DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Aku Laki-Laki Episode 2

Episode 2
Facebook 
by Iansumbara

Satu hari ternyata tidak cukup untuk melupakan segalanya. Di mana pun aku berada, kesunyian itu masih terasa. Dia mengikuti, terus membuntuti. Kesunyian itu bahkan makin terasa jika ku pandangi HP tua di tangan. Alat yang selama ini menjadi penghiburku karena di situlah kata-kata Puspa biasanya muncul. Terkadang sekedar menanyakan kabar, bertanya di mana aku berada dan tak jarang muncul kalimat-kalimat tak jelas penuh rasa cemburu. Tapi semua itu tiba-tiba menghilang. Menghilang dan meninggalkan kesunyian.

Tak seperti pagi biasanya yang selalu ku lalui dengan semangat, kini aku melangkah dengan lesu. Berusaha menyeret diri sendiri menuju Halte yang penuh dengan antrian calon penumpang. Halte yang penuh sesak itu, kini terasa senyap. Tapi setidaknya ada nilai positip dari kondisiku saat ini. Aku bahkan tak merasakan panas dan sesaknya Halte. Aku membiarkan tubuhku dibawa arus calon penumpang. Aku bahkan tak menyadari ketika tubuhku kini telah berada di dalam Busway. Berdesakan dan berhimpitan.

Tapi tiba-tiba, aku teringat seseorang. Tanpa kusadari, mataku mulai bergerilya menyusuri isi Busway berharap menemukan anak muda yang kulihat kemarin. Sungguh pekerjaan yang bodoh! Bagaimana mungkin dia ada di sini. Seharusnya aku menggunakan logika. Jelas sekali anak muda itu naik Busway untuk nonton bareng, yang artinya itu bukan rute rutinnya. Dan yang lebih bodoh, kenapa juga aku harus memikirkannya?!

"Oh Puspa.. Kenapa kau kutuk aku begini?" rintihku lirih. Sangat lirih hingga hanya kepalaku yang mendengarnya.Untunglah Busway telah berhenti di Halte yang dekat dengan kantorku. Dengan langkah cepat, bahkan mungkin setengah berlari, aku menuju kantor.

==000o==

Aku tak tahu yang mana. Apakah otakku yang sedang tak beres atau memang ada yang berubah dengan suasana kantor. Di mulai sejak aku masuk Lift. Rasanya ada yang berubah dari cara Desi menyapaku. Dia menjadi lebih akrab! Suasana aneh itu masih terus berlanjut saat masuk ruang kerjaku di lantai 20. Tiba-tiba Feni muncul di hadapan dan membuatku harus mengerem langkah cepatku. Sebenarnya aku ingin cepat-cepat menuju meja dan memasukkan diriku ke dalam kesibukan pekerjaan.

"Aan.." seru Feni sambil menebarkan senyumnya. "Ke meja ku bentar yuk.."

"Ada apa?" tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang mengancam. Feni memang terkenal centil dan sudah banyak pria yang digoda dan bahkan menjadi korbannya. Maksudku, dia mirip black widow! Kaki ku bergerak sendiri karena tanganku diseret Feni menuju mejanya.

"Nih buat kamu." Feni menyodorkan piring ke arahku.

"Black Forest?" tanyaku heran. Bola mataku hilir mudik dari Black Forest dan tatapan Feni yang ceria. "Siapa yang ulang tahun?". aku masih belum mengambil Black Forest dari tangan Feni.

"Emang harus ada yang ulang tahun?" kini wajah Feni sedikit cemberut.

"Hee.." aku menggumam tak jelas. Dengan ragu aku meraih piring dari tangan Feni yang langsung membuat cemberut di wajahnya menghilang seketika.

"Loh.. Buat aku mana?" Tiba-tiba Ardi muncul dari belakangku. Dengan sigap dia memburu ke arah meja Feni.

Tak kalah cekatan, Feni langsung menyelamatkan sisa potongan Black Forest dan menjauhkannya dari jangkuan Ardi. "Udah abis!"

"Kok gitu? Aan aja dapat, masa aku enggak." protes Ardi.

"Siapa suruh telat?" ujar Feni. Nampak sekali dia sangat tidak suka dengan kedatangan Ardi yang tak diduganya.

"Nih, buat kamu aja." kataku sambil menyodorkan Black Forest ke arah Ardi. Aku memang sedang tak nafsu makan apapun. Meski Black Forest adalah kesukaanku, tapi kali ini, perutku menolak segala jenis makanan.

"Beneran nih?" tanpa basa-basi Ardi langsung menyambarnya. "Makasih ya." tambah Ardi sambil mencubit pipiku. Dan dengan cepat dia menghilang.

"Ardi!" lolong Feni tidak terima. Tapi tak lama kemudian, tatapan Feni mengarah padaku. "Kamu!" mata Feni seolah menunjuk padaku. "Black Forest itu kan buat kamu!" kini wajah Feni benar-benar super cemberut.

Aku jadi bingung. "Tapi Black Forest itu, dikasihin ke aku kan? Jadi, aku boleh ngelakukin apa aja sama Black Forest ku." aku berusaha membela diri.

"Tapi itu buat kamu!" mata Feni kini melotot. "Hiih! Dasar cowok!" gerutu Feni sambil meletakkan sisa potongan Black Forest ke meja dan pergi.

Aku terdiam sejenak. Berusaha merenungi kejadian barusan. "Apa salahku?" tanyaku dalam hati, sambil melangkah menuju meja kerja.

==000o==

Hari memang masih sangat pagi. Belum banyak karyawan yang datang sehingga kantor masih terasa sepi. Ku hempaskan tubuhku ke kursi dan meregangkan badan. Rasanya seluruh tubuhku pegal-pegal. Dan dengan malas, ku keluarkan Laptop dari tas dan menyalakannya. Sambil menunggu, ku lemparkan pandangan ke arah jendela, menerobos jauh serasa tebang di antara gedung-gedung pencakar langit. "Aku pengen terbang.."

"Woi!" Ardi mengagetkanku. Wajahnya cuma beberapa senti dari wajahku. "Pagi-pagi udah ngelamun. Kesurupan tau rasa." ujarnya lagi. Ia menuju tempat duduknya yang hanya dipisahkan cubicle dari mejaku. Posisi tempat duduknya menghadap padaku sehingga memaksa kami saling bertatapan sepanjang hari. Di sudut bibirnya masih ada sisa-sisa coklat Black Forest.

"Tuh!" aku menunjuk ke arah bibirnya.

Ardi pun sibuk membersihkan bibirnya dengan tisu. "Enak juga Black Forestnya. Feni ulang tahun?"

Aku hanya menggeleng. Aku sedang tak semangat untuk sekedar berbicara. Kubiarkan Ardi mengoceh sendiri sedangkan tanganku bergerak sendiri mengetuk-ketuk laptop. "Kenapa laptopku lambat begini!" seruku dalam hati.

"Aduuh yang lagi galau." Mbak Ria tiba-tiba muncul di sebelahku.
"Hah?"

Buk!

Dari belakang, sebuah tepukan menghantam punggungku. Dan dilanjutkan sebuah suara, "Udah, jangan terlalu lama mikirinnya." Jelas itu suara Irwan.

"Hah?" aku tak mengerti. "Kalian ngomong apa sih?"

"Siapa yang galau?" Ardi dengan wajah penasaran dan penuh semangat langsung berdiri.

"Nih.. Brondong kita." sahut Irwan sambil terkekeh. Mbak Ria juga tertawa.

"Kalian ngomong apa sih?" kataku jengkel. "Dan aku bukan brondong!"

Ardi menghampiri dan mencubit pipiku. Hari ini, dia sudah melakukannya dua kali. Artinya, masih akan ada banyak ulah usil tangannya padaku. Dia memang paling hobi menyiksaku. Mulai dari mencubit pipiku, mengacak-acak rambutku bahkan menjewerku. Tapi anehnya, aku tidak marah, jengkel atau sejenisnya. Aku juga tidak membalasnya. Aneh memang, tapi aku sudah terbiasa. Dia sudah melakukannya bahkan sejak SMA. Dan tentang panggilan brondong, entah siapa yang memulai, sepertinya Mbak Ria. Mereka tak percaya jika umurku 24 tahun dan itu 2 tahun yang lalu saat aku pertama kali bekerja di sini. Hingga kini, protesku tak pernah sekalipun digubris.

"Kapan? Kenapa? Kok gak bilang-bilang sih?" Ardi memberondongku dengan pertanyaan.

Aku diam tak menjawab. Semestinya mereka tahu dari wajahku, aku sedang tak ingin diganggu.

"Malam minggu deh kayaknya." sahut Mbak Ria.

"Kenapa alasannya?" kali ini Ardi tidak bertanya padaku. Pertanyaannya ditujukan pada Mbak Ria.
"Gak tau. Gak ada keterangan."
"Ah, biasanya sih, tidak ada kecocokan lagi! Klise.." sambar Irwan.

Tiba-tiba Ardi mengacak-acak rambutku. "Tenang, dengan tampangmu sih, gampang cari yang lain."

"Kalian tahu dari mana sih?" kataku lirih. Aku menyerah. Aku tahu, tak ada gunanya menutupi.

"Astaga?! Masa kamu gak tahu? Facebook lah.." Mbak Ria mengatakannya dengan wajah yang aneh. Seolah ketidaktahuanku adalah sebuah kebodohan yang akut. "Malam minggu status Puspa udah single lagi.."

"Tapi sayangnya, dia gak kasih alasan.." timpal Irwan sambil memegangi janggutnya. "Dan kamu pasti gak mau cerita kan? Huh, jadi kurang seru nih gosipnya."

"Udah ah. Aku mau kerja!" seruku berusaha membubarkan mereka.

Irwan tertawa. "Iya-iya. Asal jangan bunuh diri ya." Dia tertawa lagi, "makanya An, jangan lama-lama. Langsung lamar aja. Jangan ngikutin si Ardi. Dia mah gak normal!" lanjut Irwan.

"Gw jomblo karena pilihan!" bantah Ardi sambil melempar kertas ke Irwan.

"Ah, kalian kayak anak kecil aja." lerai Mbak Ria. "Oh iya. Brondong, mana nomor ansuransimu?"

Aku jadi ingat, minggu lalu aku memasukkan klaim dokter dan ternyata lupa isi no asuransi. Dengan cepat, ku aduk-aduk isi tas mencari dompet tempat aku menyimpan kartu asuransi. Sebagai pengguna angkutan umum, aku sudah terbiasa menyimpan dompet ke dalam tas. Sedangkan uang, sengaja ku simpan dalam kantong celana. Tapi..

"Dompetku gak ada.." seruku lemas.

"Ketinggalan?" tanya Mbak Ria.
"Gak, gak mungkin ketinggalan."
"Kapan terakhir buka dompet?"

Ku coba akses memoriku dengan cepat. Dan yang ku ingat, ku keluarkan dompet saat menggunakan kartu kredit untuk membayar makan malam dengan Puspa. Makan malam yang menyedihkan. Dan selanjutnya, aku sama sekali tak pernah membuka dompet.

"Mungkin ketinggalan.." kataku lirih.
"Iya ketinggalan kali.." sahut Mbak Ria. "Udah, jangan stress gitu. Besok aja. Yah.." Mbak Ria melempar senyum manis dan pergi.

Aku hanya menggangguk. Aku tak yakin dompetku ketinggalan. Mungkin kecopetan. Aku merasa makin kacau!

==000o==

Sepertinya hari ini aku tak akan bisa bekerja dengan baik. Kepalaku terasa berat dan sulit berkonsentrasi. Dan bukannya membuka Outlook, aku malah membuka Facebook. Tapi ternyata itu sebuah kesalahan besar. Nama Puspa tak lagi berada pada relationship-ku. Ada beberapa notifikasi baru dan sebuah Friend Request. Akhir-akhir ini, aku malas menerima Friend Request karena dikirim oleh orang yang tak ku kenal sama sekali. Sedangkan notifikasinya pun sudah dapat ditebak. Semua tentang kabar putusnya aku dengan Puspa!

"Gila! Senang banget sih orang-orang ini bergosip?" seruku dalam hati. Ingin rasanya cepat-cepat ku tutup Facebook karena makin lama, aku malah makin merana. Namun, sebelum itu, aku ingin membersihkan pesan Friend Request. Tapi itu malah membuatku kaget luar biasa.

"Gila!" teriakku tanpa sadar.

"Kenapa An?" ternyata suaraku lumayan keras hingga Ardi pun menoleh.

"Oh, gak apa-apa." jawabku buru-buru. "Cuma kerjaan yang gila aja."

Ku dekatkan mataku ke arah monitor. Aku ingin memastikan, aku tidak salah lihat. Tapi itu malah membuatku makin panik. Yang mengirimiku Friend Request adalah anak muda di Busway kemarin!

Tentu saja itu membuatku panik. Pertama, aku tidak kenal dia sama sekali. Kedua, aku bahkan tidak mengobrol, apalagi kenalan. Dan ketiga.. Munginkah tuduhan Puspa benar? Mungkinkah seorang gay bisa mengirimkan sinyal gay pada gay yang lain? Kalau benar, berarti aku adalah.. Dan dia adalah..

"An!"

Sebuah kertas menghantam jidatku. Seketika kesadaranku kembali. Ku lihat Ardi melotot ke arahku.

"Di panggil Bos dari tadi." bisik Ardi. Dia mengamatiku dengan curiga. "Kamu kenapa sih? Ngelamun terus dari tadi? Sekarang mukamu pucat begitu?". Ardi bangkit dan menuju ke arahku dan dengan cepat meletakkan telapak tangannya ke keningku.

"Aku gak apa-apa." kataku cepat.

"Iya, gak apa-apa. Gak demam kok." ujar Ardi. "Ya udah buruan ke tampat Bos."

Aku mengangguk dan bangkit menuju ruang Bos ku. Tapi pikiranku, masih saja pada Friend Request di Facebook. "Gila!" kataku dalam hati. "Hari ini makin gila!".

==000o==

to be continued


0 comments:

Post a Comment