CHAPTER XIX
THE LOVE UNDER THE MISTLETOE
by
Tuktuk
“Orang tua Danny sampe disini besok...” ujar Wildan.
Riko masih tertunduk lesu, sudah hampir dua belas jam Danny masih belum juga tersadar.
“Kamu mandi dulu, makan dulu, sudah sampe jam segini kamu masih disini juga...” sambung Wildan.
“Aku mau nungguin dia dulu...” balas Riko.
“Bersih-bersih dulu sana, Wildan temenin dia dulu cari makan juga...” ujar Laura.
Riko menghela nafas panjang. Hatinya, fikirannya, fisiknya ingin berada disini. Ingin bersama Danny.
“Nanti, kalau ada apa-apa aku langsung hubungi kalian” ujar Laura.
“Yuk, Rik”
“Ga usah, biar aku sendiri saja Wildan. Paling nggak ada cowok yang nemenin Laura...”
Riko
lalu membalikkan badannya, meninggalkan ruang dimana Danny masih
terbaring lemah. Pikirannya kalut, hatinya begitu gundah, paling tidak
sampai Danny membuka mata kembali... Perihal ia masih berhak mencintai
Danny atau tidak, itu urusan lain. Danny harus sembuh dulu.
***
Sesosok
pria berdiri didepan pintu kamar Clara 21, pria itu nampak ragu untuk
memasuki ruangan itu. Di satu sisi ia ingin sekali masuk, di sisi lain
ia merasa terganjal dan berdosa.
“Allan?” ujar Wildan.
“Ssh...” balas Allan.
“Kamu ... Tau dari siapa?”
“Laura” jawabnya pelan.
“Riko ada?” sambungnya.
“Jangan, jangan cari Riko lagi, biarkan Danny sehat dulu...”
“Bukan... Bukan gitu Wildan. Justru kalau ada dia aku ga mau masuk...”
“Dia lagi keluar...”
Allan
melangkah masuk ke dalam kamar kemudian langkahnya menjadi gontai
ketika mendapati Danny terbaring lemah dibalik tirai. Rasa bersalah
menyelimutinya dan mengubah air mukanya yang mendadak berkaca-kaca.
“Maafin aku, Danny...” ujarnya pelan sambil memegang tangan Danny.
Laura
lalu menepuk pundak Allan kemudian membisikkan “Danny belum siuman...”.
Allan hanya bisa menutup mukanya dengan kedua telapak tangan. Ia merasa
telah begitu banyak menyusahkan Danny. Sedemikian susah.
“Ini..” tiba-tiba Allan mengangkat bungkusan hitam yang ia bawa.
“Apa ini?” tanya Wildan.
“Aku temukan di bekas lemari Danny... Janji Riko ke Danny... “
“Janji?” serempak Laura dan Wildan bertanya.
“Iya, ini lingkaran daun mistletoe, yah, cuma imitasi sih, seperti hiasan natal... Cuma ini belum selesai...”
“Terus?” tanya Laura.
“Bantu aku kelarin hiasan ini, paling nggak aku melakukan satu hal baik untuk Danny... Paling tidak...”
“Aku ingat janji Riko yang ini...” ujar Wildan.
Tanpa
diberi komando mereka bertiga seperti mengerjakan tugas rumah yang
harus dikumpulkan besok. Ketiganya nampak serius... Serius sekali
membuat lingkaran daun mistletoe, lengkap dengan hiasan kristal dan
lampunya..
“Danny itu unik... Dia suka hal-hal kayak gini...” ujar Wildan.
“Dia percaya... Dia selalu percaya...” sambung Laura.
Riko
berjalan gontai memasuki kamar Danny. Matanya tertegun melihat tiga
orang itu tengah duduk dilantai, mengerjakan sesuatu yang nampak ia
kenali.
“Ka.. Kalian?”
Dengan sigap Wildan berdiri dan menghampiri Riko.
“Allan yang bawa ini Rik... Allan yang nemuin ini di kamar Danny....”
Pandangan
Riko nanar. Ia ingat akan janjinya, ia ingat dengan lingkaran yang
belum jadi sepenuhnya itu. Janji yang sedang dipenuhi bahkan bukan
olehnya, melainkan oleh Laura, Allan, dan Wildan...
Kini ia seperti melewati perputaran waktu, membuatnya mengitari seluruh memori yang pernah ia jalani...
...
...
27 Maret
Hari
itu tidak terlalu panas, tidak terlalu sejuk. Semua serba pas. Aku baru
saja pulang dari membeli beberapa perlengkapan, untuk janjiku dengan
seseorang. Ini bukan untuk candle light dinner atau surprise party. Tapi
sebuah janji, sebelum aku dan dia jadian.
“Kak?” suara itu memanggilku.
Suara yang lembut, suara yang sedetik berlalu kemudian langsung memompa gyrus-gyrus di otakku untuk merindukannya. Suara Danny.
“Hei, Blew...”
“Kamu dari mana?”tanya nya.
“Aku dari Lavender... Habis beli ini...”
“Isi nya apa??” ujarnya sambil menyambar bungkusan yang kubeli.
Aku suka sekali melihat matanya yang berbinar penuh rasa penasaran. Rasanya menggemaskan. Aku ingin mencubit pipinya.
“Ini???”
“Iya, itu untuk janji aku dulu kan? Mau buat Mistletoe yang gede trus ada lampunya jadi bisa buat hiasan kamar”
Ia
langsung memelukku. Aku setengah siap saat itu, namun langsung aku
sambut dan merengkuhnya erat didalam pelukanku. Ku usap punggungnya
pelan. Kuhirup aroma tubuhnya yang manis samar. Rambutnya yang halus dan
harum membuatku tak ingin melepaskan kecupan demi kecupan pada pelipis
dan keningnya.
“Kapan kamu mau buat ini?” tanyanya.
“Hmmm... cium dulu..” godaku.
“Hahaaa” ia tertawa renyah.
Menit
berganti jam, dan kami berdua mengerjakan hiasan itu dengan telaten.
Pelan-pelan kami tempelkan bagian demi bagian. Aku ingin sekali
menciumnya kala itu. Ia nampak begitu serius tetapi juga menggemaskan.
Ahh, Danny...
“Kamu kenapa ngeliatin aku gitu?”
“Nggak papa...”
“Bohong. Dari tadi ngeliatin gitu...”
“Emangnya nggak boleh liatin pacar sendiri?”
“Nggak boleh dong...”
Aku
langsung bangkit dan menyambar tubuh kecilnya. Ku gendong lalu kuangkat
ke kasur. Ia meronta-ronta, tetapi semakin ia bergerak, semakin pula
aku memegang erat tangannya. Matanya yang berbinar menyiratkan sorot
penuh cinta. Aku tau itu. Aku yakin itu. Aku bisa melihatnya berbeda
saat memandang Wildan, atau orang lain. Tetapi saat melihatku, matanya
teduh. Dan mata itu semakin membuatku yakin. Aku juga mencintaimu.
....
...
...
“Rik??? Woi!!!” tiba-tiba Wildan menepuk punggung Riko.
“Eh...” Riko tersentak.
“Ngelamun?”
“Dikit...”
“Nih, bantuin...”
Mereka
berempat lalu terhanyut dalam pusaran waktu. Hanyut dalam janji yang
harus ditepati. Dalam hati, mereka memanjatkan doa yang sama, harapan
yang sama. Danny, untuk bisa bangkit.
“Hahhhhh, Done!” ujar Laura.
“Akhirnya...” ujar Wildan.
Riko
hanya tersenyum puas. Hatinya seperti ingin meledak, begitu bahagia ia
rasakan saat hiasan mistletoe ini telah selesai. Click. Kemudian lampu
merah kecil itu berkelap kelip teratur. Pelan. Remang. Indah.
Riko
lalu meletakkannya disamping Danny. Diusapnya kening Danny sambil terus
menatapnya lekat-lekat. Betapa ia ingat semua memori yang justru
semakin menguatkannya. Ah, andai Danny masih menginginkan ia atau tidak.
Ia tak peduli. Ia ingin melihat Danny bangun. Danny tersenyum.
Bagi
mereka yang mencintai seseorang terlalu dalam. Terkadang hal terpahit
yang menoreh dan melukai diri sendiri akan membuat kita kebas dan tak
merasakan apapun. Terluka dalam pun tak apa. Jika memang itu yang
membuat orang yang dicinta bahagia.
Riko mengusap pelan pipi
Danny. Sejurus kemudian, bibirnya mendarat di bibir Danny. Ciuman lembut
yang sudah sekian lama ia rindukan. “Ayo, Dek.. Bangunlah....” ujarnya
dalam hati. “Ini mistletoe mu sudah jadi, mana legenda mu? Mana
keajaibanmu?”
Riko hanya menatap kosong Danny. Ciuman penuh
ketulusan tadi belum juga membawa Danny kembali. Membawa Danny sadar.
Wildan hanya menepuk punggung Riko.
***
Aku merasa
kepalaku begitu berat. Aku hampir-hampir susah membuka mata. Hal yang
pertama terlintas dibenakku saat ini adalah, aku berada di rumah sakit.
Ah iya, pukul berapa ini? Hari apa ini?
Aku merasa kegelapan
telah merengkuhku cukup lama. Tidak sakit, tidak pengap, tidak
menakutkan. Hanya tersesat dan aku tidak bisa bangkit. Kini mataku telah
melihat lampu terang diatas kepalaku. Mataku melihat sekeliling, selang
infus yang masuk dan mengalirkan cairan kedalam tubuhku. Perban di
beberapa bagian tubuhku.
Aku berusaha membuka mata lebih lebar
lagi. Sunyi. Hanya ada seseorang yang menunduk ditepi kasur, tepat
disebelahku. Aku mengenali sosok ini. Kak Riko.
Tanganku kemudian menyentuh kepalanya. Aku begitu merindukannya. Sangat merindukannya.
“Kak...” ujarku pelan.
Tidak ada jawaban. Ia mungkin tertidur.
Ku
usap-usap kepalanya, aku begitu kangen. Begitu ingin memeluknya
erat-erat. Seperti anak kecil yang menggenggam balon udara supaya tidak
mengambang ke udara.
Ia tersentak. Wajah itu menatapku. Itu kak Riko.
“Kak..” ujarku sambil tersenyum.
“Dan... Danny...” jawabnya lirih.
“Kamu tidur disini saja, disebelahku... Nanti kamu sakit...” balasku.
Kak Riko tak menjawab apapun. Ia hanya menangis. Air matanya mengalir deras. Dan aku bingung.
****
5 Tahun Kemudian.
Aku
berjalan menyusuri distrik Altstadt pagi itu. Setahun yang lalu aku
menyelesaikan kuliah dan berangkat ke Frankfurt, Jerman. Aku mendapat
beasiswa untuk melanjutkan studi disini. Ya, 5 tahun berlalu begitu
cepat bagi sebagian orang. Tetapi tidak bagiku, karena aku harus
menjalani hubungan lintas negara. Selama 4 tahun, sampai akhirnya aku
mendaratkan diriku disini. Supaya bisa bersama dia.
“Sini!” ujarnya.
“Sabar... Aku juga capek jalan terus daritadi...” jawabku.
“Walau sudah setahun melewati Braubachstrasse, aku tidak pernah bosan”
“Sama, ini salah satu bagian kota tua di Frankfurt. Entah, seperti membolak balik buku sejarah rasanya.”
“Hahaa...” ujar kak Riko sambil merangkulku.
Kak
Riko mengejar perusahan Jerman yang ia inginkan sejak dulu. Begitu
lulus, ia melamar dan diterima. Sejak saat itu, aku dan kak Riko
menjalani hubungan jarak jauh. Sangat jauh. Dan adanya dia disini,
menjadikan beasiswa untuk studi disini adalah prioritas utamaku. Siapa
tahu, aku juga bisa bekerja disini.
Tabrakan yang terjadi 5 tahun
yang lalu adalah momentum bagi kami. Laura tak henti-hentinya
menengokku seperti bayi. Dia menerima pesan dari kak Riko untuk terus
merawatku, padahal aku tak ingin merepotkan siapapun. Sampai, saat aku
wisuda dan diterima disini, Laura menangis dan tak ingin melepaskanku.
Katanya ia takut kesepian, tapi pekerjaannya sebagai auditor di sebuah
Bank tentulah menyita waktu, ia tak kan kesepian.
Kak Wildan dengan karirnya yang cemerlang, kini telah menyelesaikan pendidikan kenotariatannya. Life does change.
Allan?
Aku tak mendengar apapun, ia seperti menghilang. Kata-kata terakhirnya
sebelum kami berpisah adalah “maaf”. Ah, dia juga anak orang kaya...
Pasti dia tengah berlibur disuatu tempat, atau menghabiskan uang untuk
sekedar memperoleh kesenangan.
“Hei, Blew...”
“Hmmmh?”
“Ngelamun aja kamu”
“Haha... Kamu ngapain sih narik aku kesini?”
“Ini ada taman kota deket sini..”
“Iya tau, terus?”
“Nah itu dia!”
Tangan
kak Riko menunjuk sebuah pohon biasa yang ada di taman kota itu.
Dibawahnya ada bangku taman dan beberapa orang ada yang sedang membaca
buku, ada yang sedang mengobrol santai.
“Itu pohon white birch biasa...”
“Iya, dikenal dengan nama Lady of woods” balas kak Riko.
“Trus?”
“Kemarin, aku lewat sini. Terus aku ngeliat sesuatu disana”
“Apa?”
Kak Riko lalu menggamit tanganku. Menggandengku pelan sampai kami berdiri dibawah white birch itu.
“Lihat keatas”
“Hah??”
“Itu mistletoe...”
Aku terkesima. Ini pertama kalinya aku melihat mistletoe.
“Mirip pakis ya”
“Namanya juga tumbuhan parasit”
“Iya...” ujarku.
“Janjiku udah kan Blew?”
Muka
ku panas. Panas sekali. Aku tak menyangka perjalanan kami akan sejauh
ini, aku tak menyangka kak Riko benar-benar membawaku kebawah daun
mistletoe. Berdua.
“Belum” balasku.
“Kok?”
“Cium aku dulu, baru selesai... kan legendanya bilang gitu”
Cup.
Sebuah ciuman hangat mendarat dibibirku. Bibir yang pertama kali
menciumku seumur hidupku, lima tahun yang lalu. Dan bibir yang masih
menciumku sampai detik ini.
Aku menatapnya dalam-dalam. Air mataku hampir jatuh disudut mata.
“Blew...”
“Ya?” ujarku sesak.
“Kamu mau terus mencintaiku?”
“Sampai kapan?” tanyaku.
“Entah...” balasnya.
“Aku
akan terus mencintai kamu... Sampai kamu tua dan memutih, sampai perut
six pack kamu jadi bundar karena lemak, sampai kita harus saling memapah
untuk bisa datang kesini lagi” ujarku.
“Aku mencintaimu, Danny”
“Aku juga...” balasku.
Legenda
itu nyata. Hanya perlu meminta, hanya perlu berdoa. Cinta tak pernah
salah, ia hanya datang diwaktu yang tak diduga, dan jika hanya kita
pantas.
TAMAT
DISCLAIMER:
This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.
The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.
Love Under The Mistletoe Chapter 20
Labels:
Love Under The Mistletoe,
tuktuk
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Info Kesehatan
Artikel Lain :
9 Hal Seputar Kondom Pria yang Paling Sering Ditanyakan
6 comments:
Lovin' this sooooooooo bad...damn
hope that i'LL get someone just Like Riko.
*Fan*
terimakasih buat ceritanya.....
ini adalah sebuah cerita yang patut diacungkan jempol...
:D
Thx TUKTUK
Cerita ini bikin emosi gw ga karuan
Sempat netes euy air mata
Berhasil d....
Hmm Wildannya buat gw aja ya :-)
Tuktuk here, :) thanks for recognition yah baru dikasih tau Dazz jadi baru main kesini lagi. Makasih bgt udh dibaca, aku lagi nulis cerita lagi baca jga ya :)
So sweet
Ceritanya keren, akhirnya nemu juga cerita yang happy ending :)
Post a Comment