DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Love Under The Mistletoe Chapter 20

CHAPTER XIX
THE LOVE UNDER THE MISTLETOE

by Tuktuk
 

“Orang tua Danny sampe disini besok...” ujar Wildan.

Riko masih tertunduk lesu, sudah hampir dua belas jam Danny masih belum juga tersadar.

“Kamu mandi dulu, makan dulu, sudah sampe jam segini kamu masih disini juga...” sambung Wildan.
“Aku mau nungguin dia dulu...” balas Riko.
“Bersih-bersih dulu sana, Wildan temenin dia dulu cari makan juga...” ujar Laura.

Riko menghela nafas panjang. Hatinya, fikirannya, fisiknya ingin berada disini. Ingin bersama Danny.

“Nanti, kalau ada apa-apa aku langsung hubungi kalian” ujar Laura.
“Yuk, Rik”
“Ga usah, biar aku sendiri saja Wildan. Paling nggak ada cowok yang nemenin Laura...”

Riko lalu membalikkan badannya, meninggalkan ruang dimana Danny masih terbaring lemah. Pikirannya kalut, hatinya begitu gundah, paling tidak sampai Danny membuka mata kembali... Perihal ia masih berhak mencintai Danny atau tidak, itu urusan lain. Danny harus sembuh dulu.

***

Sesosok pria berdiri didepan pintu kamar Clara 21, pria itu nampak ragu untuk memasuki ruangan itu. Di satu sisi ia ingin sekali masuk, di sisi lain ia merasa terganjal dan berdosa.

“Allan?” ujar Wildan.
“Ssh...” balas Allan.
“Kamu ... Tau dari siapa?”
“Laura” jawabnya pelan.
“Riko ada?” sambungnya.
“Jangan, jangan cari Riko lagi, biarkan Danny sehat dulu...”
“Bukan... Bukan gitu Wildan. Justru kalau ada dia aku ga mau masuk...”
“Dia lagi keluar...”

Allan melangkah masuk ke dalam kamar kemudian langkahnya menjadi gontai ketika mendapati Danny terbaring lemah dibalik tirai. Rasa bersalah menyelimutinya dan mengubah air mukanya yang mendadak berkaca-kaca.

“Maafin aku, Danny...” ujarnya pelan sambil memegang tangan Danny.

Laura lalu menepuk pundak Allan kemudian membisikkan “Danny belum siuman...”. Allan hanya bisa menutup mukanya dengan kedua telapak tangan. Ia merasa telah begitu banyak menyusahkan Danny. Sedemikian susah.

“Ini..” tiba-tiba Allan mengangkat bungkusan hitam yang ia bawa.
“Apa ini?” tanya Wildan.
“Aku temukan di bekas lemari Danny... Janji Riko ke Danny... “
“Janji?” serempak Laura dan Wildan bertanya.
“Iya, ini lingkaran daun mistletoe, yah, cuma imitasi sih, seperti hiasan natal... Cuma ini belum selesai...”
“Terus?” tanya Laura.
“Bantu aku kelarin hiasan ini, paling nggak aku melakukan satu hal baik untuk Danny... Paling tidak...”
“Aku ingat janji Riko yang ini...” ujar Wildan.

Tanpa diberi komando mereka bertiga seperti mengerjakan tugas rumah yang harus dikumpulkan besok. Ketiganya nampak serius... Serius sekali membuat lingkaran daun mistletoe, lengkap dengan hiasan kristal dan lampunya..

“Danny itu unik... Dia suka hal-hal kayak gini...” ujar Wildan.
“Dia percaya... Dia selalu percaya...” sambung Laura.

Riko berjalan gontai memasuki kamar Danny. Matanya tertegun melihat tiga orang itu tengah duduk dilantai, mengerjakan sesuatu yang nampak ia kenali.

“Ka.. Kalian?”

Dengan sigap Wildan berdiri dan menghampiri Riko.

“Allan yang bawa ini Rik... Allan yang nemuin ini di kamar Danny....”

Pandangan Riko nanar. Ia ingat akan janjinya, ia ingat dengan lingkaran yang belum jadi sepenuhnya itu. Janji yang sedang dipenuhi bahkan bukan olehnya, melainkan oleh Laura, Allan, dan Wildan...
Kini ia seperti melewati perputaran waktu, membuatnya mengitari seluruh memori yang pernah ia jalani...
...
...

27 Maret

Hari itu tidak terlalu panas, tidak terlalu sejuk. Semua serba pas. Aku baru saja pulang dari membeli beberapa perlengkapan, untuk janjiku dengan seseorang. Ini bukan untuk candle light dinner atau surprise party. Tapi sebuah janji, sebelum aku dan dia jadian.

“Kak?” suara itu memanggilku.

Suara yang lembut, suara yang sedetik berlalu kemudian langsung memompa gyrus-gyrus di otakku untuk merindukannya. Suara Danny.

“Hei, Blew...”
“Kamu dari mana?”tanya nya.
“Aku dari Lavender... Habis beli ini...”
“Isi nya apa??” ujarnya sambil menyambar bungkusan yang kubeli.

Aku suka sekali melihat matanya yang berbinar penuh rasa penasaran. Rasanya menggemaskan. Aku ingin mencubit pipinya.

“Ini???”
“Iya, itu untuk janji aku dulu kan? Mau buat Mistletoe yang gede trus ada lampunya jadi bisa buat hiasan kamar”

Ia langsung memelukku. Aku setengah siap saat itu, namun langsung aku sambut dan merengkuhnya erat didalam pelukanku. Ku usap punggungnya pelan. Kuhirup aroma tubuhnya yang manis samar. Rambutnya yang halus dan harum membuatku tak ingin melepaskan kecupan demi kecupan pada pelipis dan keningnya.

“Kapan kamu mau buat ini?” tanyanya.
“Hmmm... cium dulu..” godaku.
“Hahaaa” ia tertawa renyah.

Menit berganti jam, dan kami berdua mengerjakan hiasan itu dengan telaten. Pelan-pelan kami tempelkan bagian demi bagian. Aku ingin sekali menciumnya kala itu. Ia nampak begitu serius tetapi juga menggemaskan. Ahh, Danny...

“Kamu kenapa ngeliatin aku gitu?”
“Nggak papa...”
“Bohong. Dari tadi ngeliatin gitu...”
“Emangnya nggak boleh liatin pacar sendiri?”
“Nggak boleh dong...”

Aku langsung bangkit dan menyambar tubuh kecilnya. Ku gendong lalu kuangkat ke kasur. Ia meronta-ronta, tetapi semakin ia bergerak, semakin pula aku memegang erat tangannya. Matanya yang berbinar menyiratkan sorot penuh cinta. Aku tau itu. Aku yakin itu. Aku bisa melihatnya berbeda saat memandang Wildan, atau orang lain. Tetapi saat melihatku, matanya teduh. Dan mata itu semakin membuatku yakin. Aku juga mencintaimu.


....
...
...

“Rik??? Woi!!!” tiba-tiba Wildan menepuk punggung Riko.
“Eh...” Riko tersentak.
“Ngelamun?”
“Dikit...”
“Nih, bantuin...”

Mereka berempat lalu terhanyut dalam pusaran waktu. Hanyut dalam janji yang harus ditepati. Dalam hati, mereka memanjatkan doa yang sama, harapan yang sama. Danny, untuk bisa bangkit.

“Hahhhhh, Done!” ujar Laura.
“Akhirnya...” ujar Wildan.

Riko hanya tersenyum puas. Hatinya seperti ingin meledak, begitu bahagia ia rasakan saat hiasan mistletoe ini telah selesai. Click. Kemudian lampu merah kecil itu berkelap kelip teratur. Pelan. Remang. Indah.

Riko lalu meletakkannya disamping Danny. Diusapnya kening Danny sambil terus menatapnya lekat-lekat. Betapa ia ingat semua memori yang justru semakin menguatkannya. Ah, andai Danny masih menginginkan ia atau tidak. Ia tak peduli. Ia ingin melihat Danny bangun. Danny tersenyum.

Bagi mereka yang mencintai seseorang terlalu dalam. Terkadang hal terpahit yang menoreh dan melukai diri sendiri akan membuat kita kebas dan tak merasakan apapun. Terluka dalam pun tak apa. Jika memang itu yang membuat orang yang dicinta bahagia.

Riko mengusap pelan pipi Danny. Sejurus kemudian, bibirnya mendarat di bibir Danny. Ciuman lembut yang sudah sekian lama ia rindukan. “Ayo, Dek.. Bangunlah....” ujarnya dalam hati. “Ini mistletoe mu sudah jadi, mana legenda mu? Mana keajaibanmu?”

Riko hanya menatap kosong Danny. Ciuman penuh ketulusan tadi belum juga membawa Danny kembali. Membawa Danny sadar. Wildan hanya menepuk punggung Riko.

***


Aku merasa kepalaku begitu berat. Aku hampir-hampir susah membuka mata. Hal yang pertama terlintas dibenakku saat ini adalah, aku berada di rumah sakit. Ah iya, pukul berapa ini? Hari apa ini?

Aku merasa kegelapan telah merengkuhku cukup lama. Tidak sakit, tidak pengap, tidak menakutkan. Hanya tersesat dan aku tidak bisa bangkit. Kini mataku telah melihat lampu terang diatas kepalaku. Mataku melihat sekeliling, selang infus yang masuk dan mengalirkan cairan kedalam tubuhku. Perban di beberapa bagian tubuhku.

Aku berusaha membuka mata lebih lebar lagi. Sunyi. Hanya ada seseorang yang menunduk ditepi kasur, tepat disebelahku. Aku mengenali sosok ini. Kak Riko.

Tanganku kemudian menyentuh kepalanya. Aku begitu merindukannya. Sangat merindukannya.

“Kak...” ujarku pelan.

Tidak ada jawaban. Ia mungkin tertidur.

Ku usap-usap kepalanya, aku begitu kangen. Begitu ingin memeluknya erat-erat. Seperti anak kecil yang menggenggam balon udara supaya tidak mengambang ke udara.

Ia tersentak. Wajah itu menatapku. Itu kak Riko.

“Kak..” ujarku sambil tersenyum.
“Dan... Danny...” jawabnya lirih.
“Kamu tidur disini saja, disebelahku... Nanti kamu sakit...” balasku.

Kak Riko tak menjawab apapun. Ia hanya menangis. Air matanya mengalir deras. Dan aku bingung.


****


5 Tahun Kemudian.

Aku berjalan menyusuri distrik Altstadt pagi itu. Setahun yang lalu aku menyelesaikan kuliah dan berangkat ke Frankfurt, Jerman. Aku mendapat beasiswa untuk melanjutkan studi disini. Ya, 5 tahun berlalu begitu cepat bagi sebagian orang. Tetapi tidak bagiku, karena aku harus menjalani hubungan lintas negara. Selama 4 tahun, sampai akhirnya aku mendaratkan diriku disini. Supaya bisa bersama dia.

“Sini!” ujarnya.
“Sabar... Aku juga capek jalan terus daritadi...” jawabku.
“Walau sudah setahun melewati Braubachstrasse, aku tidak pernah bosan”
“Sama, ini salah satu bagian kota tua di Frankfurt. Entah, seperti membolak balik buku sejarah rasanya.”
“Hahaa...” ujar kak Riko sambil merangkulku.

Kak Riko mengejar perusahan Jerman yang ia inginkan sejak dulu. Begitu lulus, ia melamar dan diterima. Sejak saat itu, aku dan kak Riko menjalani hubungan jarak jauh. Sangat jauh. Dan adanya dia disini, menjadikan beasiswa untuk studi disini adalah prioritas utamaku. Siapa tahu, aku juga bisa bekerja disini.

Tabrakan yang terjadi 5 tahun yang lalu adalah momentum bagi kami. Laura tak henti-hentinya menengokku seperti bayi. Dia menerima pesan dari kak Riko untuk terus merawatku, padahal aku tak ingin merepotkan siapapun. Sampai, saat aku wisuda dan diterima disini, Laura menangis dan tak ingin melepaskanku. Katanya ia takut kesepian, tapi pekerjaannya sebagai auditor di sebuah Bank tentulah menyita waktu, ia tak kan kesepian.

Kak Wildan dengan karirnya yang cemerlang, kini telah menyelesaikan pendidikan kenotariatannya. Life does change.

Allan? Aku tak mendengar apapun, ia seperti menghilang. Kata-kata terakhirnya sebelum kami berpisah adalah “maaf”. Ah, dia juga anak orang kaya... Pasti dia tengah berlibur disuatu tempat, atau menghabiskan uang untuk sekedar memperoleh kesenangan.

“Hei, Blew...”
“Hmmmh?”
“Ngelamun aja kamu”
“Haha... Kamu ngapain sih narik aku kesini?”
“Ini ada taman kota deket sini..”
“Iya tau, terus?”
“Nah itu dia!”

Tangan kak Riko menunjuk sebuah pohon biasa yang ada di taman kota itu. Dibawahnya ada bangku taman dan beberapa orang ada yang sedang membaca buku, ada yang sedang mengobrol santai.

“Itu pohon white birch biasa...”
“Iya, dikenal dengan nama Lady of woods” balas kak Riko.
“Trus?”
“Kemarin, aku lewat sini. Terus aku ngeliat sesuatu disana”
“Apa?”

Kak Riko lalu menggamit tanganku. Menggandengku pelan sampai kami berdiri dibawah white birch itu.

“Lihat keatas”
“Hah??”
“Itu mistletoe...”

Aku terkesima. Ini pertama kalinya aku melihat mistletoe.

“Mirip pakis ya”
“Namanya juga tumbuhan parasit”
“Iya...” ujarku.
“Janjiku udah kan Blew?”

Muka ku panas. Panas sekali. Aku tak menyangka perjalanan kami akan sejauh ini, aku tak menyangka kak Riko benar-benar membawaku kebawah daun mistletoe. Berdua.

“Belum” balasku.
“Kok?”
“Cium aku dulu, baru selesai... kan legendanya bilang gitu”

Cup. Sebuah ciuman hangat mendarat dibibirku. Bibir yang pertama kali menciumku seumur hidupku, lima tahun yang lalu. Dan bibir yang masih menciumku sampai detik ini.

Aku menatapnya dalam-dalam. Air mataku hampir jatuh disudut mata.

“Blew...”
“Ya?” ujarku sesak.
“Kamu mau terus mencintaiku?”
“Sampai kapan?” tanyaku.
“Entah...” balasnya.
“Aku akan terus mencintai kamu... Sampai kamu tua dan memutih, sampai perut six pack kamu jadi bundar karena lemak, sampai kita harus saling memapah untuk bisa datang kesini lagi” ujarku.
“Aku mencintaimu, Danny”
“Aku juga...” balasku.


Legenda itu nyata. Hanya perlu meminta, hanya perlu berdoa. Cinta tak pernah salah, ia hanya datang diwaktu yang tak diduga, dan jika hanya kita pantas.


TAMAT

6 comments:

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Lovin' this sooooooooo bad...damn
hope that i'LL get someone just Like Riko.

*Fan*

guest said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

terimakasih buat ceritanya.....
ini adalah sebuah cerita yang patut diacungkan jempol...
:D

Unknown said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Thx TUKTUK
Cerita ini bikin emosi gw ga karuan
Sempat netes euy air mata

Berhasil d....
Hmm Wildannya buat gw aja ya :-)

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Tuktuk here, :) thanks for recognition yah baru dikasih tau Dazz jadi baru main kesini lagi. Makasih bgt udh dibaca, aku lagi nulis cerita lagi baca jga ya :)

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

So sweet

Unknown said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Ceritanya keren, akhirnya nemu juga cerita yang happy ending :)

Post a Comment