DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Love Under The Mistletoe Chapter 19

CHAPTER XIX
THE CONNECTION


by
Tuktuk

“RIK! DENGERIN GUE DULU INI SERIUS!”

Brughhh... Pukulan kak Riko lebih dulu menghantam pelipis kiri kak Wildan. Tubuhku gemetar hebat.

“TAIK BABI! ITU SAHABAT ? HAH? ITU SAHABAT? “
“RIK!!! GUE TAU ITU SALAH!! DENGERIN DULU GUE NGOMONG!
“SAHABAT ITU GAK MAKAN PACAR TEMEN SENDIRI, NJING!!!”

Pukulan keras kembali mendarat di muka kak Wildan. Aku merasa pusing. Kepalaku seperti diputar aku tak sanggup melihat ini terjadi kembali. Ratusan perasaan berkecamuk di dadaku. Sesal, sedih, takut, benci, semua berkumpul. Aku tak tau lagi yang mana yang kurasa. Hilang.

Haruskah aku keluar dan menemui mereka ? Ataukah berdiam diri disini dan mengiris perih hati menyaksikan kedua orang yang kusayangi itu bertengkar.

Kak Wildan bangkit kemudian mendorong kak Riko ke dinding. Kak Riko nampak nanar, tangan kak Wildan begitu besar untuk dilawan.

“Rik... Aku minta maaf untuk yang kesekian kalinya. Tapi apa yang kamu liat di video itu... Bukan itu yang sebenernya terjadi... Danny... Dia ga nerima semua itu Rik... Dia masih sayang kamu...”

“Mana... Mana Danny?” ujar kak Riko sambil tertunduk lesu, ia mendudukan tubuhnya dan punggungnya menempel ke dinding.

“Plis, Dan... Plis... Danny mana?” ujar kak Riko tercekat.

Suara kak Riko yang pelan menyayat membuatku berderai air mata. Aku disini, hanya sebaris pintu melapisi kita. Rasanya aku memandang dia begitu jauh, sulit untuk ku gapai. Rasa rindu yang berkecamuk ingin memeluknya, memegang kepalanya, walau hanya sekejap. Tapi aku hanya bisa menangis. Butuh keberanian untuk membuka pintu ini, tapi aku merasa lemas.

“Tolong aku, Wildan! “
“Aku... Aku... Ini Danny yang milih, Rik... Danny yang menghendaki...”
“Aku tau, Aku tau... Dan untuk semua kesalahan yang aku perbuat... Aku Cuma mau ketemu dan meminta maaf...”

Kak Wildan menepuk bahu kak Riko.

“Bangun... Duduk disini... Kamu tenang saja dulu disini... Danny aman, kalau sudah saatnya pasti akan ketemu...”

Kak Riko nampak lesu, ia melangkah gontai ke sofa. Ia nampak jauh lebih tenang dibanding sebelumnya.

“Danny mergokin.. Aku dan Allan lagi makan siang di kafe, dan aku tau dia curiga malam itu... Esok pagi, ia sudah tak ada lagi...”

“Aku tau aku bohong, aku tau itu salah. Tapi demi Tuhan, aku Cuma nemenin Allan yang memaksa makan siang. Aku heran kenapa Allan ada di perusahaan itu...”

“Itu perusahaan Ayah Allan, Rik...” ujar kak Wildan.
“Hah?”
“Iya, Itu yang tunda surat izinmu keluar, itu yang menahan Allan disini, itu yang membuat Danny hilang”

Kak Riko menundukkan kepalanya lebih dalam, aku tau ia meneteskan air mata disudut sana.

“Aku... Aku sayang sama dia, Wildan... Aku sayang Danny.... Dia sudah melewati terlalu banyak hal buruk karena semua ini... Betapa egoisnya aku...” isak kak Riko.

Air mataku membanjir deras. Tidak! Tidak kak! Aku meninggalkanmu demi kita... Demi kamu!! Aku benar-benar tak sanggup mendengar ini semua. Aku merasa semakin sakit dan sesak, rasanya sulit bagiku untuk bernafas.

Aku beranjak dan kakiku melangkah gontai. Terasa ringan. Meraih pintu belakang dan KLETEK.

Pintu tempatku bersandar dan mengawas dari jauh terbuka.

“BLEW?” sapa kak Riko.

Aku menoleh. Kak Wildan berdiri di belakang kak Riko, tampak menahan air mata sebisa mungkin.

“Aku... Aku kangen kamu...” ujar kak Riko.

Aku tak menjawab apapun, aku langsung membalikkan badan dan lari secepat yang aku bisa.

“DANNY TUNGGU!!!!” teriak kak Riko.

Aku tau ia meneriakkan namaku, tapi aku masih berlalu dari pintu belakang ini, berlalu dan melaju. Seolah lari adalah hal yang hanya bisa kulakukan. Seolah aku mampu lari begitu jauh. Jauh sekali. Melewati pagar kost, dan terus tanpa peduli namaku diteriakkan seperti aku ini seorang maling.

Tak ada yang kupedulikan, tidak ada... Sampai suara klakson motor mengagetkan aku dari sebelah kanan, aku tersentak. Tubuhku kaku. Aku ditengah jalan raya. Kemudian langit seolah terbalik dan aku terguling diatas aspal. Kepalaku sakit, tetapi Cuma sebentar... mendadak langit menjadi gelap dan suara-suara bising perlahan mulai sunyi. Sampai pada satu titik, aku merasa perbedaan hidup dan mati itu tipis. Hilang.

****

“Aku yang hubungi orang tuanya” ujar Riko.
“Iya, aku siapin keperluan selama dia dirawat disini...” ujar Wildan.

Seorang perempuan berlari kencang ke arah Riko dan Wildan, ia nampak tergopoh-gopoh.

“Kenapa Danny bisa ditabrak ?”

Riko dan Wildan membisu.

“Kenapa Rik??? Wildan???”

“Tenang, Laura... tenang... kami juga bingung. Semua terjadi begitu cepat. Danny berlari menjauh, ia kabur... “

“Ini salah aku...” ujar Riko.
“Rik... ini bukan salahmu... Jangan buat dirimu bertambah sulit... Paling tidak pengendara motor itu juga bertanggung jawab...”
“Bukan masalah itu, Wildan... Apa salah kalau aku masih menyukainya? Masih menginginkan dia? Jika memang dia sudah melihatku sedemikian jijik... Mungkin saat ia siuman, ia tak akan pernah melihatku lagi...” ujar Riko.

“Dia, tak mungkin jijik Riko!” ujar Laura.
“Rik, dia sayang sama kamu... Dia sering nangis karena nahan kangen... Setiap malam sapu tangan mu yang ia simpan selalu diletakkan disamping bantalnya. Fotomu juga jadi wallpaper HP yang ia setel sesaat sebelum ia tidur.”
“Tapi kenapa... Kenapa harus sampai seperti ini???”

Pintu instalasi gawat darurat terbuka, beberapa orang dengan baju putih keluar dari ruangan itu.

“Yang mana dari kalian keluarga pasien ini?”
“SAYA!” Otomatis ketiga orang itu mengangkat tangan.

“Kami baru saja menghentikan perdarahan yang terjadi di paha kiri dan luka-luka di bagian lain, tetapi ada luka tajam yang cukup dalam dan mengeluarkan banyak darah. Kami khawatir ia kehilangan banyak darah, ia butuh transfusi secepatnya...”

“Dimana kami bisa ambil kantong darah itu, Dok?”

“Saya rasa itu agak sulit, Nak...”

Laura, Wildan dan Riko mengernyitkan dahi.

“Tim saya juga sempat melakukan pengambilan sampel darah begitu kami yakin ia telah kehabisan banyak darah, kami mengecek golongan darahnya... Ia Golongan darah B negatif, golongan darah dengan rhesus negatif cukup sulit ditemukan. Dan kami tidak yakin ada ‘ready stock’ untuk itu...”

“Darah saya pak!” Riko berujar.

“Kamu rhesus negatif ?”
“Tidak tahu, tapi golongan darah saya B”
“Tidak, tidak semudah itu... Harus diperiksa dahulu...”
“Tolong pak, bantu kami selamatkan anak itu...”
“Pasti... kamu saudara dia ?”
“Iya... Kakaknya!” jawab Riko.

Setengah jam kemudian Riko sudah terbaring di kasur pembaringan, jarum dimasukkan ke lengannya menembus pembuluh darahnya dan perlahan darahnya turun mengisi kantung darah.

“Untung, ya... Kamu sama-sama rhesus negatif...” ujar Laura.
“Iya... Kalau tidak, kita pasti bingung cari B negatif dimana...” sambung Wildan.

Riko tak menjawab. Fikirannya melantur, membayangkan Danny yang masih terbaring lemah belum sadarkan diri.

“Kakak benar-benar minta maaf, Dek... Maaf” ujarnya dalam hati.

****

“Tanda-tanda vitalnya sudah menunjukkan perbaikan... Darahnya juga sudah ditransfusikan, tetapi ia masih belum sadarkan diri. Meskipun begitu, ia masih merespon... Mungkin esok, dia sudah siuman” ujar sang dokter.

“Iya dok.... Terima kasih banyak...”

Dokter tua itu segera berlalu meninggalkan Riko, Laura dan Wildan dikamar itu. Bersama Danny yang tergolek tanpa daya. Perban melingkar dikepalanya, ditangan, di paha dan dibeberapa bagian lain ditubuhnya.

“Kamu disini terus ?” tanya Laura.
“Iya... “ ujar Riko.

Riko lalu menggenggam tangan Danny, menempelkannya di dagu lalu menciumi tangan itu. Seakan sudah lama sekali baginya tak memegang tangan itu. Sudah lama sekali baginya tak menemukan tangan itu.

“Rik...”
“Hmmhh..”
“Tadi, pas aku beres-beres aku nemu ini...” ujar Wildan.
“Apa ini?”

Buku dengan warna maroon gelap, ah itu buku harian Danny.

“Ini punya dia kan?”
“Iya, kali aja lu mau baca...”
“Makasih” ujar Riko.

Halaman demi halaman ia membuka buku harian itu, ia tersenyum. Betapa ia masih mengingat jelas semua momen yang ditulis Danny. Momen saat ia baru pindah ke kost, momen dimana harus bermain hujan dengannya, momen untuk kali pertama nonton bareng, momen dimana ia memeluk Danny saat ia sakit, dan saat pertama kalinya ia dan Danny resmi berpacaran. Semua jelas, sejelas sinar matahari.

Kemudian tulisan Danny yang semula seperti not balok yang melompat-lompat riang, berangsur membiru. Sampai dimomen dimana Danny mencurahkan semua isi hatinya, ketakutannya, kekesalannya dengan Allan, sampai rasa sakit yang masih terasa karena harus meninggalkan Riko.

“April 12 – Kamu sedang apa kak? Jam segini seharusnya kamu sudah makan malam, kamu sudah harus mandi dengan air hangatmu....”

“April 13 – Dearest Love, Dearest Mistletoe.... Aku masih mengingatnya dengan jelas, masih. Dan bahkan aroma tubuhnya seperti oksigen yang kuhirup, aku membauinya dimanapun. Dan aku masih percaya kamu, kita... Dan janjimu soal daun mistletoe... Kamu masih mengingatnya kah?“

“April 14 – Aku mencintaimu. Sungguh.”

Riko lalu tercekat, itu tulisan tersingkat dan terakhir di buku harian ini. Tulisan yang begitu pendek namun menyiratkan makna yang begitu dalam.

“Aku sayang kamu, Danny. Aku mencintaimu....” ujar Riko sambil menciumi tangan Danny yang belum juga membuka matanya.


“And in another life, I would be your guy...
We keep all of our promises, be us against the world...
And in another life, I would make you stay....
So I don’t have to say, you were the one that got away...
The one that got away....”
(Katy Perry – The One That Got Away)


to be continued




next chapter
 

1 comments:

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

still waiting, mana updatenya masbro

Post a Comment