Fujoshi Fantasy (1)
-chapter 11-
* FUJOSHI FANTASY *
By: Nunuk
“Kamu yakin ini aman?”
“Seratus persen, Nuk. Saya dan seus-seus yang lain udah nyobain. Rahasia terjamin. Orang-orang nggak bakal tahu.”
“Gimana kalo anak saya kebetulan lewat di sini—“
“Nggak mungkin, lah. Ini kan hotel pinggir kota. Ngapain anak kamu ada di sini? Mereka pasti lagi kerja.”
Saya
menelan ludah. Gugup dengan apa yang akan saya lakukan sebentar lagi.
Seus Puput nampak percaya diri dengan rencananya. Dia bahkan mengenakan
anting paling besar yang dia punya, yakin seyakin-yakinnya kalau ini
jalan terbaik.
“Kamu berhak buat senang-senang, lho!”
“Tapi, saya kan udah tua,” bisik saya, teringat lagi dengan kondisi tubuh yang rapuh ini.
“Ya
ampun, Nunuk... Yang namanya senang-senang tuh nggak ada umurnya.
Apalagi kamu baru ditinggalin suami kamu. Kamu mesti memanjakan dirimu
juga.”
Saya masih mencari-cari alasan untuk menolak perbuatan ini. “Bagaimana kalau ketahuan Pak Ustadz?”
Puput berdecak. “Memangnya di sini ada Pak Ustadz?”
“Ini kan perbuatan nggak bener—“
“Ini tahun 1997, Nunuk. Zaman sekarang, yang kayak begini pun udah halal.”
“Masa, sih?”
Puput
lalu menarik saya ke atas lagi. Ke sebuah ruang khusus yang penuh asap
rokok. Tegel warna kuning telur dipasang di seluruh lantai, membuat
sepatu kami berkelotak berisik. Saya merasa panik sewaktu Puput membuka
pintu dan mengobrol dengan seorang lelaki. Di ruangan itu hanya ada tiga
orang. Satu resepsionis perempuan berambut mirip Lulu Tobing (tapi
versi lebih jeleknya), lalu ada satu lelaki berkemeja longgar dan
bercincin ali banyaaak sekali di jarinya, dan ada satu pria botak
berkumis di kursi tunggu.
Saya menatap heran lelaki botak itu.
Dia bagian apanya di “perusahaan” ini? Teknisi elektronik? Seperti
almarhum suami saya? Yang punya ali banyak itu sudah pasti germonya,
kan?
“Nah, saya udah bilang sama Mas Aliep, germo di sini. Kamu
tinggal tunggu aja,” bisik Puput sambil menarik saya ke kursi tunggu.
“Kamu dapet kamar nomor empat. Kamarnya lagi diberesin.”
“Kalo kamu gimana?”
“Saya di kamar nomor tujuh. Udah, kamu nggak usah khawatir. Laki-lakinya mirip banget sama Ari Wibowo.”
“Masa sih?” Saya terkesiap kaget.
Ari
Wibowo memang favorit saya. Saya ngefans banget sama Cool Colors. Dan
ME juga. “Kalau punya kamu mirip siapa?” tanya saya penasaran.
“Oooh... so pasti, mirip Cok Simbara! Yang dari Noktah Merah Perkawinan itu, lho!”
-XxX-
Kamarnya
kecil. Hanya ada ranjang untuk dua orang, satu meja kecil, satu cermin
besar, dan kamar mandi yang agak kotor. Sewaktu saya masuk ke dalam,
jantung saya berdegup kencang. Wangi lapuk tercium di sana sini.
Langit-langit yang menguning juga membuat saya ngeri.
Saya
berjalan ke arah jendela bertirai emas. Dari situ, saya bisa melihat
pemandangan lapangan sepakbola yang dipenuhi anak-anak kecil bermain
bola. Apa yang saya lakukan di sini? Maksiat? Puput bilang, sudah
waktunya saya memanjakan diri sendiri. Benar, sih. Apalagi sewaktu
kemarin saya melihat Primus Yustisio (artis sinetron pendatang baru
itu), Nona Riang saya langsung basah.
Ya, Puput menyebut bagian
kewanitaan sebagai Nona Riang. Setiap kami para Janda berkumpul, dia
selalu bertanya, “Gimana Nona Riangnya? Sering dapet tamu, kan?”
Biasanya saya jawab. “Oh, selalu. Dan sekarang saya pake softex yang ada sayapnya, kayak remaja-remaja.”
“Bukan tamu yang itu,” Puput memutar bola mata. “Tamu yang macho, yang datang buat masuk-keluar-masuk-keluar bikin Nona Riang semakin riang?”
Puput
selalu tahu janda-janda mana yang masih aktif bereproduksi. Seolah dia
punya keahlian mendeteksi wanita dengan menstruasi telat sewaktu remaja.
Seperti saya, yang baru mendapat haid pertama saat SMA. Membuat di umur
setua ini, saya masih datang bulan. Yang berarti: saya masih bergairah
sewaktu Ari Wibowo muncul di teve.
Mungkin gara-gara saya bilang
ke Puput soal kerinduan akan kehangatan lelaki. Maksudnya, suami saya
sudah meninggal setahun lalu. Tapi sudah bertahun-tahun sebelum itu kami
tidak melakukan hubungan suami istri. Tiba-tiba saja saya mendapatkan
puber ketiga saya. Padahal saya yakin, sebentar lagi masa-masa ini akan
berhenti. Tapi kenapa justru menguat lagi di umur segini?
Pintu
terbuka. Jantung saya langsung berdegup kencang. Seorang lelaki masuk ke
dalam. Dia hanya mengenakan handuk putih yang melilit pinggangnya.
Dengan malu-malu saya menunduk... tapi berusaha melirik ke arahnya.
Penasaran... Benar nggak sih mirip sama Ari Wibowo?
Ah, nggak.
Nggak
mirip sama sekali. Tapi lumayan, ganteng. Rambutnya dibelah dua dan
selintas dia mirip Andy Lau karena agak-agak sipit gitu. Badannya agak
kurus. Otot-ototnya nggak sebesar artis ibukota. Tapi tetap saja, kalau
ada lelaki muda yang telanjang, berada satu ruangan dengan saya, saya
langsung deg-degan. Sebadan-badan saya menggigil karena gairah.
“Hey, cantik...” goda lelaki itu.
Ya Tuhan, dia manggil saya cantik!
Nggak sia-sia saya bayar lima puluh ribu buat bersenang-senang dengan gigolo ini.
“Ha-hallo... ganteng.”
“Udah
lama nunggu?” Dia duduk di samping saya. Aroma sabun langsung menusuk
hidung. Dia baru mandi. Saya sekuat tenaga nggak mau melihat ke arah
kulit tubuhnya yang indah itu. Tapi nggak bisa. Tetap saja saya melirik
genit ke arah perut dan dadanya.
Ya Tuhan... Ya Tuhan...
Nona Riang langsung basah. Sekarang saya harus ngapain?
“Jangan tegang gitu, dong. Relaks aja,” sahut lelaki itu sambil menggelitiki dagu saya.
Muka saya memerah karena malu. Tapi tanpa kentara, saya juga menyandarkan bahu saya ke lelaki itu. Hihihi.
Selama
lima menit lamanya, kami mengobrol mesra. Lelaki itu merangkul bahu
saya, mendekap saya ke dadanya yang macho itu. Kemudian entah apa yang
terjadi, tiba-tiba saya disuruh membuka handuknya. Katanya, “Aduh,
gerah. Tolong buka dong handuknya.”
Saya yang sedang asyik tenggelam
menciumi puting susu lelaki itu, agak terkejut. Jantung saya rasanya mau
copot karena senang. Beneran nih saya boleh buka handuknya? Terakhir
saya lihat Tuan Riangnya laki-laki muda sekitar... sekitar awal
pernikahan saya sama suami.
Ya Tuhan... bagaimana ya bentuk penis anak muda? Masih samakah?
Dengan
malu-malu, saya mulai menarik handuk lelaki itu. Darah berdesir kencang
di tubuh saya, jantung saya kembali bertalu-talu. Lelaki itu terkikik
geli sewaktu tangan saya tanpa sengaja menyentuh penisnya. Entah
sengaja, entah kebetulan. Dan ketika handuk itu terbuka, menguak semua
yang ada di dalamnya... saya menonton benda paling indah sedunia.
Penis anak muda.
Tangan
saya otomatis bergetar. Bagaimana kalau ini penisnya Ari Wibowo? Atau
penis semua personil ME? Atau Boyzone? Pasti rasanya lezat. Seperti
penis yang ini, rambutnya legam keriting, sudah disunat, dan terkapar
tidur di atas biji pelirnya yang mengendur. Ketika saya dengan
pelan-pelan menyentuh penis itu... penis itu bergerak. Seperti mengedik
kecil. Seperti menggoda saya untuk menggenggamnya.
Sebetulnya memang tujuan saya ke sini untuk menggenggamnya, kan?
Saya
akhirnya menggenggam penis kenyal itu. Si Lelaki langsung
mendesah-desah, seperti sedang merasa nikmat. Padahal, kata almarhum
suami saya, kalau diremas seperti itu rasanya aneh. Entah kenapa lelaki
ini justru mendesah-desah. (Tuntutan profesional, mungkin. Saya kan
bayar mahal!)
Saya menghabiskan waktu meremas-remas penis itu.
Lama-lama penisnya mengeras. Membesar sedikit membuat jantung saya
berdebar lagi.
Saya menatap lelaki itu yang mulai memejamkan mata dan menganga. Dia nampak seksi sekali. Dia nampak lezat.
Saya
tidak pernah mengerti kenapa akhir-akhir ini saya senang sekali dengan
lelaki muda. Setiap ada yang ganteng-ganteng di teve, Nona Riang saya
langsung bergetar. Setiap ada yang telanjang dada di pinggir jalan,
sebadan-badan saya bergetar. Nah, saat saya melihat sosok telanjang di
depan mata saya ini... sehotel-hotel bisa bergetar mungkin gara-gara
saya.
Sehabis penis itu mengeras, kami melakukan hal yang biasa
dilakukan suami istri. Tidak ada yang istimewa. Lelaki itu langsung
membaringkan saya di atas ranjang, melorotkan rok kain saya dan mulai
menggesek-gesekkan penisnya. Nona Riang saya langsung basah seperti
sedang pipis—dan Lelaki itu tertawa. Saya suka tawanya. Kemudian dalam
waktu cepat, penis itu sudah mengunjungi Nona Riang saya.
Saya
menikmati momen itu sambil meraba tubuh lelaki itu. Tangan saya
menelusuri dadanya, putingnya, lengan-lengannya yang besar, dan
terkadang wajahnya. Ketika saya menelusuri perutnya, tubuh saya makin
menggelinjang, mungkin karena perut berada sangat dekat dengan penisnya.
Lelaki itu pun terus menerus mendesah membuat telinga saya bergetar
karena gairah.
Saya tidak tahu apa yang terjadi, tapi saat saya memejamkan mata, saya
bisa merasakan seluruh tubuh saya berkontraksi nikmat. Tubuh saya
bergetar setiap kali penis itu menusuk Nona Riang saya. Setiap kali
rambut kemaluannya menggelitiki lubang pipis saya. Setiap biji pelirnya
meraba-raba kedua paha saya.
Entah kapan... saya merasakan lagi
masa-masa itu. Masa-masa di mana seluruh tubuh berkontraksi nikmat,
melahirkan erangan-erangan hebat yang diiringi cengkraman kuat di badan
si lelaki, dan Nona Riang saya menyemprotkan cairan kenikmatan di atas
ranjang, tanpa bisa saya kendalikan. Seluruh tubuh saya lemas. Kehadiran
penis itu di dalam tubuh saya terus membuat saya menggigil. Saya tak
ingin ini berakhir.
Lelaki itu tertawa. “Hey... kita baru mulai,” godanya.
“Ah, kamu ini... Aaaahhhh... Aaaahhhh....!!”
-XxX-
Saya
tidak kuat berjalan. Tapi saya harus. Lutut saya lemas dan tubuh saya
penuh keringat. Ketika saya berkaca di cermin yang besar itu pun...
iiihhh... saya mirip monster. Monster yang cantik. Dengan banyak keriput
di sana-sini dan rambut beruban yang mengerikan. Beruntung sekali
lelaki gigolo itu bisa mendapatkan saya.
Kami menghabiskan lebih
dari setengah jam bersenang-senang. Saya merasakan berkali-kali
gelinjang nikmat itu, selalu mencengkram dan mencengkram dada si lelaki
setiap merasakannya. Di lain sisi, lelaki itu tertawa melihat saya.
Katanya, “Meski kulitnya udah kendor, tapi itunya masih remaja, ya?
Masih mulus!” sambil memijat-mijat klitoris saya.
Aaahhh... pokoknya lelaki muda rasanya lezat.
Sekarang,
lelaki itu saya biarkan telanjang di atas ranjang, merokok sambil
membaca koran yang tersedia di sana. Saya bilang, “Tunggu sebentar, ya,”
sambil melilitkan handuknya di badan saya. Saya juga masih telanjang,
tidak mengenakan satu helai pakaian pun terkecuali handuk itu. Saya mau
pergi ke kamarnya Puput. Ingin bertanya sebentar, “Saya kasih tips
jangan buat si Lelakinya?”
Puput ada di kamar nomor berapa, ya?
Saya
menyusuri koridor sempit itu, berpapasan dengan beberapa lelaki
berhanduk putih yang sedang merokok. Ada yang lebih ganteng dari lelaki
saya tadi, ada juga yang lebih jelek. Memangnya semua kamar penuh, ya?
Kenapa banyak sekali gigolonya?
Saya berjalan terus hingga ujung
koridor. Seratus persen lupa Puput ada di kamar nomor berapa. Mungkin
tujuh. Mungkin delapan. Sekitar itu, lah. Mungkin saya bisa menguping di
setiap pintu, mendengar suara rintihan Puput? Itupun kalau memang
kedengaran.
“Aaahhh... ampun, jangan paaak... ampuuun... aaargh!”
Hmmmh.
Ada teriakan-teriakan di kamar nomor delapan. Mungkin itu Puput?
Kedengarannya seperti laki-laki. Tapi siapa tahu, betul? Puput itu
orangnya agresif. Dia bisa membuat orang-orang berteriak. Minggu kemarin
saja, dia bisa membuat semua orang di acara arisan berteriak karena dia
bawa laba-laba spider yang besar. Puput juga pasti jago membuat gigolo-gigolo ini berteriak.
Astaga,
seperti apa ya Nona Riangnya Puput? Saya jadi penasaran. Apa ada
kemoceng di dalamnya? Sehingga penis para pria tergelitik?
“Paaak... Paaak...”
Ya
ampun, makin sini teriakannya makin kencang. Lelaki-lelaki yang lewat
di koridor terkikik geli sambil berbisik. Saya jadi makin penasaran.
Kemarin, banyak anak muda yang bilang Pak Yu. Kata Puput “pak” artinya
“entot”.
Hmmmh... lelaki ini, sudah berteriak kesakitan, masih minta di-pak, ya!
Saya
membuka pintu kamar itu perlahan-lahan. Pintunya tidak tertutup. Ketika
saya masuk, teriakannya makin kencang dan kesakitan. Bahkan, saya bisa
menebak si lelakinya menangis. Tirai jendela kamar itu ditutup rapat
sehingga matahari tidak dapat masuk. Cahayanya remang-remang.
“Ampun, paaak... ampun! Sakit!”
Itu
bukan Puput. Sama sekali bukan Puput. Bahkan, tidak ada perempuan di
kamar itu. Yang ada hanyalah seorang lelaki gigolo beserta lelaki botak
yang saya lihat di depan tadi!
Lelaki gigolonya diikat di atas
ranjang, kedua tangannya menyebar ke sudut-sudut tiang ranjang, seperti
huruf V. Lelaki itu telanjang, tubuhnya penuh keringat dan cairan
mengkilap... mungkin minyak. Sementara itu, lelaki botak berperut agak
buncit itu berada tepat di hadapannya. Penisnya masuk ke dalam lubang
pantat si lelaki gigolo. Dia menusuknya terus menerus seperti yang
dilakukan gigolo saya tadi.
Yang bisa saya lakukan hanyalah mematung... melongo... kaget karena baru pertama kali melihatnya.
Dan apa yang saya rasakan?
Mendebarkan. Saya suka itu!
Sudah sejak lama saya memimpikan lelaki “bersenang-senang” dengan lelaki. Saya tak menyangka hal itu benar-benar ada.
Oooohhh... Nona Riang saya basah lagi!
-XxX-
Nama
lelaki itu Darmo. Sudah tiga bulan kami kenal sejak kejadian di hotel
pinggir kota itu. Dia jelas bukan orang yang ramah, tapi siapa peduli.
Sejauh kami bisa menyenangkan satu sama lain, kami tetap berteman.
“Saya
jaga rumah orang,” katanya, sambil kembali mengentot lelaki muda di
atas ranjang. “Di daerah Setiabudi sana, rumah orang yang kaya raya
nggak abis-abis uangnya.”
“Aaahhh... Pak... pelan-pelan! Aaahhh...”
“Gajinya lumayan, ya?”
“Nggak juga. Aaahhh...” Dia mendesah dulu. “Cuma cukup ngewe tiga bulan sekali.”
Dan untuk alasan itulah kami akhirnya berteman.
Alasan apa?
Pertama,
saya baru menyadari fantasi baru saya ini bisa menjadi kenyataan. Sudah
sejak dulu saya penasaran menatap lelaki dengan lelaki berhubungan
seks. Rasanya unik aja, begitu. Melihat satu lelaki begitu gagahnya
menggagahi lelaki lain yang tak berdaya...
Kedua, Darmo adalah orang
yang tepat untuk membawa saya bertualang menonton adegan-adegan itu. Dia
tidak punya banyak uang. Tapi saya punya sedikit uang untuk menyewa
lelaki-lelaki itu.
Jadi konsepnya, saya akan membayar lelaki itu
untuk di-pakyu Darmo, sementara saya menonton mereka berdua
bersenang-senang. (Kalau bisa si gigolo merasa kesakitan.) Kami sudah
melakukannya beberapa kali, dan saya merasa sangat bahagia. Saya hanya
tinggal duduk di kursi, menonton dua lelaki itu bersenang-senang,
tahu-tahu Nona Riang saya basah.
Seperti saat ini. Kami sedang
ada di hotel pinggir kota, bukan hotel yang kemarin. Saya duduk di sofa,
dekat ranjang, kemudian lelaki gigolo itu diikat kedua tangannya, dan
Darmo menggagahinya. Saya merasa takjub sekali menontonnya. Sekarang
tahun 1997, dan kehidupan seperti inilah yang saya inginkan.
“Kamu sering begini setiap hari?” tanya saya, sambil terpukau menonton lelaki gigolo itu kesakitan.
“Aaaahhh... pelan-pelan, pak... aaahhh...”
“Setiap hari,” jawab Darmo.
Saya membelalak. “Wow! Dengan siapa?”
Darmo tertegun sejenak. Seolah ingin menjawab, tapi kemudian urung dikatakan. “Yaaah, dengan banyak orang. Dengan preman.”
“Dengan preman? Yang bertato?”
“Aaaahhh... pak! Pake handbody lagi pak... aaarrrggghhh...”
“Ya. Bertato.”
Saya merasa bersemangat sekali. Coba saja saya bisa pindah ke komplek perumahan tempat Darmo bekerja...
Eh,
tunggu. Saya kan sudah hidup sendiri sekarang. Anak-anak saya sudah
hidup mapan semua. Saya sudah punya beberapa cucu. Mungkin saya bisa
pindah rumah ke sana! Ya! Hidup sendiri dan menikmati sisa umur ini...
Tahun 1998, saya pindah ke komplek perumahan itu. Berharap bisa lebih dekat dengan Darmo dan diajak bertualang ke dunia itu.
Sayangnya...
Darmo mati, tepat saat saya pindah.
-XxX-
“Kakak
tahu?” Esel memberondong saya lagi dengan cerita di sekolahnya. “Kalau
si Agas itu, cucu dari Jeng Alia itu, sebetulnya gay!”
“Gay?” sahut saya kaget.
“Ya, gay! Semua people di sekolah juga udah tahu, kok. I sebel ama detseu. Detseu suka tebar pesona nggak jelas. So annoying, Kakak. Mesti we basmi, tuch!”
Gay adalah kata yang terlalu kuat. Mengingatkan saya pada masa lalu.
“Masa sih, masih ada yang gay?” kata saya, berusaha tak menerima kenyataan.
“Ada, dooong. Itu si Agaswati contohnya!”
“Agaswati?”
“Iya, si Agas. Detseu kan namain diri sendiri Agaswati. Pengen jadi pewong, kaleee... Detseu jelas-jelas gay. We mesti cari cara buat basmi detseu. Kakak dukung I, owkay?”
to be continued
DISCLAIMER:
This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.
The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.
Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 11 Fujoshi Fantasy (1)
Labels:
Kadang Cupid Tuh Tolol,
mariobastian
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Info Kesehatan
Artikel Lain :
9 Hal Seputar Kondom Pria yang Paling Sering Ditanyakan
0 comments:
Post a Comment