DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Aku Laki-Laki Episode 4

Episode 4
Makan Malam


by Iansumbara

"Uh! Sudah gak fresh!" keluhku setelah mencium lengan kemeja. Rasanya kurang nyaman jika berada di tempat perbelanjaan yang ramai namun masih mengenakan pakaian untuk ke kantor. Kemeja lengan panjang bergaris yang digulung pada lengannya, celana kain gelap tanpa corak dan sepatu kulit, benar-benar kurang pas berada di sini. Apalagi aku masih menggendong tas punggung yang berisi Laptop. Sama sekali jauh dari kata fashionable!

Tapi kenapa juga aku harus peduli dengan itu? Tujuanku kesini hanya satu, bertemu Mario, si anak ABG Busway.

Aku sedang mempertimbangkan untuk minta maaf pada Mario karena sempat berfikir yang tidak-tidak tentang dia. Walaupun sebenarnya, aku masih merasa bahwa itu adalah hal yang wajar. Bagaimana tidak? Tiba-tiba ada orang tak dikenal mengajak berteman di Facebook! Belajar dari berita-berita yang sering muncul berkaitan dengan Facebook, tentu saja aku jadi berhati-hati dengan orang yang tak dikenal.

Tapi bagaimanapun, aku harus minta maaf. Bukan saja karena telah mengira jika dia adalah gay yang mengincarku, tapi yang makin membuatku merasa bersalah, dia lah yang menemukan Dompetku yang hilang. Kalau kupikir-pikir lagi, betapa konyolnya aku. Pertama, mana mungkin ada gay yang bakal tertarik padaku. Apalagi sampai mengincarku! Itu membuatku tertawa sendiri. Yang kedua, dia kan masih ABG! Masih anak-anak! Kenapa aku yang takut? Bukannya di berita-berita, malah orang-orang seumurku yang memangsa anak-anak? Seketika pikiran itu membuatku merinding.

Ku keluarkan HP tua kesayangan dan kutuliskan SMS. Aku berjanji untuk mengiriminya SMS jika sudah sampai.

Aku sudah di Plangi.
-farhan-


Sengaja kutambahkan nama di bagian akhir karena ini adalah pertama kalinya ku kirim SMS padanya.

Nguuuk! Nguuk!

"Busyet! Cepat banget balasnya." kataku dalam hati. Aku sempat terkejut karena HP bergetar di tangan.

Aq di fudcourt kak. dkt jendla

Untung saja dia tidak menggunakan kombinasi huruf besar dan kecil plus angka-angka aneh khas Alay. Setidaknya, ABG yang akan ku temui ini adalah ABG "normal". Aku terdiam sesaat dan senyum sendiri. "Astaga! Aku tak pernah bermimpi akan berurusan dengan ABG." kataku pada diri sendiri sambil menepok jidat.

Ok. Aku ke sana.


==000o==


Ini aneh! Aku tak tahu yang terjadi dengan diriku sendiri. Untuk sesaat, aku sempat tak bisa bergerak sedangkan ritme jantungku terasa lebih cepat.

Ku lihat Mario duduk di dekat jendela bersama dua temannya. Dia masih sama persis dengan sosok di ingatanku tentang anak muda di Busway beberapa hari yang lalu. Rambutnya yang ikal, matanya yang cemerlang, kulitnya yang putih bersih dan bibirnya yang tipis. Hanya kali ini ia tak lagi menggunakan kaos Chelsea. Kini ia mengenakan kaos lengan panjang bergaris horisontal warna biru yang digulung pada lengannya.

Ku tepuk pipiku dengan kedua tangan beberapa kali dan ku geleng-gelengkan kepalaku. Situasi yang kurasakan sama persis saat di Busway kala itu. Ada yang salah dengan anak itu. Ah bukan! Mungkin ada yang salah denganku.

"Kak, sebelah sini!"

Mario tersenyum padaku sambil mengangkat tangannya memberi isyarat. Sial! Benar-benar ada yang salah padaku. Bahkan senyumnya membuatku sedikit salah tingkah. "Ayolah, dia kan masih ABG. Anak-anak! Kenapa mesti gerogi?" seruku pada diri sendiri. Aku membalas lambaian tangannya dan melangkah mendekat.

Saat berada di dekatnya, kedua temannya bangkit dan menatapku. Tapi rasanya, tatapan mereka sedikit aneh. Mungkin mereka merasa aneh dengan pakaian yang ku kenakan.

"Oya, Kak, kenalin ini Aryo, trus ini Rangga." kata Mario mengenalkan kedua temannya. Sepertinya dia paham bahwa teman-temannya menatapku dengan cara aneh.

Aryo berbadan sangat tinggi dan besar. Badanku yang kecil terasa makin kecil lagi. Sedangkan Rangga memiliki tinggi beberapa centimeter lebih tinggi dariku. Kurang lebih sama tingginya dengan Mario namun badannya lebih gemuk. Kaca-matanya memiliki bingkai hitam tebal. Saat menyalamiku, mereka masih saja menatapku dengan tatapan yang aneh. Itu membuatku sedikit bingung. Untunglah Mario langsung menyenggol mereka sambil memberi isyarat.

"Oh, aku duluan ya." kata Aryo riba-tiba.
"Aku juga." kata Rangga menyusul.

Wow, senggolan Mario tadi luar biasa. Mereka tiba-tiba pamit untuk pergi. Aku malah makin canggung. "Loh, kok malah bubar." ujarku buru-buru. Aku malah lebih nyaman jika ada orang lain selain Mario. "Aku gak akan ganggu kok. Aku cuma sebentar." aku coba menghalangi mereka pergi. "Ya kan?" lanjutku meminta konfirmasi dari Mario.

"Gak apa-apa. Aku memang lagi ada urusan." potong Aryo sambil melangkah.
"Aku juga." kata Rangga mengikuti Aryo. Ia masih melihatku dengan cara yang aneh.

Ku lempar tatapan bertanya pada Mario, tapi dia menjawab dengan mengangkat kedua bahunya tak mengerti dan membiarkan kedua temannya pergi.

"Benar-benar ABG yang aneh." komentarku dalam hati.


==000o==


"Ah iya, kenalin, Farhan." kataku sambil mengulurkan tanganku ke arah Mario. Aku baru ingat kalau aku belum menyalami Mario.

"Mario" ia mengulurkan tangannya sambil melempar senyum. Dari tadi dia selalu tersenyum. Senyumnya benar-benar menyenangkan. Seperti seseorang yang mendapatkan lotre.

Tangannya benar-benar halus. Bahkan mungkin lembut. Persis tangan perempuan. Bahkan mungkin, tak cuma tangan. Dari dekat, wajahnya pun sangat halus dan segar. Benar-benar sangat terawat.

"Duduk Kak." ia mempersilahkanku duduk sambil mengeluarkan sesuatu dari kantong celana kemudian meletakkannya ke meja tepat di depanku. Sebuah dompet.

Seketika mataku berbinar. Ku raih dompet di atas meja dan ku tatap sangat lekat. Kemudian ku alihkan tatapanku pada Mario dengan senyum yang benar-benar mengembang. Aku melakukan itu berkali-kali tanpa bisa mengatakan sesuatu.

Mario membalas dengan senyuman ceria.

"Terima kasih ya.." kataku akhirnya.

"Di cek dulu aja Kak. Jangan-jangan ada yang hilang." ujar Mario.

Aku tertawa lirih dan terdiam sesaat. Kemudian ku buka isi dompet dan memastikan semua kartu-kartu masih ada di sana.

"Komplit kok. Terima kasih ya."
"Duitnya?"
"Hah?"
"Maksudku, duitnya masih utuh gak?"

Aku tertawa. "Kalau duit mah biarin aja. Dompetnya bisa balik aja aku dah bersyukur banget." kataku.

"Wah, tahu gitu, ku ambil duitnya." sahut Mario.

"Ya udah. Ambil aja." kataku menyodorkan dompet.

Mario tertawa menampakkan deretan giginya yang sangat rapi. "Oya Kak, maaf. Aku terpaksa buka isi dompet dan membaca KTP-nya."

Aku tertegun sesaat. Untuk ukuran ABG, Mario terlalu sopan. Padahal jika melihat dari wajahnya, dia masih anak-anak. Namun saat bicara, dia terdengar dewasa.

"Aku butuh nama untuk mencari pemiliknya." lanjut Mario.

"Oh ya. Tentu saja." jawabku cepat. Rupanya aku sempat melamun. "Tapi, gimana bisa nemuin Facebook ku?"

Mario tersenyum senang mendengar pertanyaanku. Sepertinya dia sudah menunggu-nunggu pertanyaan itu. "Aku Search aja nama Kakak di Facebook."

"Tapi kan banyak nama yang sama?"
"Aku buka satu-satu."
"Tapi kan gak ada fotonya."
"Aku add Friend semua!" Mario tertawa lepas.

Aku ikut tertawa. "Add semua?"
"Iya."
"Semua?" aku masih tak percaya.
"Iya. Semua."
"Trus hasilnya?"
"Banyak yang confirm loh."
"Oya?"

Tentu saja aku heran. Aku bahkan membutuhkan seharian untuk memikirkan apakah mau confirm atau tidak.

"Kebanyakan anak-anak Alay." lanjut Mario disusul tawa renyah. Dia mengatakan seolah dia bukan bagian dari mereka. "Sampai akhirnya ada Detektif Conan." dia berhenti sesaat sambil menatapku dengan senyum usil. "Untungnya, ada foto-foto lainnya. Jadi ketemu deh."

"Aku gak pernah ganti foto profile." kataku merasa konyol. Aku jadi merasa malu karena dengan umurku sekarang, masih saja suka dengan komik. "Tapi kamu cek semua foto-foto orang yang confirm?"

"Iya. Tapi kan gak harus. Kebanyakan di profilenya dah ada fotonya kan?"
"Iya juga ya." kataku sambil membayangkan foto-foto para Alay itu. Tapi yang ada di bayanganku malah foto Mario di profile-nya. Foto wajah dengan kepala dimiringkan.

"Setelah ketemu Detektif Conan, aku Unfriend semua." tutup Mario dengan tertawa terkekeh.
"Kejam banget?"
"Ha ha ha, biarin aja. Males ah urusan sama para Alay."

Aku jadi tertawa. Padahal aku merasakan hal yang sama terhadapnya. Aku tak pernah terpikir akan berurusan dengan ABG seperti dia. Aku tak tahan untuk menggodanya, "Profile mu aja Alay banget. Liat aja tuh fotonya."

"Ah itu kan masa lalu Kak. Dah lama juga aku gak Facebook-an. Jadi gak pernah update profile lagi." Mario mengatakannya dengan sunggingan senyum. Namun aku bisa merasakan nada getir di sana.

"Tetap aja, buatku kamu masih Alay!"

"Gak apa apa deh dianggap Alay." Mario menatapku lekat. "Kalau Kakak lebih suka menganggapku begitu."

Aku bingung dengan makna kata-kata Mario terakhir. Tiba-tiba suasana jadi hening. Aku jadi kikuk karena Mario terus menatapku.


==000o==


"Oya, kamu nemu dompetku di mana?" sesungguhnya itu pertanyaan bodoh. Tentu saja jawabannya di Busway karena di situlah satu-satunya tempat aku bertemu dengannya. Aku menanyakannya karena aku jadi serba salah dengan tatapan Mario dan aku tak tahu harus bertanya apa lagi.

Seketika tatapan Mario berubah agak aneh. Seperti tatapan seseorang yang lama tidak bertemu. Sungguh aneh. Padahal aku baru kenal dengannya. "Di Busway." jawab Mario. "Waktu itu Kakak buru-buru banget. Kayak di kejar setan." lanjutnya sambil tertawa.

Aku juga ikut tertawa lepas. Kalimat itu mengingatkanku bagaimana reaksiku di Busway saat mengetahui Mario tiba-tiba berada di sebelahku. Memang benar, saat itu aku seperti di kejar setan. "Maaf", kataku.

"Kok maaf? Emang salah apa?" sahut Mario.

Aku jadi tersadar. Aku juga bingung kenapa aku minta maaf. Tapi yang pasti, aku memang merasa bersalah karena telah mengira yang tidak-tidak tentangnya.

"Ya. Apapun itu." jawabku sekenanya. "Atau disimpan aja buat nanti-nanti kalau aku buat salah." lanjutku sekenanya lagi.

Mario jadi terkekeh mendengarnya. Aku yakin, dia berpikir aku adalah orang yang aneh.

"Eh," tiba-tiba aku ingat sesuatu. "Kenapa teman-temanmu tadi ngeliatin aku kayak ngeliat hantu gitu?"

Untuk sesaat Mario terdiam. "Oh. Itu.." dia seperti berpikir keras. "Hm.. Gak tahu juga sih." Ia mengatakannya seperti sulit atau tak ingin mengatakan alasannya.

"Gak apa-apa. Lupain aja." sahutku cepat. Aku tak ingin membuat Mario jadi bingung. "Mungkin cuma perasaanku aja." tambahku.

"Iya kali. Mungkin cuma perasaan Kakak aja." ujar Mario. Dia nampak lega. "Atau dia terkagum-kagum sama Kakak." lanjut Mario sambil nyengir.

"Kagum? Emang mereka ngeliat artis?" sahutku sambil tertawa.

Mario malah diam. "Sebenarnya, tampang Kakak dah bisa loh jadi artis." dia mengatakannya dengan wajah serius.

Mendengarnya, aku makin tertawa terbahak. "Iya. Emang bisa jadi artis. Tapi main di film hantu itu pun jadi pocongnya."

Tapi Mario tak ikut tertawa. Dia hanya menatapku sambil tersenyum.

"Kamu tuh yang cocok jadi artis." lanjutku lagi. Dan aku mengatakannya bukan untuk basa-basi. Penampilannya memang menarik. Dari wajah hingga postur tubuhnya sangat enak dilihat. Dan bukankah itu modal dasar seorang artis? Aku jadi membayangkan, berapa cewek yang tergila-gila padanya. Atau mungkin sekarang dia punya lusinan cewek!

"Masak sih?" jawab Mario. Dia nyengir.

"Iya. Beneran." sahutku mantap. "Masak gak ngerasa?"

Buru-buru dia menghadap jendela dan melihat pantulannya di sana. Dia melakukan beberapa gerakan-gerakan ala model. Dan tak lama, dia tertawa.

Aku pun ikut tertawa. Aku tertawa lepas. Dalam hati aku bersyukur bertemu dengan Mario.

"Oya. Udah makan?" tanyaku setelah suasana jadi sedikit hening.

Mario tak menjawab yang ku artikan sebagai belum.

"Aku traktir makan malam yah."

Mario mengangguk cepat tanpa sungkan.


==000o==


Sebenarnya, aku sudah memintanya untuk menurunkanku di pinggir jalan raya. Dari sana, aku sudah terbiasa jalan kaki menuju rumah Kos. Namun dia memaksa mengantarkanku hingga depan rumah.

"Mario, terima kasih ya." kataku setelah turun dari Serena hitam.

"Sama-sama Kak. Terima kasih juga." jawabnya dengan senyum yang masih saja membuatku kikuk.

"Ngapain kamu terima kasih ke aku?" aku tertawa.

"Yah, untuk apapun itu." Mario menatapku. Dia menatapku dari kepala sampe kaki. "Atau simpan aja buat nanti-nanti kalau aku butuh pertolongan."

Aku makin tertawa. Aku tak menyangka dia akan menjawab dengan kalimat yang sama yang kugunakan tadi. Kulihat Mario hanya nyengir.

"Terima kasih Pak." kataku pada Pak Sopir yang lumayan berumur. Dia membalasnya dengan anggukan dan senyum ramah.

Ku tutup pintu mobil yang berkaca gelap. Tapi tak lama kaca pintu itu terbuka. Kulihat Mario melambaikan tangannya dan mobil melaju pelan kemudian menghilang di tikungan.

Aku masih berdiri di pinggir jalan. Mencoba memahami apa yang telah ku lakukan. "Aku hanya mengambil dompetku kembali dan sebagai ucapan terima kasih, ku traktir dia makan. Mestinya itu hal yang biasa saja." kubuat alasan untuk meyakinkan diriku sendiri. "Tapi kenapa aku merasa ada sesuatu yang lain?" Kegeleng-gelengkan kepala seolah itu bisa melempar semua pikiran-pikiran aneh dari kepalaku. "Ini cuma masalah dompet!" seruku pada diri sendiri. "Tapi kenapa aku merasa nyaman ngobrol dengannya?"

Pertanyaan dan jawaban yang ku buat sendiri terus bertarung di kepala. Mereka bermunculan hingga suara dengung HP di kantong menghentikan pertarungan. Dengan sedikit lesu, ku angkat panggilan yang barusan masuk. Ini adalah panggilan yang wajib diangkat!

"Halo Ma.."

Belum selesai aku menyapa, rentetan pertanyaan sekaligus pernyataan membombardirku, "Farhan! Kenapa kamu putus dengan Puspa??!"


==000o==


to be continued 




0 comments:

Post a Comment