DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Aku Laki-Laki Episode 5

Episode 5
Cafe 
by Iansumbara

Kenapa manusia memiliki kecenderungan untuk mencampuri urusan orang lain? Selalu ingin tahu apa yang orang lain lakukan? Pantas saja acara-acara gosip di TV selalu memiliki rating tinggi. Sepertinya, itu adalah tabiat dasar sebagian besar manusia!

Saat wajah nampak lesu, pasti akan ada orang yang bertanya, "Kenapa jutek begitu? Diputusin pacar ya?". Atau mungkin pertanyaan lain yang berbau gosip. Bahkan ketika wajah nampak gembira, tetap saja ada yang bertanya dengan heran, "Wow, ternyata masa berkabung diputusin pacar gak sampai seminggu. Ada apa neh?" Pertanyaan itulah yang dilontarkan oleh Ardi. Sengaja ia keraskan suaranya hingga Mbak Ria mendengarnya.

Seketika, Mbak Ria muncul di sampingku. Persis kedatangan seorang ninja. Benar-benar seketika! Dia mengamati wajahku seperti dokter yang sedang meneliti struktur jerawat pasiennya. "Hmm.. Sepertinya sudah dapat gebetan baru neh. Pertanyaannya, siapa?" Mbak Ria mengatakan itu seolah sedang bicara pada kulitku, bukan diriku.

Aku jadi risih. Dua orang menatapku seperti melihat spesies langka. "Apaan sih? Gak ada apa-apa juga."

"Maksud Mbak Ria, belum jadian? Masih pendekatan?" tanya Ardi pada Mbak Ria. Dia sama sekali tak mempedulikan keberadaanku. Aku benar-benar dianggap sebuah benda!

"Sepertinya sih begitu." sahut Mbak Ria tanpa melepas pengamatannya.

Aku menghela nafas panjang. "Dompetku dah ketemu oke! Itu yang membuatku senang hari ini." Ku balas tatapan kedua biang gosip di hadapanku.

Rupanya jawaban itu lumayan efektif. Seketika Mbak Ria menghentikan pengamatannya dan berdiri tegak. "Oya?" Tapi itu malah memicu pertanyaan lain. "Ketemu di mana?"

Lagi-lagi aku menghela nafas panjang dan menceritakan tentang hilangnya dompet di Busway dan proses pengambilannya. Tentu saja aku tak menceritakan detilnya.

"Wow, brondong ketemu brondong?" ujar Mbak Ria seperti bergumam.

Arggg! Aku sudah jengkel dengan panggilan itu! Sayangnya, aku tak bisa mengubahnya. "Aku gak bilang kata brondong!"

Mbak Ria tak mempedulikan kata-kataku. "Cakep gak brondongnya?"

"Astaga, ingat anak-anak di rumah Tante Ria!" celetuk Ardi.
"Yee, biarin aja. Dari pada kamu, udah seumur begini belum punya anak."
"Lah, Aan juga belum punya. Umur dia kan sama dengan umurku. Cuma beda bulan."

Mbak Ria diam sesaat. Kemudian menoleh ke arahku. "Menurutmu," ia kembali berpaling ke arah Ardi. "si brondong ini dah pantes punya anak?"

Ardi malah cekikikan saat menatapku. "Iya juga ya."

Aku benar-benar jengkel. Aku diam pun, dibawa-bawa ke pembicaraan mereka. "Udah ah, aku mau kerja!"

Melihat reaksiku, kedua penggosip itu tertawa senang. Mereka seperti melihat binatang langka di Ragunan yang sedang bertingkah lucu. Tapi setidaknya, mereka kini bubar. Itu membuatku lega.

Namun belum juga aku menyentuh Laptop, Mbak Ria muncul kembali. Sekali lagi persis ninja. Muncul begitu saja. Aku menoleh ke arahnya dengan wajah yang kusut.

"Aku nggak mau godain lagi kok." Ia melihatku seperti melihat anak kucing yang dibuang di pinggir jalan. Sangat kasihan. "Aku cuma mau minta no asuransimu. Dah ada kan?"

Aku jadi lega. Seketika senyumku mengembang. "Oh iya!"



==000o==


Menu makan siang hari ini adalah favoritku. Ada Pecel dan Tempe Bacem. Bahkan, piringku menggunung oleh sayuran. Bayam, kacang panjang, kol, kangkung dan touge. Luar biasa. Ini adalah pecel paling lengkap.

Ku pikir, porsiku adalah porsi gila. Tapi saat kulihat piring Ardi, piringku jadi terlihat mengecil.

"Astaga! Kamu makan kayak kuli bangunan." kataku keheranan. Kulihat dua telor dipiringnya.

Ardi malah tersenyum bangga. "Kamu tuh yang kayak orang gak diurus. Badan kok kulit doank."
"Enak aja, beratku ideal."
"Ideal buat dijadiin lembing iya."
"Biarin."

Badanku sebenarnya gak kurus-kurus amat. Tapi memang jadi kelihatan kurus jika dibandingkan dengan Ardi. Badan Ardi terawat dengan baik. Bahkan dia ikut fitness dengan personal trainer. Meski dia berulang kali bilang tak ingin badannya terlihat berotot layaknya Ade Rai, tapi dibandingkan denganku, jelas badannya jauh lebih berotot.

"Brondong!" Irwan muncul dengan piring yang tak kalah super dibanding piring Ardi. Tapi itu sama sekali tak membuatku heran. Tubuh Irwan sudah cukup menjelaskan kemana larinya makanan dipiring. "Nih, pesananmu." kata Irwan melemparkan kertas brosur di meja.

"Brosur rumah?" tanya Ardi penasaran.
"Iya." jawab Irwan. Mulutnya sudah penuh makanan.
"Kamu cari rumah An?"

Aku mengangguk. Tangan kananku memegang sendok sedangkan tangan kiriku sibuk membuka brosur.

"Jadi tetanggaku aja." kata Ardi. Dia tinggal di apartemen.
"Hm, hm, hm." tangan Irwan bergerak-gerak tak setuju. Dia menelan makanannya dengan terburu-buru. "Jangan!"
"Kenapa?" sahut Ardi sewot.

Irwan menatap ke arahku, tak peduli wajah Ardi yang sebal karena dicuekin. "Bahaya! Dia itu pedofil."
"Enak aja nuduh orang sembarangan!" Ardi makin sewot.

Aku tertawa. "Tapi kalaupun dia pedofil, apa hubungannya sama aku?"

"Hmm.." Irwan berhenti mengunyah. Dengan gesit dia mengambil HP dari kantong dan mengarahkan kameranya padaku. "Nih, liat sendiri." dia menyodorkan hasil jepretannya padaku. "Ganti foto Detektif Conan-mu sama foto ini. Dijamin banyak ABG yang ngajak kenalan."

Kulihat fotoku di HP Irwan. Aku melihatnya biasa saja. Gak ada yang aneh.

Ardi menyambar HP dari tanganku. "Kalo pun aku pedofil, aku juga milih-milih kale!" kata Ardi. Ia kembalikan HP Irwan dengan kasar.

"Kalau bocahnya mirip Farhan?" tanya Irwan. Dia sudah selesai makan.

Ardi tak menjawab. Dia menatapku agak lama. "Aku pesan sepuluh deh." Ia tertawa renyah diikuti tawa Irwan.



==000o==



Sudah lima belas menit sejak ku kirimkan sms diam-diam namun belum ada telpon atau setidaknya balasan. Memang isi smsnya hanya satu kata, "SOS". Tapi seharusnya itu sudah cukup untuk dimengerti.


==000o==



Aku duduk di sofa mungil berwarna merah marun. Sangat nyaman karena dilapisi dengan kain yang lembut. Tapi itu tak menolongku sama sekali. Aku tetap ingin segera bangkit, membuka pintu dan lari dari rumah indah milik Kakakku. Sayangnya, itu tak mungkin. Di sekelilingku, dengan berbagai gaya, Kakak-kakakku menatap tajam menunggu jawaban. Posisiku persis anak kijang yang dikelilingi singa-singa betina yang kelaparan.

Ternyata, apapun peran kita dalam kehidupan selalu memiliki dua sisi. Untung dan rugi. Setidaknya itulah yang kurasakan. Sebagai anak terakhir dan sebagai satu-satunya anak laki-laki, aku mendapatkan tidak hanya kasih sayang seorang Ibu. Tapi empat Ibu! Ketiga kakakku selalu menganggap diri mereka sebagai Ibu terhadapku. Tentu saja ada untungnya, karena aku hampir bisa mendapatkan semua hal jika aku memintanya. Tapi sebaliknya, aku seperti memiliki polisi di empat penjuru mata angin.

Itulah yang terjadi padaku saat ini. Persis seorang tersangka yang sedang diinterogasi oleh polisi. Sedangkan kasusnya adalah kabar putusnya aku dengan Puspa. Astaga. Bahkan aku tak memiliki ruang pribadi yang boleh ku putuskan sendiri! Sesuatu yang selalu ku damba sejak dulu.

Awalnya, ku pikir hal itu akan segera ku peroleh jika aku tinggal sendiri. Karenanya aku ngotot untuk tinggal di rumah Kos dibanding di rumah Kakakku. Tapi nyatanya, setiap saat mereka bisa muncul di rumah Kos dan menculikku. Seperti sekarang.

Mereka menculikku untuk diperiksa atas perintah Mama!

"Sumpah Kak. Aku yang diputusin." kalimat ini sudah berkali-kali ku ucapkan. Dan mereka tak percaya secuilpun.

Kak Eva, Kakak ketiga, mendekat. "Kalaupun benar kamu yang diputusin, pasti karena kamu sudah melakukan kesalahan." Ia mengatakannya dengan tersenyum. Namun senyum itu seperti belati. Menusuk. "Kakak tahu bagaimana Puspa. Dia anak yang baik." lanjutnya.

Aku menghela nafas panjang. Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Yang pasti, aku tak mungkin membeberkan alasan kenapa aku diputusin. Bisa-bisa keempat Ibu itu akan murka. Aku tak bisa membayangkan kutukan dari empat Ibu sekaligus!

Ting tong!

"Tamu!" seruku gembira dalam hati. Biarpun SMS ku gagal, tapi seorang tamu cukup bisa menyelamatkanku.

===

"Ardi?" aku melotot. Aku kaget, heran sekaligus senang. Ternyata SMS ku sukses.

Ardi melirik ke arahku dan mengedipkan mata saat dia memeluk ketiga Kakakku bergantian.

"Kamu kemana aja!" ujar Kak Ana sambil menjewer kuping Ardi. "Kamu udah gak pernah main kesini lagi."

Ardi meringis. Tangannya memegangi kupingnya yang kini memerah. "Sibuk Kak. Banyak kerjaan. Sekarang aja mau ngejemput Aan buat lembur."

"Lembur?" Kak Cici nampak keheranan. Kemudian menoleh ke arahku, "Kamu gak bilang kalau mau lembur."

Aku terdiam. Aku tak tahu harus menjawab apa. Jika sembarangan menjawab, bisa berantakan semua alasan yang dibuat Ardi.

"Mendadak Kak. Barusan aku di telpon Bos." sahut Ardi sebelum aku terpaksa membual. "An, ayo buruan."

"Iya." jawabku tergagap. Aku bangkit dan mengikuti Ardi yang melangkah keluar.

"Hei, hei." Panggil Kak Eva. "Kalian ini. Gak pernah berubah. Selalu seenaknya sendiri kalau pergi."

Ardi berhenti. Ia menoleh dengan wajah memelas. "Aduh Kak, please donk. Kata Bos, ini penting banget." Kemudian dengan langkah terburu-buru, ia menuju motor Kawasaki Ninja kesayangannya. Ia mengambil helm dan memberikannya kepadaku. Ia melambaikan tangan ke arah ketiga Kakakku yang bengong.

Tak lama motor sudah melesat dan aku bebas.


==000o==


"Loh, kita ke kantor beneran?" ujarku heran setelah melepas helm dengan buru-buru.
"Lah, emang kamu pikir tadi itu aku bohong?" jawab Ardi dengan santai. Ia mengambil helm dari tanganku dan mengikatnya di motor.

Ku tatap Ardi tak mengerti. "Trus kamu mau bilang, kalau kamu beneran ditelpon Bos?"
"Iya. Bos tadi pagi emang nelpon."
"Kok aku gak percaya?"
"Emang kamu pernah percaya?"

Aku geleng-geleng kepala.

"Ya, ada sedikit yang bohong sih. Bos gak minta supaya ngajak kamu." Ardi tersenyum. Tangannya menyambar kepalaku dan mengacak-acak rambut. Dia melangkah cepat menuju kantor.

Aku mengikutinya dari belakang. Tepat di belakang punggung Ardi yang kokoh. Tanpa ku sadari, ternyata aku sangat sering bersandar pada punggung itu.

Aku dan Ardi berteman sejak SMA saat kami masih di Lampung. Waktu itu, aku anak pindahan dari SMA lain. Sedangkan Ardi adalah anak yang terkenal sangat pintar, sekaligus bandel. Tapi kombinasi dua hal itu yang selalu menolongku. Nilaiku lumayan bagus karena bantuannya, dan aku tidak di-buli juga atas bantuannya. Saat lulus, kami sama-sama ingin kuliah di Jakarta. Yang akhirnya terwujud pun atas bantuannya. Namun Ardi lebih dulu lulus dan tak lama kemudian mendapat kerja. Setelah aku lulus, aku sempat bekerja ditempat lain hingga akhirnya Ardi membantuku mendapatkan pekerjaan sekarang.

Jadi jika dirangkum, ternyata aku sangat bergantung pada Ardi!

===

Berada di kantor tak membawa Laptop adalah sebuah kesalahan. Aku tak bisa membuka pekerjaanku. Yang bisa kulakukan adalah meminjam Komputer desktop Mbak Ria untuk membaca detik.com, kompas.com dan semua koran online. Tapi semua tak cukup untuk membunuh waktu. Kulihat Ardi tenggelam dengan pekerjaannya. Sangat serius.

Tinggal satu website favorit yang belum ku kunjungi, Facebook. Aku belum membukanya sejak kemarin. Saat ku buka, ada yang menarik perhatianku. Mario baru saja meng-update foto profilenya. Dan statusnya pun berubah.

"Olala.. Matahari telah bersinar lagi.."

Ternyata, dia tak bohong saat bilang sudah lama tak meng-update facebook. Terbukti banyak sekali komentar di statusnya yang menanyakan alasannya "menghilang" dari dunia facebook. Mungkin itu adalah komentar terbanyak pada sebuah status. Aku jadi ikut bertanya-tanya. Memang ada apa sampai dia "ngilang"?

"An, balik yok!" Ardi memanggilku dari tempat duduknya. Dia sedang mengenakan jaket.
"Oh, oke." jawabku. Ku tatap sekali lagi foto Mario untuk sesaat. Aku senyum sendiri bila teringat cara dia bicara. Tak lama, aku pun logout.



==000o==



Ini adalah kali pertama aku berada di tempat seperti ini. Tempat yang sepertinya telah menjadi habitat bagi Ardi. Kulihat dia nampak santai dan terus bertegur sapa dengan orang-orang.

Dari awal, Ardi tak mau mengatakan akan kemana. Yang ku tahu, saat ini berada di dalam sebuah ruangan luas dengan cahaya terbatas. Sama sekali tidak terang, namun juga tidak gelap. Aku masih bisa melihat wajah-wajah orang di sekitarku. Bahkan di sudut-sudut tertentu, terdapat cahaya lampu spotlite sehingga membentuk lingkaran-lingkaran. Cukup indah.

Ardi menyebutnya Cafe. Tapi di kepalaku, inilah yang disebut dengan diskotek. Aku sempat menolak untuk masuk. Ardi harus berkali-kali menjelaskan perbedaannya. Tapi percuma dia menjelaskan, karena aku belum pernah berada di kedua tempat tersebut sebelumnya.

Di sebuah sudut, terdapat sebuah bar. Seorang bartender nampak sibuk meramu minuman yang ku yakin pasti beralkohol. Di belakangnya berjejer beraneka macam botol dengan merk-merk minuman yang tak ku kenal sama sekali. Yang pasti, tidak ada merk Teh Botol Sosro di sana. Padahal itu minuman favoritku. Di depannya, berjejer kursi tinggi. Beberapa telah berisi tamu yang sedang menikmati segelas minuman sambil mengepulkan asap rokok.

Di beberapa tempat, menempel pada dinding yang berhiaskan lukisan-lukisan karikatur para penyanyi luar negeri, terdapat beberapa set sofa. Semua sofa penuh dengan pengunjung. Laki-laki dan perempuan saling berpelukan erat bukan hal aneh. Agak jauh, beberapa meja bulat agak tinggi berjajar di kelilingi dengan kursi-kursi yang juga tinggi. Aku duduk di salah satunya. Aku duduk menghadap ke arah panggung yang tak terlalu tinggi. Di sana sebuah Band sedang tampil dengan musik-musik yang enak di dengar. Di depan panggung terdapat ruang kosong.

"An!" panggil Ardi membuyarkan lamunanku. Tangannya baru saja puas mengacak-acak rambutku. "Mau minum apa?" Dia mengatakannya dengan sedikit berteriak untuk mengalahkan suara musik.

Aku baru sadar di samping Ardi berdiri seorang wanita berwajah manis dengan rok yang sangat mini. Dia tersenyum padaku sambil mengulang pertanyaan Ardi.

"Aa.. " aku tak tahu harus memesan apa. Aku tak pernah minum minuman beralkohol. Bahkan aku sama sekali tak suka dengan aromanya.

Ardi tertawa. "Kasih dia fruit punch aja. Tanpa alkohol ya." pesan Ardi masih terus tertawa.

Wanita itu tersenyum geli. "Tumben bawa teman? Anak siapa nih?" ia melirik ke arah ku.

"Kamu bisa aja. Teman kantor lagi." jawab Ardi.

Wanita itu malah tertawa. "Bohong kok jadi hobi." sahutnya.

"Siapa yang bohong? Tanya aja sama dia."

Wanita itu mendekat ke arahku. Ia mengulurkan tangannya. "Kenalin, Ayu."

Aku sedikit ragu. Namun akhirnya ku ulurkan tangan menyalaminya. "Farhan." kataku. Cepat-cepat ku tarik tanganku namun Ayu agak menahannya. Aku makin cepat menariknya.

Ayu tersenyum genit kemudian berpaling ke arah Ardi. "Kamu bohong." ujarnya pada Ardi.

Jidat Ardi berkerut heran. "Loh.."

Ayu tak mempedulikan Ardi. Dia berpaling lagi ke arahku, masih dengan senyum genit dan pergi.

Setelah Ayu menghilang, ku tatap Ardi penuh pertanyaan. Namun Ardi hanya nyengir. Matanya kini bergerilya menyusuri isi ruangan. Mungkin ia mencari teman-temannya.


==000o==


Aku pernah dengar Ardi bermain gitar. Aku tak pernah bosan mendengarnya. Namun aku baru tahu jika ternyata suaranya tak kalah indah dari petikan gitarnya.

Dia baru saja menyelesaikan sebuah lagu. Gemuruh tepuk tangan menjadi selingan lagu berikutnya. Saat ia kembali mengalunkan melodi, pengunjungpun kembali antusias mendengarkannya. Aku bisa rasakan orang-orang sangat menikmati penampilan Ardi. Betapa banyak bakat yang dimiliki Ardi. Aku makin merasa tak berarti apa-apa di bandingkan dengan semua yang dimilikinya.

"Sendirian?"

Aku hampir melompat. Konsentrasiku masih pada Ardi saat sebuah suara terdengar sangat dekat dari telingaku.

"Maaf." kataku cepat-cepat. Aku tak ingin orang yang tiba-tiba muncul itu tersinggung. "Aku.."

"Aku yang harusnya minta maaf." potong wanita yang duduk tepat di sebelahku. Dia tersenyum ramah.

Wanita itu sudah berumur. Namun dia masih kelihatan sangat cantik. Dia sangat pandai merawat tubuh. Gaunnya indah. Sangat pas dengan postur tubuhnya terawat. Namun entah kenapa, hal itu malah membuatku sedikit takut. Ada sesuatu pada dirinya yang membuatku merasa terancam.

"Jadi.. Sendirian aja?" ulang wanita itu.

"Oh.." aku lupa dengan pertanyaannya. "Enggak."
"Oya?"
"Iya.." aku menunjuk ke arah Ardi yang kini telah di akhir penampilannya. "Sama Ardi."
"Oh!" wanita itu berhenti dan menatap Ardi sesaat. "Sama Ardi ya?"
Aku mengangguk. "Ibu kenal sama Ardi?"

Tiba-tiba wanita itu tertawa hingga nampak giginya. Dia tertawa sambil menatapku seolah aku adalah bayi yang menggemaskan. "Kamu.." Dia berhenti. Menarik nafas dan mengaturnya. "Kamu pertama kali ya, main ke sini?"

Aku mengangguk. Aku makin takut.

"Panggil Tante saja. Memang aku seperti Ibu-ibu pengajian ya?" katanya. Masih dengan senyum yang sangat ramah.

Sebenarnya aku ingin jawab iya. Sudah waktunya wanita seumurnya lebih dekat pada sang pencipta. Namun aku hanya mengangguk.

"Tentu saja aku kenal." lanjut wanita itu. "Makanya aku heran. Belum pernah dia bawa teman sebelumnya. Perempuan.. Ataupun laki-laki."

"O gitu ya.. Tante.." kataku saat ia menatap ke arahku.

"Rupanya seleranya.. " ia berhenti. Ia mengamatiku seolah ingin menelanjangiku. "..lumayan juga." lanjutnya.

"Maksud Tante?"

Dia hanya tersenyum. "Oh bukan apa-apa." jawabnya. Tangannya tiba-tiba ada di pahaku.

Untuk sesaat aku lupa dengan sopan santun. Dengan cepat ku tepis tangannya dan kutarik kakiku menjauh.

Wanita itu malah tertawa terkekeh. "Ya ya.. Aku gak akan ganggu." katanya masih tersenyum ramah.

"Maaf." kataku spontan. "Aku.."

"Jangan minta maaf." kata wanita itu mantap. Kini tatapannya menjadi lebih keibuan. "Tante gak akan gangguin temannya Ardi." lanjutnya. Dia menekan kata "teman" seolah ingin mengatakan makna lainnya.

Aku jadi merasa, dia pasti berpikir ada sesuatu antara aku dan Ardi. Aku ingin menjelaskan padanya, namun wanita itu buru-buru pamit. Ia pamit setelah menyebut namanya. Lidya

Tante Lidya menghilang di antara kerumunan. Meninggalkanku sendiri. Sedangkan Ardi tak kunjung muncul.


==000o==


Ada banyak hal yang membuatku tak betah berada di dalam ruangan itu. Aroma alkohol, asap rokok dan musik yang makin lama makin tak enak di dengar. Ditambah Ardi yang tak kunjung kelihatan batang hidungnya, cukup memberiku alasan untuk keluar dari ruangan itu.

Kini aku terdampar di lobby hotel. Aku bahkan baru sadar jika Cafe itu ada di sebuah hotel.

Aku duduk di sofa. Mataku mulai berat dan berkali-kali menguap. Hampir saja aku tertidur jika saja mataku tak membentur sosok yang ku kenal sedang menuju pintu keluar.

"Rangga!" panggilku.

Rangga menoleh. Seketika ia langsung mengenaliku.

"Ngapain Kakak di sini?" tanya Rangga mendahuluiku.

Seharusnya, aku yang bertanya begitu. Jelas-jelas ini bukan tempat yang tepat buat anak ABG bermain. "Di ajak teman." jawabku sambil menunjuk ke arah Cafe. "Kamu?"

Rangga tersenyum. Sepertinya dia baru sadar kalau dia pun berada di tempat yang salah. "Ada saudara nginap di sini."

Entah kenapa, aku tak percaya dengan jawaban itu. Terlalu kebetulan. Namun aku tak ingin terlalu berburuk sangka. "Oh.." ujarku.

"An!"

Suara panggilan itu membuat Rangga dan aku menoleh. Ardi keluar dengan wajah menyesal.

"Ya udah Kak. Aku duluan ya." Rangga pamit. Dia buru-buru keluar dan masuk mobil yang sudah menunggu di depan pintu.

Aku mengangguk.

"Siapa An?"

"Teman." jawabku. Ardi sudah ada di sebelahku.

Ardi menatap mobil yang membawa Rangga pergi. Kemudian dia melirik curiga ke arahku. "ABG?" kini dia menatapku. "Temanmu ABG?"

Aku jadi heran dengan pertanyaanya, "Emang kenapa?"

"Gak apa-apa." jawab Ardi singkat. "Oh ya. Sorry. Tadi aku kelamaan."

"Gak apa-apa." jawabku. Aku memberinya senyum agar tak merasa bersalah.

"Tadi ketemu teman dan.."

"Gak apa-apa." potongku. Aku nembalas tatapan bersalahnya dengan senyum terbaik. "Suaramu ternyata bagus ya?" ku belokkan pembicaraan. Aku tak ingin Ardi berlarut-larut merasa bersalah.

Ardi jadi tertawa. Kemudian ia terdiam sesaat. "Aku antar pulang yuk."

"Jangan. Gak perlu. Kamu masih ada acara kan? Aku bisa naik taksi."

Ardi mengacak-acak rambutku. "Jangan bercanda! Udah. Aku anterin!"



==000o==



Aku sama sekali tak berbakat untuk begadang. Belum larut malam, mataku tinggal setengah watt. Aku terkapar di tempat tidur masih dengan pakaian yang sama yang ku pakai tadi. Sebenarnya aku tak suka dengan aroma yang melekat pada pakaianku, namun aku tak punya tenaga lagi untuk sekedar melepasnya. Sebentar lagi aku terlelap.

Nguuk..!! Nguuk..!!

HP tua bergetar di kantong celanaku. "Siapa yang SMS malam-malam gini?" kataku.

Dengan gerakan lambat, ku lihat HP dan tiba-tiba mataku jadi terbuka. Bahkan kantukku menghilang seketika.

Kak, td ktemu Rangga ya?



==000o==

to be continued


next episode

3 comments:

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Lanjutin gan.. bagus ceritanya.. semangat!!! :D

=M-Id=

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

lanjut..
Jadi penasaran gimana jadinya..

Unknown said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Mantap .. ada cerita baru .... lanjutkan! Tq buat mas ian dan mas dazz.......

Post a Comment