DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Negeri Dibalik Awan - Chapter 6

Chapter 6
by Ajiseno


Ini pagi pertama aku sendiri di desa ini tanpa mas yoga atau siapapun
Sangat cerah…sangat-sangat cerah, semua terlihat di sini…semua gunung terlihat sampai kelekuk-lekuknya
Gunung prau di depanku sangat nyata terpampang dengan begitu jelasnya menampilkan rimbun hijau hutan yang menyelimuti dan alur-alur jurang di lerengnya
Tidak ada kabut…
Tidak ada mendung atau mega putih secuilpun
Sangat sempurna dan sangat indah
Udara bersih dengan angin pelan yang dingin di padu dengan terik matahari pagi…hmmm perpaduan suasana yang begitu damai

Aku berjalan pelan keluar pekarangan
Aku berniat menjelajah desa ini, meniti setiap langkah dan akan mengamati
Waktu sudah jam 8 pagi
Kukencangkan tali sweater agar bisa lepas dari hawa dingin yang menyengat
Sangat aneh suasana disini, walau matahari begitu terangnya menyinari tapi tidak panas, beda banget dengan semarang…sangat jauh beda
Di semarang jam segini dengan sinar cerah mentari seperti ini pastilah sudah mandi keringat
Disini udara juga sangat bersih, angin berhembus dingin dari puncak gunung membawa udara bersih hasil dari tumbuhan hutan disana
Sangat beda dengan di semarang, pastilah jam segini sudah penuh dengan asap kendaraan bermotor
Didesa ini sangat jarang terdengar deru kendaraan bermotor..semua masih sangat alami

Tadi pagi setelah acara mandi pagi bersama teguh. Dia pamit katanya mau membantu orang tuanya ke ladang dengan janji nanti malam mau kesini lagi
Hmmm….anak yang baik dan patuh
Dan aku rasa, remaja-remaja disini mirip dengan teguh, luar biasa patuhnya dengan orang tua, sangat jarang kulihat remaja-remaja yang tongkrongan di pinggir jalan

Pagi ini aku ingin sejenak keluar dari rutinitas, kerjaanku sudah kelar dan dan tadi pagi file sudah kukirim via email.
Aku sengaja bawa modem disini, dan benar saja, disini ternyata banyak signal untuk beberapa operator telepon seluller

Aku berjalan pelan…suasana jalan sangat sepi
Hampir semua penduduk jam segini sudah di ladang, dan anak-anak bersekolah
Dan teguh sedang libur, katanya SMA sedang ujian saat ini
Untunglah dia libur sehingga aku bisa kenal dia

Hmmm sebenarnya desa sini terdiri dari dua dusun yang dipisahkan oleh jurang yang menganga lebar
Sebenarnya sejajar, memanjang ke arah puncak
Rumah-rumah penduduk seperti di tata terletak memanjang sejajar di kanan kiri jalan besar berbatu
Dan beberapa rumah penduduk masuk dipinggir desa di tepi ladang dan tebing, seperti rumahnya pak amin yang tadi malam aku tengok
Saat ini semua begitu jelas terpampang dan ini sangat langka menurutku, karena yang kutahu sebentar lagi kabut akan turun dari puncak gunung dan menyelimuti desa ini
Aku mengeluarkan hp, dan pemandangan langka ini beberapa kali aku abadikan dalam kameraku

Beberapa kali aku bertemu penduduk yang membawa peralatan tani dan yang laki-laki pasti akan langsung tersenyum, mendekatiku dan menyalamiku dan yang wanita cukup mengangguk sambil menyapa seperlunya
Semula aku kikuk dengan keadaan ini, mengingat aku tidak terbiasa disalami dan di tanyain oleh orang yang baru kukenal
Tapi lama-lama aku sadar, da terbiasa dengan keadaan ini
Aku jugsadar ini memang kelebihan penduduk sini, ini adalah wajah indonesia dalam arti yang sebenarnya
Keramahan dan keikhlasan yang terpancar tanpa beban
Hampir semua berkata begini “monggo mas mantri, pinarak…..”
Pinarak itu artinya mampir, dengan demikian hampir semua penduduk mempersilakan aku untuk mampir ke rumahnya
Ohhh…sebuah suasana yang tidak pernah kutemui di semarang tepat tinggalku

Aku hampir mencapai ujung desa
Kulihat beberapa bahkan sangat banyak penduduk berkerumun di lapangan kecil disamping tebing yang tidak terlalu inggi
Di atas tebing tersebut terdapat gundukan tanah mirip bukit dengan dua pohon beringin yang begitu rimbunnya
Di bawah pohon beringin terdapat rumah kecil berbentuk joglo, terlihat sangat mistis
Hmmm…tempat yang sangat menarik untuk segera aku datangi

Dengan agak cepat aku melangkah mendatangi tempat tersebut
Dan saat semakin dekat maka semakin nyata pula aktifitas yang baru dilakukan oleh warga

Kulihat beberapa orang sedang memotong bambu, membelah bambu, membuat tali
Beberapa yang lain meratakan tanah dengan cangkul
Mereka seperti bergerombol dengan jumlah sekitar seratusan warga
Ohhh…pantas sekali tadi dijalan begitu sepinya
Rupanya hampir semua warga berkumpul disini sedang melakukan pekerjaan tertentu yang belum kumengerti

Kulihat pak lurah sedang mondar-mandir mengamati aktifitas warganya
Tubuhnya yang kecil dan bertopi sangat mudah aku temukan diantara kerumunan warga
Dengan cepat aku menuju pak lurah berdiri
Dan dengan cepat pula kulihat perbahan di wajah pak lurah
Wajahnya jadi begitu sumringah melihat kedatanganku

“ehhh…mas mantrii…, monggo mass..” dia berkata nyaring sehingga mengagetkan warga yang sedang bekerja
Semua warga mendongak dan memandang kearahku
Aku begitu kikuk menjadi sorotan warga
Aku tersenyum sambil kusalami pak lurah

Dan sekonyong-konyong hampir semua warga meletakkan apa yang dipegangnya
Berdiri menyambutku dan menyalamiku dengan penuh keriuhan
Dan tiba-tiba aku seperti larut dan menjadi bagian dari warga desa sini
Semua menyambutku dengan begitu bahagia, semua tertawa lebar menyambut kedatanganku
Sebuah fenomena langka ditengah-tengah dunia yang sedang dilanda prinsip individualisme


Aku berjalan pelan diantara kerumununan orang yang sedang bekerja
Kuamati sekilas sepertinya mereka bekerja berkelompok menurut usia, yang muda dan remaja, kulihat ada yang menebang bambu, memotongnya dan mengangkutnya ke lapangan, yang usia sedang bekerja membelah bambu dan sebagian menata lapangan dengan cangkul dan linggis dan yang sudah tua sambil duduk menghaluskan bambu yang sudah di belah dan membuat tali.
Semua seperti sudah tahu tugasnya masing-masing
Mereka bekerja dengan wajah penuh keikhlasan tanpa mengharap apapun apalagi upah

Yang berada di lapangan ini hampir semua penduduk desa sini, mungkin seratusan, mungkin tugas rutin ke ladang di serahkan istrinya masing masing
Aku mendadak menjadi bingung berada di tengah-tengah mereka, aku tidak tahu dan tak membawa alat apapun, maksud hati ingin membantu mereka
Hanya satu pekerjaan yang tidak memakai alat yaitu mengangkut potongan bambu dari tebing atas, di angkut ke bawah melewati jalan setapak berundak yang cukup licin
Hmmmm….nggak mungkin lah aku membantu membawa bambu seperti itu, bisa-bisa jatuh terperosok ke jurang

“mass…duduk sini saja mas” teriak pak lurah
Aku menoleh, ternyata pak lurah paham akan kebingunganku
Aku berjalan pelan menghampiri pak lurah yang berada di tepi lapangan, duduk di dekat ladang penduduk
Sinar matahari pagi yang menyengat membuat beberapa penduduk sudah berkeringat, tapi anehnya aku masih kedinginan dengan angin gunung yang berhembus

Pak lurah menepuk batu yang lumayan besar disisinya mengisyaratkan aku untuk duduk disisinya
Kuletakkan pantatku dipermukaan batu dan hmmm dingin banget, tapi tetap nyaman aku duduk disini

“maaf pak lurah, aku tidak tahu kalau lagi ada gotong royong disini jadi aku tak membawa alat apapun” ujarku membuka pembicaraan
Pak lurah tersenyum mengangguk-angguk
Kadang aku heran,pak lurah ini tubuhnya kecil dan pendek, tapi penuh wibawa dan masyarakat desa sini begitu segannya pada beliau dan kini aku paham, letak kewibawaannya karena beliau suka sekali tersenyum pada siapapun dan jarang bicara kalau tidak penting.
“wahhh…mas aji ini kan tamu, mosok ikut gotong royong, tuh lihat…sejak mas aji ke sini semua warga disini jadi lebih semangat bekerja”
“hehehe…pak lurah ini, emangnya aku ini apa?, bisa bikin mereka semangat”
“ehh benar lho, mas aji ini jadi bahan pembicaraan lho disini?”
“hahh” aku kaget menoleh dan menatap pak lurah
“iya…sejak semalam mas aji membantu keluarganya pak amin, warga sini langsung suka dengan kehadiran mas aji, makanya mereka senang banget pagi ini mas bisa datang ke sini”
“waduuhhhh…sampai segitunya ya, malah aku jadi nggak enak neh” ujarku dengan tersipu, dan kalau aku bercermin pasti pipiku memerah

“pak lurah, emangnya mau ada acara apaan nih?” tanyaku dengan nada penasaran
Kulihat pak lurah memandangku kaget
“lho mas aji belum tahu to?” ujarnya kaget
Aku menggeleng
“ini lho, desa sini besok kan ada perayaan nyadran”
“nyadran?....apaan itu?’ tanyaku dengan nada lebih penasaran
Kulihat ada kebingungan di wajah pak lurah untuk menerangkan

“hmmm…nyadaran itu…ya…hmmm..itu upacara tahunan di desa sini, untuk berziarah ke makam mbah kyai surogati pendiri desa sini mas, itu makamnya yang di atas situ, besok pelaksanaan upacara disini, seluruh warga akan disini sambil membawa makanan, nanti akan diisi pengajian oleh kyai dari wonosobo”
“ohhh…gitu ya” dalam hati aku membayangkan sebuah upacara adat mirip di bali mungkin
Akhhh…sebuah acara yang tidak boleh aku lewatkan
Aku manggut-manggut

Kulihat ada cangkul kecil nganggur di depanku
Akupun langsung minta ijin untuk menggunakan cangkul membantu meratakan tanah lapangan di pojok lapangan
“wah mas mantri memangnya bisa po mencangkul?” pak lurah tersenyum lebar
“nyante saja pak lurah”
Aku sudah setengah berlari setelah sebelumnya mencopot sweater dan meletakkannya di atas batu

Aku berjalan cepat menuju gerombolan orang yang sedang meratakan tanah dengan cangkul
Tiba-tiba hatiku begitu bersemangat bisa ikut berbaur dengan masyarakat desa sini
Dari jarak dekat kulihat puncak gunung prau sudah terselimuti awan putih tebal, sebentar lagi akan turun melalui lerengnya dan menutup desa ini dengan kabut putih
Hmmm…saat ini begitu indahnya, gunung prau seperti berpayung putih

Wajah bapak-bapak langsung sumringah menyambut kedatanganku dengan membawa cangkul
“wahh mas, kok jadi repot ikut-ikut segala…” ujar salah satu bapak disana
“nggak pa pa lah pak, biar badan anget” ucapku sambil senyum

Aku mulai mencangkul ringan, membuang rumput dan menyeret tanah yang tidak rata hingga menjadi rata
Aku sudah terbiasa mencangkul waktu masih muda di bantul, jadi kegiatan mencangkul seperti ini aku anggap sebagai kegiatan ringan
“wahhh mas mantri ini ternyata yo bisa to nyangkul, hehehe” canda salah satu bapak yang disampingku
“walah pak, aku juga orang ndeso kok pak, wong tani juga lho”
“ohh..memangnya mas mantri dari mana to?”
“dari mbatul pak”
“lho mbatul to? Walahh mbantul ternyata, saya pikir orang semarang, saya kemaren kesana lho waktu habis gempa” ujar salah satu bapak yang masih muda
Aku mengangguk tersenyum lebar
Dalam waktu singkat aku telah begitu akrab dengan warga desa ini

Sekitar sejam aku melakukan kegiatan ini tubuhku mulai menghangat tetapi tidak keluar keringat, aku heran saja mungkin karena hembusan angin yang dingin hingga aku tidak keluar keringat
Sangat kontras pemandangannya dengan bapak-bapak di sekitarku, keringatnya sudah menetes di wajahnya
Wajahnya memerah…hah aku baru nyadar sekarang, wajah orang disini kalau kepanasan pipinya kemerahan, kalau cewek warna merah dipipi berbentuk bulatan di pipi sangat manis.
Hmmm…otakku baru membayangkan teguh sedang kepanasan, pasti pipinya merah dan maniiissss banget

Pekerjaan hampir selesai tak terasa, sekitar jam 10 an mungkin
“mas, istirahat dulu mas”
Dan aku mengikuti warga duduk di pinggir lapangan
Seorang bapak berbadan tinggi dan berkulit putih dengan kumis lumayan tebal, perlahan duduk disampingku tersenyum manis…uhhhh kapan ya aku punya kekasih yang punya kumis?
Jadi membayangkan…..hmmm….

“mass mantri, kenalkan saya ini bapaknya teguh mas, tadi malam maaf ya, kalau anakku ngrepoti mas mantri” ujarnya ramah
Aku memandang kaget
“wahhh pak…justru aku yang harus bilang terima kasih pak, maaf lho pak teguh semalem aku suruh nemenin aku”
“nggak apa-apa lah, di rumah palingan juga Cuma tidur”
“teguh nggak ikut kesini pak?” tanyaku lagi
“hmmm…itu anaknya…disana” kata dia sambil menunjuk ke arah ujung lapangan

Aku sontak berdiri mencari sosok teguh, dia sedang jalan-jalan seperti mengatur teman-temannya untuk melakukan sesuatu
“dia itu ketua pemuda disini mas” kata bapanya teguh lirih dibelakangku
Aku tersenyum
Ada rasa bangga disudut lubuk hatiku mengenal teguh

Tiba-tiba bapaknya teguh melambaikan tangannya ke arah teguh, dan dia menoleh melihat kami
Aku tertawa lebar
Dan teguh terperangah melihatku
Secara reflek dia berlari ke arahku

Dan benar seperti bayanganku….
Bibirku sampai melongo melihatnya……………
Pipinya yang putih ada bulatan besar memerah sangat-sangat manis…okhhh hatiku takluk
Apalagi pipinya tertarik ke belakang saat dia tertawa melihatku, membuat bulatan merah dipipinya mengggumpal sangat manis, bikin gemas, pengin dijilat, dicium atau mungkin dilumat…pasti sangat manis.

“mas aji di sini to?” ujarnya setengah teriak
Dia tersenyum lebar, menampilkan barisan gigi-giginya yang rata
Aku Cuma tersenyum, mengangguk
“nggak sengaja kok guh, tadi cuman jalan-jalan dan liat kegiatan ini jadi langsung gabung”
“wahh…tau mas aji mau kesini, tadi kan bisa barengan”
“nggak pa pa kok guh, nyante aja”
Teguh kembali tersenyum, dan sekali lagi aku terpesona memandang senyumnya

Waktu istirahat tiba, beberapa penduduk duduk bergerombol diatas tanh atau batu di seputar lapangan
Aku duduk bersama eguh dan bapaknya, mengobrol sana sini di selingi hembusan angin yang mengurai rambutnya hingga jatuh di dahinya
Ingin rasanya kusibak beberapa helai rambut di dahinya
Tapi cepet-cepet kuusir angan tersebut

Tiba-tiba kudengar beberapa anak muda bersiul-siul menggoda
Aku menoleh….
Teguhpun demikian
Kulihat deretan gadis-gadis desa berkerudung selendang yang melambai-lambai di terpa angin
Semuanya membawa bakul dan poci besar
Mereka berjalan pelan memasuki lapangan
Kulihat salah satu gadis remaja tersebut adalah putri
Yahh…putri
Dia kelihatan begitu manisnya

Dan sejenak kulirik teguh yang wajahnya tiba-tiba begitu cerahnya
“mas…makanan datang, aku kesana dulu ya, mau bantu…”
Aku mengangguk
Teguh langsung melesat ke arah makanan

Dan akhirnya pocipun datang beserta makanan
“mari mas, ini diminum dan ini mas seadanya saja” ujar salah seorang warga
Aku tersenyum mengambil segelas teh manis dan kue berbungkus daun pisang
Kubuka ternyata kue apem yang dibungkus daun pisang
Namanya utri…mirip nogosari
Kugigit…hmmm…rasnya sederhana tapi nikmat
Kurasa kue ini terbuat dari tepung beras, santan dan gula jawa yang dikukus

Kulihat teguh
Dia diujung lapangan, sibuk membagi kue dan air minum kepada warga
Dan….
Tiba-tiba pandangan mata kami beradu
Dia melambaikan tangan kearahku

Dan sedikit berlari kembali kearahku
“mas aji sudah dapat bagian belummm…” dia setengah berteriak kembali
“udahhh….” Jawabku sambil mengacungkan gelas

Suasana begitu ramai dengan orang yang makan dan minum dengan santainya
Aku ikut terbawa suasana
Suasana kebersamaan yang jarang aku dapatkan ketika di kota

Kembali kudengar riuh siulan bersaut-sautan
Aku menoleh…
Kulihat putri sedang membisikkan sesuatu pada teguh
Aku tersenyum melihatnya
Di kota hal ini sangat wajar, cewek membisikkan sesuatu pada cowok, tapi disini lain, bisa jadi gosip besar

Dan kulihat kembali teguh mendatangiku
“mas…mas aji kata putri, sekarang mas aji sedang di tunggu tamu” suaranya sambil mengatur nafas
“ohhh…ya udah guh, aku pulang dulu”
“eh, mas aku antar ya, biar cepet pake sepeda motor”
“ohh…boleh…ayook”

Sejenak aku pamitan pada pak lurah dan beberapa warga di sekitarku
Semuanya mempersilakan aku pulang duluan di antar teguh pakai sepeda motor

Aku berjalan cepat menuju teguh yang sudah ada di atas jok sepeda motor

Dan pelan sepeda motor melaji menyusuri jalan desa
Aku menikmati perjalanan ini
Kupeluk teguh dari belakang

Tiba-tiba sepeda motor terhenti
“ada apa guh?”
Aku bin gung
“hmmm…anu mas, hmmm baiknya mas aji jangan temui tamu itu deh”
Aku kaget
“emangnya ada apa guh?”

Kulihat ada keraguan di wajah teguh
Sebuah misteri tentang tamuku
Teguh masih terdiam

“guhh…emang siapa tamuku guh?”
Aku semakin penasaran

Teguh masih terdiam
“pokoknya jangan temui saja deh, tadi sempat kupikirkan”

“iyaaa…tapi siapa tamuku?”
“hmmm…anu mas…dia itu petruk”
“hahh..petruk?”
Aku kaget, tapi langsung tersenyum geli mendengar nama ‘petruk’ disebut

“hehehehe…nama yang lucu” gumanku
“uhhh..” teguh malah cemberut melihat aku tersenyum geli
“guh, emang siapa tuh si petruk?”
“ dia preman desa sebelah mas”

Aku langsung terbelalak kaget
“apa guh? Preman?”
Teguh mengangguk kelu
“emangnya ngapain preman mau nemuin aku?”
“pasti mau malak mas aji, mas aji kan tamu disini”
Aku terdiam kelu
Dalam hati aku bingung, di desa setentram ini ada preman

"mas aji kok malah senyum-senyum sih, bukannya takut?" teguh mengernyitkan dahi heran melihat aku tersenyum
aku masih tersenyum
"nama yang aneh..." gumanku
"kok aneh?"
"iya...mosok preman namanya petruk, aneh kan?"

teguh menghela nafas panjang
"dia itu nama aslinya agung, tapi berhubung orangnya tinggi besar dan hidungnya panjang makasemua manggil dia petruk"
"hehehehe..pasti orangnya nggak serem, tapi lucu..."
"kok lucu mas?, walahhh...mas aji nggak tahu ya, dia tuh tukang mabuk, judi dan sering malak, wajahnya saja serem, tubuhnya pake tato...uhhh pokoknya ngeri mas.."
"hahhh yang bener?" aku kaget
sedemikian seremkah...
teguh mengangguk pelan

"mass..."suara teguh serak setengah berbisik
"ya"
"baiknya kita kembali kelapangan ya? nanti nemuinnya sama pak lurah dan pak sujar, gimana?"
aku terdiam
dalam hati aku berfikir kok pengecut amat ya, mosok menghadapi preman saja nggak berani
apalagi disisi lain hatiku tidak yakin preman itu seserem yang teguh diskripsikan

"nggak ahh...justru aku penasaran dengan yang namanya petruk itu" jawabku mantap
"masss...tapi..." ujar teguh ragu
"tapi apa guh?"
"entar kalau mas aji di apa-apain, di rampok dia aniaya, trus gimana?"
"hehehehe...kalau petruk memang niatnya mau merampok, pastinya dia nggak datang bertamu secara baik-baik gitu guhhh..."

"mas..tapi..." teguh ternyata masih mengkhawatirkanku
"udahlah guhhh...nggak pa pa lah, yakin saja padaku" aku menenangkan dia

"eh...dia sudah berkeluarga guh?"
"udah, punya anak satu, tapi istrinya nggak betah, dan beberapa waktu yang lalu istrinya kembali ke orang tuanya"
"ohhh...dia asli penduduk sini guh?'
teguh menggeleng
"lampung mas, dia bertemu istrinya di jakarta, keliatannya dulu hamil duluan sebelum nikah, dan dia akhirnya menetap disini"
"ohhh... gitu ya,................ ya udah yuk kita temuin dia, aku makin penasaran guh"

teguh kembali ragu
aku tahu teguh begitu takutnya dengan petruk

'Guhhh...ya udah kalau kamu nggak mau nganter aku ya nggak pa pa, biar aku jalan saja"
"hmmm...mas pikirin sekali lagi mas, dia itu preman mas.."
"udaahhhh...yukkkkk"

akhirnya dengan berat hati teguh menstarter sepeda motornya
dan pelan sepeda motor melaju menyususri jalan desa

dan benar saja sampai di halaman pak sujar kulihat sepeda mototr GL100 jaman tahun 1983an terparkir di halaamn

aku turun dari sepeda motor
teguh dibelakangku dengan menempel ketat dan ketakutan

aku melangkah menuju pintu
"assalamualaikum" ujarku
"hmmmm...salaammmm" suara berat ku dengar dari dalam

dan ketika aku sudah di dalam ruangan kulihat sosoknya
gelap
tinggi besar
rambut dengan kucir sampai ke leher
dan...benar kata teguh
hidungnya sangat besar dan mancung
pantesan dia di panggil petruk

bibirnya dalam remang kulihat tebal kehitaman
asap rokok selalu mengepul dari celah bibirnya
kedua kakinya diangkat diatas meja kecil di depannya sambil santai

hmmmm kesan pertama yang kurang menyenangkan bagiku
dia menoleh sedikit dan kembali asyik dengan rokoknya

aku menghela nafas panjang
dalam hati aku terus berdoa semoga tidak ada hal buruk yang menimpaku
dan....
teguh semakin menempel ketat di punggungku

Dalam jarak yang sedemikian dekat aku dapat mengamati agung dengan begitu detailnya
wajahnya sebenarnya ganteng
kulitnya coklat
ada kumis tipis diatas bibirnya yang tebal
sebenarnya bukan tebal tapi berisi, warnanya hitam akibat terlalu sering merokok
rahangnya begitu kokoh dan kuat
ada kantung mata dibawah matanya, mungkin terlalu sering bergadang

dan…satu hal yang jadi fokus perhatianku
bau badannya…
terus terang aku terganggu
dia seperti berhari-hari tidak mandi
ada bau alkohol
ada bau parfum murahan
semua jadi satu
bercampur semerbak merasuk dalam indera penciumanku

tapi entahlah
semua paket darinya, aku menyukainya
walau wajahnya garang
walau ada tatto di lengannya
walau bau alkohol habis mabuk
walau sorot matanya seperti mau mencabik-cabik
semua yang ada darinya aku suka
aku tidak takut
aku tdak gemetar
jantungku berdebar keras walau kutahu ini bukan akarena aku takut dengannya tapi karena aku menemukan sosok yang begitu sempurna dimataku

aku terus menatapnya dalam duduk yang berhadapan
tegung memegang lenganku erat
tatapan mata kami beradu
dan aku tersenyum mengalah

“maaf mas agung, kalau boleh tahu, ada keperluan apa ya mas datang kesini?” tanyaku sopan
Dia tersenyum sinis
Dan sekali lagi aku terpesona dengan senyum cueknya
Bibirnya hanya bergerak sedikit dan selanjutnya dia hisap rokok dengan asap yang mengepul pekat
“nggak apa-apa mas aji, pengin dolan saja mau kenalan dengan mas aji” katanya cuek
Aku menoleh ke teguh, dia juga memndangku dengan rona penuh kekhawatiran
“ohhh…makasih kalau gitu”
Dia terssenyum sekali lagi
Dan lagi-lagi dia menghisap kuat rokoknya dan mengeluarkan asapnya dengan begitu luarbiasanya

“hmmm…mas agung tinggalnya dimana?’ tanyaku membuka pembicaraan
“Di dusun sebelah”
Mendadak aku bingung mau bertanya apa lagi
“sudah berkeluarga mas”
Dia memandangku tajam
Dan mendadak nyaliku ciut
“mas aji” dia berkata pelan tapi dengan nada berat
“ya mas”
“saya ingin bicara”
“ya…silakan”
“tapi….” Dia sekali lagi menghisap rokok dan mengeluarkan dengan cepat

Aku mengambil nafas pelan
Menunggu dia melanjutkan perkataannya
“tapi tadak ada bocah ini” dia berkata sambil menunjuk teguh
Aku menoleh ke arah teguh
Dan sekali lagi teguh terperangah
“aku Cuma pengin bicara khusus dengan mas aji, tidak ada orang lain” dia menyakinkan

Sesaat aku memandang teguh
Dihadapanku , Agung seperti biasa, cuek…
“guh…” aku berbisik
“ya mas..”
“nih kunci kamar, sana masuk kamarku saja, sambil istirahat”
Aku menyerahkan kunci kamar ke teguh
Dia menerimanya
Dan langsung dia berdiri melangkah menuju kamarku

Dan kembali aku memandang agung
“gimana mas, apa yang ingin anda bicarakan dengan saya?” tanyaku menantang
Dia tersenyum
“mas….saya perlu uang saat ini” ujarna mantab
Dan langsung serasa ada petir menyambar tubuhku
Ternyata apa yang khawatirkan teguh ada benarnya
Aku bergidik….
Tap disisi lain bathinku aku berusaha mengumpulkan keping-keping prasangka baik terhadap apa yang dia katakan barusan.




“Berapa?” tanyaku
Dia terdiam sambil sekali lagi menyedot panjang batang rokoknya, asapnya bergulung-gulung menerpaku
Aku hanya mengamati sambil terdiam
Diangkatnya satu kaki keatas kursi
Celananya begitu lusuh, jeans belel berwarna biru yang kini pudar dan kecoklatan

Dia memandangku tajam, mata elang….dan….
Seolah aku mangsa empuk yang siap di terkam
Aku tetap terdiam
Menanti jawaban atas pertanyaanku

“berapa?’ aku mengulanginya akibat hilang kesabaranku
Kulihat dia mengambil nafas panjang
“hmmm…limapuluh” ucapnya tegas
“limapuluh apa?’ tanyaku bego
“hahaha ya limapuluh ribu lah, mosok limapuluh juta…’ dia tertawa
Dan kini baru kudengar tawanya
Menggelegar….keras menusuk gendang telingaku
Menambah degub jantungku
“hah…!!!” Cuma itu yang terucap
Dalam hatiaku geli
Dasar preman ndeso, mosok malak cuma limapuluh ribu
Dapat apa uang limapuluhribu?
Uhhh…aneh bayanganku tetep diatas duaratus ribu

“kok hah, ada nggak?” dia sedikit mengeras nadanya
“ya ada lah”
“ya udah mana, cepaatt” dia nggak sabar

Aku merogoh saku celana
Kuambil dompet
Aku berusaha mencari lembaran uang limapuluhan ribu
Akhirnya kutemukan dan kuletakkan diatas meja

“hahahahahaha…..’ dia tertawa keras
Sangat keras dan aku yakin teguh yang berada di kamar mendengar dengan jelas tawanya
Aku sedikit melotot memandangnya
Ada berjuta tanya dalam hatiku mendengar tawanya

“napa?”
“hehehehe…”
Dia tdak menjawab hanya terkekeh
Sekali lagi aku begitu dibuat penasaran olehnya

“napa mas…’tanyaku lirih
Aku ngeri juga setelah mendengar tawanya
Mendadak aku sedikit gemetar…takut
Ternyata tidak seperti yang aku bayangkan
Dan kini aku menyadari betul apa yang dikatakan teguh dijalan ada benarnya juga
Seharusnya aku menemuinya mengajak pak sujar atau pak lurah
Uhhh…semua telah terjadi
Aku harus menghadapi
Apapun yang terjadi

“kok tertawa, napa mas?” ini pertanyaan yang sama yang kuucapkan sampai tiga kali
Aku menatapnya lekat
Dan entahlah waktu seperti merambat dengan begitu lamanya

Tiba-tiba kulihat rona wajahnya berubah
Dia diam
Dan kaki yang terangkat pelan turun
Dibuangnya puntung rokok yang tinggal sedikit ke lantai dan langsung sandalnya menginjak hingga tak ada lagi asap

“hhmmm maaf mas, tadi itu sebenarnya aku cuma guyon saja kok, maksudku tadi aku Cuma bercanda saja minta uang, Cuma main-main”
Kali ini terlihat betul perbedaan sorot matanya kepadaku
Kali ini sorot matanya begitu teduh

“terus maksud mas agung apa?’ aku semakin bingung dibuatnya
“tadi kan aku sudah jelaskan diawal, aku Cuma pengin kenal mas aji”
Aku tersenyum
“tapi aku yakin bukan itu tujuan anda kesini”

Kulihat dia sedikit tersenyum
Dan hatiku langsung lumer melihat senyumnya
Entahlah rasa takut dan khawatir yang tadi kurasakan menguap entah kemana

“hmmm…gini, kata warga sini mas aji itu mandor untuk proyek di desa sini ya?”
‘bukan!”
“lho, truss…”
Aku mengambil nafas panjang

“aku cuma sementara saja kok, mandornya mas yoga, kebetulan dia sedang ada acara sehingga sementara aku yang menggantinya”
“ohh gitu ya”
Aku mengangguk pelan

“mas”
“ya” jawabku
“hmmm bisa tidak kalau aku bekerja di proyek ini?”
Aku terdiam
Aku sama sekali tidak mengira
Sangat surprise ini bagiku
Tadi aku kira kau benar-benar akan di talak
Ternyata salah
Duia hanya ingin menanyakan lowongan kerja di perusahaanku

“mau kerja apa?”
Dia kembali mengambil nafas panjang
“sopir”
Wahhh…dia ternyata menemuiku hanya ingin melamar keja jadi sopir
Aku tersenyum lega

“sopir apa?”
“waduhhh ya sopir truk lah, mosok becak hehehehe”
Aku juga ikut tersenyum, menyadari betapa tololnya aku
“maksudnya truk proyek ya”
Dia menganguk


“jadi …tetep nggak ada lowongan kerja jadi sopir ya?’ tanyanya lagi
Saat ini wajahnya mendadak menjadi begitu serius
Aku mengangguk

Sesaat suasana hening
Dia tetap menampakkan wajah tegang
“atau gini mas agung, gimana kalau anda kerja di proyek saja…ada dua proyek boleh pilih mau jalan atau air bersih” aku menawarkan alternatif
“nggak!” sahutnya tegas
“napa?”
“nggak ya …tetep nggak!”
Aku tersenyum pahit
“nanti saya usahakan pasti anda di terima lah, kulihat fisik anda cukup memenuhi syarat kok”
“nggak mau, itu kerjaan kuli aku ngak mau!” suaranya meninggi tegas
“memang kenapa kalau kerjaan kuli” tanyaku menyelidik

Dia terdiam kembali
Tubuhnya bergerak dan dia ternyata mengambil rokok disaku celananya
Dia sulut rokok kembali
Nafasnya perlahan tertarik ke dalam seiring sedotan panjang ujung rokoknya
Dan kembali ruangan dipenuhi dengan asap rokoknya

Aku Cuma menghela nafas
Cukup sulit menghadapi lelaki yang satu ini
Penuh misteri dengan emosi yang naik turun
Dalam hati aku berbisik ‘aku harus hati-hati menghadapinya’

Dan kembali tubuhnya membungkuk
Tangannya terjulur keatas meja
Dia mengambil satu lembar uang limapuluhan ribu yang tadi kuletakkan diatas meja, melipat dan memasukkannya ke saku kaosnya
Dia tersenyum licik
Tiba-tiba aku menjadi tidak lagi simpati padanya
Dia benar-benar munafik dalam arti yang sesungguhnya
Tadi dia bilang hanya main-main saja meminta uang dan sekarang dia ambil uang itu disakunya

Rona wajahku pasti langsung berubah saat ini juga
Aku menjadi begitu geram, marah dan mual memandangnya
Laki-laki tak berguna!
Dan sekali lagi benar kata teguh tadi di jalan
Dia manusia tak berguna

Dia memandangku tajam
Dan dia tahu perubahan rona wajahku
“napa?...mas aji kelihatan nggak suka aku mengambil uang ini ya?”
Aku menggeleng lemah
Malas sekali bicara dengannya
Kembali dia menampakkan senyum sinisnya yang membuat aku semakin mual
“hmmm…bukannya tadi mas aji sudah memberikannya padaku, jadi wajar kalau kuambil uang in,dan…. kebetulan saat ini aku lagi bokek, lumayan bisa untuk beli rokok”
Dia kembali tersenyum sinis

Aku Cuma memandangnya
Mencoba bicara, tapi entahlah mulutku begitu malas untuk mengeluarkan suara
“untuk pekerjaan benernya aku lagi butuh, tapi aku nggak mau kerja kayak kuli di jalan mengaspal…aku nggak bisa, bisaku Cuma nyopir, gimana mas? Apa bener-bener nggak ada lowongan sopir mas?”
Duah orang satu ini benar-benar dungu, bukannya tadi sudah aku jelaskan…
Males banget bicara dengan orang satu ini
Hatiku bergemuruh
“nggak ada mas, maaf” Cuma itu yang keluar dari mulutku
Aku masih bisa menahan diri untuk tidak marah dan bicara sesopan mungkin dengannya
Aku harus bersabar menghadapinya

Dia terdiam kaku
Memandangku tajam
“bener nggak ada mas?” tanyanya lagi
Dan ini sudah kesekian kalinya dia bertanya
Dan….
Kesabaranku habis

Aku bangit dengan cepat
“maaf mas nggak ada, maaf juga saya mau ke belakang dulu, silakan mas agung kalau masih mau duduk-duduk disini, maaf”
Aku bangkit dan kupandang sekilas wajahnya
Kulihat rona wajah tersinggung
Yah…dia benar-benar tersinggung

Dan baru beberapa langkah aku meninggalkan kursiku
Tiba-tiba dengan cepat tubuh besarnya melompat
Tangannya langsung mencengkeram lenganku
Sakit…..
Kurasakan telapak tangannya yang begitu besar mencengkeram erat lenganku

Reflek aku menoleh
Kupandang wajahnya
Ada kilatan kemarahan yang meluap
Ada dendam yang meledak
Matanya begitu tajam seolah menusuk sampai ke relung jantungku

“ada apa mas?” tanyaku menantang
“mas aji dengarkan, saat ini aku benar-benar butuh pekerjaan ini, benar-benar butuh….aku tak peduli lagi, bahkan kalau sampai dalam beberapa hari ini aku tak mendapatkan pekerjaan, aku tak peduli kalau harus membunuh seseorang, aku tak peduli jika harus dipenjara, atau dihukum mati sekalipun…”
Suaranya begitu pelan…dan begitu penuh tekanan dengan nada ancaman
Tiba-tiba ada kengerian

Ohhh…kata ‘membunuh’ membuatku ngeri
Bulu kudukku berdiri
Tak lagi kurasakan sakit di lenganku
Aku seolah mati rasa
Yang kupikirkan saat ini ‘aku sedang diancam untuk dibunuh’

Dan……tanpa menunggu aku bicara dia telah menyeretku keluar
“mas, mas agung mau ngapain?”
Dia diam
Langkahku tertatih-tatih mengikuti pakasaan akibat seretan di lenganku
“diam! Pokoknya ikut saja aku” dia sedikit membentak

Ohhh dasar orang tak waras, mosok hanya ingin kerja jadi sopir saja harus memaksa sampai mengancam membunuh
Jantungku semakin berdebar
Walau sekuat tenaga aku berusaha untuk bersikap setenang mungkin tapi tetap saja jantungku terus berdebar kencang

Langkah kakiku sampai juga dihalaman
Lenganku masih dicengkeram dengan begitu eratnya

“mas….massss….mas aji mau diapain?” teguh menjerit
Seketika kami menoleh ke arah teguh
Teguh berlari menghampiriku
“heeyy…bocah cilik, jangan ikut-ikutan ya! Awas kalau kamu macem-macem, bosmu kubunuh!”

Aku Cuma bisa memandang teguh tanpa bisa berucap
Teguh terbengong
Wajahnya pucat pasi
“mass…”suaranya kembali keluar
“diaaammm!” bentak agung garang
Dan seketika teguh terdiam
Dia berdiri terpaku memandangku

“ayo cepet naik!” intruksinya kepadaku ketika sampai di sepeda motornya
Kulangkahkan kakiku di sepeda motornya
Dia langsung menstarter
Suara deru sepeda motornya begitu keras
Agung menoleh kearahku
“pegangan!”
Aku menurut
kupegang pinggangnya erat

dan dengan cepat kurasakan sepeda motornya cepat meninggalkan halam rumah pak sujar
aku menoleh ke belakang
kulihat teguh di halaman masih terpaku menatap kepergianku dengan agung
dan aku tahu lagi arah perjalanku
bahkan aku tak tahu lagi apa masih bisa membuka mata di esok hari

Mau tak mau aku harus berpegangan erat pada pinggangnya
Ini tidak seperti membonceng sepeda motor, tapi mirip menunggang kuda
Tubuhku sesekali tergoncang akibat jalanan yang tidak rata

Agung terus memacu sepeda motornya
Sepeda motor ini sudah sangat tua sehingga suaranya menggema keras memekakkan telinga

Wajahku sesekali terantuk punggungnya
Tak kupedulikan lagi bau jaketnya
Tak kupedulikan lagi semua yang ada di depanku
Yang kini kupikirkan adalah keselamatan jiwaku selama dalam perjalanan
Bisa saja sepeda motor ini terjun ke jurang atau menabrak tebing batu atau terjatuh…

Jsaat ini kuperhatikan agung sudah meninggalkan desa tempat aku tinggal
Kuperhatikan….
Deretan rumah-rumah kecil memanjang
Dalam hati aku berfikir…disana ada teguh yang aku yakin dia sedang mencemaskanku

Dan jalanan keluar dari jalan aspal
Jalan berbatu kasar
Berdebu
Dan licin
Tapi agung begitu lincahnya mengendarai besi tua ini

Tidak lagi kulihat desa
Saat ini aku memasuki kawasan hutan lindung yang terdiri dari deretan pohon pinus
Udara semakin dingin
Aku sakin saat ini aku sedang masuk kawasan punggung gunung prau
Kabut tipis mulai turun menyapu keadaan hingga suasana temaram

Kami berjalan dengan kebisuan
Akupun hanya diam karena kupikir percuma saja mengajak agung untuk bicara
Dia sedang emosi…

Akhirnya kabut tebal benar-benar turun menyapu
Panas matahari tak lagi kurasakan
Yang kurasakan saat ini dingin yang menyengat dan menusuk tulang

Dan….
Akhirnya sepeda motor masuk perkampungan kecil
Sebuah perkampungan yang hanya terdiri beberapa rumah saja
Sangat sepi
Ini mirip kota tua yang mati
Tiada kehidupan
Rumah-rumah berderet rapat tersapu kabut
Temaram….
Dan cenderung mistis
Aku jadi bergidik

Akhirnya kutemui juga beberapa anak bermain di halaman
Lega rasanya
Akhh…mungkin semua orang tua disini sedang pergi ke ladang

Sepeda motor memasuki halaman rumah yang lumayan luas
Di belkang halaman terdapat rumah kecil dengan atap yang rata dari seng
Setelah sampai, baru kusadari, ini bukan halaman tapi ini bekas rumah yang dibongkar

“turun!” suara agung yang lumayan keras mengagetkanku
Aku turun dengan perlahan

Dan dalam sekejab aku telah diseret masuk rumah
Dengan kakinya agung menendang keras pintu ruah hinga terbuka dengan cepat
Akupun ikut memasuki
Rumah yang gelap dan dingin…..

Sejenak aku termangu mengamati keadaan ruangan yang remang
Rumah ini sebenarnya tadinya berupa dapur
Yahh dapur, aku bisa lihat bekas-bekasnya
Bagian samping ada dua kamar dan kemudian ada meja kursi mirip meja makan
Tidak ada ruang tamu
Tidak ada televisi atau perabotan lain yang berharga
Hanya dipan kecil yang reot

Disamping kananku kulihat ada dinding dari anyaman bambu sebagai pembatas ruangan
Mungkin dibalik dinding itulah dapurnya kini

Aku masih berdiri terpaku
Ini seperti dialam mimpi saja
Disebuah tempat asing yang mana aku belum pernah sama sekali menjumpai tempat ini

Kulihat perlahan agung meninggalkanku, berjalan perlahan menuju dipan
Dia duduk
Kepalanya menunduk seolah mengamati lantai tanah basah dan lembab

“jiii…ini rumahku, kamu sudah tahu kan sekarang?’
Dia berkata disini, beda dengan tadi pada saat di rumah pak sujar
Di rumah pak sujar dia menyebutku mas aji, dan disini dia hanya memanggilku dengan sebutan ji saja. Perubahan yag sangat cepat dan aneh

Aku masih diam berdiri
Sebenarnya aku bingung saja mau duduk dimana, semua tampak begitu kotornya
“maaf, aku mulai sekarang hanya akan memanggilmu ‘ji’ saja, kalau kamu nggak terima kupanggil gitu juga nggak pa pa lah”
Aku berjalan mendekatinya tersenyum
“aku nggak apa-apa kok mas” jawabku sambil senyum
Kulihat dia melotot ke arahku
“jangan panggil aku mas, panggil saja agung atau petruk, terserah, mas itu berharga dan aku orang yang tak berharga” ujarnya dengan sedikit keras

“ya udah gung, trus apa maksudmu membawaku ke sini” tanyaku heran
“aku ingin kamu melihat rumahku” ujarnya ketus
“Cuma itu?”
“ya!”
Aku terdiam
Dalam hati aku sungguh tak mengira, dia menyeretku dengan paksa hanya untuk melihat rumahnya
Ini aneh, ini tidak masuk akal

“hmmm…aku sudah melihat rumahmu, kalau begitu tolong kembalikan aku” kataku tak kalah tegas
Dia memandangku tajam
“belum…”
“maksudmu?”
“hmm kamu belum melihat rumahku!”
Aneh dan sangat aneh orang ini

“lihat dulu rumahku, baru setelah itu aku antar kamu kembali” dia kembali berkata tegas
Aku terdiam kelu
Mungkin agung lagi mabuk atau tingkat kesadarannya belum sempurna

Aku berjalan pelan mendekatinya
Duduk disampingnya
Kuhembuskan nafasku pelan untuk sekedar membuang bau tubuhnya dari penciumanku

“gung?” aku setengah berbisik
“hmmm…’dia cuma mendengus
“kamu…hmmm maksudku…kamu tidak sedang mabuk kan?” tanyaku lagi
Tiba tiba dia menoleh ke arahku
Sorot matanya menyala-nyala tajam menghujam relung hatiku
“jiii…cepat lihat dulu rumahku…cepaaaatttt….sebelum kesabaranku habis” dia berteriak
Dan seketika aku melompat menjauhinya




“dah berapa lama istrimu meninggalkanmu gung?”
Agung masih menutup wajahnya dengan keduabelah telapak tangannya
Perlahan telapak tangannya merembet keatas dan jari-jarinya seperti menyisir rambutnya pelan
Dia mendengus dan mengambil nafas panjang
“seminggu” jawabnya datar

Seketika suasana menjadi hening
Hanya nafas masing-masing yang terdengar pelan
Aku sendiri begitu bingung mau mengawali obrolan apa
Sungguh aku tak mengira dibalik fisik agung yang begitu menakutkan ternyata ada sisi kelam yang tidak setiap orang tahu
Dan aku paham sekarang ‘orang-orang yang hidupnya bermasalah karena memang mereka mempunyai latar belakang kehidupan yang bermasalah pula’

“gung…”bisikku lirih
“hmmm…” dia mengguman
“terus apa hubungannya semua ini?”
“maksudmu?” dia balik bertanya
“hmmm…maksudku apa hubungannya aku disuruh melihat rumahmu dengan istrimu yang meninggalkanmu?’

Seketika dia menoleh dan menatapku tajam
Sangat dekat…
Dan kini aku sadar tatapan matanya menghujam keras di ulu hatiku
Dia kembali menoleh, menatap kedepan
Diambilnya lagi sebatang rokok dan kembali disulut
Dihisap pelan kemudian dihembuskannya
“dasar manusia goblok!” dia mengguman
Aku kaget
“hah apa?”
“hmmm aku nggak mengira, den mas aji yang selama ini dianggap pinter ternyata guoblok!”
“hahhh!” aku melongo
Dia kembali menoleh kearahku dan tersenyum sinis
“yang namanya goblok ya tetep goblok!”

Hilang sudah kesabaranku
“heh bung, ditanya baik-baik malah jawabnya ngawur!” aku setengah berteriak
Dia Cuma tersenyum sinis
“hehh…jawab dong!” teriakku lagi nggak sabar

“hahahaha…” dia tertawa terbahak
Aku menatapnya nanar
Dalam hati aku begitu heran dengan sikap agung yang berubah-ubah dengan sangat cepat kadang marah, jengkel, serius dan sedih semua silih berganti tidak konsisiten bikin aku bingung
Yang kutahu agung sedang stress

“jiii…jiii…harusnya kamu itu tahu, aku ajak kamu kesini biar kamu itu tahu kalau istriku tidak dirumah dan harusnya kamu juga tahu bahwa satu-satunya jalan agar aku dapat mengembalikan istriku ya dengan kerja, makanya aku minta bantuan ke kamu. Dah jelassss?”

Aku mengangguk pelan
“napa harus aku yang kamu temui, napa bukan mas yoga atau yang lainnya?’
Dia kembali menatapku
“karena kamu yang kuandalkan bisa menolongku”
“aku???”
“ya..kamu”
“napa?”

Agung mendengus
“kemaren malam kamu sempat jadi bahan gunjingan oeang, katanya kamu menolong pak amin yang sedang sakit parah, terus semalam aku berfikir aku harus minta tolong ke kamu, tahukah kamu bahwa kondisiku saat ini jauh lebih parah dibanding pak amin dan Cuma kamu yang bisa menolongku”
“iyaaaa…tapi kenapa aku?”
“menurutku kamu pasti orang baik yang mau menolongku, aku ingin secepatnya menjemput istriku tapi aku harus membuktikan ke mertuaku kalau aku mampu membahagiakannya, makanya aku harus kerja, aku harus hidup layak…jiii…aku sudah bosan jadi orang nggak bener…aku ingin berubah..tapi ternyata untuk berubah begitu susah….” Dia berkata pelan dan lirih

Aku tertegun mendengarkannya
Sekarang yang kuhadapi bukan lagi preman
Tapi manusia yang sedang berjalan pelan ke arah yang benar
Dan dia sedang mengalami kesusahan
Apa aku mampu menolongnya?
Sekali lagi aku tertegun
Dia sangat berharap aku bisa menolongnya

“mengapa susah?” tanyaku lirih juga hampir berbisik
Dia menghela nafas pelan

“semua orang sudah menganggapku jelek, semua orang sudah menganggapku jahat, pemabuk, penjudi, jadi…….sebaik apapun diriku tetap dicap jelek, dan kamu adalah orang baru disini yang tidak tahu masa laluku, makanya dengan dirimu aku mengharap, jiii….percayalah aku bekerja hanya untuk ingin membuktikan kalau aku bisa menjadi lebih baik, bukan masalah uang, tapi aku sadar tidak mudah mempercayai orang seperti aku untuk di pekerjakan, iya kan?’’ dia menatapku

Kali ini tatap matanya lebih teduh
Seperti tersimpan berjuta harapan yang disandarkan kepadaku
Aku hanya bisa terdiam beku
Dan….
Sekali lagi nuraniku yang dibalut empati yang sekarang sedang berkecamuk dalam dadaku

Tiba-tiba kini aku yang jadi tertunduk menatap lantai
Tak tahulah, dalam otakku seperti benang ruwet yang susah untuk diurai
Saat ini juga aku harus bisa menjadi seorang penolong, memutuskan hal yang berhubungan dengan kelangsungan hidup seseorang
Aku bingung
Aku ingin menolongnya
Aku ingin merubah agung
Merubah semuanya
Fisiknya
Jiwanya
Senyumnya
Tatapan matanya
Semuanya dari dia ingin aku rubah
Dan….
Aku yakin aku bisa
Aku ingin menolongnya keluar dari kubangan masalah hidupnya
Tapi ada satu hal yang membuat otakku berpikir keras
Bagaimana cara menolongnya?
Itu saja
Aku disini kan hanya sebagai pegawai pengganti sementara saja
Aku merasa tidak berhak mengambil keputusan
Apalagi yang berkaitan dengan rekruitment pegawai

“gimana jii?” dia berkata lirih memohon
Dan justru nadanya memohonnya membuatku semakin miris

Dan pelan aku menoleh
Kutatap wajahnya
Sorot matanya saat ini begitu sayu memohon
Dan tatapan matanya begitu dalam seolah memohon agar aku bisa masuk menyelami sampai kedasar ulu hatinya
Wajahnya begitu dekatnya denganku
Dan kini aku sadar….
Ini bukan wajah yang biasa
Wajah ini wajah yang luar biasa
Hidungnya begitu mancung
Kumis tipisnya yang tak teratur
Pipinya yang berambut jarang
Dengan rahang kokohnya yang menampakkan kejantanan
Dan…aku ingin menyibak rambutnya yang tak teratur jatuh di dahinya
Kulitnya coklat terbakar matahari
Dan aku tahu pada dasarnya kulitnya putih
Karena dipangkal lengannya nampak begitu putih mulus kontras dengan kulit lengan atau wajahnya
Dan….
Semua dari fisiknya aku suka
Ohhhh…Tuhannnnn kenapa Engkau selalu pertemukan aku dengan orang-orang cakep, orang-orang tampan yang membuatku mabuk?.....bisik hatiku

“gimana jiii…?”sekali lagi dia memohon
Dan aku tersadar dari keterpesonaaaku padanya

Dan sekali lagi aku bingung

“gung…”
“ya ..”
“setiap hari kerjaanmu apa?” tanyaku menyelidik
“bukan pekerjaan sii, kadang ngojek, makelar sepeda motor atau mobil dan kadang disuruh nganter ini itu ke pasar”
“rumah ini sudah lama nggak kamu tempati ya?”
Dia mengangguk pelan
“sejak istriku meninggalkan rumah ini”
“napa nggak ditempati?”
Dia kembali mengambil nafas panjang

“karena ini bukan rumahku, ini rumah istriku, pemberian dari mertuaku”
“trus selama ini kamu tidur dimana?”
“nggak mesti, kadang di pos ojek, kadang di rumah temen, nggak tentu lah…..lho…lho…lhoo…ini gimana to? Kok malah tanya ini itu? Aku kan mau melamar kerja? Gimana jii…diterima tidak?”dia ternyata baru tersadar

“hehehehe kalau ngelamar kerja kan harus wawancara dulu to? Inilah yang namanya wawancara”
“hahh…jadi aku bisa diterima ya?”
Tiba-tiba wajahnya kembali berbinar
Dan aku menjadi semakin tidak tega untuk melukainya
“hehehehe ya belum tentu lah, tergantung dari hasil wawancaranya” ujarnya penuh canda

Tiba-tiba tangannya menepuk pundakku akrab
Dan sedikit merangkulku dari samping
Dan aku begitu nyaman dalam pelukan ringannya
Ini mungkin cara dia untuk membujukku
“ayooo cepat, mau tanya apa lagi, aku siap!” ujarnya menantang penuh semangat

Aku menjadi geli melihatnya
Melihat perubahan wajahnya yang begitu cepat berganti

“hmmm…dari hasil ojek, tiap hari kamu dapat berapa?” tanyaku lagi
Tangannya lepas dari pundakku
“yaaa…kira-kira tigapuluh-empatpuluh lah”
“pake sepeda motor itu?”
Dia mendongak keluar
“kadang…pakai itu kadang nyewa milik teman”
“ohh…ya udah kalau gitu”
Aku mengambil nafas pelan….

“trusss…?” dia tidak sabar mendengar keputusanku
“gung”
“ya” ujarnya penuh semangat
“aku sebenarnya punya ide untuk menjadikanmu sopir truk, tapi ini perlu proses, aku harus menghubungi perusahaan rekananku yang menangani pengadaan barang…dan….”
“ya sudah kalau gitu, sekarang saja dihubunginya?” dia sangat bersemangat
“pakai telepon? Nggak bisa gitu dong, aku harus ketemu”
“terus gimana?”

Aku mengambil nafas panjang
“begini…”
“ya…gimana?” dia tidak sabar
“sambil nunggu proses, kamu kujadikan sopir pribadiku selama beberapa hari ke depan”
“hahh…yang bener?” wajahnya bercahaya dengan kegembiraan yang meluap
“tapi…mobil perusahaanku sedang dipakai pak yoga keluar”
“terus gimana?”
“hmmmm…gini aja deh, kamu nyewa sepeda motor yang bagus, yang kuat, nanti uang sewanya aku yang tanggung termasuk bensinnya, kamu akan kubayar tiga kali lipat dari penghasilanmu jadi tukang ojek perhari, bersihh” ujarku
Aku mengambil nafas dan dalam hati aku berkata ‘semoga keputusanku benar’ karena aku harus menambah beban pengeluaran perusahaan untuk hal ini

Dan….
Tiba-tiba aku diseret cepat dalam dekapan didadanya
Pelukannya sangat erat
Aku sesak nafas hampir tidak bisa bergerak
Lengannya begitu erat membekap tubuhku
“makasih…makasih….makasih….aku tahu kamu pasti akan menolongku” suaranya parau
Aku tak menjawab
Wajahku tepat didadanya yang keras dekat dengan lipatan ketiaknya
Baunya luar biasa bikin aku ingin muntah
“iyaaa…tapi besok kamu harus mandi ya?” bisikku pelan
“hahahaha…aku memang nggak mandi sejak istriku pergi dan aku nazar mau mandi kalau dah kerja, hehehehe”
Dia tetap memelukku
Tubuhku yang dalam pelukannya digoyangkan kesana-kemari
Aku seperti anak kecil yang sedang di timang
Tubuhnya yang begitu besar membuatku sangat sulit untuk melepaskan diri dari pelukannya

“gubrakkk….”
Dipan reot tempat kami duduk tiba-tiba ambrol
Kami masih berpelukan dan berguling-guling di dipan yang posisinya sudah miring
Ini sangat tiba-tiba
Dan tak sempat lagi berfikir

Dan…
“gubrakkkk….”
Suara lagi kudengar
Kali ini dipintu
Kulihat kerumunan orang orang dalam siluet sinar terang dari luar

“heyyyyyy…bangsat…kau apakan pak mantri heyyyy……”
Suara orang berteriak-teriak sekitar puluhan orang
Tanpa sempat menoleh
Agung telah diseret keluar
Akupun langsung dibangunkan
“mas aji nggak apa-apa kan” ujar teguh sambil mengelus pipiku
Ternyata teguh membawa orang-orang kampung untuk menolongku
Kudengar diluar begitu gaduhnya suara orang-orang mengadili agung
Dan aku baru sadar dengan keadaan ini
“stoooooopppppp berhenttiiiiii……..” aku berteriak melompat meninggalkan teguh yang berdiri terpaku

“pegangan masss….” Ujar teguh pelan
Aku menurut saja
Kulingkarkan lenganku diperut teguh yang ramping
Jalan naik turun rusak parah mirip sungai kering
Benar kata teguh, jika tidak pegangan erat bisa-bisa aku terpental

Dibelakangku ada lima kendaraan yang pengendaranya sebagian besar pemuda desa
Mereka semua teman-teman teguh yang mungkin diajaknya untuk menjemputku

Hmmm…saat ini aku mirip putri kerajaan dalam sebuah dongeng
Sehabis diculik oleh penjahat dan dibebaskan oleh pangeran, dan saat ini perjalanan pulang ke kerajaan dikawal oleh pasukan prajurit, hahahaha….
Ahhh…ini semua memang mirip dongeng

Tadi untungnya tidak sempat terjadi perkelahian, pengeroyokan atau sampai adu jotos
Memang sempat terjadi keributan, akan tetapi setelah semua kujelaskan akhirnya semua menjadi tenang
Kutinggalkan agung di rumahnya dengan janji agung besok pagi sudah akan mulai bekerja untukku
Aku begitu lega akhirnya aku bisa melewati semua ini tanpa ada pertumpahan darah atau perselesihan fisik
Aku lega akhirnya aku bisa ‘menaklukkan agung

Akhirnya sampailah di halaman rumah pak sujar
Kulihat pak sujar dengan pak lurah menyambutku
Wajah mereka diliputi kekhawatiran
“guh…kamu lapor pak lurah ya?” bisikku
“iya mas, kan mas aji ini tamu di desa ini jadi kalau ada apa-apa menimpa mas aji maka seluruh warga desa ini harus ikut tanggung jawab”
“ohhh makasih ya guh”
“ya mas, sewajarnya lah kita saling membantu”

Pak lurah langsung menyambutku dengan wajah sumringah
Dia tersenyum lebar mengetahui aku tidak apa-apa, begitu juga pak sujar
Kusalami mereka
Kujelaskan semuanya
Dan akhirnya pak lurah mohon pamit meninggalkan rumah pak sujar

Setelah makan siang kuajak teguh ke kamar dengan maksud mengenalkan internet kepadanya
“guh…kamu kelihatannya kecapekan ya?” tanyaku menyelidik setelah melihat wajahnya yang kusut
“iya mas, boleh aku tidur siang disini, soale nanti sore aku harus latihan gambusan untuk pementasan besok”
“ohhh…silakan saja”
Kuurungkan niat mengajari teguh internet
Aku tak tega, kelihatannya wajahnya kelihatan kecapekan

Teguh berbaring
Aku duduk disampingnya

“mas..”
“hmmm…da apa?”
“mas aji tadi nggak diapa-apain sama petruk kan?”
“nggak, emang napa?”
“tadi kulihat kok berguling-guling gitu kayak orang berkelahi”
“ohhh itu, dipan tempat aku duduk dengan petruk ambrol jadi kami bergulingan gitu, hehehe”
Kulihat teguhpun tersenyum manis dan geli dengar alasanku

“mas”
“ya”
“memangnya bener petruk mau kerja dengan mas aji?”
“ya bener, napa?”
“nggak apa-apa mas, Cuma apa mas aji tidak takut?”
“napa takut?
“petruk itu kan orangnya serem”
“nggak juga kok, dia orang baik kok guh”
“uhhh mas aji kan nggak tahu sifat aslinya”
Aku Cuma tersenyum
Aku senang karena teguh sepertinya begitu mengkhawatirkanku

‘guh..”
“iya mas”
“jangan menilai orang hanya dari penampilan fisik semata, belum tentu orang yang tampangnya jahat itu jahat, dan belum tentu orang yang penampilannya baik itu orangnya baik, lihat saja koruptor di negeri ini guh, mereka semua berjas dan berdasi, mobilnya mewah, tapi apa coba…..mereka mencuri uang negara lewat korupsi”
“ya mas…”

Aku mengambil nafas pelan
“guh…kadang penampilan fisik hanya sebagai kamuflse saja untuk menipu banyak orang”
“iya mas, tapi petruk itu bukan hanya penampilannya kok mas, dia juga memang berandalan”
“guh…yang kulihat saat ini dari diri petruk adalah dia orang yang mempunyai masa lalu yang hitam, dan saat ini dia akan merubah, dan aku akan berusaha membantunya”
“oh gitu ya mas”
Aku mengangguk
“udah guh kalau mau tidur, aku mau nerusin kerjaan tadi, ayo tidur!”

Kubuka laptop dan kuketik-ketik beberapa tugas yang belum selesai

Aku menoleh
Teguh sudah tertidur pulas

Aku mendekat
Aku akan melihat dengan jarak yang sedemikian dekat saat dia tidur
Hmmm…anak yang manis dan baik

Kulihat nafasnya pelan naik turun
Hembusan nafasnya begitu teratur
Bibirnya kemerahan sangat manis
Kulihat butiran keringat didahinya, lengket dengan beberapa helai rambut di dahinya

Pelan kuusap dahinya
Kusibakkan pelan rambutnya
Dan…. Sekali lagi aku terpesona dengan wajahnya
Ingin sekali kupeluk, kucium dan kusayang dia


to be continued...


0 comments:

Post a Comment