DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



AKU LAKI-LAKI Episode 1

Episode 1
Perpisahan dan Pertemuan 
by Iansumbara


Restoran sesungguhnya ramai pengunjung, tapi terasa senyap. Suara-suara menghilang, seperti sebuah film bisu. Bahkan waktu terasa melambat. Aku masih tidak percaya apa yang telah terucap dari bibir indah bidadari di depanku. Meski diucapkan dengan lemah lembut, namun itu lebih dari cukup untuk membuat otakku berhenti bekerja.

"Teman?" aku mengulangi kata terakhir yang diucapkan Puspa dengan lirih. Sangat lirih, hingga telingaku pun sulit mendengarnya.

Puspa mengambil tas kecil di meja dan berdiri. Menatapku lembut sesaat, ia berusaha memberikan senyum terbaiknya dan mungkin terakhir. Senyum itu memang indah, namun tetap tak menjawab kata mengapa di kepalaku. Aku membalasnya dengan tanda tanya besar yang pasti terpahat di wajah. Namun tak ada jawaban. Ia hanya tersenyum dan berkata, "Kali ini, aku yang traktir ya."

"Jangan!" jawabku cepat. Mataku tak lagi menatap bidadari yang tak lagi menjadi milikku. "Aku masih laki-laki kan? Setidaknya, biar kutunaikan tugas seorang laki-laki untuk terakhir kalinya.. Padamu."

Puspa terdiam sesaat. Begitu juga aku.

"Baiklah." kata Puspa lirih. "Tapi aku tak pernah mengatakan kamu bukan laki-laki. Bagiku, kamu masih laki-laki. Laki-laki yang hebat."

Aku tahu dia menatapku. Namun aku tak mampu membalasnya dan kubiarkan dia melangkah pergi. Meninggalkan restoran mewah dengan langkah yang anggun. Langkahnya selalu anggun. Dan membiarkan aku sendiri. Meratap.

==000o==

Busway malam ini tidak terlalu ramai. Tidak seperti pada jam-jam sibuk pagi atau sore di hari kerja yang tak menyisakan jarak antar penumpang. Biasanya, penumpang Busway saling berdesakan persis pepes ikan. Bahkan saling berebut seperti piranha menyantap mangsa. Tapi ini adalah malam minggu. Waktu juga belum terlalu malam sehingga Busway terasa longgar. Meski beberapa orang berdiri, termasuk aku, tapi itu tidak masalah. Apalagi jalur Busway lebih steril sehingga Bis melaju dengan lancar.

Aku berdiri di belakang, bersandar pintu sisi kiri yang tidak akan terbuka. Tanganku menggenggam erat pegangan pintu namun pikiranku melayang tak karuan. Aku baru saja dicampakkan oleh bidadariku, itu saja sudah cukup membuatku tak mampu berfikir lagi. Jika ditambah dengan alasannya, itu membuatku hancur lebur. Rasanya otakku berceceran di mana-mana.

Aku berusaha membuang semua ingatan tentang Puspa, tentang kata-kata terakhirnya, tentang alasan-alasannya. Tapi itu sia-sia. Wajahnya, suaranya, kata-katanya dan alasan-alasannya bergema di kepala. Membuatku ingin berteriak sekeras-kerasnya agar semuanya menghilang, keluar bersama suara. Tapi itu juga tidak bisa.

Busway terus melaju tak peduli dengan derita yang ku alami. Terkadang melaju kencang, kemudian melambat dan berhenti di halte untuk beberapa saat. Hanya sedikit yang keluar, sedikit pula yang masuk. Namun berbeda saat Busway berhenti di halte transit. Jumlah penumpang yang keluar lebih banyak dan meninggalkan kursi-kursi kosong. Namun aku tak berminat untuk duduk. Aku lebih suka di tempatku saat ini. Ketika beberapa orang masuk, mereka dengan cekatan menguasai tempat duduk yang kosong kecuali satu orang. Dia sama sekali tak bernafsu untuk berebut tempat duduk. Dengan tenang, dia berdiri di depan para penumpang yang duduk di sisi kiri.

Rupanya, masih ada juga orang-orang yang tak rakus dengan kursi, pikirku. Aku membandingkannya dengan pejabat-pejabat yang bernafsu dengan kursi. Padahal, orang itu masih muda. Sangat muda bahkan. Mungkin masih kuliah semester awal. Mungkin karena masih muda itulah hingga dia merasa malu untuk berebut tempat duduk?

Aneh. Kenapa aku harus peduli dengan itu semua? Sesuatu yang tak ada kaitannya sama sekali denganku. Tapi setelah kupikir-pikir, tak ada salahnya. Setidaknya, ada hal lain yang bisa mengalihkanku dari ingatan-ingatan tentang Puspa.

"Jam 8 malam," kataku dalam hati saat kulihat jam di pergelangan tangan. Dan rupanya, bukan cuma aku yang penasaran dengan waktu. Anak muda yang berdiri tadi, juga melihat jam di tangannya. Bahkan pada saat yang bersamaan. Itu membuatku sedikit tersenyum. Betapa banyak kebetulan-kebetulan terjadi di dunia ini.

Tapi sepertinya, kebutuhan akan waktu antara aku dan dia sangat berbeda, Jika aku merasa waktu berjalan sangat lambat, sepertinya anak muda itu merasa waktu berjalan sangat singkat. Itu tergambar jelas di wajahnya yang nampak tidak sabar. Matanya yang cemerlang tak berhenti bergerak, alisnya yang hitam tebal beberapa kali berusaha saling menyatu hingga membuat kerutan di keningnya dan beberapa kali dia menggigit bibir bawahnya yang tipis. Itu membuatku tersenyum tanpa kusadari dan berusaha menebak-nebak apa yang anak muda itu pikirkan.

Jika dari penampilannya, kaos bola kesebelasan Chelsea, celana jeans dan sepatu kets converse, dapat dipastikan dia mau nonton bareng pertandingan sepak bola Chelsea melawan Arsenal malam ini. Kaos biru bergaris putih itu memang sangat pas buat anak muda itu. Wajahnya yang sangat fresh, kulitnya yang putih lembut, dan rambutnya yang ikal membuatnya enak untuk dilihat.

Deg! Tiba-tiba kedua bola mata anak muda itu menuju ke arahku. Tanpa bisa ku hindari, tatapan mataku membentur tatapan matanya yang cemerlang. Secepat yang ku bisa, ku alihkan tatapanku ke arah jalan raya. Aku mencoba bereaksi senormal mungkin yang sepertinya malah nampak tidak normal. Dan tiba-tiba, kata-kata terakhir dari Puspa kembali terngiang di kepalaku hingga membuatku menahan nafas. "Astaga!" seruku dalam hati.

Kata-kata Puspa itu baru terucap beberapa menit yang lalu. Melukaiku, meluluh lantakkan hatiku dan menghancurkanku. Tentu saja aku tak bisa menerimanya. Aku merasa, itu adalah sebuah tuduhan yang tak masuk akal. Tuduhan yang tak berdasar.

Tapi saat itu, Puspa mengatakannya dengan yakin dan lembut. "Mas, mungkin sebaiknya..", ia menghela nafas sesaat dan melanjutkan. "kita sudahi hubungan kita sampai di sini."

Memang kata-kata itu diucapkan dengan sangat lembut. Tapi membuatku terkejut tak terkira.
"Apa maksudmu?" kataku tak percaya. Tentu saja aku tak percaya. Tidak ada topan, tak ada badai, tiba-tiba Puspa menghempaskanku begitu saja. "Apa salahku?"

"Bukan.." potong Puspa cepat-cepat. Ia diam sejenak, menatapku sambil berusaha merangkai kata. "Bukan sesuatu yang salah. Mas gak ngelakuin hal yang salah. Mas malah tak pernah melakukan hal yang salah." Puspa kembali terdiam. Bibirnya nampak bergerak-gerak, tapi tak ada suara yang terdengar. "Tapi.. Sadar gak sih Mas? Sering banget, waktu kita lagi berdua, Mas ngelihat ke orang lain?"

Mendengar pertanyaan itu, aku terbengong. "Apa maksudmu sayang? Aku bahkan tak pernah melirik cewek lain."
"Memang Mas bukan melihat ke cewek lain.."
"Trus maksudmu apa?"

Puspa terdiam cukup lama. Dia nampak menimbang-nimbang kata-kata yang akan ia ucapkan. "Mas ngeliat ke cowok.."
Kata-kata yang terpotong itu seperti halilintar untuk ku. Aku tak tahu harus sedih atau tertawa terbahak-bahak. Aku merasa itu adalah tuduhan yang konyol. Tak masuk akal. Tanpa dasar!

Aku tak habis pikir, bagaimana bisa Puspa menuduhku demikian? Bagaimana mungkin dia mengatakan.. Dia baru saja menghempaskanku karena dia berfikir.. Dia baru saja mengatakan bahwa aku Gay?!!

Saat itu aku ingin berteriak, namun ku tahan. Saat itu aku tak terima, tapi aku juga tak berdaya.
Tapi kini..
Di dalam Busway ini..
Baru saja aku membuktikan kebenaran kata-kata Puspa..
Aku merasa hancur..
Aku merasa konyol..

...

Busway berhenti. Beberapa orang menyerbu masuk, membuat suasana Busway lebih ramai. Aku kembali tersadar dari lamunan dan saat itulah aku menyadari, anak muda itu sudah pergi. Kini aku makin merasa konyol, karena tanpa alasan yang jelas, aku mencari-cari anak muda itu. Ku telusuri isi Busway dengan mataku dan akhirnya ku hela nafas kecewa. Sepertinya dia sudah turun.

"Ah! Apa yang kupikirkan? Tolol!!" seruku dalam hati.

Suasana Busway yang ramai, membuatku tak lagi berdiri sendiri di dekat pintu. Di sebelahku kini terisi orang, yang saat aku menoleh aku tak bisa menyembunyikan kaget dan kegembiraan. Anak muda itu kini berdiri di sebelah kiriku!

Sungguh konyol, tiba-tiba aku salah tingkah. Aku tak bisa berdiri dengan tenang. Berkali-kali tanganku keluar masuk kantong hingga saat Kondektur meneriakkan nama Halte tempatku turun, tanpa pikir panjang, aku langsung melangkah cepat keluar dari Busway. Aku berusaha melangkah secepat mungkin. Aku ingin lari secepat mungkin. Aku tak ingin tuduhan konyol Puspa terbukti! Aku tak mau itu terjadi!


==000o==


to be continued


0 comments:

Post a Comment