DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Love Under The Mistletoe Chapter 9

CHAPTER IX
THE BED TIME STORY



by Tuktuk

Aku berusaha menggapai HP ku yang terletak agak jauh dari kasurku. Entah kenapa badanku terasa seperti remuk. Seluruh persendianku terasa sakit dan tubuhku juga menjadi lebih panas. Aku meraba keningku dengan telapak tanganku. Hufhh... Aku demam.

Ku lihat jam dinding, sudah jam 7 pagi. Biasanya, aku membuat kopi pagi ini untuk kedua kakakku. Tapi entah mengapa pagi ini aku merasa tidak memiliki tenaga untuk melakukannya. Tubuhku terasa begitu berat dan sakit untuk digerakkan. Ahh... Aku menghela nafas panjang dan masih berguling diatas kasur sambil meringkuk supaya terasa lebih hangat.

“Dan... Danny?” suara kak Wildan memanggil dari luar kamar.

Aku tidak bisa menjawab. Aku terlalu letih untuk itu. Kulihat pintu kamarku terbuka, oh sepertinya aku lupa menguncinya tadi malam.
“Dan? Kamu udah mendingan?” tanya kak Wildan.
Aku mengangguk pelan.
“Mana coba sini kakak periksa”

Tangan kak Wildan besar sekali sampai-sampai 1 tangan saja bisa meraba seluruh keningku. Atau aku yang memang kecil ya?

“Kamu demam! Kamu lebih panas dari tadi malam! Kakak ajak ke dokter ya?”
“Ngg... Nggak usah kak... Aku bed rest aja... Mau flu mungkin ini... Obat demam saja ya...”
“Nggak dek, takut kenapa-kenapa... Mau ya?” muka kak Wildan sedikit memelas.
Aku akhirnya menurut saja saat dibawa kak Wildan ke dokter.
“Mau kakak gendong?”
“Hah.. Gila.. Aku masih bisa jalan sendiri kok...”
“Sini....”

Tiba-tiba lengan kak Wildan menyelip diantara punggung dan kedua pahaku kemudian melingkarkan aku didadanya. Aku diangkat! Aku digendong! Aaaaaahh... Aku berusaha meronta untuk melepaskan diriku dari pelukan kak Wildan. Ia menggendongku dan begitu sudah hampir sampai di pintu depan aku melompat.

“Kenapa?”
“Malu! Aku bisa jalan kok kak...”
“Ga ada yang liat juga... Hehehe” ujar kak Wildan sambil mengelus kepalaku.

Aku suka saat kepalaku di elus. Tapi mengapa aku tidak merasakan apapun saat kak Wildan mengelus kepalaku? Aku justru memikirkan kak Riko saat kak Wildan mengelus kepalaku. Jelas-jelas dia masih tidur. Kulihat kamarnya, sepi... sepertinya dia masih tertidur.

“Kak Riko kemana kak?” tanyaku.
“Ga tau tuh pagi-pagi dia keluar...”
Aku menghela napas panjang. Kenapa kak Wildan yang peduli? Kenapa kak Riko tak menengokku? Kenapa kak Riko tidak menjengukku? Kenapa ? Pertanyaan-pertanyaan itu seperti berputar-putar di kepalaku.
Ah sudahlah... I have to meet my doctor...
****
Dokter mengatakan kalau aku terkena flu biasa. Sepertinya kak Wildan yang sedikit berlebihan. Aku sih sudah mengira-ngira, eh tapi ada baiknya juga di periksa sama Dokter. Biar lebih pasti...
“Sarapan apa Dan?” tanya kak Wildan.
“Hmm... Pengen nasi uduk...”
“Jangan ah, bubur ajalah ya?”
“No, aku maunya nasi uduk...”
“Nggak, bubur saja”
Aku cemberut dan kak Wildan menyadari hal itu. Tetapi tetap saja dia membelikan aku bubur ayam, aku suka sih.. Tapi aku lebih suka makan nasi uduk. Hmmmph...
“Dan... Kakak ada bimbingan sama Dosen, doain ya lancar... Kalo sekali ini diterima kakak udh bisa sidang akhir untuk skripsi kakak..”
“Wah cepet ya... Udah mau sarjana berarti kak?”
Kak Wildan mengangguk. Sepertinya dia begitu cemerlang, dia bisa menyelesaikan kuliahnya dalam waktu 3.5 tahun saja. Aaaah apa aku bisa kayak dia? >.<
“Dan... Kamu kalo butuh apa-apa sms ya?”
“Ga usah kak... Aku bisa sendiri hehe...”
Ku lihat kak Wildan berlalu meninggalkan aku sendirian. Aku beranjak ke kamarku dan menatap bungkusan bubur ayam itu. Ughh... Rasanya malas. Tapi aku harus menghabiskannya, ya.. Aku harus menghabiskannya lalu beristirahat.
“D..Dan?” kudengar suara seseorang memanggil kembali.
Kak Riko? Itu kak Riko!
“K.. Kamu udah sarapan?”
“Iya kak... Tadi dibeliin kak Wildan...”
“Oh... Baguslah, badan kamu masih panas... Minum obat ya...”
“Iya kak....”

Aku begitu senang sampai sampai aku terlihat begitu rakus melahap bubur ayam itu. Aku senang kak Riko memperhatikan aku, eh tunggu dulu... Kok Kak Riko tau aku masih panas? Kok? Kak Riko kan pergi pagi-pagi terus... Apa dia menengok aku dulu ya sebelum pergi? Aaarrrhhh... Aku malu membayangkannya... Pasti muka ku jelek kalo lagi tidur... Eh, apa benar dia menengok aku dulu? Hmmhh..
.
“Aku seneng kalo kamu sehat lagi” kata kak Riko.
“Hee... Itu bungkusan apa kak?”
“Ng... Nggak... A... Aku bimbingan skripsi dulu ya...”
“Iya kak, semoga lancar...”

Aaaahhh Kak Rikoooooo! Kalau melihat mukanya langsung, aku pasti langsung deg-degan. Aku pasti langsung salah tingkah.Wajar sih, namanya juga jatuh cinta. ^^

Ah iya! Bungkusan tadi. Kenapa kak Riko memasang muka agak masam ya? Kenapa kak Riko seperti kurang senang ya? Aku beranjak meninggalkan tempat tidur dan mengendap-endap ke meja makan. Aku melihat bungkusan itu tergeletak diatas meja. Telah dibuka dan dilahap separuhnya. Sepertinya kak Riko ga menghabiskan bungkusan nasi... Nasi Uduk! Aaaah kak Riko makan menu sarapan favoritku! Coba aku minta saja tadi, skearang perutku sudah kenyang untuk ditambah dengan nasi uduk.

Aku membalik bungkusan itu dan kulihat ada notes kecil dsebelahnya.
“YOUR FAVORITE, CEPET SEMBUH YA”

Aku melongo. Ini nasi uduk buat aku? Kak Riko beliin nasi uduk pagi-pagi terus balik lagi ke kampus? Haaaaaaaaaahhhhh Aku seperti orang kebingungan. Bingung, sekaligus senang. Aku lompat-lompat sendiri dan tidak peduli bahwa aku masih demam.

****

Seharian ini aku beristirahat di dalam kamar.Demamku masih sih, tetapi sudah agak turun. Aku menelepon Ayahku katanya kalau sudah 2 hari demam, aku disarankan ke rumah sakit. Huf... Nasib anak kost...

Klek.. Kudengar pintu depan dibuka. Siapa itu ya? Kak Wildan? Atau.. dia kak Riko?
“Dan, sudah makan siang?” tanya kak Riko.

Aku menggeleng. Kulihat ia mendekatiku ke tepi kasur.

“Aku bawain nih”
“Waah makasih kak... Bimbinganmu udah kelar?”
“Udah, tp masih stuck di bab yang sama...”
“Sabar, pasti kelar... Aku percaya kok kamu pasti bisa” jawabku sambil tersenyum.

Ku lihat senyum di muka kak Riko mengembang. Ah begitu ganteng.

“Muka kamu merah”
Aku menunduk menahan malu.
“Merah karena sakit atau.... Merah karena ngeliat aku yang ganteng?”
Aku mendongakkan kepalaku lalu mencubit pahanya.
“Aaa.. Aw... Sakit tau..” katanya sambil mengelus pahanya. Aku tersenyum geli.
“Kak... tadi pagi itu sarapan buat aku ya?”
Kak Riko tercekat. Ia seperti kebingungan.
“K...Kok tau Dan?”
“Itu notes nya ada....”
Kak Riko menepuk jidatnya.
“Haduh... Aku kelupaan...” kini gantian mukanya yang memerah.
“Hahaa.. gantian muka kamu yang merah kak...”

Kak Riko seperti salah tingkah dan aku terus menggodanya. Sesekali ia menjewer telingaku kemudian aku membalas memencet hidungnya.
“Dan...”
“Ya kak?”
“Apa sih yang paling kamu inginkan ?”
“Kamu...”

Astagaaaa! Mulutku! Rasanya aku ingin menampar-nampar mulutku yang otomatis menyebut ‘KAMU’ didepan kak Riko atas jawaban untuk pertanyaan semacam itu.

“Hahaha... Aku juga maunya kamu....”

Haaaaaaaaah? Aku yang semakin melongo.... A... Apa itu? Maunya Aku? Aku kan? Bukan Laura atau cewek-cewek yang biasa dia mainin kan? Aku kan?

“Hahaha.. A... Aku maunya kamu sama kak Wildan akur kak...”
Bego Danny! Begoooooo! Kenapa? Mestinya aku mancing-mancing kak Riko untuk momen kayak gini.
“He... Wildan ya? Aku akur kok sama dia... Justru dengan berantem2 itu nunjukin kita akrab”
“Hehehe...”
Aku menggosok kedua lenganku. Demam ini membuatku sedikit kedinginan.
“Dingin?”
“I... Iya...kak...”

Kak Riko lalu beranjak ke kasur dan berguling disebelahku. Ia lalu melepas jaket yang masih ia kenakan dan meninggalkan tubuhnya mengenakan kaos ketatnya. Aku berdebar. Sangat berdebar.

“Sini...” ujarnya sambil melapangkan kedua lengannya.
“Ke... Kesitu?” aku menunjuk kedua dada bidangnya.
“Katanya dingin?”

Aku seperti dihipnotis dan menyandarkan kepalaku didada kak Riko. Menciumi aroma tubuh kak Riko, aroma yang paling aku suka. Aaaah aku makin berdebar-debar. Aku berusaha mendengar detak jantung kak Riko, kudengar iramanya juga lebih cepat. Apa dia berdebar-debar juga?


“Pertanyaan kakak buat apa sih yang tadi?”
“Hmm... Buat apa ya.... Nanti ajalah...”
“Maksudnya?”
“Lusa saja...”
“Lusa?”

Aku berfikir sejenak. Lusa itu... Ada apa ya lusa... Hmm... Lusa itu... hari ulang tahunku. AAAAH ITU HARI ULANG TAHUNKU! Apa kak Riko mau nembak aku ? Hahhhh mikirnya kejauhaaan..

“Dan?”
“Ya kak?”
“Ga makan siang dulu?”
“A... Aku maunya gini aja... “
“Nanti ga sembuh-sembuh...”
“Nggak, aku mau dipeluk...”

Kak Riko mengangkat daguku yang masih terbenam dalam pelukannya. Kini mata kami beradu pandang. Tuhan, aku tak sanggup melihat mukanya...Ia lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku sampai-sampai nafas kami saling beradu. Jarinya lalu berhenti diatas bibirku dan tanganku membalas menyentuh bibirnya. Menyentuh bekas cukuran didagu dan bibir atasnya. Menyentuh hidung dan pipinya.

“Hmmmh...” tiba tiba kak Riko mengalihkan pandangannya.
Astaga, aku begitu malu. Apa yang aku lakukan!
“Hmmh... Ceritakan aku sesuatu kak...”
“Apa?”
“Apa saja, film kesukaanmu... Apa saja...”

Kak Riko berfikir sejenak.

“A Walk To Remember?”
“Ceritakan padaku...”
“Ini cerita lama sih... Hmmh.... Kisahnya tentang Jamie Sullivan dan Landon Carter.... Jamie itu seorang gadis anak pendeta.... bla... bla” kak Riko meneruskan ceritanya.

Aku tetap mendengarnya walau aku belum pernah menonton film itu. Aku ingin beristirahat dan tertidur dalam pelukan kak Riko. Perlahan suara kak Riko makin mengecil dan semakin kecil. Kak, aku ingin seperti ini seterusnya. Aku mungkin akan sembuh lebih cepat, karena aku bahagia. Dunia semakin lama semakin sunyi. Aku terlelap.


to be continued...

0 comments:

Post a Comment