Page 5
by Feffendy
Jeruju part.1
Kala itu tahun 1985, gw masih
tinggal di pinggiran kota Pontianak, di satu daerah yang dikenal dengan
nama Jeruju, dengan mayoritas orang Melayu.
“Hong, ayo pulang!” teriak mamaku dari dalam rumah.
“Bentar, Mam!” sahutku dengan sekenanya karena gw masih asyik bermain.
“Dah malam nih!” teriak Mama lagi.
“Ntar waa, Mam!” (Bentar lagi, Mam !)
Tak
terdengar lagi teriakan Mama. Gw pun asyik kembali bermain dengan
teman-temanku yang tersisa 3 orang. Memang hari sudah malam, tapi
teman-temanku masih ingin melanjutkan game terakhir kejar-kejaran.
Gw
pikir tak masalah juga kalau pulang malam sedikit, karena rumahku
persis di samping gang, yang dijadikan sebagai tempat bermain bagi
anak-anak setiap sore hari. Mulai dari kejar-kejaran, lompat tali,
lompat tinggi, sampai kelereng dan judi kecil-kecilan dengan kartu. Dan
gw sendiri amat sangat menikmati semua permainan yang ada, maklumlah,
namanya juga anak-anak. Kadang saking asyiknya main gw sampai lupa bikin
pe-er, karena kuanggap cetek (gampang). Kadang juga saking asyiknya main gw tak perduli lagi dengan luka-luka di lutut dan siku akibat sering jatuh.
“Udah ah, dah gelap, esok jak kite maen agik!” (Sudah malam, besok saja kita main lagi) kata Kundil yang anak Melayu.
Teman-teman
pada bubaran, gw pun akhirnya terpaksa pulang. Gw baru tersadar juga
Mam pasti marah besar dari tadi gw cuekin panggilannya.
“Tok tok
tok!” dengan perlahan gw mengetuk pintu belakang rumah, yang bisa
langsung akses ke gang. Beberapa kali gw ketok, pintu tak dibuka.
“Mam, khui meng a! Wa teng lou!” (Mam, buka pintu, saya sudah pulang !) akhirnya gw coba manggil lebih keras, takutnya Mam tak dengar.
Tiba-tiba pintu terbuka. Dengan tenangnya gw melangkah masuk. Tanpa terkira tanpa disangka tiba-tiba, “DAR! DAR! DAR!”
Haruskah kuceritakan,
Kelamnya sang kenangan,
Yang tiada bisa terbuang,
Walau sang kala telah melihatku berjuang.
Ah, kenangan tetaplah kenangan!
Walau bagiku sangat menyakitkan,
Tapi kuharap janganlah terulang,
Kisah ini cukuplah terjadi padaku seorang...
Mam muncul dari balik pintu sambil melecut rotannya.
“Ampun . . .!” DAR!
“Mam ! Ampun . . . ! ” DAR! DAR! DAR!
“Rasakan nih!” DAR!
“Dari tadi dipanggil tak mau pulang. . . “ DAR!
“Makan nih rotan!”
“Hu hu hu . . . ,” tangisku sambil berusaha menutupi tubuhku dengan tangan. Kusambar majalah Bobo kesayangan gw sebagai tameng. Tapi semua usahaku sia-sia, Boboku sobek-sobek tak karuan, tanganku penuh dengan garis-garis merah kehitaman dan darah keluar dari beberapa bagian kulit yang sudah sobek, akibat pukulan rotan berkali-kali.
“Hu hu hu... ku ku em ka, Mam!” (Lain kali tak berani lagi, Mam!)
“Rasakan ! Rasakan !” DAR! DAR! DAR!
Pukulan masih bersarang di tubuhku sampai akhirnya Mam sendiri mulai kelelahan dan berhenti. Sambil terengah-engah Mam memandangku sedih.
Diriku meringkuk di sudut dapur seperti tikus ketakutan yang tak berkutik. Badanku seperti zebra yang terluka, namun garis-garis badannya berwarna merah darah yang tidak beraturan arah dan alurnya.
“Sudah berapa kali Mam panggil le, kenapa le tak mau pulang? Mam sedih melihat le begitu membangkang, nanti adik-adik meniru le gimana? Le kan Dage (abang tertua), dah seharusnya patuh ama pe bou (orang tua). Udah, ga boleh nangis lagi! Hapus air matanya! Pria sejati pantang meneteskan air mata, sesulit dan sesusah apa pun kondisinya mesti tegar!”
Gw tak menjawab. Gw tak bisa bangun, badanku terasa sakit semua. Hidungku meneteskan ingus basah. Air mataku telah kering. Gw memang tak bisa menangis lagi.
Kenapa Dikau begitu keras, Mam?
Perlukah anak laki-lakimu dididik sekeras ini?
Apakah jadi anak tertua mesti diperlakukan seperti ini?
Mengapa ada orang jahat yang telah tega memberikan rotan kepadamu Mam, yang digunakan untuk memukul diriku?
Badanku memang terluka, tapi hatiku jauh lebih terluka dan terus meneteskan air mata. Berkali-kali terus dipukul seperti ini membuat air mata hatiku terasa dingin, sedingin es, membuat hatiku menjadi istana beku bagi wanita!
Jeruju part.4
Hingga dewasa gw baru menyadari kenapa Mam begitu keras. Waktu masih kecil, Mam dah jadi pengungsi karena kerusuhan etnis di Kalbar, diusir dari pedalaman Kalbar dan harus menjalani hidup dengan susah dan keras di Pontianak.
Kini gw mencoba untuk mengobati luka batinku, membuka lembaran baru dalam hidupku dan tetap mencintai Mam yang telah melahirkan dan susah payah membesarkanku. Gw akan selalu mencoba membuat hidupnya bahagia. Dengan seperti ini, langkahku ke depan akan terasa lebih ringan dan segala kepahitan dan kesedihan akan pudar seiring jalannya sang waktu...
Liwei part.1
Sesuai dengan janjinya sehabis pulang ke Pontianak sekitar November 2004, Ade ngajak kita fitnes bareng Sabtu pagi. Yang ikutan Tono, Muis dan gw. Ternyata gw enjoy banget, apalagi pas acara sauna, selain badan terasa segar karena keringatan, mata juga terasa segar karena ‘dicuci’ he3...
Bagai buah segar nan ranum
Basah mengkilat membangkitkan selera
Mulut ini rasanya pengen mengulum
Buah menonjol di balik wadah yang belum terbuka
Walaupun semua bertelanjang dada dan masih pakai celana, tapi celana masing-masing sudah basah dan nampak tonjolannya. Susah payah kukendalikan ‘adikku’ agar tetap bersikap manis dan pasrah. Kuhibur dia agar beristirahat saja setelah semalam kerja keras memuntahkan sejuta kecebong mikro.
“Udahan yuk, kita pulang!” Ade keluar duluan. Kita segera menyusulnya dan berganti pakaian. Saat itulah saya terkejut membaca sebuah sms :
~Dage, libur Natal wa mau plg, dah rindu nih ma Dage. Cup cup cup, syg Dage.
Gw kehilangan selera seketika, tak minat lagi menonton orang berganti pakaian. Sms itu dari Liwei, adik gw yang paling galak dan ganas, yang kalo marah teriak-teriak yang suaranya terdengar hingga ke 10 rumah, yang pernah mengaudit laptop gw dan menghapus semua gambar ehem-ehem yang kusimpan di sana, yang pernah membuang semua VCD Belami yang gw punya, dan kini akan pulang dari Amerika!
Jam dinding berdetak
Tiada semangat, rasanya hambar
Jantungku ikut berdetak
Terdiam memandang 'my precious' yang terhampar
Tampaknya nasib barang-barang tersebut bukan lagi ditentukan olehku. Sebentar lagi mereka bakal terlempar ke tong sampah, dan membikin terkaget-kaget pemulung yang menemukannya (atau berteriak kegirangan ala barbar kalau pemulungnya juga gay). Gw sebenarnya juga sudah pasrah. Barang-barang tersebut memang harus dipaksa terpisah dariku, karena gw semakin merasa terikat dan hari-hariku semakin dikuasai barang-barang tersebut. Cuma kok rasanya sayang :
sayang duit yang sudah kukeluarkan untuk membelinya...
sayang usaha yang sudah kukeluarkan untuk mendapatkannya...
sayang waktu yang sudah kukeluarkan untuk menyembunyikannya...
sayang moment-moment menegangkan saat gw menikmatinya...
Tetapi, tunggu ! Gw masih bisa melakukan sesuatu. Kenapa gw tidak mencoba untuk menyalurkannya? Alasannya bisa aja dicari-cari, misalnya :
Pertama, semangat berbagi kepada sesama
Kedua, tidak langsung lenyap begitu saja, bisa saja statusnya 'titipan sementara'
Ketiga, kamar gw menjadi steril dan gw tak perlu cemas lagi memikirkan kapan akhirnya mereka ditemukan.
Gw jadi bersemangat kembali. Barang-barang tersebut segera kusimpan kembali, kubuka laptopku, masuk ke milis undercover dan siap untuk mengetik imel. Gw mau mengetik penawaran kepada para anggota, tapi kemudian gw berpikir, pasti banyak imel yang masuk sehingga gw kewalahan melakukan pembagian secara adil. Akhirnya daripada melempar langsung cacingnya, tampaknya gw harus mencoba menggunakan kail dulu.
Peristiwa setahun lalu terbayang kembali, kata-kataku mengalir bebas menceritakan perjuanganku di Hongkong dalam mendapatkan salah satu barang tersebut. Gw tidak menawarkan barang tersebut, tapi berharap ada yang tertarik dan memintanya dariku. Sengaja kuceritakan kelebihan-kelebihan yang ada agar semakin menggoda. Dan akhirnya memang ada 2 imel yang masuk, yang makan kail tanpa umpannya, yang mula-mula ajak kenalan, tapi ujung-ujungnya meminta barangnya...
| |||
“Dage, Dage, rindu banget ma Dage!” Liwei sudah berseru dari balik pintu kedatangan dan kemudian memelukku erat-erat. Diciumnya gw di kening dan pipi, kubalas ciumannya di kening, sambil disaksikan sebagian orang yang terheran-heran menyaksikan ‘kebebasan ekspresi’ seperti itu, tapi kemudian mereka sibuk kembali dengan urusan masing-masing ketika menyadari itu adegan sesama saudara yang sudah lama tak jumpa.
“Gimana perjalanannya? Cape?” tanyaku sambil membantu mendorong troli yang berisi koper gedenya.
“Ya cape donk, Dage. Houston ke LA, trus ke Hongkong, lanjut ke KL, terbang ke Kuching, dan akhirnya tiba di Khuntien. Lho, kok hanya Dage seorang yang datang?”
“Itu Lixiong lagi ngambil mobil di parkiran, kita tunggu di sini saja.”
Gw menjemput Liwei (adikku yang ketiga) bersama Lixiong, adikku yang kedua. Dia yang nyetir mobil, karena gw pernah gagal saat belajar nyetir, terkait dengan diriku yang kidal. Instrukturnya sampe stres ngajarin diriku, di saat dia bilang rem, dengan tenang gw malah nginjak gas, di saat dia minta belok kanan, gw otomatis belok ke kiri. Semakin dia sibuk teriak kanan kiri, semakin pusing gw mengontrol arah. Kursus mengemudi berakhir dengan pemberian sertifikat dan SIM ke gw, tapi gw-nya tetap bingung ketika nyetir.
“Dage sayang, wa ada beliin Dage perangko saat ke Washington, Ayi di HK juga ada nitip satu album lagi buatmu.”
“Siiiip lah, Didi. Kamsia ya. Dage bisa seharian nih nikmati perangko-perangko tersebut.”
“Oh, ya, Dage, wa ga bawa laptop, nanti pulang wa pinjam laptop buat kirim imel ya.”
Apa? Pinjam laptop? Ga salah denger nih? Mati gw. Gw baru sadar gw sibuk nyelamatin barang-barang yang lain seperti buku, majalah, DVD, tapi lupa menghapus gambar-gambar yang sudah menumpuk di kompie-ku...
Sedari tadi gw bimbang untuk masuk ke dalam kamar, padahal itu adalah kamar gw sendiri. Liwei tampaknya sudah memakai kompie-ku untuk mengirim imel (gw yakin dia sekalian audit isi laptopku), tapi setelah itu dia tak keluar lagi, sampai lampu kamar dipadamkan. Itu berarti Liwei sudah mau tidur dan malam ini dia tidur di kamarku, katanya sudah rindu tidur bareng denganku.
Dengan perlahan kubuka pintu kamar dan beringsut pelan gw naik ke tempat tidurku yang berukuran queen size. Kulihat Liwei berbaring menghadap ke dinding, kudengar nafas pelan teratur, tampaknya Liwei sudah tertidur.
“Dage, wa kecewa banget ma Dage, tapi..,” tiba-tiba Liwei berbisik pelan sambil membalikkan badannya ke arahku dan matanya menatapku, tentu saja gw jadi terkejut.
“A-awei, Dage sama sekali ga ada maksud bikin le kecewa, tapi kenyataannya Dage memang menyukai gambar-gambar tersebut, karena Dage... karena Dage... gay,” gw menelan ludah bentar, sulit banget rasanya mau coming out ke adik sendiri, tapi nasi sudah menjadi bubur, lebih baik dia tahu kenyataan yang sebenarnya.
“Dage, sebenarnya wa sejak tahun lalu sudah menduga hal tersebut, tapi wa berharap semua itu tidak benar, wa berharap Dage hanya berfantasi saja dengan lelaki. Wa pengen punya Aso (kakak ipar) dan ponakan mungil dari Dage,” kata-kata Liwei sungguh lembut, tampak banget dia semakin dewasa setelah merantau di negeri orang.
“Awei sayang, Dage juga pengen banget hiao wu bou kia (bisa punya istri dan anak), namun kenyataannya Dage ga tertarik ama wanita...,” gw menelan ludah lagi, baru melanjutkan.
“Menjadi gay juga bukan jalan yang gampang bagi Dage. Bertahun-tahun lamanya Dage kesepian, tiada tempat curhat, dan susah payah mengendalikan nafsu gay yang membara. Iri rasanya ketika melihat teman lain berpacaran dan menikah. Namun semua ini tidak membuat Dage menyerah begitu saja. Dage mengalihkan gairah yang bergelora ke hal-hal yang positif, Dage fokus ke belajar dan kerja. Dage juga berusaha untuk tidak mengumbar nafsu sembarangan. Menjadi gay bukan berarti ga bisa menjalani hidup ini dengan benar kan?”
“Cup! Sayang Dage,” Liwei menciumku dan memelukku. “Tadi wa mau mengatakan walau wa sempat kecewa, tapi wa bisa menerima Dage apa adanya. Bahkan wa selalu ingat Dage-ku is the best. Kalo Dage ga kerja keras demi biaya kuliah wa di UGM dan Sanata Dharma, mungkin sampai sekarang wa ga mungkin bisa kerja di Amerika. Wa akan selalu berdoa buat Dage, semoga Dage tabah menjalani cobaan ini...”
Terharu rasanya melihat adikku begitu memahami dan mendukungku, kelenjar air mata perlahan-lahan mengeluarkan air yang menggenangi pelupuk mataku.
“Didi, Dage selalu ingat bahwa ada Tuhan yang membimbing jalanku. Di saat Dage susah, ada Tuhan yang menggendongku, dan Tuhan tak akan memberi kita cobaan yang tak mampu kita tanggung. Segala sesuatu ada hikmahnya dan semua akan indah pada waktunya,” gw mengucapkan kata-kata penghiburan yang selalu menyertaiku selama ini. Liwei tersenyum dan menciumku sekali lagi.
“Cup! Dage sayang kamu juga. Sekarang tidur ya, esok Dage harus bangun pagi-pagi untuk kerja.”
“Oh,ya, Dage, tadi gambar-gambar Dage dah wa hapus semuanya, Dage ga marah kan?”
Gw tersenyum saja sambil membelai poninya. Mau marah gimana, toh gambarnya dah terhapus. Lagian adikku jauh lebih berharga dibanding gambar yang dihapusnya dan gw ga mau hubungan kakak-adik rusak hanya gara-gara gambar. Btw, gambar kan bisa dicari lagi di inet (tersenyum binal mode on), ya nggak? he3...
(Pak Guru, pakabar?)
Senang rasanya di keluargaku sudah ada yang bisa memahamiku. Sambil tersenyum sendiri, gw memacu motorku menuju Matahari Mall, di sana Jack sudah menungguku, dia pengen ngobrol setelah sekian lama tak ketemu. Hujan gerimis tak kugubris, demi berjumpa teman lama yang pernah menjauhiku.
***
Teringat kembali peristiwa dua tahun lalu, tepatnya tahun 2002, saat Jack menghubungiku sambil menggebu-gebu.
“Ayolah, lu bantu gw 4 kelas, gw benar-benar ga mampu ngajar 8 kelas!”
“Ta-tapi, gw belum pernah ngajar di depan sekian banyak murid. Gw bisa grogi.”
“Alah, lama-lama lu juga terbiasa kok, gw yakin lu pasti bisa. Nanti gw bagi lu satu kelas sekretaris yang isinya ce semua, lu bisa cari gandengan di sana.”
Gw tersenyum kecut. Ngajar? Cari gandengan? Kedengarannya asyik juga nih, tapi pengennya sih dapat brondonk aja he3...
“Ok, gw bantu lu, jadi kapan bisa mulai?”
“Mingtian (besok)!”
“BESOK? Gile lu, gw belum ada persiapan apa-apa, bahannya aja lu belum ngasih.”
“Tenang, hari pertama lu kenalin diri dan ajak mereka kenalkan diri satu2. Habis deh waktu 1 jam pelajaran he3... Besok gw akan kasih lu bahan pelajarannya, tahap awal lu ngajarin Hanyu pinyin, bihua dan bishun.”
Hanyu pinyin 汉语拼音 adalah cara mengeja huruf-huruf Han 汉字 (huruf Mandarin) dengan menggunakan romanisasi alias huruf-huruf Latin, dengan keunikan cara baca, misalnya b dibaca p, p dibaca ph, d dibaca t, t dibaca th, g dibaca k dan k dibaca kh. Contohnya : Dage 大哥 dibaca take. Bihua 笔画 adalah jenis-jenis goresan yang akan digunakan dalam membentuk sebuah huruf Han. Bishun 笔顺 adalah aturan goresan, ada urut-urutan yang harus diikuti dalam menulis huruf Han.
Esok harinya sehabis kerja di bank, gw cepat-cepat pulang makan, dan ngebut ke kampus, gw ga mau terlambat di hari pertama ngajar. Untunglah jarak kantor ke rumah ke kampus tidak terlalu jauh, masing-masing hanya memakan waktu 10 menit. Kelas pertama gw adalah kelas Akuntansi. Ketika gw berjalan menuju kelas tersebut, dari jauh tampak para mahasiswa-i masih sibuk ngerumpi di depan kelas.
“Eh, itu dosennya kah?”
“Ga mungkin deh, mungkin dosen sebelah. Laoshi (baca : laoshe = guru) kan biasanya peot-peot he3...”
“Dosennya keren lho, sayang kalo ga ngajar kita. Hi hi hi...”
“Lho, lho, lho, dia berjalan ke arah kita.”
“Ayo cepat masuk!”
Gw menjadi orang terakhir yang masuk ke kelas mengikuti mereka semua dan setelah menarik nafas panjang untuk mencegah grogi, gw menyapa mereka dengan dwibahasa.
“Wan an, dajia hao. Selamat malam, apa kabar semuanya?”
“Haooooo..... (Baik).”
“Laoshi, ni hao?” tiba-tiba seorang mahasiswa berteriak dengan nada dibikin-bikin dan tampang ngeremehin...
0 comments:
Post a Comment