DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Love Under The Mistletoe Chapter 11

CHAPTER XI
BROKEN CHAIN



by Tuktuk

Aku terkejut saat melihat kak Riko sudah berdiri di depan pintu kamarku. Mata nya menatap tajam ke arah kami berdua. Aku benar-benar takut, belum pernah aku melihat dia dengan tatapan seperti itu.

“Rik, jangan salah paham dulu...gue bisa jela..” ujar kak Wildan.
“Ah, taik lo!” tiba-tiba kak Riko sudah berjalan cepat menghampiri kak Wildan dan mendorong tubuhnya ke belakang.

Aku menggenggam erat ujung seprai kasurku. Aku tidak tau apa yang harus aku katakan.

“Rik, dengerin gue dulu...”
BRUGHH. Sebuah pukulan mendarat di pipi kanan kak Wildan. Aku terkejut. Kali ini kak Riko benar-benar marah sepertinya. Aku spontan langsung berdiri.

“Kak.. Kak Riko dengerin dulu...”
BRUGHH. Pukulan lain masih menghantam muka kak Wildan. Aku tak sanggup melihatnya. Apa inti dari permasalahan ini? Aku bingung. Aku berusaha menarik tubuh kak Riko dari belakang. Berusaha melerai mereka. Kak Wildan seakan begitu mengalah dan tidak mau berusaha. Aku bergerak dan BRUGGHHH.

Sebuah pukulan mendarat di tubuhku, membuat aku terduduk. Sunyi. Semua menjadi diam. Aku hanya terduduk saja.

“MAKANYA DENGERIN GUE DULU, RIKO!” Teriak kak Wildan lebih keras.

Brugh. Sebuah pukulan dari kak Wildan menghantam pelipis kiri kak Riko. Kak Riko hanya terdiam. Ia lalu berjongkok dan memegang muka ku dengan telapak tangannya. Aku menoleh. Aku menangis. Aku melihat kak Riko juga meneteskan air mata. Baru kali ini aku melihatnya berkaca-kaca dengan air mata disudut matanya.

“Dua kali... “ lirihnya.
“Ha...?” ujarku terbata.
“Dengerin gue, Rik! Berdiri!” ujar kak Wildan.

Kak Riko lalu berdiri menghadap kak Wildan.

“Jujur, gue suka sama Danny. Gue cinta sama dia.”
“Taik...”
“Jangan potong omongan gue dulu!”balas kak Wildan.
“Gue suka sama dia, gue cinta sama dia... Tapi dia ga bisa jadi pacar gue. Ga bisa, mungkin ga bisa untuk sekarang atau entahlah... Dan ciuman gue itu ga lebih dari ciuman sahabat, lo tau sedekat apa kita sama dia...”
“Ga bisa?” kak Riko balik bertanya. Ia mengernyitkan dahi lalu menoleh kearahku yang masih terduduk menghadapnya.
“Liat cincin yang dia pake Rik! Cincin siapa itu!!!!”

Kak Riko terkejut. Ia merasa bingung.

“Gue... Gue...argghhh... Kenapa gue masih suka tempramen gini..” ujar kak Riko.
“Santai, gue bisa ngerti lo... Dan pukulan dari gue tadi, untuk balas pukulan lo ke Danny. Dia ga salah apa-apa...”
“Maaf, Wildan... maaf sekali lagi...”

Kak Wildan lalu melihat ke arahku. Lalu berjongkok.

“Kalau dia nyakitin atau buat kamu kesel, kasih tau aku. Aku yang hajar dia buat kamu...”

Aku tersenyum. Kak Wildan lalu mengelus rambutku kemudian berjalan dan menepuk pundak kak Riko.

“Titip Danny...” ujarnya lalu berjalan keluar kamar.

Kak Riko mengusap mukanya.

“Dan, aku... aku bener-bener minta maaf.... Aku...”
“Sssh... aku nggak apa-apa kak...”
“Nggak Dan... Aku begitu bingung dan aku tak bisa mengontrol emosi...Aku begitu cemburu.”
“Sshh... Jangan bicara dulu...” Ujarku sambil mengusap pelipisnya.
“Kamu bisa balas pukul aku sesukamu, Dan... Pukul aku, Dan...”

Aku mendekat kearah mukanya lalu aku mencium bibir kak Riko. That is my first kiss. Bibir kak Riko terasa begitu hangat. Aku memejamkan mata. Menikmati detik pertama kami menjadi sepasang kekasih. Menikmati nafas kak Riko yang memburu mukaku. Kurasakan tangan kak Riko memeluk punggungku. Aku merasa begitu kecil, aku tenggelam. Aku mencintainya.

“Shh... Seorang pacar ga akan memukul pacarnya...” ujarku.

Kak Riko tersenyum. Mukanya memerah.
“Kamu ini, malah kamu yang merah mukanya. Padahal yang ciuman pertama kali justru aku...” ujarku.
“Hah? Serius? Beruntung banget aku!”
“Iya..”

Kak Riko mendekapku lebih erat lagi. Ia mengelus kepalaku dari belakang. Tuhan, andai ada kata-kata yang bisa aku gunakan untuk melukiskan rasa bahagia ini, aku ingin mengucapkannya. Sampai aku tak mampu berkata-kata.


****

Hari ini merupakan hari pertama akumenjalani hidup sebagai kekasih kak Riko. Kejadian pagi tadi sudah terasa lebih baik. Kak Wildan sudah mulai keluar kamar dan ia nampak sedikit terburu-buru.

“Mau kemana kak?” tanyaku.
“Beres-beres aja... Pindahan..”
“Pindahan? Kakak mau pindah???”
“Iya, Dan...”
“Kapan???”
“Besok.”
“Kenapa? Kenapa tiba-tiba?”

Kak Wildan menghampiri meja makan kemudian duduk berhadapan denganku.

“Sebenernya ga tiba-tiba kok. Kamu lihat kan tanggal setelah hari ulang tahun kamu?”
“Iya... Yang ada lingkaran merahnya?”
“Iya, itu aku yang berangkat...”
“Berangkat apanya? Aku ga ngerti kak...”
“Danny, seminggu lagi aku akan diwisuda... Aku sudah diterima di salah satu firma hukum disini... Jarak tempuh dari sini ke kantorku mencapai 1 jam. Aku lebih memilih pindah kost...”
“Kok? Kenapa ga disini? Kenapa ga kasih tau aku?”
“Aku mau kasih tau kamu dari kemarin-kemarin. Tapi... Yah... Aku ga bisa, aku mau kasih tau kamu, trus kalau kamu terima aku, aku pengen kamu ikut...”

Aku terdiam.

“Tapi ga mungkin juga sih ya... Hahahah...” ujarnya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Kamu yang awet ya sama Riko, kalau sama kamu, aku yakin dia bisa semangat lagi... Kayak dulu..”
“Kayak dulu? Tadi pas kalian berantem, kak Riko juga bilang ‘dua kali’... maksudnya apa ya kak?”
“Hah... dasar tuh anak... Hmm.. kayaknya itu bukan porsiku untuk cerita, Dan..” pungkasnya.

TOK! TOK! TOK! Oh iya, itu pasti kak Riko! Dia keluar sebentar tadi untuk membeli makanan dari luar. Aku bergegas membukakan pintu.
“Sayang... aku udah beliin nih makanan buat kita.”
“Er... Sa... Sayang?”
“Emang kenapa? Ga boleh?”
“Aku masih belum terbiasa” ujarku menunduk.

Kak Riko lalu mengangkat daguku.
“Nanti kamu terbiasa juga...” ujarnya sambil tersenyum.

Aku hanya memerah. Aku selalu malu saat menatap muka kak Riko.

“Nyet, gue bawain makanan nih... Kita makan bareng ya.. besok kan lo pindahan...”

Kak Wildan tertawa kecil lalu mendekat ke meja makan. Aku menghela nafas panjang. Aku benar-benar tak menyangka kak Wildan akan meninggalkan kami.

“Danny...” ujar kak Riko.
“Ya?”
“Suapin dong...”
“Hih, manjanya! Amit-amit!”
“Yah, malah diejek. Dari dulu kakak maunya disuapin sama kamu...”
“Ih.. ogah... udah gede minta disuapin”

Kak Riko lalu mengambil sesuap nasi goreng dan memeganggkan sendok itu ke jariku.
“Nih, suapin!”
Aku lalu menyuapkan sendokan pertamaku untuk kak Riko. Dalam hati ini aku begitu senang.
“Jangan mesra-mesraan dulu napa? Gue masih disini lho...” tiba-tiba kak Wildan menyeruak.
“Hahaha.. maaf kak... Aku dipaksa nih...” ujarku.
“Ga usah didengerin, Danny sayang... Dia cuma ngekost disini, dunia ini milik kita... yang lain ngekost...”
“Heh dasar si monyet! Ga mikirin perasaan orang banget....”
“Hahhaha... Ya udah, sini aku suapin gantian...”

Aku lalu menyuapi kak Riko dan kak Wildan. Secara bergantian mereka menantikan suapan demi suapan dariku. Sesekali kak Riko menyikut kak Wildan, memberi kode bahwa ia hendak merebut suapan itu. Aku Cuma bisa tersenyum. Aku sayang mereka, aku sayang kakakku... Tapi aku mencintai satu orang, satu orang saja.

****

Kejadian di meja makan tadi benar-benar masih berbekas. Waktu sudah beranjak larut dan saatnya kami harus beristirahat. Dan kak Riko menarik tanganku kekamarnya. Iya, di kamar kak Riko! Aku begitu deg-degan. Kini, aku dan kak Riko berada diatas satu ranjang dan aku tak berani membayangkan hal-hal apapun. Aku malu. Jantungku berdegup kencang.
“Blew...”bisik kak Riko.
“Blew? (Diucapkan : Blu)” ujarku.
“Iya, Blew... dari kata Blue, kan pas kita pertama kali ketemu, kamu pakai T Shirt warna biru...”
“Kamu masih ingat???”
“Ingat dengan jelas... Aku panggil kamu Blew aja ya... nama kecil untukmu, Dek...”
“Hmm... Aku panggil kamu apa ya?”
“Apa saja boleh, asal yang romantis ya...” ledeknya.
“Nggak, panggil monyet aja, biar gantiin kak Wildan”

Kak Riko lalu memencet hidungku. Aku kesulitan bernafas dan memukul2 lengannya.

“Hahhaa... maaf Blew...”
Aku cemberut.
“Kamu mau panggil apa sih?” tanya kak Riko.
“Brew... (Dibaca : Bru) Brew saja ya...Kayak brew coffee... Kerjaanku setiap pagi kan seduhin kopi buat kamu sama kak Wildan... lagian biar namanya mirip, boleh?”
“Anytime”

Aku merasakan kak Riko memeluk erat tubuhku. Jantungku semakin berdegup kencang. Aku semakin tenggelam dalam pelukan kak Riko. Kurasakan hangat tubuhnya, hangat nafasnya yang memburu belakang telinga dan berlanjut ke leher dan dadaku. Aku membalasnya dengan mengecup pipi dan bibirnya. Aku merasa ciumanku kali ini lebih baik dari tadi pagi. Lidahku menari-nari dengan lidahnya. Kak Riko lalu menciumi pipiku, telingaku, leherku. Aku lepas kendali. Aku rasakan tubuhnya menimpaku dari atas. Aku merengkuhkan kepalanya kebahu, tubuhnya dan tubuhku menjadi satu. Malam semakin bergulir menyisakan kesunyian yang menemani kami memadukan cinta, perlahan tapi pasti.

****

“Blew... Sayang...” Bisikan seseorang terasa pelan membangunkanku.

Samar-samar kulihat sekeliling. Astaga! Semalam merupakan ‘malam pertama’ kami! Kak Riko masih bertelanjang dada. Dadanya yang putih padat berisi menjadi bantal tidurku rupanya. Aku mengendus dada itu. Aku suka aroma tubuhnya. Aku suka semuanya.

“Kamu ngerasa sakit?”
“Apanya?” tanyaku bodoh.
“Itu....Ya itunya...”
“Enggaklah... Buat kamu seorang...”

Kak Riko lalu mencumbuku. Ah, what a beautiful morning we had...

Tok Tok Tok!
“Dan... Riko... Udah mau berangkat nih...” suara kak Wildan mengagetkan kami.

Bergegas kak Riko memakai pakaian dan celana. Aku tak kalah cepat seolah-olah sedang terlambat.

“Udah jam berapa nyet?” tanya kak Riko dari kamar.
“Jam 8 pagi!n Buruan...”

Aku bergegas keluar kamar.Aku melihat kak Wildan memakai jaket hitam dan tas backpack gede yang berisi penuh.

“Barang-barang kakak yang lain?”
“Udah diangkut dari tadi pagi ... Kalian masih tidur sih...”
“Trus, lu tinggal berangkat doang nyet?”
“Iya nih, gue mau pamitan ma kalian...”

Kata-kata itu seakan membiusku. Aku gundah. Kak Wildan yang begitu perhatian ini akan meninggalkan kami, meninggalkan kost ini. Rasanya aku ingin kami bersama lebih lama. Lebih lama lagi.

“Nyet, inget janji gue, saat lo buat dia nangis, saat itu juga gue akan datang ngehajar lo....”
“Oke... pegang janji itu” balas kak Riko.

Kak Wildan berdiri di hadapanku.

“Kayaknya, ga bisa cium kening lagi sekarang....”
“Heh...hehe...” Aku terbata. Tanpa sadar aku menunduk. Aku benar-benar pengecut. Aku tak sanggup berpisah dengan kak Wildan.
“Udah, kamu yang awet ya sama dia, jangan suka berantem” ujar kak Wildan sambil mengelus kepalaku.
“Aku berangkat ya” bisiknya.

Kak Wildan berbalik, aku menahan lengannya. Aku masih memegang jaketnya. Menahan seolah tak ingin membiarkan ia meninggalkan kami.
Kak Wildan lalu memelukku. Kurasakan tangan kak Riko hadir diantara kami. Kami bertiga, aku, kak Riko dan kak Wildan. Kami berpelukan. Kak Wildan lalu menatap kami satu persatu. Matanya seolah mengatakan “Aku pergi...” Aku Cuma bisa menahan rasa gundah yang rasanya menyumbat dada dan kerongkonganku. Aku dan kak Riko berjalan mengantarnya sampai ke depan pintu. Kak Wildan menghidupkan motornya dan perlahan melaju. Meninggalkan kami. Meninggalkan kenangan yang masih jelas terpatri di ingatanku. Semua. Semuanya. Aku ingin menangis.

Aku menutup mukaku dengan kedua tanganku. Klek. Kak Riko menutup pintu depan. Kini kami hanya berdua. Berdua tanpa kak Wildan. Aku menghela nafas panjang.

“Kenapa, Blew?”
“Don’t ever leave me... Brew...”
“Never... Kamu, semangatku Blew...”

Aku memeluknya. Menumpahkan semua perasaanku.

To be continued....


next chapter

0 comments:

Post a Comment