunia yang rumit. Sekalinya ada yang membicarakan dengan intim isu tersebut, otak saya langsung teringat ke kejadian belasan tahun yang lalu.

Saat teman saya, Darmo, mati. Meninggalkan berjuta misteri akan kehidupan sahabat saya sendiri, Alia.

Saya pindah ke sini karena ingin lebih dekat dengan Darmo, ingin dia mengajak saya menyelami dunianya yang menggairahkan. Sayang dia justru meninggal dunia. Kematiannya aneh. Maksud saya, seolah ada yang disembunyikan dari majikannya, Alia. Anak kecil tak berdosa mendadak menjadi tersangka.

Kila. Si bocah bercelana pendek itu mengaku membunuh Darmo.
Untuk apa?
Pasti ada sesuatu yang disembunyikan.

Sejak saya mengenal Alia, saya merasa banyak sekali misteri yang tersimpan di rumahnya itu. Seperti misalnya suami Alia. Atau ruangan-ruangan tertutup itu. Saya menjadi sahabat dekat dengan Alia karena kebetulan kami membagi kegemaran yang sama. Ribuan kali saya menginap di rumah Alia, ada dua ruangan yang tidak pernah saya masuki karena Alia melarang keras. Sebagai sahabat, saya tidak peduli. Tapi lama-lama, saya jadi penasaran juga. Jangan-jangan ruangan itu bisa menguak misteri kematian Darmo.

Misteri lain yang tidak pernah saya mengerti adalah rumput Alia yang selalu hijau. Pohon belimbingnya berbuah tepat waktu dan tanaman-tanaman di halaman depannya terkenal sekota Bandung. Beberapa kali halaman depan itu masuk radio dan teve, membuat saya iri setengah mati.

Belum lagi tirai-tirai putih di sekeliling rumahnya, memangnya ini zamannya Susana? Memangnya dia mau pindahan? Atau dia pada dasarnya tidak punya selera mendekor yang bagus?

Kehadiran Dicky, si entah siapanya Alia itu, juga misteri buat saya. Disebut pembantu, bukan. Karena Dicky ini punya bengkel kayu di belakang rumah Alia, tempat dia memahat pigura-pigura cantik. (Saya punya tujuh pigura hasil karya Dicky, karena memang piguranya cantik! Enam pigura hadiah cuma-cuma dari Alia, satu lagi saya sengaja beli dengan harga yang mahal. Di Singapore. Bayangkan itu! Pigura yang dibuat di belakang rumah Alia bisa dijual di Singapore!)

Nah, tapi Dicky ini selalu memasakkan makanan lezat untuk Alia dan semua The Jandaz. Sering juga saya lihat Dicky membereskan rumah atau mengganti lampu ruang tengah, tapi dia bukan pembantu rumah itu. Dicky punya rumah sendiri. Dicky punya kehidupan sendiri di rumah kontrakan mungil dari gaji menjual pigura ke mancanegaranya.

Keanehan lain dari Dicky adalah dia ganteng. Ya ampun, kadang saya nggak kuat menatap wajahnya karena dia begitu mempesona. Saya heran seorang Alia bisa menjadikan seorang ganteng menjadi budaknya di rumah. Saya juga mau kalau begitu.

Tapi tunggu, itu belum selesai. Kila, bocah yang menjadi tersangka pembunuhan Darmo, (yang akhirnya dibebaskan beberapa bulan kemudian karena tidak ada bukti yang kuat), juga menjelma menjadi lelaki yang seksi. Sangat-sangat seksi sampai saya pernah memintanya menginap di rumah saya supaya saya bisa memandanginya semalaman. Sayang, ketahuan Alia, dan Alia agak marah.

Yang pasti sih, sempat waktu itu Alia meminta Dicky dan Kila membersihkan halaman belakang. Mereka nampak menggemaskan sekali. Dua-duanya bertelanjang dada, Kila mengenakan celana pendek tipis sementara Dicky celana jeans butut. Setiap mereka berdekatan dan mengobrol, tiba-tiba Nona Riang saya basah.

Saya heran kenapa Alia bisa-bisanya tidak bergairah menatap fenomena itu. Kalau saya jadi Alia, saya akan suruh dua lelaki itu menginap setiap malam dan “bersenang-senang” setiap malam.

Tapi, masih ada misteri yang the best dari segala the best.
Di rumah Alia ada kuntilanak penjaganya. Saya udah beberapa kali melihat kuntilanak itu!
Sejak saat itu, saya percaya, Alia adalah seorang dukun.
Sebutkan saja semua keanehannya: rumput hijau, uang yang ada terus, lelaki-lelaki ganteng di rumahnya, kuntilanak... Dia pasti dukun.

“Kakak? Why Kakak melamun?” Esel menggoyangkan bahu saya.
Oh, saya baru nyadar kami berdua sedang menonton teve berdua di rumah saya, acara khusus SM*SH. Gara-gara Esel menyebut-nyebut soal gay, sih, jadi saya teringat semua rasa penasaran saya yang dulu.
“Jadi, Sayang, maksud kamu dibasmi tuh gimana?”
“Ya we mesti cari cara supaya si Agaswati itu tinta banyak tingkerbell—tingkah.”

“Tapi masa sih Agas gay? Agas nampak... anak baik-baik.”
Meski kemudian, dalam otak saya, terbayang Agas sedang bersenang-senang dengan Dicky, atau Zaki (si Kila itu lho), atau Rafael SM*SH. Pasti kelihatannya seksi sekali.
“Semua playboy juga nampak anak baik-baik. Padahal di dalemnya, kan? Yuuuk...”

Esel kembali bercerita soal betapa menyebalkannya Agas dan parah sekali ke-gay-annya. Awalnya saya risih karena Esel membahas terus, tapi kemudian... saya mendapat beberapa ide.
Pertama, mungkin ini agak gila, tapi siapa tahu saya bisa menguak jaringan lelaki penyuka lelaki melalui Agas, betul? Yang perlu saya lakukan adalah membuatnya mengaku dan memintanya membawa saya ke komunitasnya. Mungkin saya bisa menonton mereka bersenang-senang dengan gratis! Siapa tahu, kan?
Lagipula, Agas nggak jelek-jelek amat. Kalau dia pakyu-pakyuan dengan... lelaki gigolo, misalnya, pasti tetap nampak menggairahkan.

Kedua, dengan mendekati Agas, mungkin saya bisa menguak misteris sahabat saya, Alia. Tiada yang lebih baik dalam mengetahui rahasia kotor seseorang selain melalui cucu tersayangnya. Saya akan membuktikan kalau Alia dukun. Kalau dia adalah ancaman warga sekitar.

“Ya, Kakak punya ide,” kata saya percaya diri. “Pertama, kita beritahu Alia kalau Agas itu gay, seudah itu mereka bakal berantem karena Alia nggak bisa terima, lalu kita nerima Agas yang gay di sini dengan tulus hati—“
Wait-wait-wait!” potong Esel. “Bagian ngebikin Agas dijauhin neneknya sih is owkay. Tapi bagian us nerima detseu di sindang? No way.”

Oh, mestinya saya tidak perlu menyebut sedetail itu. “Ya, intinya kita buat hubungan cucu dan nenek itu renggang terlebih dahulu.”
“Nah, bagaskara kayak begindang, em! Cucok! Lalu?”
“Seudah itu, kita curi diary-nya Alia, dan kita—“
Wait-wait-wait again!” potong Esel lagi. “Hellooo... buat apa kita curi diary-nya Jeng Alia?”

Oh, iya, Esel kan belum tahu kecurigaan saya.
Mestinya saya tak perlu mengutarakan sampai sejauh itu. Tapi yang penting, saya punya niat-niat terselubung di balik niat terselubung saya bersama Esel.

Yang pasti, saya ingin mencuri diary-nya Alia. Saya ingin menguak semua misteri rumahnya itu. Saya kan sudah beberapa kali menginap di sana. Saya tahu ada diary mencurigakan yang selalu disimpan Alia di lemari bajunya. Kapan itu saya melihat Alia menulis di situ, tetapi sewaktu saya hampiri, dia langsung nutup diary itu. Jelas... dia menyembunyikan sesuatu.

-XxX-

“Kuntilanak?” pekik saya terperangah. “Ngapain ada kuntilanak siang bolong begini?!”

Saya dan Esel sedang berlari-lari menuju rumah kami. Napas terengah-engah dan saya kerepotan membawa setumpuk brosur tentang seminar anti gay.

“Bukan kuntilanak aja, Kakak... Ada genderewes juga!”
Genderewes?”
“Genderewo!” Esel mendahului saya masuk ke rumah.

Saya membuntutinya dengan panik. Kami langsung mengunci pintu dan menutup tirai. Saya bahkan mencabut semua stop kontak dan mengecek kompor, kalau-kalau bakal terjadi sesuatu.... Kemudian kami berdua menghempaskan tubuh di atas sofa, Esel mulai menceritakan pengalamannya pada saya.

Intinya begini, saya dan Esel sedang berusaha menjalankan rencana kami. Saya akan mengalihkan perhatian Agas, sementara Esel yang langsing nan beautiful akan mencoba mencuri diary Alia. Sampai bagian mencuri diary itu, semuanya berhasil. Sampai akhirnya Esel terbirit-birit kabur lewat ruang tamu dan semuanya gagal.

Khususnya rencana saya untuk Agas.

Begini, semenjak tidak ada Darmo, saya juga kehilangan kesempatan untuk menikmati fantasi rahasia saya itu. Saya tidak tahu di mana para gay ini berkumpul. (Apalagi gay yang mau ditonton oleh saya saat mereka berhubungan seks.) Saya tidak pintar menggunakan Google. Saya cuma pintar pake teknologi yang anak remaja sekarang juga pake, misalnya facebook, twitter, dan youtube. Kalau lebih dari itu, saya nyerah. Saya juga nggak tahu manjam itu apa. Kata Esel sih, manjam itu forum internasional untuk mendukung pemberantasan HIV AIDS. Sehingga, saya nggak bisa memanfaatkan teknologi untuk kemudian menguak dunia gay yang katanya sudah terbuka bebas.

Nah, saya juga pernah mengumpulkan brosur-brosur tentang seminar anti-gay, gabung dengan seminar itu berharap bisa berkenalan dengan salah satu dari mereka. Sejauh ini rencana saya selalu gagal. Sebagian besar dari mereka tidak mau lagi melakukan hubungan homoseksual. Aneh, ya? Padahal hubungan homoseksual itu indah.

Rencana saya, saya ingin Agas datang ke seminar-seminar itu dan mencari pasangan yang ganteng. Lalu mereka akan berhubungan di atas ranjang, dan saya bisa menonton.

Tapi itu dia, Agas bahkan tidak sudi membaca seminar-seminar itu.

“Kakak, why you sedih? I berhasil dapet die-euri-nya, khan?” Esel mencolek bahu saya. “Tinta susmitha, kok. Gampang! Kamar ama lemarinya nggak dikuncoro. Tapi I nggak nemu kuncoro buat die-euri-nya. Gimandos, dong?”

Saya nyaris lupa sama sekali dengan diary itu. Bahkan, ketika Esel mengungkitnya, saya hanya memikirkan bagaimana merangkul Agas dalam bujukan saya.

Saya dan Alia sedang bertengkar sekarang, kondisinya memang sulit. Saya kira, Alia bakal percaya sama saya lalu memarahi Agas. Lalu Agas akan merasa terlecehkan, lalu Agas mendatangi saya untuk minta bantuan. Di situlah peran saya muncul. Saya akan menjadi malaikat Agas dengan menerima Agas apa adanya. Keren, kan ide saya?

Tapi ternyata kejadiannya nggak seperti itu. Alia malah memarahi saya saat bilang kalau Agas itu gay, dan kami bertengkar, dan hubungan Alia dan Agas kelihatan makin harmonis saja.

Huh, menyebalkan.

-XxX-

“Oke, saya udah tahu Agas itu gay. Sebelum kamu bilang soal itu, saya udah tahu kondisi Agas. Saya udah tahu apa yang selama ini dia lakukan sama si Zaki, tapi saya diam aja, karena saya nggak mau ngebikin Agas depresi. Saya ikhlas sama kondisi Agas. Sekarang giliran kamu, Nunuk... maukah kamu nerima kalo si Esel ini juga gay?”

Ya Tuhan, saya paling malas membahas tentang Esel.
Saya juga tahu kok dari dulu Esel nggak suka perempuan. Kenapa? Karena Esel pada dasarnya perempuan. Dia perempuan yang terjebak di badan lelaki—saya sudah baca diary-nya waktu kecil. Kadang saya ikut tersinggung ketika orang bilang Esel banci atau gay. Tolong dong, buka mata kalian. Esel itu bukan banci maupun gay. Dia wanita tulen... yang kebetulan terjebak di tubuh lelaki! Esel pernah curhat habis-habisan tentang ini di buku diary-nya, dan sebagai nenek yang baik, saya memakluminya. Bahkan saya nggak membahasnya supaya dia nggak tertekan.

Tapi kata-kata Alia itu membuat hati saya bimbang. Bagaimana kalau Alia benar? Bagaimana kalau Esel sebenarnya gay?

Sejauh ini, saya sudah mengetahui banyak informasi tentang Agas dari Esel. Semuanya dengan bukti-bukti akurat. Misalnya foto-foto mesra Agas dengan cowok cute dari sekolahnya itu, atau kemesraan Agas dan Zaki di atas genteng (tukang nasi goreng saksinya), atau tingkah Agas yang mencurigakan itu. Dia orangnya gampang marah, ya? Nggak ramah, pula.

Dan neneknya menyebalkan.
Jenis nenek yang tak mau mendengarkan sahabat sejatinya!

Hubungan saya makin memburuk dengan Alia. Kami berantem di setiap kesempatan. Saya masih sebal dengan ketidakjujurannya. Saya tahu, kok, dia dukun. Tapi dia sombong sekali. Banyak orang-orang sekitar yang bilang kalau Alia kadang melakukan praktek dukun. Misalnya bau menyan dari rumahnya. Atau hobinya membeli kelopak bunga di daerah Tamansari.

Padahal, yang saya inginkan hanyalah satu: dia mengaku. Saya ingin dia membeberkan semua misteri yang tersimpan di rumahnya itu. Khususnya tentang Darmo. Minimal saya tahu, kenapa Darmo bisa mati? Gara-gara apa? Kenapa kasusnya menghilang begitu saja?

Saya dan Esel pulang ke rumah dalam suasana hati yang nggak jelas. Kami bahkan nggak bicara satu sama lain. Saya lebih sering menyendiri sekarang, memikirkan cara lain untuk membuat Alia mengaku. Apakah saya harus kembali menjadi temannya lagi? Mencari informasi lewat jalan yang halus? Yah, bertahun-tahun saya lakukan, saya tidak menghasilkan apa-apa. Berkali-kali saya menginap, saya nggak pernah berhasil menemukan kunci ke ruangan rahasia itu. Cara ekstrim dengan bertengkar pun masih belum memberikan bukti apa-apa. Saya kira saya bisa dapat aliansi untuk mendukung program saya ini, nyatanya Alia pun punya aliansi sendiri.

Urusan Alia ini benar-benar menyita perhatian saya.

Siang itu, Jeng Denok datang ke rumah saya. Dia mau mengembalikan bando yang dia pakai waktu acara girlband fight kemarin.
“Jangan sedih begitu dong Jeng Nunuk, nggak apa-apa kita kalah juga. Yang penting kita tetap memukau,” katanya.
“Saya nggak sedih,” balas saya sambil mengangkat dagu. “Saya lagi pengen sendiri.”
“Tenang aja, Jeng... saya ada di pihak jeng, kok! Kalau ada apa-apa, Jeng bisa hubungi saya.”

Saya menyipitkan mata tanda penasaran. “Maksudnya apa nih ada di pihak saya? Bukannya Jeng Denok ikut di acara makan-makannya Sweet Strawberry waktu itu?”
“Oooh, itu kan maksudnya buat ngemata-matain,” kelit Jeng Denok. “Saya tahu kok perasaan Jeng Nunuk. Saya kan tinggal di sini lebih lama dibandingkan si Alia itu.”
“Tahu apa?”
“Ya, saya tahu maksud Jeng Nunuk waktu itu soal Alia jadi dukun.”

Saya memang pernah share opini saya tentang kemungkinan Alia itu dukun. Tapi saya nggak tahu kalau salah satu dari mereka ada yang percaya dengan kata-kata saya.

“Saya juga udah curiga dari dulu,” lanjut Jeng Denok. “Tapi saya sih positive thinking aja. Barangkali itu cuma fitnah. Sampe akhirnya, Jeng Nunuk ngebahas itu lagi di depan saya.”
“Apa yang bikin Jeng Denok ngira si Alia itu dukun?” Saya mengubah posisi duduk saya karena tertarik. Rasanya mendebarkan mengetahui saya punya aliansi beneran.

Maksud saya, aliansi yang benar-benar aliansi. Yang percaya bahwa Alia itu dukun.

“Jeng Nunuk udah tahu kan soal kelopak bunga mawar itu?”
Saya mengangguk mantap. Saya sudah tahu ini sejak dulu. Bahkan saya pernah mengantar Alia membelinya kapan itu.
“Jeng Nunuk juga udah tahu kan soal kuntilanak itu?”

Astaga, itu sih isu basi. Saya sudah tahu sejak tahun 2000-an. Kuntilanak itu kan muncul sekitar tahun itu. Waktu itu sampai terkenal di Nightmareside Ardan Fm. Sampai dibahas berkali-kali di radio itu.

“Terus, terus?”
“Terus soal kematian kematian tukang kebunnya itu...”

Ya ampun, Jeng Denok ini hanya menyebutkan semua yang memang jadi misteri saya. Tidak adakah bukti kuat lain yang mendukung Alia sebagai dukun.

“Oh, ada!” seru Jeng Denok, seolah membaca pikiran saya. “Di depan rumahnya kan banyak benda-benda gaib yang disembunyiin buat nolak bala. Makanya Alia selalu sejahtera di rumahnya itu. Kain-kain putih itu juga salah satu elemennya.”
“Masa sih?” Mata saya hampir keluar dari tempatnya mendengar pernyataan itu. Sejauh ini saya pikir memang selera dekorasi Alia yang buruk saja yang menyebabkannya memasang tirai-tirai putih. “Gimana caranya tirai itu bisa nolak bala.”
“Aduuuh, Jeng Nunuk ini gimana sih. Perhatiin baik-baik dooong. Kalo tirainya diarahin ke matahari, kan ada tulisan-tulisan terawang yang artinya mantera.”

Saya menelan ludah karena tegang. Kira-kira tirai saya juga bisa diisi mantera nggak, ya?
“Terus, ngaruhnya entar gimana?” tanya saya.
Jeng Denok mengangkat bahu. “Tapi kalo kata Kiyai sebelah yang ‘jago’ itu, sih—“
“Jago apa?” potong saya.
“Jago itu...”
“Apa?”

Saya benar-benar tak mengerti maksud Jeng Denok ini apa.

Jeng Denok berdecak lalu memutar bola matanya. “Bisa ngelihat setan. Bisa ngelihat dunia lain!”
“Wooowww... terus, terus, apa katanya?”
“Katanya sih, tirai-tirai kayak gitu fungsinya buat perangkap setan. Sekalinya setan terperangkap, dia nggak bakal bisa keluar. Sekalinya keluar, dia nggak bakal bisa masuk.”
“Kalau manusia?”

Jeng Denok menatapku dengan mata menyipit, bingung mau berkomentar apa. Lho? Wajar kan saya nanya begitu?

-XxX-

Beberapa hari kemudian, saya semakin yakin kalau Alia itu Dukun. Saya juga yakin ada konspirasi busuk tentang kematian orang-orang di rumahnya Alia. Setelah saya ke sana kemari bertanya ke setiap tetangga, pura-pura minta kecap padahal ada maksud terselubung (dan gara-gara itu sekarang di rumah saya banyak kecap karena mereka beneran ngasih kecap ke saya), saya mendapat beberapa kesimpulan.

Khususnya soal hilangnya bocah bernama Dennis di hari ketika Darmo meninggal. Saya tahu soal ini, tapi saya pikir itu bukan masalah utama karena tak satupun dari Alia atau tetangga-tetangga membicarakannya lagi. Bahkan satpam depan bilang, “Kayaknya si Dennis udah tinggal ama ibunya di Cisarua.”

Saya sudah membuat daftar. Mulai dari kematian Darmo, kematian suaminya Alia, hilangnya bocah itu, penampakan-penampakan Alia masih muda yang sering muncul di halaman depan setiap tahun, kuntilanak itu, merek maskara yang dipakai Alia waktu The Jandaz ngadain trip matic ke Pekalongan tahun kemarin (Alia sampai sekarang nggak mau ngasih tau merek maskara itu), dan lain-lain.

Yang saya perlukan adalah menambah bukti kuat. Lalu saya akan membawanya ke Alia. Bukan, ke polisi. Atau ke Rhoma Irama. Lalu saya akan... akan...

“Kakak!” Esel memotong lamunan saya. Dia muncul dari lantai atas, nampak bete. “Kakak, you bisa lihat malaikat ini, kan?”
“Malaikat apa?”
Esel menunjuk-nunjuk ke sebuah tempat di sampingnya. “Ini! Yang pake cawat ini!”
“Yang mana?”
Yang saya lihat adalah ruang kosong, tidak ada apa-apa.
to be continued









0 comments:

Post a Comment