DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 11 Fujoshi Fantasy (1)

Fujoshi Fantasy (1) 
-chapter 11- 
 
* FUJOSHI FANTASY *
By: Nunuk


“Kamu yakin ini aman?”
“Seratus persen, Nuk. Saya dan seus-seus yang lain udah nyobain. Rahasia terjamin. Orang-orang nggak bakal tahu.”
“Gimana kalo anak saya kebetulan lewat di sini—“
“Nggak mungkin, lah. Ini kan hotel pinggir kota. Ngapain anak kamu ada di sini? Mereka pasti lagi kerja.”

Saya menelan ludah. Gugup dengan apa yang akan saya lakukan sebentar lagi. Seus Puput nampak percaya diri dengan rencananya. Dia bahkan mengenakan anting paling besar yang dia punya, yakin seyakin-yakinnya kalau ini jalan terbaik.

“Kamu berhak buat senang-senang, lho!”
“Tapi, saya kan udah tua,” bisik saya, teringat lagi dengan kondisi tubuh yang rapuh ini.
“Ya ampun, Nunuk... Yang namanya senang-senang tuh nggak ada umurnya. Apalagi kamu baru ditinggalin suami kamu. Kamu mesti memanjakan dirimu juga.”

Saya masih mencari-cari alasan untuk menolak perbuatan ini. “Bagaimana kalau ketahuan Pak Ustadz?”
Puput berdecak. “Memangnya di sini ada Pak Ustadz?”
“Ini kan perbuatan nggak bener—“
“Ini tahun 1997, Nunuk. Zaman sekarang, yang kayak begini pun udah halal.”
“Masa, sih?”

Puput lalu menarik saya ke atas lagi. Ke sebuah ruang khusus yang penuh asap rokok. Tegel warna kuning telur dipasang di seluruh lantai, membuat sepatu kami berkelotak berisik. Saya merasa panik sewaktu Puput membuka pintu dan mengobrol dengan seorang lelaki. Di ruangan itu hanya ada tiga orang. Satu resepsionis perempuan berambut mirip Lulu Tobing (tapi versi lebih jeleknya), lalu ada satu lelaki berkemeja longgar dan bercincin ali banyaaak sekali di jarinya, dan ada satu pria botak berkumis di kursi tunggu.

Saya menatap heran lelaki botak itu. Dia bagian apanya di “perusahaan” ini? Teknisi elektronik? Seperti almarhum suami saya? Yang punya ali banyak itu sudah pasti germonya, kan?

“Nah, saya udah bilang sama Mas Aliep, germo di sini. Kamu tinggal tunggu aja,” bisik Puput sambil menarik saya ke kursi tunggu. “Kamu dapet kamar nomor empat. Kamarnya lagi diberesin.”
“Kalo kamu gimana?”
“Saya di kamar nomor tujuh. Udah, kamu nggak usah khawatir. Laki-lakinya mirip banget sama Ari Wibowo.”
“Masa sih?” Saya terkesiap kaget.

Ari Wibowo memang favorit saya. Saya ngefans banget sama Cool Colors. Dan ME juga. “Kalau punya kamu mirip siapa?” tanya saya penasaran.
“Oooh... so pasti, mirip Cok Simbara! Yang dari Noktah Merah Perkawinan itu, lho!”

-XxX-

Kamarnya kecil. Hanya ada ranjang untuk dua orang, satu meja kecil, satu cermin besar, dan kamar mandi yang agak kotor. Sewaktu saya masuk ke dalam, jantung saya berdegup kencang. Wangi lapuk tercium di sana sini. Langit-langit yang menguning juga membuat saya ngeri.

Saya berjalan ke arah jendela bertirai emas. Dari situ, saya bisa melihat pemandangan lapangan sepakbola yang dipenuhi anak-anak kecil bermain bola. Apa yang saya lakukan di sini? Maksiat? Puput bilang, sudah waktunya saya memanjakan diri sendiri. Benar, sih. Apalagi sewaktu kemarin saya melihat Primus Yustisio (artis sinetron pendatang baru itu), Nona Riang saya langsung basah.

Ya, Puput menyebut bagian kewanitaan sebagai Nona Riang. Setiap kami para Janda berkumpul, dia selalu bertanya, “Gimana Nona Riangnya? Sering dapet tamu, kan?”
Biasanya saya jawab. “Oh, selalu. Dan sekarang saya pake softex yang ada sayapnya, kayak remaja-remaja.”
“Bukan tamu yang itu,” Puput memutar bola mata. “Tamu yang macho, yang datang buat masuk-keluar-masuk-keluar bikin Nona Riang semakin riang?”

Puput selalu tahu janda-janda mana yang masih aktif bereproduksi. Seolah dia punya keahlian mendeteksi wanita dengan menstruasi telat sewaktu remaja. Seperti saya, yang baru mendapat haid pertama saat SMA. Membuat di umur setua ini, saya masih datang bulan. Yang berarti: saya masih bergairah sewaktu Ari Wibowo muncul di teve.

Mungkin gara-gara saya bilang ke Puput soal kerinduan akan kehangatan lelaki. Maksudnya, suami saya sudah meninggal setahun lalu. Tapi sudah bertahun-tahun sebelum itu kami tidak melakukan hubungan suami istri. Tiba-tiba saja saya mendapatkan puber ketiga saya. Padahal saya yakin, sebentar lagi masa-masa ini akan berhenti. Tapi kenapa justru menguat lagi di umur segini?

Pintu terbuka. Jantung saya langsung berdegup kencang. Seorang lelaki masuk ke dalam. Dia hanya mengenakan handuk putih yang melilit pinggangnya. Dengan malu-malu saya menunduk... tapi berusaha melirik ke arahnya. Penasaran... Benar nggak sih mirip sama Ari Wibowo?

Ah, nggak.
Nggak mirip sama sekali. Tapi lumayan, ganteng. Rambutnya dibelah dua dan selintas dia mirip Andy Lau karena agak-agak sipit gitu. Badannya agak kurus. Otot-ototnya nggak sebesar artis ibukota. Tapi tetap saja, kalau ada lelaki muda yang telanjang, berada satu ruangan dengan saya, saya langsung deg-degan. Sebadan-badan saya menggigil karena gairah.

“Hey, cantik...” goda lelaki itu.
Ya Tuhan, dia manggil saya cantik!
Nggak sia-sia saya bayar lima puluh ribu buat bersenang-senang dengan gigolo ini.

“Ha-hallo... ganteng.”
“Udah lama nunggu?” Dia duduk di samping saya. Aroma sabun langsung menusuk hidung. Dia baru mandi. Saya sekuat tenaga nggak mau melihat ke arah kulit tubuhnya yang indah itu. Tapi nggak bisa. Tetap saja saya melirik genit ke arah perut dan dadanya.

Ya Tuhan... Ya Tuhan...
Nona Riang langsung basah. Sekarang saya harus ngapain?

“Jangan tegang gitu, dong. Relaks aja,” sahut lelaki itu sambil menggelitiki dagu saya.
Muka saya memerah karena malu. Tapi tanpa kentara, saya juga menyandarkan bahu saya ke lelaki itu. Hihihi.

Selama lima menit lamanya, kami mengobrol mesra. Lelaki itu merangkul bahu saya, mendekap saya ke dadanya yang macho itu. Kemudian entah apa yang terjadi, tiba-tiba saya disuruh membuka handuknya. Katanya, “Aduh, gerah. Tolong buka dong handuknya.”
Saya yang sedang asyik tenggelam menciumi puting susu lelaki itu, agak terkejut. Jantung saya rasanya mau copot karena senang. Beneran nih saya boleh buka handuknya? Terakhir saya lihat Tuan Riangnya laki-laki muda sekitar... sekitar awal pernikahan saya sama suami.

Ya Tuhan... bagaimana ya bentuk penis anak muda? Masih samakah?

Dengan malu-malu, saya mulai menarik handuk lelaki itu. Darah berdesir kencang di tubuh saya, jantung saya kembali bertalu-talu. Lelaki itu terkikik geli sewaktu tangan saya tanpa sengaja menyentuh penisnya. Entah sengaja, entah kebetulan. Dan ketika handuk itu terbuka, menguak semua yang ada di dalamnya... saya menonton benda paling indah sedunia.

Penis anak muda.

Tangan saya otomatis bergetar. Bagaimana kalau ini penisnya Ari Wibowo? Atau penis semua personil ME? Atau Boyzone? Pasti rasanya lezat. Seperti penis yang ini, rambutnya legam keriting, sudah disunat, dan terkapar tidur di atas biji pelirnya yang mengendur. Ketika saya dengan pelan-pelan menyentuh penis itu... penis itu bergerak. Seperti mengedik kecil. Seperti menggoda saya untuk menggenggamnya.

Sebetulnya memang tujuan saya ke sini untuk menggenggamnya, kan?

Saya akhirnya menggenggam penis kenyal itu. Si Lelaki langsung mendesah-desah, seperti sedang merasa nikmat. Padahal, kata almarhum suami saya, kalau diremas seperti itu rasanya aneh. Entah kenapa lelaki ini justru mendesah-desah. (Tuntutan profesional, mungkin. Saya kan bayar mahal!)

Saya menghabiskan waktu meremas-remas penis itu. Lama-lama penisnya mengeras. Membesar sedikit membuat jantung saya berdebar lagi.
Saya menatap lelaki itu yang mulai memejamkan mata dan menganga. Dia nampak seksi sekali. Dia nampak lezat.

Saya tidak pernah mengerti kenapa akhir-akhir ini saya senang sekali dengan lelaki muda. Setiap ada yang ganteng-ganteng di teve, Nona Riang saya langsung bergetar. Setiap ada yang telanjang dada di pinggir jalan, sebadan-badan saya bergetar. Nah, saat saya melihat sosok telanjang di depan mata saya ini... sehotel-hotel bisa bergetar mungkin gara-gara saya.

Sehabis penis itu mengeras, kami melakukan hal yang biasa dilakukan suami istri. Tidak ada yang istimewa. Lelaki itu langsung membaringkan saya di atas ranjang, melorotkan rok kain saya dan mulai menggesek-gesekkan penisnya. Nona Riang saya langsung basah seperti sedang pipis—dan Lelaki itu tertawa. Saya suka tawanya. Kemudian dalam waktu cepat, penis itu sudah mengunjungi Nona Riang saya.

Saya menikmati momen itu sambil meraba tubuh lelaki itu. Tangan saya menelusuri dadanya, putingnya, lengan-lengannya yang besar, dan terkadang wajahnya. Ketika saya menelusuri perutnya, tubuh saya makin menggelinjang, mungkin karena perut berada sangat dekat dengan penisnya. Lelaki itu pun terus menerus mendesah membuat telinga saya bergetar karena gairah.

Saya tidak tahu apa yang terjadi, tapi saat saya memejamkan mata, saya bisa merasakan seluruh tubuh saya berkontraksi nikmat. Tubuh saya bergetar setiap kali penis itu menusuk Nona Riang saya. Setiap kali rambut kemaluannya menggelitiki lubang pipis saya. Setiap biji pelirnya meraba-raba kedua paha saya.

Entah kapan... saya merasakan lagi masa-masa itu. Masa-masa di mana seluruh tubuh berkontraksi nikmat, melahirkan erangan-erangan hebat yang diiringi cengkraman kuat di badan si lelaki, dan Nona Riang saya menyemprotkan cairan kenikmatan di atas ranjang, tanpa bisa saya kendalikan. Seluruh tubuh saya lemas. Kehadiran penis itu di dalam tubuh saya terus membuat saya menggigil. Saya tak ingin ini berakhir.

Lelaki itu tertawa. “Hey... kita baru mulai,” godanya.
“Ah, kamu ini... Aaaahhhh... Aaaahhhh....!!”

-XxX-

Saya tidak kuat berjalan. Tapi saya harus. Lutut saya lemas dan tubuh saya penuh keringat. Ketika saya berkaca di cermin yang besar itu pun... iiihhh... saya mirip monster. Monster yang cantik. Dengan banyak keriput di sana-sini dan rambut beruban yang mengerikan. Beruntung sekali lelaki gigolo itu bisa mendapatkan saya.

Kami menghabiskan lebih dari setengah jam bersenang-senang. Saya merasakan berkali-kali gelinjang nikmat itu, selalu mencengkram dan mencengkram dada si lelaki setiap merasakannya. Di lain sisi, lelaki itu tertawa melihat saya. Katanya, “Meski kulitnya udah kendor, tapi itunya masih remaja, ya? Masih mulus!” sambil memijat-mijat klitoris saya.

Aaahhh... pokoknya lelaki muda rasanya lezat.

Sekarang, lelaki itu saya biarkan telanjang di atas ranjang, merokok sambil membaca koran yang tersedia di sana. Saya bilang, “Tunggu sebentar, ya,” sambil melilitkan handuknya di badan saya. Saya juga masih telanjang, tidak mengenakan satu helai pakaian pun terkecuali handuk itu. Saya mau pergi ke kamarnya Puput. Ingin bertanya sebentar, “Saya kasih tips jangan buat si Lelakinya?”

Puput ada di kamar nomor berapa, ya?

Saya menyusuri koridor sempit itu, berpapasan dengan beberapa lelaki berhanduk putih yang sedang merokok. Ada yang lebih ganteng dari lelaki saya tadi, ada juga yang lebih jelek. Memangnya semua kamar penuh, ya? Kenapa banyak sekali gigolonya?

Saya berjalan terus hingga ujung koridor. Seratus persen lupa Puput ada di kamar nomor berapa. Mungkin tujuh. Mungkin delapan. Sekitar itu, lah. Mungkin saya bisa menguping di setiap pintu, mendengar suara rintihan Puput? Itupun kalau memang kedengaran.

“Aaahhh... ampun, jangan paaak... ampuuun... aaargh!”
Hmmmh. Ada teriakan-teriakan di kamar nomor delapan. Mungkin itu Puput? Kedengarannya seperti laki-laki. Tapi siapa tahu, betul? Puput itu orangnya agresif. Dia bisa membuat orang-orang berteriak. Minggu kemarin saja, dia bisa membuat semua orang di acara arisan berteriak karena dia bawa laba-laba spider yang besar. Puput juga pasti jago membuat gigolo-gigolo ini berteriak.

Astaga, seperti apa ya Nona Riangnya Puput? Saya jadi penasaran. Apa ada kemoceng di dalamnya? Sehingga penis para pria tergelitik?

“Paaak... Paaak...”

Ya ampun, makin sini teriakannya makin kencang. Lelaki-lelaki yang lewat di koridor terkikik geli sambil berbisik. Saya jadi makin penasaran. Kemarin, banyak anak muda yang bilang Pak Yu. Kata Puput “pak” artinya “entot”.

Hmmmh... lelaki ini, sudah berteriak kesakitan, masih minta di-pak, ya!

Saya membuka pintu kamar itu perlahan-lahan. Pintunya tidak tertutup. Ketika saya masuk, teriakannya makin kencang dan kesakitan. Bahkan, saya bisa menebak si lelakinya menangis. Tirai jendela kamar itu ditutup rapat sehingga matahari tidak dapat masuk. Cahayanya remang-remang.

“Ampun, paaak... ampun! Sakit!”

Itu bukan Puput. Sama sekali bukan Puput. Bahkan, tidak ada perempuan di kamar itu. Yang ada hanyalah seorang lelaki gigolo beserta lelaki botak yang saya lihat di depan tadi!

Lelaki gigolonya diikat di atas ranjang, kedua tangannya menyebar ke sudut-sudut tiang ranjang, seperti huruf V. Lelaki itu telanjang, tubuhnya penuh keringat dan cairan mengkilap... mungkin minyak. Sementara itu, lelaki botak berperut agak buncit itu berada tepat di hadapannya. Penisnya masuk ke dalam lubang pantat si lelaki gigolo. Dia menusuknya terus menerus seperti yang dilakukan gigolo saya tadi.

Yang bisa saya lakukan hanyalah mematung... melongo... kaget karena baru pertama kali melihatnya.
Dan apa yang saya rasakan?

Mendebarkan. Saya suka itu!
Sudah sejak lama saya memimpikan lelaki “bersenang-senang” dengan lelaki. Saya tak menyangka hal itu benar-benar ada.

Oooohhh... Nona Riang saya basah lagi!

-XxX-

Nama lelaki itu Darmo. Sudah tiga bulan kami kenal sejak kejadian di hotel pinggir kota itu. Dia jelas bukan orang yang ramah, tapi siapa peduli. Sejauh kami bisa menyenangkan satu sama lain, kami tetap berteman.

“Saya jaga rumah orang,” katanya, sambil kembali mengentot lelaki muda di atas ranjang. “Di daerah Setiabudi sana, rumah orang yang kaya raya nggak abis-abis uangnya.”
“Aaahhh... Pak... pelan-pelan! Aaahhh...”
“Gajinya lumayan, ya?”
“Nggak juga. Aaahhh...” Dia mendesah dulu. “Cuma cukup ngewe tiga bulan sekali.”

Dan untuk alasan itulah kami akhirnya berteman.
Alasan apa?
Pertama, saya baru menyadari fantasi baru saya ini bisa menjadi kenyataan. Sudah sejak dulu saya penasaran menatap lelaki dengan lelaki berhubungan seks. Rasanya unik aja, begitu. Melihat satu lelaki begitu gagahnya menggagahi lelaki lain yang tak berdaya...
Kedua, Darmo adalah orang yang tepat untuk membawa saya bertualang menonton adegan-adegan itu. Dia tidak punya banyak uang. Tapi saya punya sedikit uang untuk menyewa lelaki-lelaki itu.

Jadi konsepnya, saya akan membayar lelaki itu untuk di-pakyu Darmo, sementara saya menonton mereka berdua bersenang-senang. (Kalau bisa si gigolo merasa kesakitan.) Kami sudah melakukannya beberapa kali, dan saya merasa sangat bahagia. Saya hanya tinggal duduk di kursi, menonton dua lelaki itu bersenang-senang, tahu-tahu Nona Riang saya basah.

Seperti saat ini. Kami sedang ada di hotel pinggir kota, bukan hotel yang kemarin. Saya duduk di sofa, dekat ranjang, kemudian lelaki gigolo itu diikat kedua tangannya, dan Darmo menggagahinya. Saya merasa takjub sekali menontonnya. Sekarang tahun 1997, dan kehidupan seperti inilah yang saya inginkan.

“Kamu sering begini setiap hari?” tanya saya, sambil terpukau menonton lelaki gigolo itu kesakitan.
“Aaaahhh... pelan-pelan, pak... aaahhh...”
“Setiap hari,” jawab Darmo.

Saya membelalak. “Wow! Dengan siapa?”
Darmo tertegun sejenak. Seolah ingin menjawab, tapi kemudian urung dikatakan. “Yaaah, dengan banyak orang. Dengan preman.”
“Dengan preman? Yang bertato?”
“Aaaahhh... pak! Pake handbody lagi pak... aaarrrggghhh...”
“Ya. Bertato.”

Saya merasa bersemangat sekali. Coba saja saya bisa pindah ke komplek perumahan tempat Darmo bekerja...
Eh, tunggu. Saya kan sudah hidup sendiri sekarang. Anak-anak saya sudah hidup mapan semua. Saya sudah punya beberapa cucu. Mungkin saya bisa pindah rumah ke sana! Ya! Hidup sendiri dan menikmati sisa umur ini...

Tahun 1998, saya pindah ke komplek perumahan itu. Berharap bisa lebih dekat dengan Darmo dan diajak bertualang ke dunia itu.

Sayangnya...
Darmo mati, tepat saat saya pindah.

-XxX-

“Kakak tahu?” Esel memberondong saya lagi dengan cerita di sekolahnya. “Kalau si Agas itu, cucu dari Jeng Alia itu, sebetulnya gay!”
“Gay?” sahut saya kaget.
“Ya, gay! Semua people di sekolah juga udah tahu, kok. I sebel ama detseu. Detseu suka tebar pesona nggak jelas. So annoying, Kakak. Mesti we basmi, tuch!”

Gay adalah kata yang terlalu kuat. Mengingatkan saya pada masa lalu.

“Masa sih, masih ada yang gay?” kata saya, berusaha tak menerima kenyataan.
“Ada, dooong. Itu si Agaswati contohnya!”
“Agaswati?”
“Iya, si Agas. Detseu kan namain diri sendiri Agaswati. Pengen jadi pewong, kaleee... Detseu jelas-jelas gay. We mesti cari cara buat basmi detseu. Kakak dukung I, owkay?”


to be continued








0 comments:

Post a Comment